Setelah pulang, Zhou Yi berdiskusi dengan orangtuanya tentang rumah dan uang - hal-hal yang terdengar sangat duniawi.
Di lapangan, dia adalah bintang yang bersinar gemilang, membuat puluhan ribu orang terpesona. Sulit membayangkan sosok seperti ini bisa berdiskusi soal ganti rumah di hadapan orangtua.
Karena yang satu bersinar gemilang, sementara yang lain terkesan agak duniawi.
Tapi hidup memang seperti itu - di balik kilauan cahaya yang menyilaukan tersembunyi keseharian yang biasa. Hidup bukan hanya mimpi dan cakrawala, tapi juga bumbu dapur sehari-hari.
Zhou Yi tidak peduli apakah diskusi duniawi tentang rumah dan uang dengan orangtuanya akan merusak imejnya. Dibandingkan kebahagiaan nyata yang bisa diberikan kepada orangtua, masalah gengsi sama sekali tak berarti.
……
Setelah pulang ke rumah, Zhou Yi menjalani hari libur yang sangat sederhana. Dia tidak pergi berwisata ke mana-mana, juga tidak sering muncul di pusat perbelanjaan.
Di media, dia terlihat sangat low profile. Setelah menghadiri beberapa acara komersial dan wawancara media, dia tidak muncul lagi di halaman media mana pun.
Di Qingyang - kota yang bahkan tidak terlalu terkenal di China - dia menikmati waktu di kota kecil miliknya sendiri.
Dalam beberapa hal, Qingyang tempat liburan Zhou Yi sebenarnya agak mirip dengan Dortmund: keduanya adalah kota industri yang berbasis pada industri tradisional.
Dortmund bergantung pada industri batubara dan baja, sedangkan Qingyang juga merupakan kota industri berat terkenal di China utara. Banyak area di kota ini pada dasarnya adalah kompleks perumahan perusahaan milik negara besar, di mana wilayah satu perusahaan negara hampir setara dengan satu distrik.
Kota-kota yang berbasis industri berat sangat gemilang di awal perkembangan negara ini. Tapi sekarang, sebagian besar basis industri berat terlihat agak lesu. Tapi kelambanan ini juga punya keuntungan: sementara harga properti di seluruh China melonjak cepat, kenaikan harga properti di Qingyang justru sangat lambat.
Zhou Yi sudah mengecek, harga properti termahal di Qingyang rata-rata hanya 10.000 yuan per meter persegi, dan itu pun yang termahal. Sebenarnya banyak properti dengan harga 7.000-8.000 yuan per meter persegi yang sudah termasuk kompleks sangat bagus, baik dari lingkungan sekitar, manajemen properti, maupun kualitas bangunan itu sendiri.
Sepertinya pembahasan kembali mengarah ke topik properti yang klise?
Tapi siapa yang menyuruh Zhou Yi belakangan ini sedang mempelajari tentang properti?
Tentu saja liburan Zhou Yi tidak selalu terkait dengan urusan properti Qingyang. Terkadang dia juga keluar untuk jalan-jalan. Awalnya setiap kemunculannya selalu menarik kerumunan orang yang ingin melihatnya.
Karena dia belum terlalu terbiasa berdandan seperti selebriti di kampung halamannya sendiri.
Tapi belakangan saat keluar rumah dia mulai memakai topi baseball, meski masih belum terlalu nyaman dengan kacamata hitam... Tentu saja cara ini sudah cukup efektif – siapa sangka pria berpakaian sederhana dengan topi baseball yang mengendarai sepeda ini adalah bintang sepak bola ternama Zhou Yi?
Zhou Yi suka bersepeda keliling kota. Cara bepergian ini ramah lingkungan, sederhana, dan praktis. Tentu juga karena Qingyang sendiri bukan kota yang besar, dengan bersepeda santai sehari saja hampir seluruh kota bisa dijelajahi.
Dulu saat masih sekolah, sejak SMP dia sudah bersepeda bersama teman-temannya mencari lapangan sepak bola. Banyak sekolah memang punya lapangan sepak bola, tapi tidak terbuka untuk umum. Bahkan sekolah mereka sendiri di akhir pekan juga ditutup. Jadi mereka terpaksa bersepeda keliling mencari tempat main, masing-masing mengayuh sepeda sambil membawa tas ransel. Isi tas bukan buku pelajaran, tapi seragam dan sepatu bola. Ban belakang sepeda dijepit bola sepak, berbaris rapi menembus keramaian lalu lintas.
Terkadang demi bisa main bola mereka harus memanjat tembok, tentu saja kalau ketahuan satpam pasti diusir keluar, suasana jadi kacau balau dan sangat memalukan.
Tapi sangat bahagia.
Hari ini, Zhou Yi mengendarai sepeda dengan uang makan siang di sakunya. Setengah jam kemudian, ia sampai di gerbang almamaternya SMA 1 Qingyang.
