Restoran pilihan Zhou Yi memiliki ruang privat. Kini ia sedang duduk menunggu Zheng Lulu di dalamnya.
Ia juga baru tiba. Untung tidak lebih telat dari Zheng Lulu. Meski tak peduli gaya rambut atau pakaian, Zhou Yi tahu janji kencan sebaiknya tidak terlambat, baik dengan perempuan maupun laki-laki.
Saat Zhou Yi mengeluarkan ponsel untuk main game kecil, terdengar ketukan di luar ruangan.
“Silakan masuk,” katanya.
“Baru saja selesai bicara, pintu dibuka dari luar, pelayan membuat gerakan mengundang, dari balik pintu muncul seorang perempuan cantik.
Gadis cantik ini mengangguk mengucapkan terima kasih ke pelayan di sampingnya, lalu melangkah anggun masuk ke ruang VIP.
“Ini… Mbak cari siapa?” Zhou Yi bertanya dengan bengong.
Melihat ekspresi Zhou Yi yang tertegun, si gadis cantik tiba-tiba tertawa terkekeh: “Hei, teman sekelas dulu, lama tak jumpa, tidak mengenaliku?”
Zhou Yi kaget setengah mati: “Zheng Lulu?!” Dia sampai berdiri terlonjak dari kursinya.
Zheng Lulu menunduk sambil menutupi mulutnya yang tertawa, rambut lurus sepanjang bahunya meluncur dari dahinya menutupi separuh wajah. Ketika mengangkat kepala dan melempar rambut ke belakang, gerakannya penuh pesona kewanitaan.
Zhou Yi malah semakin terpana – Inikah “si kawat gigi” dalam ingatannya yang selalu berkacamata, berpakaian biasa, jarang tersenyum karena setiap tertawa akan memperlihatkan kawat giginya?
“Ini aku.”
“Aku cuma bisa bilang… hmm… perempuan delapan belas kali berubah.” Zhou Yi sampai bingung berkata-kata, perubahan Zheng Lulu mungkin yang paling drastis di antara semua teman sekelas yang bisa dibayangkannya. “Silakan duduk, silakan.”
“Kamu justru tidak banyak berubah, Zhou Yi.” Zheng Lulu yang duduk berseberangan menatap wajah Zhou Yi sambil berkata. Sebenarnya wajah ini sangat dikenalnya, setiap minggu selalu dilihat karena setiap pertandingan Borussia Dortmund pasti ditontonnya via siaran langsung.
“Tidakkah kau merasa aku jadi lebih ganteng?” tanya Zhou Yi.
Zheng Lulu menatap Zhou Yi lama-lama, lalu menggeleng: “Tidak ada.”
Zhou Yi membuat ekspresi kecewa sambil menepuk dada dan menghentakkan kaki.
Melihatnya seperti itu, Zheng Lulu kembali menutup mulut sambil tertawa kecil.
Setelah bercanda, keduanya duduk dan Zhou Yi langsung bertanya mengapa Zheng Lulu berada di Jerman.
Zheng Lulu kemudian menjelaskan bahwa dia datang ke Jerman untuk studi.
"Memilih kuliah di Jerman?" Zhou Yi terlihat heran. "Mengapa?"
"Tidak ada alasan khusus, hanya suka saja." jawab Zheng Lulu.
"Suka Jerman ya?"
Menghadapi pertanyaan Zhou Yi, Zheng Lulu hanya tersenyum tanpa menjawab. Zhou Yi menganggapnya sebagai persetujuan diam-diam, lalu mengangguk: "Jerman memang punya hal-hal yang layak disukai."
Setelah memahami alasan kehadiran Zheng Lulu di Jerman, Zhou Yi kembali bertanya: "Kalau sudah empat tahun di sini, kenapa sebelumnya sama sekali tidak muncul..."
Zheng Lulu menggeleng: "Awalnya kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Setelah beradaptasi, sibuk belajar. Lalu QQ-ku diretas, jadi putus kontak dengan semua orang. Baru beberapa waktu lalu bisa mengembalikan akun QQ ini."
