Setelah mengantar kepergian Bruno dan cucunya, Zhou Yi juga berniat pulang.
Tapi tepat saat itu, tiba-tiba seseorang menghampirinya.
"Halo..."
Bersamaan itu, ia menyodorkan selembar kertas.
Zhou Yi melihat seseorang mengulurkan sesuatu, refleks menerimanya sambil mengeluarkan pulpen. Setelah menerima, baru sadar itu kartu nama. Kebanyakan suporter yang minta tanda tangan pemain biasanya memberikan kartu pemain, poster, atau jersey. Jarang yang memberikan barang aneh-aneh karena dianggap tidak menghormati pemain.
Tapi Zhou Yi tidak mempermasalahkan ini. Bagi seorang pemuda tak dikenal yang bahkan belum pernah tampil di tim utama, ada yang meminta tanda tangan alih-alih mencoba memukulinya sudah membuatnya senang.
Jadi dia membalik kartu nama itu dan dengan mahir menuliskan namanya di bagian belakang.
Lalu mengembalikannya ke orang itu.
Tapi orang yang mengulurkan kartu nama malah tidak segera menerima, tertegun. Dia tidak menyangka Zhou Yi justru memberi tanda tangan di kartu namanya... Padahal dia bukan datang untuk minta tanda tangan!
Zhou Yi mengangkat kepala dan melihat ekspresi terkejut di wajah lawan bicaranya.
"Ada apa?" tanya Zhou Yi heran pada pria muda berjas dasi yang terlihat seperti karyawan kantoran ini.
"Eh, bukan..." Orang itu buru-buru menerima kartu nama yang dikembalikan Zhou Yi, tapi sekaligus mengeluarkan kartu nama baru lagi dan mengulurkannya kembali.
"Minta tanda tangan lagi?" Zhou Yi semakin bingung. Apa masalah orang ini? Kenapa minta tanda tangan di kartu nama sekecil itu? Untung namanya cuma dua karakter. Kalau namanya panjang seperti "Roti Ikan Sturgeon Orleans", mana mungkin muat?
"Bukan, bukan." Pria itu menunjuk tulisan di bagian depan kartu nama. "Sebenarnya saya seorang agen..."
Zhou Yi mengambil kartu nama itu dan melihat sendiri. Benar juga.
Tertulis "Agen perusahaan Sports_Total Tino Schulze".
"Begini, saya dengar kamu belum punya agen sampai sekarang, jadi saya ingin merekomendasikan diri saya dan perusahaan kami." Schulze mulai membujuk Zhou Yi di pinggir jalan.
Masalah agen memang belum terpikir oleh Zhou Yi belakangan ini. Pikirannya penuh dengan latihan keras dan ingin segera mendapat kesempatan bermain. Mengenai agen... rasanya masih sangat jauh darinya.
Tapi ketika Schulze berdiri di hadapannya, barulah dia sadar bahwa sebagai pemain profesional, dia memang membutuhkan seorang agen.
Kontrak profesional pertamanya dengan Borussia Dortmund ditandatangani sendiri tanpa negosiasi atau revisi. Dia hanya membaca sekilas lalu menandatangani. Saat itu hanya semangat menjadi pemain profesional, sekarang baru sadar betapa tidak profesionalnya...
Tapi untuk langsung memikirkan masalah agen sekarang, Zhou Yi rasa belum perlu. Lagipula kontrak sudah ditandatangani, yang penting sekarang bermain di pertandingan.
Lalu dia melambaikan tangan ke Schulze: "Maaf, saya memang butuh agen. Tapi sekarang saya harus pulang makan..."
"Bagaimana kalau saya yang traktir?" Belum selesai Zhou Yi bicara, orang itu sudah antusias menawarkan.
Zhou Yi agak kewalahan dengan kehangatan orang Jerman ini. Selama di Jerman, dia perhatikan kecuali orang yang sudah kenal lama, orang asing biasanya tidak terlalu ramah. Mereka sopan tapi kesopanan itu terasa seperti terhalang kaca.
