Ketika Mark dan rekan setimnya sedang melakukan pemanasan di Veltins-Arena, tribun stadion sudah dipenuhi penonton. Pemandangan yang terlihat di mana-mana adalah fans Schalke 04 yang mengenakan seragam biru.
Lalu bagaimana dengan suporter Borussia Dortmund?
Hampir tidak terlihat.
Ada sebuah ungkapan di wilayah Ruhr: Seberapa besar kebencian antara fans Schalke 04 dan Borussia Dortmund? Sampai-sampai mereka tidak mau menonton pertandingan di kandang lawan... Jadi tim mana pun yang bermain tandang, dukungan yang mereka dapatkan sangat terbatas.
Zhou Yi tidak tahu apakah pernyataan ini benar, tetapi saat dia ikut timnya menghadapi Derbi Ruhr musim lalu di kandang Schalke 04, memang sangat sedikit suporter Borussia Dortmund yang terlihat. Bahkan jika ada beberapa, mereka ditempatkan di area dengan posisi terburuk, jauh dari lapangan.
Sejak pemanasan dimulai, fans Schalke 04 terus menerus menyanyikan berbagai lagu dan sorakan untuk menunjukkan kekuasaan mutlak mereka di stadion ini. Sedikit suporter Borussia Dortmund yang ada sama sekali tidak diizinkan bersuara.
"Ini... ini Derbi Ruhr ya..." Mark menengok ke sekeliling tribun stadion, bicaranya terbata-bata.
"Kamu baik-baik saja, Mark?" Zhou Yi memperhatikan keanehan pada temannya.
"Masih... masih..." Mark terus gagap.
Zhou Yi menyadari ini bukan gagap biasa, tapi akibat bibir Mark yang gemetar tak terkendali - giginya atas dan bawah terus gemeretak.
“Apa kau yakin, Mark? Gigimu gemertak lho.” Zhou Yi menunjuk Mark.
Mark langsung menutup mulutnya rapat-rapat, suaranya hilang. Lalu ia memandang Zhou Yi, memberi isyarat dengan mata "Sudah selesai".
Tapi ketika pemanasan dimulai, Zhou Yi menyadari Mark tidak benar-benar "sudah selesai".
Saat pemanasan, konsentrasinya terlihat tidak penuh. Matanya terus melirik ke tribun, melihat ke sana kemari.
Kebiasaan melihat ke sekeliling ini berbeda dengan Zhou Yi. Bagi Zhou Yi itu kebiasaan inersia, sedangkan Mark jarang melakukannya saat pemanasan prapertandingan. Tiba-tiba berubah begini, pasti ada yang tidak beres.
……
Bahkan orang tua Mark di tribun pun menyadarinya.
“Apa yang dilakukan Mark?” Nyonya Wagner menggerutu cemas.
“Apa dia mencari kalian?” Pak Tua Bruno berspekulasi.
“Kurasa tidak. Dia pasti tahu area tempat kita, tapi matanya terus menjelajah...” Nyonya Wagner mulai memaki, “Dasar brengsek! Kalau pemanasan tidak serius, kesempatan main pun tak akan bisa diraih!”
Dia marah pada anak lelakinya yang tak berguna itu.
Semakin dipikir semakin geram, akhirnya ia mengacungkan tinju ke arah lapangan sambil berteriak: “Fokus! Dasar, kau melihat apa sih!”
Sayangnya, teriakannya tenggelam dalam riuh rendah suara latar.
Sementara sang anak, masih tetap bengong melihat ke sekeliling...
“Ini tidak ada gunanya…” Bruno menarik lengan Nyonya Wagner.
Nyonya Wagner juga menyadari hal itu, ia menghela nafas: "Ah, ingin rasanya berlari dan menampar wajahnya langsung!"
……
Peringatan Nyonya Wagner tidak berguna, hanya bisa cemas, namun ada yang membantu menyelesaikan masalahnya...
Menyadari Mark kehilangan fokus, Zhou Yi yang saat itu berada cukup jauh darinya tidak bisa mengingatkannya dengan teriakan di tengah gemuruh lagu-lagu yang memenuhi Veltins-Arena.
Tapi bagaimana mungkin anak pintar seperti dia tidak menemukan solusi?
Dengan cerdik, ia menyentuh bola ke depan lalu langsung mengayunkan kaki... Umpan panjang!
Bola melengkung di udara, terbang hampir 30 meter sebelum menghantam tepat... wajah Mark!
"Brak!" Hidung Mark yang sedang melirik-lirik itu langsung berubah bentuk akibat hantaman.
Mark yang kaget terhuyung, lehernya tertekuk ke belakang hampir terjatuh ke tanah, tangannya menggapai-gapai mempertahankan keseimbangan tubuh.
Penampilannya yang kacau-balau itu terlihat sangat memalukan dan lucu...
……
"Aduh! Sakit sekali!" Bruno mengerutkan dinding dengan berlebihan.
Nyonya Wagner di sampingnya justru bertepuk tangan memuji Zhou Yi: "Bagus, Zhou Yi! Tepat seperti itu!"
“Ah, benar-benar ibu kandung…” Bruno berkomentar dengan perasaan kompleks, lalu mengerutkan kening. “Semoga ini berguna baginya.”
……
Fans Schalke 04 di lokasi juga memperhatikan situasi yang terjadi di sisi Borussia Dortmund. Saat Mark terkena bola di wajah oleh Zhou Yi, riuh tawa pecah dari tribun.
“Lihat si idiot nomor 45 itu! Hahaha! Saat pemanasan malah kena bola di muka dari rekan setim sendiri!”
“Benar-benar ‘bola wajah’ yang apik!”