Untuk semua pertanyaan potensial Zhou Yi, Zheng Lulu telah mempersiapkan jawaban lengkap sebelumnya.
Tentu dia tidak bisa mengaku bahwa selama bertahun-tahun tidak menghubungi Zhou Yi karena kurang percaya diri - kalau diungkapkan, pasti Zhou Yi akan bertanya "Kenapa tidak percaya diri?"
Topik ini bisa melebar terlalu jauh.
Tapi tak disangka Zhou Yi malah mengangkat topik perubahan ini, dia menatap Zheng Lulu dan berkata haru, "Kalau bukan karena kamu ada di depanku sekarang, aku benar-benar tidak percaya kalau kamu adalah... itu..."
Sebenarnya dia ingin mengatakan "Gadis Kawat Gigi", tapi teringat itu adalah julukan tidak sopan yang diberikan cowok-cowok secara diam-diam, jelas tidak pantas diucapkan sekarang.
Yang tak disangka, Zheng Lulu justru menyambung, "Gadis Kawat Gigi?"
Zhou Yi terkejut julukan rahasia mereka ini ternyata diketahui sang empunya, dia canggung, "Ini... hah, waktu itu kami masih kecil belum mengerti..."
Zheng Lulu geleng kepala sambil tersenyum bertanya, "Apakah aku dulu sangat jelek?"
Zhou Yi buru-buru melambaikan tangan, "Tidak sampai segitunya, tidak sampai segitunya..."
Zheng Lulu mengira dia akan mengucapkan pujian, meski tidak tulus, setidaknya enak didengar.
Tapi Zhou Yi malah melanjutkan, "Hanya saja belum bisa disebut gadis cantik."
Zheng Lulu menahan keinginan untuk mengelus dada - Memang masih Zhou Yi yang dia kenal, kadang mulutnya benar-benar pedas. Dan dia bukan sengaja menjengkelkan, sama sekali tidak sadar, ini yang lebih membuat kesal.
"Hei Zhou Yi, tahu kenapa waktu SMA kamu tidak populer di kalangan cewek?" Zheng Lulu melancarkan serangan balik.
"Aku tahu aku tahu..." Zhou Yi mengangguk-angguk, sebenarnya sejak kalimat itu terucap dia sudah sadar salah. "Ini karena mulutku ini."
Melihat Zhou Yi, seorang selebritas besar yang biasanya tampil glamor di media, terus-menerus menunduk dan mengakui kesalahan di hadapannya, Zheng Lulu tersenyum. Meski sudah menjadi bintang besar, dia sama sekali tidak sombong. Dia benar-benar bertemu dengannya sebagai mantan teman sekelas.
Perasaan ini sebenarnya cukup baik, tapi di lubuk hati Zheng Lulu ada sedih yang tersembunyi - Apakah kita hanya bisa menjadi "mantan teman sekelas"?
Mengingat perkataan teman serumahnya Katherine sebelum datang ke Dortmund, api dalam hati Zheng Lulu mulai berkobar.
Bukankah semua perubahan yang kulakukan selama empat tahun ini untuk hari ini?
Mengapa aku tidak bisa melangkah lebih jauh?
Lalu dia bertanya pada Zhou Yi: "Kalau penampilanku sekarang gimana?"
"Gadis cantik, benar-benar cantik." Zhou Yi mengangguk-angguk cepat.
"Terlalu asal jawab ya?" Zheng Lulu mencibir, jawaban yang terlalu cepat justru terkesan tidak tulus. "Coba jelaskan lebih detail?"
Zhou Yi menunjukkan ekspresi kesulitan: "Ini... Sejak kecil aku tidak pernah pandai mendeskripsikan penampilan orang dalam mengarang. Permintaanmu terlalu tinggi..."
"Kalau menurutmu perubahan spesifik apa yang ada padaku?" Zheng Lulu mengubah pertanyaan.
