Topik tidak kembali ke masalah perasaan lagi. Keduanya kembali mengobrol tentang berbagai hal, mulai dari masa SMA hingga studi di luar negeri, dari China sampai Jerman, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari di Jerman. Tentu saja, status Zhou Yi sebagai pemain profesional Borussia Dortmund juga tak terhindarkan menjadi bahan pembicaraan.
Zheng Lulu mengeluarkan seragam Borussia Dortmund yang sudah tercetak nama dan nomor punggung Zhou Yi dari tasnya, lalu berkata: “Bisa tanda tangan untukku?”
“Gampang! Mau kutandatangani sampai penuh juga bisa!” Zhou Yi dengan penuh semangat mengambil seragam dan pulpen, lalu menulis di bagian belakang seragam sebelah namanya: “Untuk Siswi Zheng Lulu, semoga selalu percaya diri dan bahagia.” Ditutup dengan “Teman sekelasmu, Zhou Yi”.
Memandangi tulisan Zhou Yi yang sedang menunduk menandatangani seragam, Zheng Lulu menggigit bibirnya.
Setelah tandatangan selesai, anggur dalam botol sudah dihabiskan, dan hidangan penutup terakhir pun telah dimakan.
Makan malam malam Natal ini pun tiba saatnya untuk berakhir.
“Jika mengikuti rencana Catherine, teman sekamar Zheng Lulu, maka selanjutnya mereka harus pindah ke bar dengan pencahayaan redup dan musik yang menggoda untuk minum bersama dan berbagi perasaan. Terakhir, pertempuran besar akan terjadi di kamar hotel Zheng Lulu.”
Tapi baik Zhou Yi maupun Zheng Lulu sama-sama tidak bermaksud melanjutkan ke tahap berikutnya.
Zheng Lulu mengajukan diri: "Aku harus pulang."
Zhou Yi mengangguk: "Aku akan mengantarmu pulang."
Jika Catherine mendengar ini, pasti akan mengira Zhou Yi sedang mengambil inisiatif. Tapi Zheng Lulu sekarang sangat paham bahwa tidak akan ada kesalahpahaman seperti itu antara dirinya dengan Zhou Yi.
Tawaran mengantarnya pulang hanyalah bentuk kekhawatiran terhadap perempuan lajang yang berada di luar larut malam.
Dia menggelengkan kepala: "Tidak perlu. Kamu sekarang figur publik, kalau terlihat orang akan rumit. Awas media menganggapku sebagai pacar gelapmu."
Zhou Yi menggaruk kepala. Pertimbangan Zheng Lulu ini sangat realistis. Sebagai selebritas, gosip tentangnya memang wajar, tapi Zheng Lulu yang tidak bersalah ikut terseret tentu tidak baik.
Akhirnya dia tidak memaksa: "Aku akan memanggilkan taksi untukmu."
Kali ini Zheng Lulu tidak menolak.
"Sudah dipesan, sebentar lagi datang." Zhou Yi meletakkan ponselnya.
Zheng Lulu mengangguk.
Ruangan pun memasuki keheningan pertama kalinya malam ini, suasananya mulai mendingin.
Zhou Yi bisa merasakan perubahan suasana. Sebelumnya semua orang masih mengobrol dengan ramai, tertawa-tawa, sangat gembira. Kenapa tiba-tiba suasana ini menghilang?
Mungkin setelah mengobrol semalaman semua agak lelah?
Dalam hati Zhou Yi berpikir, sebenarnya terkadang mengobrol juga melelahkan. Lupa di mana pernah membaca, dua orang mengobrol ibarat bermain tenis. Jika satu orang hanya melakukan servis, tidak menyambut bola, permainan tak bisa dilanjutkan. Harus ada interaksi timbal balik, tapi juga perlu skill. Jika satu pihak mahir melakukan servis dan menerima bola, sementara lawannya tidak, permainan tetap bisa berjalan tapi yang mahir akan sangat kelelahan. Hanya ketika kedua belah pihak sama-sama terampil, permainan bisa menjadi menarik dan cantik.
