Senin pagi, Jalan Qingyang sebagai arteri utama utara-selatan Kota Qingyang kembali macet parah. Jalur kendaraan bermotor nyaris tak bergerak, bahkan jalur kendaraan non-bermotor dipenuhi aliran sepeda motor bagai air bah yang terlihat cukup spektakuler.
Meski kini menekankan keunikan individu, bahwa setiap pribadi itu istimewa. Tapi ketika seseorang yang unik menyatu dalam arus seperti ini, ia pun tampak seperti anggota biasa saja.
Zhou Jianliang hanyalah salah satu anggota biasa di antara mereka.
Mengendarai sepeda motor listriknya, ia bercampur di antara ribuan kendaraan serupa menuju tempat kerjanya. Di sebuah persimpangan, alih-alih melanjutkan perjalanan, ia belok kanan. Ini bukan lokasi kantornya, namun terdapat kios koran di sini.
Ia berhenti di samping kios koran, satu kaki menapak tanah sedangkan kaki lainnya masih di pedal motor. Menoleh dan menjulurkan kepala, ia bertanya pada pemilik kios: "Edisi terbaru ‘Surat Kabar Olahraga’ sudah sampai?"
"Sudah, baru datang." Sang pemilik berdiri dan mengambil satu eksemplar untuk Zhou Jianliang.
Zhou Jianliang menerima koran itu. Sebelum sempat membuka, foto putranya sudah terlihat mencolok di halaman depan.
《Debut Sempurna Zhou Yi di Bundesliga!》
Zhou Jianliang bertanya: "Bos, ini masih ada berapa eksemplar?"
"Saya hanya pesan tiga puluh eksemplar..."
"Saya ambil semua!" kata Zhou Jianliang.
"Semua?" Orang itu terkejut. "Tiga puluh eksemplar, bisa habis dibaca sendirian?"
"Iya, saya belikan untuk orang lain." Jawab Zhou Jianliang.
Pemilik kios tidak menolak transaksi semacam ini. Bagaimanapun juga, menjual ke satu orang atau tiga puluh orang tetap sama saja.
Ia kemudian mengangkat tumpukan koran yang masih terikat tali ke pedal motor Zhou Jianliang.
Setelah membayar, Zhou Jianliang membawa tumpukan koran itu kembali ke jalan raya menuju kantornya.
Sesampai di kantor, ia memarkir motornya dengan rapi di tempat parkir, lalu membawa setumpuk koran tebal masuk ke gedung.
Di dalam gedung, ia bertemu dengan kenalan.
“Yo, Lao Zhou, kau pindah haluan jual koran ya?” rekan sekerja bercanda pada Zhou Jianliang.
Zhou Jianliang tersenyum lebar sambil mengeluarkan satu eksemplar dari tumpukan koran dan menyodorkannya: "Iya, ganti profesi. Tapi bukan jual, bagi gratis! Ini, ambil satu buat dibaca!"
"Ini apa..." Orang itu menerimanya dan langsung melihat dua karakter besar "Zhou Yi" tercetak tebal.
"Anakmu?!" Ia terkejut menatap Zhou Jianliang.
"Iya, iya! Akhirnya ada prestasinya juga, haha!" Zhou Jianliang tertawa sambil terus berjalan masuk sambil membawa 29 eksemplar koran tersisa.
Di dalam kantor, Zhou Jianliang membagikan koran layaknya membagikan permen pernikahan. Awalnya semua orang bingung - kenapa Lao Zhou hari ini jadi 'tukang koran'?
Tapi begitu melihat tulisan "Zhou Yi" di halaman depan, mereka langsung paham.
Segera berdatangan ucapan selamat untuk Zhou Jianliang yang punya anak berprestasi.
Bahkan kepala departemen mereka ikut keluar mengucapkan selamat atas anak hebatnya.
Mendengar semua pujian itu, wajah Zhou Jianliang berseri-seri bagai bunga mekar.
Selama puluhan tahun jadi pegawai rendah hati yang tekun, ini pertama kalinya ia merasakan sorotan seperti ini...
Dulu saat mengajukan cuti untuk antar anak ke Beijing ikut final audisi, banyak yang berbisik-bisik sinis di kantor.
Kini mereka yang dulu menggunjing itu pun ikut mengantri memberi selamat.
Melihat mereka, Zhou Jianliang merasa sangat puas.