“Oooooh! Idiot Dortmund minggatlah pulang! Ini bukan tempatmu!”
Fans Schalke 04 yang berada di separuh lapangan pemanasan Dortmund dan dekat lapangan terus membuat wajah-wajah konyol, mengacungkan jari tengah, dan meneriaki Mark.
……
Di pinggir lapangan, asisten pelatih Buvac dan pelatih Klopp dari Dortmund juga menyadari kejadian ini.
Mark memegangi hidungnya yang terkena tendangan Zhou Yi sambil menunduk kesakitan.
“Ah, benar-benar memalukan…” Klopp memalingkan wajah seolah tak tega melihat anak buahnya dalam keadaan mengenaskan. “Apa yang dia lakukan?”
“Mungkin terlalu gugup, ini kan Derbi Ruhr,” kata Buvac.
“Aku mulai menyesal memasukkannya ke daftar pemain,” gerutu Klopp sambil menyeringai.
Dalam pertandingan yang begitu penting dan krusial, pemainnya sendiri menunjukkan penampilan bodoh dan konyol bahkan sebelum pertandingan dimulai, membuatnya yakin ini akan sangat mempengaruhi moral tim.
Pelaku sepak bola pasti punya sedikit takhayul, seperti "dasi keberuntungan" atau "kemeja keberuntungan" yang cukup populer di dunia sepak bola.
Klopp juga tidak terkecuali.
Hal-hal sepele yang dianggap tidak penting oleh orang lain mungkin menjadi "pertanda" baginya. Seperti aksi memalukan Mark tadi, meninggalkan bayangan gelap di hati Klopp.
Jika Borussia Dortmund benar-benar kalah dalam Derby di kandang lawan, pasti ada rasa tidak nyaman di hati Klopp terhadap Mark.
Manusia adalah makhluk berperasaan, dan perasaan bisa menimbulkan prasangka - ini tak terhindarkan.
Bagaimanapun, saat ini Klopp mulai punya sedikit prasangka terhadap Mark...
……
Mark yang kena tendang di wajah itu membungkuk sambil menutupi hidungnya, sama sekali tidak menyadari siapa yang menendangnya. Saat dia berdiri sambil mengusap hidung, meski matanya berkaca-kaca, dia melihat Zhou Yi yang sedang menatapnya.
Dia segera menyadari siapa yang menendang tadi, dan... makna di baliknya.
Sambil menutupi hidungnya yang masih terasa pedih menyengat membuatnya terus mengernyitkan wajah, dia memberi thumbs up ke Zhou Yi sebagai ucapan terima kasih untuk umpan panjang... yang indah itu.
Sekarang dia tidak terlalu gugup lagi.
Meski masih bisa mendengar cemoohan fans Schalke 04 yang berada sepuluh meter di belakangnya.
Tapi dia benar-benar tidak terlalu gugup lagi.
……
Kottane mengenakan setelan hitam sederhana, lengkap dengan topi baseball hitam yang memiliki kacamata hitam agak besar di bawah pinggirnya, berdiri di antara kerumunan fans Schalke 04 yang berbaju biru.
Awalnya dia ingin tidak mencolok, tapi gaya berpakaiannya ditambah rambut pirang, pangkal hidung yang mancung, dagu indah dan bibir merahnya, selalu membuat orang sekitar melirik dan bertanya-tanya dalam hati - jangan-jangan ini selebriti yang menyamar datang menonton...
Kottane bisa merasakan tatapan penasaran itu, tapi dia tidak bisa menjelaskan keadaan sebenarnya.
Dia minta Hannah membelikannya tiket pertandingan, tapi tak disangka Hannah menghubunginya mengatakan sangat sulit mendapatkannya, akhirnya dengan susah payah hanya mendapatkan satu tiket calo dengan harga dua kali lipat, itupun di sektor suporter Schalke 04.
Hannah menanyakan apakah dia masih mau mempertimbangkan.
Yang mengejutkan Hannah, Kottane akhirnya menerima tiket itu!
Dan sekarang Kottane pemegang tiket itu benar-benar muncul di area suporter Schalke 04.
Itupun di posisi yang relatif dekat dengan lapangan... Pantas saja harganya mahal! Ini termasuk lokasi terbaik yang biasa jadi favorit suporter fanatik.
Sayangnya Kottane bukanlah suporter fanatik, kehadirannya di posisi ini terasa seperti pemborosan...
Melihat adik laki-lakinya mempermalukan diri di lapangan tadi, Kottane sama sekali tidak terkejut, juga tidak merasa cemas dan marah seperti ibunya.
Karena menurut Kottane, adik laki-lakinya sama sekali tidak berbakat bermain sepak bola. Kalau sebagai pemain amatir, kemampuannya masih bisa diterima. Tapi untuk menjadi pemain profesional yang menghidupi diri dengan sepak bola seumur hidup... tampaknya dia tidak akan sanggup.
Penampilan adiknya tadi sudah membuktikan penilaian Kottane dengan sangat baik, jadi memang tidak ada yang perlu dikagetkan.
Orang tua mereka selalu berharap sang adik bisa benar-benar menjadi pemain profesional di tim utama. Namun Kottane justru merasa semakin tinggi level kompetisi, tekanan untuk adiknya akan semakin besar. Bagaimana mungkin adik yang selalu kurang percaya diri ini bisa menghadapinya?
Tidak semua mimpi indah dan menyenangkan seperti surga. Saat mimpi itu terwujud, yang kau rasakan mungkin bukan "klimaks" para malaikat yang berputar-putar sambil melantunkan musik surgawi... Bisa jadi justru seperti melayang ke awan tanpa pegangan, lalu terjatuh dan hancur berantakan di tanah keras.