"Secara spesifik sulit dijelaskan. Aku hanya merasa kamu secara keseluruhan berbeda. Bagaimana ya..." Setelah berpikir sejenak, mata Zhou Yi berbinar, "Lebih percaya diri! Ya, kamu sekarang jauh lebih berkeyakinan."
Zheng Lulu tidak menyangka Zhou Yi langsung menembus inti perubahan terpenting yang dialaminya.
“Dulu waktu di sekolah, kamu sepertinya kurang percaya diri. Enggan ikut kegiatan apa pun, pendiam di kelas. Bahkan kalau sesekali bicara, suaramu sangat pelan, seperti mulutmu tidak bisa terbuka…” Zhou Yi melanjutkan.
“Itu karena kalau membuka mulut, kawat gigiku langsung kelihatan.” Zheng Lulu sekarang sepertinya tidak terlalu malu membicarakan masa lalu memalukannya.
“Aku masih ingat dulu ada guru yang menyuruhmu menjawab pertanyaan, kamu harus mengulang tiga kali sampai dia bisa mendengar…”
“Jangan diingat-ingat lagi, sampai sekarang masih merasa malu!” Zheng Lulu menutupi wajah dengan kedua tangan.
Zhou Yi justru tertawa terbahak-bahak.
“Jangan tertawakan aku!” Melihat Zhou Yi tertawa tanpa beban, Zheng Lulu membalas. “Kamu kan raja memalukan di kelas! Masa lalumu juga banyak yang memalukan…”
“Itu adalah masa kejayaan!” Zhou Yi mendengus.
“Dasar tebal muka…”
Pertemuan teman lama, mengenang masa lalu, bahkan hal memalukan pun jadi bahan obrolan. Hal-hal sensitif di kedalaman hati kini bisa dijadikan candaan. Perasaan seperti ini sangat menenangkan, tidak perlu khawatir salah bicara.
Suasana dalam ruang VIP perlahan terasa hangat oleh kenangan, seperti anggur merah yang sudah dianginkan – harum semerbak saat dicium, meninggalkan kesan mendalam setelah diminum.
Zhou Yi menceritakan berbagai kejadian semasa SMA, meskipun dalam ingatan Zheng Lulu hal-hal itu sebenarnya biasa saja atau sudah samar-samar, tapi dia bisa menceritakannya dengan sangat hidup seolah-olah baru terjadi di depan mata.
Zheng Lulu sering tertawa terpingkal-pingkal karena cerita-cerita lucu yang dia sampaikan.
Zhou Yi baru saja menyelesaikan sebuah lelucon. Zheng Lulu tertawa sampai hampir menempelkan wajahnya di meja. Zhou Yi memandangnya tertawa terbahak-bahak dengan bahunya bergerak naik turun.
Setelah tawa mulai mereda, Zheng Lulu mengangkat kepala dan menyibak rambutnya sambil berkomentar, "Zhou Yi, sebenarnya kamu cukup pandai membuat perempuan senang. Tapi kenapa waktu SMP dulu, para cewek selalu punya kesan buruk tentangmu?"
Zhou Yi tertawa kecut. Dia sangat tahu citra dirinya di mata perempuan-perempuan semasa sekolah dulu. Jelas-jelas bukan tipe idaman hati.
Melihat senyum Zhou Yi, tiba-tiba muncul dorongan hati di dalam diri Zheng Lulu.
Dia mengerucutkan bibirnya sebentar lalu bertanya, "Eh, bintang besar, pasti sekarang kamu sudah punya pacar ya?"
"Soal apakah Zhou Yi punya pacar atau tidak, sebenarnya Zheng Lulu sudah tahu jelas. Karena selama empat tahun ini dia terus memantau Zhou Yi, mengumpulkan semua berita dan laporan tentangnya. Selama empat tahun itu, Zhou Yi sama sekali tidak pernah terlibat skandal asmara. Dalam hidupnya seolah hanya ada sepak bola. Di hari-hari tanpa latihan atau matchday, selain aktivitas komersial yang perlu diikuti, dia hanya mengurung diri di rumah, tidak jalan-jalan, apalagi ke klub malam atau bar."