……
PT Dianfeng Qingyang sebelumnya adalah Pabrik Peralatan Gas Dianfeng Kota Qingyang. Setelah restrukturisasi, perusahaan ini berubah menjadi perseroan terbatas saham, namun tetap merupakan perusahaan milik negara. Utamanya memproduksi berbagai kompor gas dan pemanas air.
Di Kota Qingyang, karena bekerja sama dengan Perusahaan Gas Qingyang, merek ini cukup terkenal dengan pangsa pasar yang relatif tinggi. Namun di luar Qingyang, produknya kurang laris. Meski masih punya pengaruh di tingkat provinsi, di pasar nasional China, Dianfeng hanyalah pemain kecil.
Ibu Zhou Yi, Li Cuiyun, bekerja di departemen administrasi Dianfeng. Tugasnya bukan di produksi atau penjualan, melainkan di administrasi kantor.
Sekilas pekerjaannya santai, namun gajinya tidak tinggi. Bagian penjualan dapat komisi, pekerja produksi juga bergaji lumayan. Kelebihan utama pekerjaan administratif kantoran adalah waktu luangnya yang banyak.
Kantor ini didominasi wanita. Di departemen Li Cuiyun, hanya ada satu pria tua yang menunggu masa pensiun. Selebihnya adalah perempuan paruh baya. Kaum muda, baik pria maupun wanita, tidak ada yang mau bekerja di kantor tanpa harapan, beraura muram ini.
Kumpulan perempuan tua ini lebih sering mengobrol daripada bekerja.
Gosip seputar tetangga, seperti "kemarin rumah tetanggaku ada suara aneh", langsung memicu tawa nakal penuh makna dari para ibu-ibu berpengalaman ini.
Para pemimpin juga menjadi objek gosip mereka. Misalnya, wakil manajer di perusahaan induk yang ketahuan selingkuh dengan bawahan perempuan di ranjang, gosip semacam ini paling populer. Si penyebar gosip akan bercerita dengan semangat, ekspresi hidup, dan bahasa tubuh yang dramatis, seolah-olah mereka menyaksikan langsung adegan mesum itu, sangat membumi.
Selain itu, mereka mendiskusikan sinetron yang sedang trending. Drama konflik ibu mertua dan menantu selalu mendapat resonansi. Dari sinetron itu, obrolan beralih ke "teman saya yang mau cerai karena bertengkar dengan menantunya" atau "keponakan jauh saya yang dihasut istrinya untuk mengusir orang tua". Semua yang mendengar ikut geram, mengeluh "zaman sudah bobrok", "moral merosot", "pemuda sekarang ini, aduh", "zaman kita dulu lebih baik".
Di tengah hiruk-pikuk gosip ini, sulit menemukan sosok Li Cuiyun.
Jika ditanya siapa di kantor ini yang benar-benar serius bekerja, pastilah Li Cuiyun.
Setiap kali para ibu-ibu sedang asyik bergosip, Li Cuiyun tidak pernah ikut serta. Ia tetap menunduk mengerjakan tugas di mejanya.
Bahkan kakek yang menunggu pensiun pun kadang ikut nimbrung dalam obrolan para ibu-ibu ini. Padahal usia Li Cuiyun hampir sebaya dengan mereka, hanya sedikit lebih muda, tapi tak pernah sekalipun terlibat.
Bukan karena dia tidak suka dengan orang-orang ini, hanya saja karakter Li Cuiyun bukan tipe wanita yang cerewet. Dirinya sendiri memang tidak tertarik dengan gosip semacam ini.
Jika ada yang bertanya padanya, dia akan menjawab beberapa kalimat, tapi tidak akan melanjutkan. Sifat dingin dan tidak sosial ini tentu menimbulkan ketidakpuasan beberapa orang di kantor. Di belakang, ada yang menyebutnya sok suci, namun Li Cuiyun tidak peduli dengan penilaian orang lain tentang dirinya.
Dia tetap menjalani hidup sesuai caranya sendiri.
Senin adalah puncak gosip di kantor. Para ibu-ibu yang sudah menumpuk gosip selama dua hari akhirnya tidak bisa menahan diri lagi.
Prosedur umumnya adalah: begitu seseorang masuk kantor, menutup pintu, melihat ke kiri-kanan, lalu mulai berbicara dengan nada misterius ke semua orang di ruangan, "Hei, kalian dengar belum?"
Pasti akan ada yang menyahut, "Dengar apa?"
