Mark dan orang tuanya menunggu Zhou Yi di luar sambil asyik membicarakan detail kontrak.
"Kontrakku empat tahun! Gaji kotor 80.000 euro per tahun!" kata Mark bangga. Jauh lebih besar dari gaji kontrak pemuda di tim muda.
Saat mereka asyik mengobrol, pintu terbuka dan Zhou Yi keluar.
"Selesai?" Mark menyambutnya.
Zhou Yi mengangguk: "Kita bisa pulang."
"Bagus! Harus dirayakan nih. Kali ini masak di rumah saja, aku yang akan memasak!" seru Nyonya Wagner riang.
Mark bersorak gembira. Zhou Yi memandang temannya yang bahagia itu sambil memaksakan senyum. Perasaannya benar-benar campur aduk saat ini.
……
Kembali ke rumah Mark, Zhou Yi melihat jam. Pukul 3 sore di sini berarti sudah lewat pukul 9 malam waktu Beijing.
Maka dia menelepon orang tuanya lagi dan memberi tahu bahwa dirinya tidak bisa pulang.
Tapi Zhou Jianliang terlihat sangat senang: "Tidak pulang juga tidak apa, ini artinya kamu berkembang besar. Tenanglah berlatih di sana, berusahalah untuk bisa bertahan di tim utama. Aku dan ibumu tidak perlu dikhawatirkan, kami baik-baik saja. Kamu cukup jaga dirimu sendiri."
"Apa kata Ibu?" tanya Zhou Yi dengan hati-hati.
"Ibumu sih, tidak banyak bicara. Cuma bilang 'oh'."
"Apa Ibu tidak kecewa kalau aku tidak pulang?" tanya Zhou Yi.
"Kalau kamu tidak pulang, aku bisa istirahat beberapa hari. Ngapain kecewa?" Suara ibu langsung terdengar dari telepon.
Zhou Yi merintih: "Ayah, lain kali kalau nyalakan speakerphone, kasih tahu dulu dong?"
"Aku tidak nyalakan speakerphone, ibumu yang..." Zhou Jianliang tidak melanjutkan karena istri yang selama ini menyandarkan telinga di dekat receiver mencubitnya, membuatnya menahan sakit.
"Ibu aku kenapa?"
"Ah, tidak apa-apa. Intinya Nak, kami adalah pendukungmu. Berjuang di sana lebih penting daripada pulang, fokuslah berlatih!"
Setelah itu, Zhou Jianliang buru-buru menutup telepon – rasa sakitnya sudah hampir tak tertahan.
Zhou Yi memegang receiver yang sudah senyap, heran mengapa ayahnya kali ini begitu cepat menutup telepon...
……
Malam harinya, Kottane juga datang. Sebagai kakak perempuan, ia menghadiri makan malam keluarga untuk merayakan adik laki-lakinya yang menandatangani kontrak profesional.
"Sebenarnya bagi Kottane, ini bisa disebut sebagai sebuah kekalahan baginya."
"Karena selama ini dia tidak pernah menganggap adik laki-lakinya memiliki kemampuan untuk menjadi pemain profesional. Dia selalu merasa bakat adiknya dalam bermain sepak bola biasa-biasa saja."
"Tak disangka adiknya benar-benar berhasil menjadi pemain profesional."
"Dia melirik Zhou Yi dengan matanya."
"Semua kejadian ini baru terjadi setelah anak ini datang ke rumah mereka."
"Kalau dipikir-pikir, dalam delapan bulan dia di sini, keluarga ini benar-benar mengalami banyak perubahan..."
"Zhou Yi yang sedang makan menangkap pandangan seseorang yang menatapnya, lalu mengalihkan pandangan dan melihat Cortana."
"Apa aku tampan?" tanyanya.
"Gila." Kottane menggelengkan kepala.
"Zhou Yi menyeringai padanya, lalu kembali menunduk melanjutkan makannya."
"Hei Zhou Yi, kau hari ini kok pendiam sekali." Markus yang sudah minum bir terlihat bersemangat. Dia memeluk bahu Zhou Yi sambil berkata dengan bau alkohol dari mulutnya.
"Nyonya Wagner juga menyambung, "Benar kata Markus, Zhou Yi. Hari ini kau memang terlihat pendiam. Padahal hari ini hari yang istimewa!""
"Mendengar ini, Zhou Yi meletakkan pisau dan garpu, menyeka mulutnya dengan serbet, lalu menatap semua orang."
""Maaf Nyonya Wagner... Sebenarnya aku bingung bagaimana cara mengucapkan selamat tinggal pada kalian...""
"Ucapan Zhou Yi membuat semua orang tertegun."
""Selamat... tinggal?" Nyonya Wagner balik bertanya dengan terkejut."