"Hidup pribadinya bisa dibilang sangat membosankan, sama sekali tidak bernilai untuk dijadikan bahan sensasi oleh media."
"Media pun tidak menjadikan kehidupan pribadi Zhou Yi sebagai fokus pemberitaan."
"Benar saja, menghadapi pertanyaan Zheng Lulu, Zhou Yi menggelengkan kepala: 'Laki-laki sejati, membangun karir dulu baru berkeluarga!'"
"Cih, alasan aja. Bicara begitu heroik, padahal cuma jomblo!" Zheng Lulu mengolok-olok.
"Zhou Yi pun dengan patuh mengikuti 'guk guk' menggonggong dua kali."
"Aksi ini kembali membuat Zheng Lulu tertawa terpingkal-pingkal."
"Tidak kepikiran cari pacar? Sebagai pemain bintang, kesepian seperti itu terasa aneh." Zheng Lulu mencoba menyelidik.
"Ah tidak, Mark juga jomblo kok!" Zhou Yi tertawa. Dalam obrolan sebelumnya, dia sudah memperkenalkan Mark pada Zheng Lulu, tentu saja tanpa menyebut sang kakak perempuan yang cantik tapi sulit dihadapi."
"Kalian benar-benar teman sejati, jomblo pun kompak." Zheng Lulu setengah bergurau, lalu menatap Zhou Yi: "Benar-benar tidak berniat cari pacar?"
Menatap tatapan Zheng Lulu, Zhou Yi menjawab dengan ekspresi serius: "Tidak akan sengaja mencari, biarkan alam yang menentukan. Kalau bertemu ya sudah, kalau tidak bertemu memaksa juga tidak berguna."
Mendengar ini, Zheng Lulu terdiam.
Melihat Zheng Lulu malah diam, Zhou Yi tertawa: "Jangan bahas aku, kamu juga jomblo kan?"
Zheng Lulu mengangkat kepala terkejut memandangnya: "Darimana kamu tahu?"
"Kalau punya pacar, mana mungkin malam Natal datang makan bersamaku?" Zhou Yi terlihat bangga dengan penalarannya.
Zheng Lulu malah mengangguk sambil tersenyum: "Benar, aku juga jomblo tulen."
Kemudian dia mengangkat gelas: "Bersulang untuk malam Natal dua jomblo!"
Zhou Yi mengangkat gelasnya: "Bukankah seharusnya bukan bilang 'bersulang', tapi 'guk guk'?"
Zheng Lulu tidak menyangka Zhou Yi akan berkata begitu, hampir menjatuhkan gelasnya karena tertawa.
"Hal yang sebenarnya menyedihkan kok bisa kamu katakan dengan riang gini?" protesnya.
"Hidup itu harus bahagia. Yang penting senang. Ayo." Zhou Yi mengangkat gelasnya, memimpin: "Guk guk!"
Zheng Lulu melihat ekspresi serius Zhou Yi, menahan tawa mengikuti ritual bersulang jomblo ini: "Guk guk!"
"Kayaknya perusahaan Want Want harus cari aku jadi endorser nih." Setelah minum, Zhou Yi meletakkan gelasnya sambil berpikir.
Zheng Lulu langsung geleng-geleng kepala: "Jangan, jangan!"
"Kenapa tidak boleh?"
“Kalau begitu produk Want Want Food tidak akan diasosiasikan dengan jomblo? Siapa yang berani makan produk mereka? ‘Khusus untuk jomblo, Susu Want Want’ gitu?”
Zhou Yi juga tertawa dibuat Zheng Lulu: “Wah, Zheng Lulu, perubahanmu sekarang memang sangat besar!”
Mendengar pujian Zhou Yi ini, Zheng Lulu hanya tersenyum tipis.