Kemudian, pertemuan gosip pun dimulai...
Hari ini, gosip dimulai dari pernikahan anak paman ketiga tetangga Kang Erjie, lalu beralih ke topik generasi muda.
"Anak Mbak Wang memang hebat! Lulusan universitas ternama, sekarang kerja di perusahaan besar di Shanghai, gajinya 20 ribu sebulan!" Kata Kang Erjie kepada wanita beruban di kantor. Wanita ini adalah yang paling senior, usianya hanya lebih muda dari pria yang akan segera pensiun.
Kak Wang yang dipuji tidak bisa menyembunyikan ekspresi bangga di wajahnya, tapi tetap harus merendah: "Ah, ada apa bagusnya Shanghai? Jauh dari rumah, setahun sekali baru pulang. Putri kalian lebih berbakti, menikah dengan suami baik, punya perusahaan lho!"
Kak Kang juga terlihat senang, tapi ikut merendah dengan pura-pura: "Tidak sebagus yang Kak Wang katakan. Sekarang jadi pengusaha juga susah... Ngomong-ngomong, Xiao Zhang, putrimu nilai ujian kuliahnya bagus ya?"
Pembicaraan pun beralih dengan lancar ke orang lain.
Wanita yang sedikit lebih muda dari keduanya, terlihat seusia Li Cuiyun, tersenyum lebar: "Biasa saja, cuma masuk Universitas Xichuan..." Senyumnya bertolak belakang dengan ucapannya, mungkin inilah "sikap rendah hati ala China".
Li Cuiyun tidak ikut berbicara, tapi semua ucapan mereka didengarnya.
Terutama saat Kak Zhang bilang putrinya masuk Xichuan.
Dia teringat putranya Zhou Yi. Kalau tidak pergi main bola, mungkin sudah ikut Ujian Nasional dan masuk universitas. Dengan nilai biasa-biasa saja, jangan harap Tsinghua-Peking University, masuk 211 pun mungkin sulit.
Mikir begitu, mungkin lebih baik dia main bola saja?
Tapi di hati Li Cuiyun masih ada sedikit penyesalan. Ia berharap anaknya bisa masuk universitas bagus, menuntut ilmu dengan hasil, kelak lebih berprestasi daripada dirinya dan ayahnya. Di masa mudanya ia juga punya ambisi dan mimpi, ingin berprestasi dalam pekerjaan, bahkan pernah meraih karyawan terbaik tahunan di kantor. Tapi dalam proses promosi berikutnya mengalami pukulan berat, sekarang ia hanya menerima status quo, hanya ingin membiayai anaknya dengan damai dan lancar saja.
Maka dia menyerahkan mimpinya untuk menonjol dan harapannya sepenuhnya pada Zhou Yi, berharap ia bisa melampaui guru. Saat kecil, Zhou Yi memang sangat cerdas. Bahkan sebelum masuk sekolah, sudah bisa membaca buku.
Dari SD sampai SMP, prestasi akademiknya juga sangat mencolok. Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa mendesak SMA 1 Qingyang yang merupakan sekolah unggulan nomor satu di kota?
Tapi kemudian, prestasi belajar Zhou Yi mulai merosot. Mungkin karena di SMA 1 Qingyang terlalu banyak pelajar berprestasi, sampai-sampai siswa terbaik dari sekolah lain yang datang ke sini menjadi tidak berarti. Hal ini membuat Zhou Yi kehilangan minat untuk terus belajar.
Mungkin karena terlalu banyak energi yang dicurahkan ke sepak bola, menyebabkan dia tidak punya keinginan untuk belajar...
Sekarang tampaknya, main sepakbola juga bisa dianggap sebagai jalan keluar. Meski tidak bisa kuliah, bahkan ijazah SMA saja tidak dapatkan, tapi sekarang sudah bisa dianggap sukses, kan? Berapa banyak orang di seluruh Tiongkok yang sudah tahu tentang anak mereka sendiri?
Bahkan orang Eropa pun bersorak untuknya.
Saat sedang berpikir, Li Cuiyun disenggol lengannya.
“Ai, Xiao Li, Xiao Li.”
Saat Li Cuiyun sadar kembali, dia melihat wajah Nyonya Kang yang bulat seperti kue bulan.
“Ada keperluan apa, Jie Kang?” tanya Li Cuiyun.
“Bagaimana hasil ujian anakmu? Aku belum pernah dengar cerita tentang anakmu...” tanya Nyonya Kang.