“Benar, sesuai ketentuan klub, saya hanya bisa tinggal di rumah kalian sampai musim ini berakhir. Jadi awal musim depan saya harus pindah dan mencari tempat tinggal lain…” ujar Zhou Yi.
Informasi ini disampaikan Lars Ricken kepadanya sore tadi di kantor Kepala Pelatih Akademi.
Dijelaskan bahwa pemain tim muda yang tinggal di rumah pendukung tidak boleh berlama-lama, umumnya satu musim adalah batas maksimal. Setelah masa itu habis, mereka harus pindah - entah mencari keluarga pendukung lain yang bersedia menerima (khusus pemain asing tim muda yang masih di bawah umur), atau tinggal mandiri (untuk pemain berusia lebih tua seperti Zhou Yi).
Kebijakan ini dibuat untuk mencegah gangguan berkelanjutan terhadap kehidupan normal keluarga pendukung. Kehadiran orang asing di rumah mereka murni didasari cinta dan antusiasme terhadap klub, namun klub tidak boleh membiarkan hal ini menjadi beban bagi keluarga tersebut.
Di sisi lain, klub ingin melatih kemandirian pemain. Kemampuan mengelola kehidupan mandiri sangat penting di masyarakat, baik bagi pemain profesional maupun profesi lain. Klub Eropa sangat memperhatikan kemampuan manajemen diri pemain. Pemain yang tidak bisa mengurus diri sendiri, meski berbakat, umumnya sulit meraih kesuksesan di dunia sepakbola profesional.
Karena itu pemain yang sudah mencapai usia tertentu wajib hidup mandiri.
"Dan pemain sendiri juga sering lebih suka hidup sendiri daripada tinggal di rumah orang lain dalam jangka panjang. Karena setidaknya... mengajak beberapa cewek ke rumah untuk main game jadi tidak nyaman..."
"Ah... Jadi sudah satu musim..." Nyonya Wagner juga tersadar. Dia tentu tahu aturan ini, tapi tinggal bersama Zhou Yi membuatnya sangat bahagia, sama sekali tidak merasakan ketidaknyamanan hidup bersama orang asing dengan kebiasaan berbeda. Tanpa disadari, pikirannya otomatis memfilter aturan ini.
"Tapi kamu baru datang ke rumah kami akhir November tahun lalu..." Markus teringat. Klub memang punya aturan seperti itu, tapi dia enggan melepas Zhou Yi pergi, masih ingin mencari-cari celah aturan.
Zhou Yi menoleh ke Markus sambil tersenyum: "Sebenarnya aku juga enggan berpisah denganmu..."
Mendengar ini, Markus mengerutkan wajah hampir menangis. Tapi Zhou Yi segera melanjutkan: "...dengan konsol game-mu, Markus."
"Hah?" Markus menatap Zhou Yi dengan wajah bengong.
"Dor!" Kottane yang sedang bersantai siap menyaksikan adegan mengharukan itu tiba-tiba menyemburkan anggur yang baru saja diminumnya.
Pandangan semua orang langsung tertuju padanya. Kottane dengan perasaan canggung dan sedikit kesal melototi Zhou Yi, buru-buru mengelap tumpahan anggur di meja dengan serbet sambil terus-terusan batuk - anggur tadi masuk ke tenggorokannya.
Mark menoleh melihat kekonyolan kakaknya, tidak menunjukkan keheranan atau ketertarikan pada kelakukan tidak biasanya yang memalukan itu, lalu kembali memandang Zhou Yi sambil berteriak, "Kamu tidak peduli dengan persahabatan kita?!"
"Apa maksudmu? Bukankah konsol game itu bukti terbaik persahabatan kita? Ini gaya bahasa, kamu paham tidak, Mark? Ini namanya 'melihat benda lalu teringat orang', setiap kali lihat konsol game itu, aku langsung teringat kamu..."
Ucapan Zhou Yi ini membuat Mark merasa sedikit terhibur. Ia menyunggingkan senyum lebar.
"...skill gamingmu yang payah itu." Zhou Yi menyelesaikan kalimatnya.
"Ha?" Mark tertegun sejenak sebelum tersadar dan mencekik leher Zhou Yi, "Aaaaa! Kamu mati, Zhou Yi!! Main-main sama aku!"
Zhou Yi yang dicekik langsung menyerah dengan mengangkat tangan, matanya melotot sambil teriak, "Ampun ampun ampun!!"
"Mark, cukup!" Nyonya Wagner khawatir Zhou Yi sampai celaka, buru-buru menghentikan anaknya. "Kamu menyakiti Zhou Yi!"
"Bu, sebenarnya aku atau Zhou Yi yang anak kandungmu?" Mark merengek dengan wajah kesal.
"Jangan ngomong sembarangan!" Nyonya Wagner melototi Mark, "Zhou Yi bukan anakku tapi lebih dari anakku sendiri!"