"Orang Jerman yang baru bertemu sekali, waktu pertemuan tidak lebih dari lima menit, lalu langsung antusias mengajakmu makan… Sebelumnya, Zhou Yi hanya pernah bertemu satu orang seperti ini, Markus Wagner."
"Uh… tidak perlu." Tubuh Zhou Yi merosot ke belakang, takut orang itu akan memakannya, sambil melambaikan tangan. "Di rumah sudah ada yang menyiapkan makan…"
Setelah mengucapkan alasan ini, dia langsung merasa alasan ini benar-benar kacau! Gue kan jomblo, mana ada orang di rumah yang sudah menyiapkan makanan panas dan harum menunggu? Lagi pula ini bukan di dalam negeri!
Tapi begitu Schultze mendengar perkataan Zhou Yi, dia langsung bingung bagaimana melanjutkan bujukan. Apa harus bilang "Lupakan orang rumah, makan bareng aku"?
Itu jelas terlihat tidak sopan…
Melihat Schultze diam, Zhou Yi melambaikan tangan untuk berpamitan.
Tapi baru beberapa langkah, Schultze kembali mengejarnya.
"Kalau… bisakah kamu kasih nomor teleponmu? Biar mudah menghubungimu…"
"Maaf, aku tidak biasa sembarangan kasih nomor telepon." Zhou Yi menolak sambil mengangkat kartu nama di tangannya. "Lagipula di sini ada nomormu. Jika perlu, aku akan menghubungimu."
Setelah berkata demikian, dia berbalik dan lari menjauh.
Schultze memandang punggung Zhou Yi yang pergi, kali ini akhirnya tidak mengejar lagi.
……
"Hai Tino, bagaimana hasil hari ini?" Saat Schulze sedang minum di Bar, seorang pria paruh baya berbaju jas datang duduk di sebelahnya, menepuk bahunya dan bertanya, lalu memesan segelas bir kepada pelayan.
"Lumayan, Okta." Schulze mengangkat gelasnya ke arah pria itu, "Aku berhasil memberikan satu kartu nama!"
Okta Serkan yang duduk di sebelahnya menutupi wajah dengan tangan: "Aku benar-benar kagum padamu, Dino. Seharian baru bisa bagi satu kartu nama... Ini disebut 'lumayan'?"
"Tapi dibandingkan tidak bisa membagikan sama sekali, bisa berhasil satu kartu memang termasuk 'lumayan'." Schulze menjawab dengan serius.
Serkan menghela nafas: "Jadi kamu mengajakku merayakan hanya karena berhasil membagikan satu kartu nama?"
Schulze menggaruk kepala sambil tersenyum kecut.
"Baiklah, siapa orang sial yang menerima kartu namamu?" Sambil bicara, bir pesanan Serkan telah diantar pelayan. Ia meneguk lalu bertanya.
"Zhou Yi dari Borussia Dortmund. Pemain asal China..."
Schulze belum selesai menjelaskan, Serkan langsung berseru: "Pesulap itu ya."
"Kamu juga tahu julukannya?" Schulze tersenyum gembira.
"Siapa yang tidak tahu? Julukan inilah yang paling terkenal dari pemain muda itu. Bahkan mungkin lebih dikenal daripada namanya sendiri. Sepertinya dia belum pernah bermain di tim utama Dortmund ya?"
"Hmm, belum." Schulze mengangguk.
"Benar juga, kalau dia sudah punya catatan main di tim utama, mungkin tidak akan mau menerima kartu nama orang tak terkenal sepertimu, ha!" Serkan menggoda rekan sekaligus sahabatnya.
"Makanya aku harus cepat-cepat!" kata Schulze sambil mengepal tangan penuh semangat. "Berusaha menandatanganinya sebelum dia terkenal karena penampilannya!"
"Tidak mudah. Meski belum pernah main, pemain ini dulu di tim muda adalah pilar utama yang bermain bersama Götze. Potensinya ada, kalau tidak Klopp tidak akan memanggil dia dan Götze ke tim utama..." Serkan yang lebih berpengalaman sebagai agen terbukti menguasai data pemain tim lokal Ruhr, bahkan tentang Zhou Yi yang masih asing pun bisa menjelaskan detail.