Bulan Mei belum masuk masa liburan musim panas sekolah menengah di China. Saat Zhou Yi tiba di SMA 1 Qingyang, banyak orang dan kendaraan berkumpul di gerbang sekolah karena sedang jam pulang sekolah siang hari.
Seragam olahraga tradisional China yang dikenakan siswa-siswa Yi Gao membanjiri keluar dari gerbang sekolah, saling memanggil teman.
Zhou Yi memarkir sepedanya di pinggir, menyaksikan pemandangan ini. Inilah rutinitas kehidupan sekolahnya dulu.
Para siswa melewatinya sambil membahas mau makan siang di mana - nasi campur di warung ini enak, mie tarik di sana juga lezat, habis makan beli bubble tea, sosis bakar di supermarket depan gerbang juga mantap...
Nama-nama warung makan yang mereka sebutkan tidak asing bagi Zhou Yi. Bagaimanapun dia baru lulus 2.5 tahun lalu. Tapi teman-teman sekelasnya dulu sudah lama lulus. Sebagian berhasil masuk universitas idaman, sebagian ke kampus yang kurang diminati, ada juga yang tak kuliah dan langsung bekerja.
Intinya semua berpisah ke berbagai arah. Grup kelas yang dulu ramai kini semakin sepi, sepuluh hari sampai setengah bulan tak ada yang chat. Semua sudah punya kehidupan baru di lingkungan masing-masing, kenal teman baru, punya pergaulan baru.
Bukankah Zhou Yi contohnya? Hanya saja lingkaran pergaulannya terlalu jauh, orang lain masih bisa punya sedikit hubungan, sementara lingkaran Zhou Yi ini orang lain susah sekali masuk, benar-benar tidak ada bahasa bersama. Lagipula dengan status Zhou Yi sekarang yang sudah sangat tinggi, tak bisa dihindari membuat banyak orang merasa agak takut dan timbul rasa menjauh.
Jadi sebenarnya sekarang Zhou Yi jarang berhubungan dengan teman sekelasnya.
Kedatangannya tiba-tiba ke SMA tempatnya dulu belajar hari ini, hanyalah ingin bernostalgia dengan masa lalu.
Bukan ingin pulang kampung dengan membawa kesuksesan.
Setelah berjuang sendirian di Jerman selama dua setengah tahun, Zhou Yi sendiri sudah jauh lebih matang.
Dulu setelah kembali dari acara realitas Reality Show, dia sempat menjadi pusat perhatian seluruh sekolah saat pelajaran berlangsung.
Sekarang dia hanya ingin melihat dengan tenang dari samping.
Dia memarkir mobilnya di suatu tempat, lalu membawa uang receh di sakunya ke warung makan kecil yang dulu sering dikunjunginya bersama teman-teman untuk makan siang.
Semangkuk nasi capcay daging tumis dengan kuah kental, segelas es teh plum asam, adalah menu makan siang standar Zhou Yi semasa SMA.
Duduk di meja empat kursi kecil itu, topi baseballnya dipakai terbalik, dia menunduk menyantap nasi capcay yang baru dihidangkan. Rasa... sudah lupa apakah masih sama seperti dulu. Sejujurnya, ini pertama kalinya dalam dua setengah tahun dia makan daging tumis... Sebagai pemain profesional, tentu tahu bahaya makanan seperti ini, jadi biasanya tidak makan. Tapi kali ini, Zhou Yi membuat pengecualian.
Saat dia menunduk makan, dua siswa Sekolah Yi Gao duduk di sebelahnya. Setelah memesan, mereka mulai mengobrol tentang orang-orang dan kejadian di kelas.
Si Anu dan Si Anu mulai pacaran, Si Anu dan Si Anu putus lagi, tidak yakin dengan ujian akhir bulan ini, mau liburan musim panas ke mana... topik-topik semacam itu.
Topik seperti ini juga dulu sering dibahas Zhou Yi dengan teman sekelasnya, ditambah beberapa topik terkait sepak bola.
Zhou Yi hanya menunduk makan, mendengarkan percakapan mereka dengan diam tanpa menyela.
Setelah makan, ia meletakkan uang di atas meja, mengenakan topi baseball, mengusap mulutnya lalu berdiri pergi.
Meski kali ini hanya melihat-lihat di gerbang sekolah, Zhou Yi sudah puas dan bersiap pulang.
Tapi tepat saat hendak mengambil sepeda di parkiran, seseorang mengenalinya.
"Zhou... Yi?" Suara perempuan itu memanggil dengan nada tidak pasti.
Refleks Zhou Yi mengangkat kepala, langsung bertatapan mata dengan wanita di depannya.
"Benar-benar kamu?" Wanita itu terkejut sejenak lalu tersenyum penuh sukacita.
Zhou Yi pun mengenali - yang memanggilnya ternyata Bu Zhai Liying, wali kelasnya dulu di SMA. "Bu Zhai?"