"Aaaah! Zhou Yi, kau merampas kasih sayang ibuku!" Mark kembali berteriak.
Zhou Yi memutar matanya sambil mengeluarkan dua gelembung ludah: "Salah aku, ya?"
"Sudah, Mark, berhenti! Lihat, Zhou Yi sampai mengeluarkan busa!" Nyonya Wagner panik.
Saat itu, ruang makan keluarga Wagner menjadi ramai seperti belum pernah terjadi sebelumnya...
……
Zhou Yi memapah Mark sampai depan kamarnya lalu bertanya: "Mark, mau main satu ronde?"
Dia menyentakkan mulutnya ke arah konsol game.
"Aku mabuk, Zhou Yi..." Mark menggeleng pelan, ucapannya mulai tidak jelas.
"Aku tahu, Mark." Zhou Yi mengangguk, "Makanya harus main satu ronde, biar kuhajar cara jadi manusia!"
Mark melototi Zhou Yi: "Manfaatkan kelemahan orang, kemenangan tidak terhormat!"
"Ini namanya strategi, paham tidak Mark? Ah, aku tahu istilah ini terlalu sulit buatmu... Intinya, taktik itu menggunakan kelebihan sendiri untuk menyerang kelemahan lawan. Buat apa aku bentrok langsung kalau bisa mengalahkanmu dengan mudah?" Zhou Yi berkata dengan wajah serius.
Mark tertawa terkekeh: "Iya nih, Zhou Yi, kamu memang selalu begitu. Di lapangan, kamu selalu lari ke ruang kosong yang tidak diperhatikan siapa pun untuk menerima bola, licik sekali..."
"Kamu sok aja nggak bisa." Zhou Yi melirik Mark.
"Beda, beda..." Mark menggelepar lemah. "Aku sendiri nggak tahu bagaimana melakukannya, tapi kamu tahu caramu. Zhou Yi, caramu bisa direplikasi berkali-kali, tapi aku... Aku nggak tahu kapan akan gagal, rasanya seperti kebetulan beruntung tiap kali..."
"Mark, keberuntungan juga bagian dari kemampuan, bukan?"
"Iya iya, ayam buta pun bisa mematuk beras." Mark mengangguk cepat. "Tapi aku tetap kagum sama kamu, Zhou Yi. Kamu orang paling hebat yang pernah kulihat, lebih hebat dari Mario. Tetap jago ya musim depan di tim utama!"
Zhou Yi membeku.
Melihat ekspresi terkejut Zhou Yi, Mark tersenyum puas: "Nggak nyangka kan? Hehehe! Jangan anggap aku bodoh! Kenapa Herr Ricken menyisihkan kamu sendiri? Pasti bukan cuma ngomongin peraturan asrama. Performamu di tim muda bagus banget, mana mungkin tetap di sini? Kalau aku jadi Herr Ricken, aku juga akan mempromosikanmu. Tinggal di sini cuma buang-buang waktu buatmu, Zhou Yi. Levelmu sudah jauh di atas tim muda!"
……
“Kottane membawa buku naik dari lantai bawah, tepat saat dia berbelok di sudut tangga, dia mendengar suara adik laki-lakinya di lantai atas.”
“Maka dia berhenti melangkah, tidak melanjutkan naik, tapi diam berdiri di sudut tangga, bersandar di dinding, terus membaca bukunya.”
……
“Pergi ke tim utama dan buat para bintang tim utama tercengang!” Mark menepuk bahu Zhou Yi yang membeku sambil berseru. “Aku percaya padamu, Zhou Yi! Kau pasti bisa!”
“Hari ini kau minum berapa botol, Mark?” Zhou Yi bertanya.
“Saat ini aku sangat sadar.” Mark menggeleng-gelengkan kepala. “Apa kau merasa tidak sanggup?”
“Mark, tahukah kau mengapa aku suka berteman denganmu?” Zhou Yi bertanya.
“Ha?”
“Aku suka caramu menilai orang!” Zhou Yi mendongakkan kepala. “Jelas, aku pasti akan membuat mereka tercengang!”
Mark tertawa terbahak-bahak, tertawa sampai hampir tidak bisa berdiri. Kedua tangannya menekan bahu Zhou Yi, kepalanya menunduk menyentuh dada Zhou Yi, badannya berguncang-guncang karena tertawa.
“Kenapa? Apa lucu?” Zhou Yi heran.