"Dan yang terpenting, dia pemain China. Kau tahu artinya ini, Tino?"
"Pasar China yang luas dan berpotensi besar." Schulze juga tidak bodoh.
"Tepat. Kecuali dia gagal membuktikan diri di tim utama, sekali dia sukses, para agen lain akan berkerumun seperti hiu yang mencium darah. Termasuk agen ternama. Dengan apa kau akan bersaing?"
"Makanya aku bilang harus segera dikontrak."
"Bagaimana rencanamu meyakinkannya?"
"Dengan ketulusan dan semangatku!"
"Artinya kau tidak punya strategi ya?"
"Hah..." Schulze juga mengerutkan kening dan menghela napas. Memang benar, sebagai seorang agen yang baru mulai, dia tidak memiliki kasus sukses untuk membuktikan kemampuannya pada Zhou Yi.
Melihat temannya histeris seperti itu, Selkan menasihati: "Sebenarnya aku selalu menyarankanmu untuk tidak langsung menargetkan level tertinggi. Kamu harusnya berkembang di liga dua, memanfaatkan keunggulan perusahaan kita, mungkin masih ada harapan. Aku tahu kamu ingin belajar metode Herr Struth yang mengunjungi pemain muda berbakat satu per satu, tapi pikirkan jarak antara kamu dan Herr Struth – bahkan sebelum itu dia sudah menjadi agen sukses. Kamu? Baru saja dapat lisensi agen FIFA. Lebih realistis itu baik untukmu."
Schulze terdiam setelah mendengar perkataan Selkan.
Dia menjadi agen dengan harapan bisa menjadi seperti Mendes yang berkuasa, bisa masuk ke kantor ketua klub elite, rumah pribadi pemain top dunia, bahkan mampu mempengaruhi peta sepakbola Eropa.
Tapi sekarang jelas, idealisme terlalu muluk sementara realita sangat keras.
“Zhou Yi bagaimanapun adalah pemain tim utama Borussia Dortmund. Di zaman sekarang, pemuda yang punya sedikit potensi saja sudah hampir habis dibagi. Zhou Yi meski belum, tapi sebentar lagi. Alasan belum ada yang merekrutnya mungkin karena dia belum bermain di tim utama, semua ingin mengamati dulu. Kau ingin memanfaatkan selisih waktu ini, tapi si pemain sendiri belum tentu mau menyerahkan masa depannya ke tangan orang baru tanpa pengalaman sepertimu.” Melihat Schulze diam, Selkan memutuskan untuk memanfaatkan momentum.
Setelah Selkan selesai berbicara, Schulze mengangkat gelasnya dan menuangkan sisa bir ke kerongkongannya sekali teguk. Sebagian cairan meluber dari mulutnya, mengalir ke bawah sudut bibir.
Usai minum, Schulze menghantamkan gelasnya ke meja bar dengan keras, membuat orang-orang di sekitarnya menoleh.
"Bagus!" kata Schulze.
“Kau memutuskan untuk ke liga level bawah?” tanya Selkan.
“Tidak!”
Jawaban Schulze membuat Selkan terkejut: “Lalu 'bagus' apanya?!”
“Maksudku bagus, aku akan berusaha maksimal untuk merekrut Zhou Yi!”
“Apa penjelasanku sia-sia? Masih belum mengerti juga, Tino?”
“Aku tahu, Oktay, aku tahu niat baikmu. Tapi... Zhou Yi satu-satunya yang menerima kartu namaku dan tidak langsung membuangnya. Aku benar-benar tidak rela menyerah begitu saja. Ingin kucoba lagi, kalau sudah berusaha maksimal tetap gagal, baru aku bisa menerima, setidaknya pergi tanpa penyesalan.”
"Wajah Schulze memerah saat berbicara pada Selcan, entah karena minuman keras yang diminumnya tadi terlalu kuat, atau memang wajahnya yang mudah memerah."
Melihat sahabatnya seperti itu, Selcan menggelengkan kepala: "Lalu apa lagi yang bisa kukatakan? Hanya bisa kujanjikan - Semoga beruntung, Tino."
"Terima kasih, Okata. Aku benar-benar membutuhkan keberuntungan!"