……
Zhou Yi tak menyangka meski sudah keluar dari sekolah selama dua setengah tahun, masih bisa dipanggil ke kantor oleh wali kelas...
Sekarang dia sedang duduk di kantor Bu Zhai Liying. Tapi perlakuan yang dia terima sekarang jauh lebih baik dibanding masa sekolah dulu, karena wali kelasnya sedang menuangkan air untuknya...
Berdiri dan menerima cangkir air dari Bu Zhai dengan kedua tangan, Zhou Yi bertanya heran: "Bu Zhai, menurutku penyamaranku cukup baik. Bagaimana Bu bisa mengenaliku?"
Zhai Liying melirik topi baseball yang diletakkan Zhou Yi di samping, lalu berkata: "Aku masih ingat murid-muridku. Terutama... mereka yang sering dipanggil ke kantor."
Sampai di sini, dia sendiri tak bisa menahan tawa.
Zhou Yi juga tersenyum sambil menggaruk kepala. Dulu di sekolah, dia adalah perwakilan "siswa bermasalah" yang sering membuat guru pusing, selalu dipanggil ke kantor untuk dimarahi.
Candaan ini mencairkan kecanggungan awal reuni guru-murid. Zhai Liying memandang Zhou Yi, mantan murid nakal yang selalu dikritiknya, kini telah berubah total. Perubahan itu jauh melampaui teman sebayanya. Banyak perubahan nyata terjadi padanya.
"Aku bukan suporter, juga tak paham sepak bola. Tapi aku sering melihatmu di koran dan TV. Mereka bilang kamu hebat, benarkah kamu sangat hebat?"
"Lumayan, lumayan..." Zhou Yi terus menggaruk kepalanya.
“Saya sangat penasaran, Zhou Yi. Bisakah kamu ceritakan pengalamanmu di Jerman? Bebas saja, saya hanya ingin mendengar kondisimu di sana.” Zhai Liying bertanya dengan lembut, di hadapan Zhou Yi yang sekarang, ia sama sekali tidak bisa bersikap seperti mantan wali kelas yang dulu.
Guru ingin mendengar, Zhou Yi pun bercerita, ia tidak menolak komunikasi seperti ini. Dulu sebagai murid, siapa yang tidak ingin setara dengan wali kelasnya, berbincang santai?
Maka ia mulai bercerita dari pengalaman pertamanya di Jerman, memilih hal-hal menarik untuk diceritakan pada guru, berusaha menghindari konten profesional yang membosankan.
Ceritanya menarik, Zhai Liying juga mendengarkan dengan antusias, bahkan sesekali tertawa.
Setelah menyelesaikan ceritanya, Zhou Yi menunduk meminum air yang sudah dingin, namun kantor tiba-tiba diselimuti keheningan yang agak canggung.
Saat itulah Zhai Liying tiba-tiba bertanya lagi: “Zhou Yi, menurutmu apakah kamu sekarang sudah dianggap sukses?”
Pertanyaan itu membuat Zhou Yi tertegun. Suasana yang sebelumnya santai tiba-tiba dihantam pertanyaan filosofis ini?
“Ini... tergantung definisi suksesnya.” Zhou Yi menjawab setelah berpikir sejenak.
“Lalu bagaimana kamu mendefinisikan sukses?” Zhai Liying bertanya.
“Ada banyak jenis kesuksesan. Mewujudkan mimpi adalah sukses, mendapat banyak uang juga sukses, menjadi terkenal pun termasuk.”
Zhai Liying mengangguk: “Kalau begitu menurut definisi ini, kamu sudah sukses, Zhou Yi, di usiamu yang kedua puluh.”
Zhou Yi menggelengkan kepala: “Tidak juga...”
“Apa yang dianggap sukses?”
“Ini…” Zhou Yi memiringkan kepala sambil berpikir, “Setelah aku mati, masih banyak orang yang mengingatku?”
Kalimat dengan intonasi ragu ini justru mengejutkan Bu Zhai.
Dia tak menyangka standar kesuksesan di benak siswa bandel ini ternyata setinggi itu.
“Tapi yang penting masuk dinding kehormatan dulu! Hahaha!” Zhou Yi sendiri tertawa lepas.
Bu Zhai pun ikut tersenyum: “Menurutku sukses adalah menjadi orang yang bertanggung jawab pada diri sendiri dan bermanfaat bagi masyarakat.”
Zhou Yi segera mengangguk: “Bu Zhai benar, terima kasih atas bimbingannya!”
Bu Zhai menggeleng sambil melambaikan tangan: “Ah, tidak seberapa.”
Memang, kalimat itu didengarnya dari kepala sekolah tua Lin Xianrong, yang jelas-jelas terinspirasi oleh Zhou Yi.
Jadi bukan dia yang membimbing Zhou Yi, melainkan Zhou Yi yang mengajarinya...