“Tidak, tidak…” Mark merapikan postur tubuhnya, kedua tangan menggenggam bahu Zhou Yi sambil menatapnya, “Semangat, Zhou Yi, semangat! Dan aku, Zhou Yi, aku juga akan terus berusaha keras di tim muda. Senang bisa mengenalmu, tapi selama bersamamu aku sepertinya selalu ingin bergantung padamu. Setiap masalah selalu berharap kau membantuku menyelesaikannya, bahkan di lapangan pun selalu mengandalkan assist-mu untuk mencetak gol. Kurasa, jika tidak ada aku, mungkin kau akan lebih cepat dipromosikan ke tim utama kan?”
“Tidak ada hal seperti itu, kau terlalu banyak berpikir, Mark.” Zhou Yi menggelengkan kepala. “Kondisi fisikku juga belum memenuhi standar.”
“Tidak, Zhou Yi. Jika tidak ada aku, kau bisa menggunakan lebih banyak waktu untuk meningkatkan kondisi fisikmu, daripada menemani latihan tembakanku yang terus-menerus...”
“Itu juga bentuk latihan khusus untuk operanku.” Zhou Yi menjelaskan.
“Aku tahu aku tahu, Zhou Yi. Tapi aku tidak bisa selalu bergantung padamu, benar kan? Aku tidak boleh terus menjadi bebanmu, menghambat langkahmu. Mimpiku adalah mimpiku, dan kau juga punya mimpimu sendiri. Untuk mewujudkan mimpiku, harus dengan usahaku sendiri, bukan orang lain. Jadi aku akan berlatih serius di tim muda, berusaha meningkatkan kemampuan diri. Aku akan belajar menjadi pemain profesional yang kompeten tanpa bergantung pada siapa pun. Nanti, aku akan masuk ke tim utama dengan cara yang terhormat, mengandalkan kemampuanku sendiri, bukan assist-mu!”
Zhou Yi menatap mata Mark yang sangat dekat di depannya. Entah karena efek alkohol atau tidak, hari ini mata Mark terlihat berkilauan luar biasa.
“Aku percaya padamu, Mark.” katanya.
……
Kottane menutup buku, menaiki tangga, dan muncul di hadapan mereka.
“Selanjutnya kalian mau berpelukan dan berciuman?” dia memiringkan kepala melihat dua sahabatnya.
Keduanya kaget dengan kehadiran tak diundang ini. Mark refleks melepas bahu Zhou Yi yang langsung mundur selangkah, lalu mereka serentak menoleh ke Kottane.
“Kau menguping privasiku, kakak!” protes Mark.
“Cih!” Kottane mendengus, “Siapa mau dengar obrolan kekanak-kanakan kalian? Benar-benar anak kecil. Mimpi-mimpianmu, mimpiku...”
Dia menggigil palsu, lalu melangkah menerobos di antara mereka.
Saat melewati Zhou Yi, tiba-tiba dia bertanya: “Lalu kau punya mimpi juga tidak, Kak?”
Kottane mengangkat tangan: “Maaf, aku orang dewasa yang matang. Mimpi itu cuma khayalan masa kecil yang mustahil terwujud.”
Usai bicara, dia langsung menuju pintu kamarnya dan memegang gagang pintu.
“Bagaimana kalau ternyata bisa terwujud?” Zhou Yi menoleh menyergah.
Tangannya terhenti sesaat.
Zhou Yi tersenyum: “Lihatlah aku. Waktu masih sekolah, tak pernah terbayang jadi pemain profesional. Baru belakangan punya mimpi ini. Sekarang aku pemain profesional, mimpiku tercapai.”
“Itu cuma kontrak profesional biasa,” Kottane mendengus.
"Benar, tapi itu juga kontrak profesional. Sekarang aku juga pemain profesional, kan? Aku sudah mewujudkan mimpiku, benar?"
"Iya iya, kau sudah capai mimpi. Lalu? Terus mau apa lagi?" Kottane menyeringai.
"Lalu aku punya mimpi baru. Aku ingin masuk ke jajaran pemain profesional terbaik di dunia," kata Zhou Yi. "Menjadi salah satu yang terbaik."
"Besar juga mulutmu."
"Tentu. Harus punya ambisi dong? Bagaimana jika tercapai?"
Kottane memandang Zhou Yi. Di wajahnya tersungging senyum yang sulit dibedakan antara tulus atau sinis. Ucapannya pun samar antara serius atau omong kosong.
"Semangat terus, anak kecil." Ia melambaikan tangan. "Selamat malam."
Dia memutar gagang pintu, masuk, lalu menutupnya dengan suara klik terkunci.
Zhou Yi menarik pandangannya dan menatap Markus yang berdiri di seberang.
Selama debat panas mereka tadi, Markus yang biasanya cerewet sama sekali tak bisa menyela.
"Selamat malam, Mark." Zhou Yi berpamitan dan masuk ke kamarnya sendiri, mengunci pintu.
Di koridor tinggal Markus sendirian. Ia berdiri di depan kamarnya bergumam: "Bagaimana jika tercapai..."
Buku Ketiga