Li Cuiyun baru saja membuka mulut, suaranya belum sempat keluar, terdengar suara Nyonya Zhang di sebelah: “Ah, Jie Kang, kamu tidak tahu? Anak Xiao Li tidak ikut Ujian Nasional?”
“Tidak ikut?” Ekspresi Nyonya Kang berlebihan menunjukkan keterkejutan, “Ini bagaimana ceritanya?”
Li Cuiyun hendak berbicara lagi, tapi kembali didahului Nyonya Zhang: “Beberapa waktu lalu katanya main sepakbola... ke mana ya?” Ia mengerutkan kening berpikir lama, lalu menggeleng, “Tidak ingat.”
“Main bola? Aduh...” Nyonya Kang menghela nafas, “Sekarang di China, main bola ada masa depannya? Aku yang tidak suka bola juga tahu timnas kita payah, bahkan tidak bisa menang melawan negara kecil seperti Korea Jepang! Ah, Xiao Li, kenapa kau biarkan anakmu main bola? Bukankah dia sekolah di SMA 1 Qingyang? Itu kan SMA unggulan!”
Kali ini Li Cuiyun tidak membuka mulut lagi. Dia menunggu orang lain yang akan "menerangkan" untuknya.
“Benar saja, Kak Zhang tidak mengecewakan: ‘Ya, Kak Kang, jangan bicara seperti itu dong. SMA 1 Qingyang juga punya siswa yang pintar dan yang tidak? Tidak semua siswa SMA unggulan bisa masuk universitas bagus. Tapi…’” Di sini dia menghela napas. “Bagaimanapun juga, masuk universitas lebih bisa diandalkan daripada main sepak bola. Zaman sekarang, cari kerja tanpa ijazah kuliah sulit lho, Xiao Li. Kamu sama sekali tidak khawatir?’”
Para ibu-ibu ini, meski mulutnya seolah-olah peduli pada Li Cuiyun, tapi Li Cuiyun bukan orang bodoh. Dia bisa merasakan tusukan halus dalam perkataan mereka.
Putrinya yang berhasil masuk universitas dalam Proyek 211 membuatnya merasa paling unggul di depan orang yang paling dibencinya di kantor.
“Betul, Xiao Li. Kami tahu anakmu suka main bola. Tapi tugas orang tua adalah menyaring hal-hal berbahaya untuk anak. Hobi yang merusak harus diberantas! Apa gunanya main bola? Bisakah dapat uang banyak? Bisakah diakui secara resmi? Kalau begini terus, masa depan anakmu akan hancur...”
Perkataan Jie Kang belum selesai, satu-satunya pria di sudut kantor, Lao Suntou yang berusia 58 tahun tiba-tiba membacakan: "...Dalam pertandingan Bundesliga yang digelar kemarin malam waktu Beijing, pemain asal kota kami Zhou Yi masuk sebagai pemain pengganti dan menyelesaikan debutnya di Bundesliga dengan satu gol dan satu assist... Media Jerman secara konsisten memilih Zhou Yi sebagai pemain terbaik pertandingan. Debut Bundesliga-nya yang sempurna ini diraih meski hanya sebagai pemain cadangan. Media dalam negeri sudah tak sabar menganugerahi Zhou Yi gelar 'Harapan Sepak Bola Tiongkok'..."
Suaranya tiba-tiba meninggi saat membaca bagian ini, kepalanya menengok ke arah Li Cuiyun: "Eh, Xiao Li? Bukankah ini anakmu? Zhou Yi!"
Pertanyaan kerasnya bagai petir di siang bolong mengguncang kantor. Semua orang terdiam, memandangi Lao Suntou.
Jie Zhang paling cepat bereaksi: "Eh, Lao Suntou, jangan asal bicara! Banyak orang yang punya nama sama..."
Lao Suntou malah mengangkat korannya, menunjuk ke artikel: "'Pemain kota kami Zhou Yi', ini koran Qingyang Daily!"
Jika pernyataan sebelumnya bagai petir, kali ini ucapannya seperti bom nuklir...
Bahkan Jie Zhang pun terdiam, tak bisa berkata-kata.
Dalam keheningan itu, Li Cuiyun berkata pelan: "Iya, itu anak saya yang tak berguna."
Tiga kata "tak berguna" itu bagai tiga tamparan yang membuat wajah beberapa orang terasa perih.