Tapi untuk mencapai keindahan itu harus membayar harga: tuntutan kemampuan otak yang tinggi bagi kedua pihak. Mereka harus terus mencari titik temu dalam topik, saat mendiskusikan satu topik sudah memikirkan topik berikutnya, terus berkembang seperti rantai.
Malam ini, Zhou Yi merasa obrolannya dengan Zheng Lulu cukup menyenangkan. Saat awal menerima ajakan makannya, tak menyangka bisa seharmonis ini. Awalnya dia memaksakan diri bercanda untuk menghindari keheningan, tapi Zheng Lulu memberikan kombinasi yang baik.
Berdasarkan kesan sebelumnya, Zheng Lulu adalah tipe perempuan yang jika kau bicara tiga kalimat, dia mungkin hanya membalas satu kata. Introvet, pemalu, kurang kepercayaan diri, pendiam dan tidak pandai bersosialisasi.
Teman sekelas seperti ini, baik laki-laki maupun perempuan, pasti ada di setiap kelas. Mereka seringkali menjadi orang yang paling terabaikan, bahkan bertahun-tahun kemudian saat reuni, semua orang mungkin lupa mengundang mereka. Melihat foto kelulusan pun nama wajah-wajah ini tidak bisa diingat.
Namun justru teman yang tidak memiliki keberadaan yang terasa ini, membuat Zhou Yi terkesin pada malam ini.
Memikirkan hal ini, Zhou Yi menemukan topik untuk melanjutkan percakapan - masih klise seperti biasa: memuji perubahan Zheng Lulu, memuji rasa percaya dirinya. Jika benar-benar kehabisan topik, memuji orang lain selalu merupakan pilihan yang aman.
Tapi tepat saat dia hendak membuka mulut, Zheng Lulu yang selama ini menundukkan kepala di hadapannya tiba-tiba mengangkat kepala dan hendak berbicara.
……
Saat Zhou Yi sedang memikirkan cara "menjaga harga diri", sebenarnya di dalam hati Zheng Lulu juga sedang terjadi pertarungan batin yang sangat sengit.
Ketika pertama kali datang ke Borussia Dortmund, dia datang dengan "tujuan" yang sangat kuat. Awalnya setelah tiba, saat suasana masih baik, dia juga pernah memiliki beberapa harapan. Tapi seiring percakapan yang semakin dalam, terutama saat membahas masalah perasaan pribadi, barulah dia menyadari bahwa perasaan baik sebelumnya hanyalah antusiasme Zhou Yi yang memperlakukannya sebagai teman lama yang lama tidak bertemu, tanpa maksud lain.
Setelah menyadari hal ini, Zheng Lulu sempat merasa kecewa—meskipun dia sudah berusaha keras mengubah diri hingga membuat Zhou Yi terkejut, Zhou Yi tetap tidak memiliki perasaan khusus padanya. Lalu, untuk apa semua usaha ini? Apakah jerih payahnya hanya akan berakhir sia-sia?
Awalnya dia bertekad menata hati, menganggap ini sekadar reuni sekolah. Tak perlu dipikirkan berlebihan. Setelah makan malam, ucapkan salam perpisahan dengan senyuman pada Zhou Yi, lalu pergi dengan penuh harga diri.
Tapi ketika perpisahan itu benar-benar di depan mata, tiba-tiba dia tidak rela.
Karena dia tidak tahu apakah setelah kali ini, masih ada keberanian untuk berdiri di hadapan Zhou Yi dan mengungkapkan isi hatinya. Jika tidak diungkapkan, mustahil baginya berpura-pura tak terjadi apa-apa. Zhou Yi yang tak tahu apa-apa memang bisa bersikap biasa, tapi dia tidak.
Dia tak bisa menipu dirinya sendiri.
Beberapa hal telah terjadi. Perasaan tertentu telah tumbuh. Kata-kata yang terpendam lama di hati—bagaimana mungkin dianggap tak pernah ada?
Semua itu telah meninggalkan bekas yang begitu dalam di tubuh dan hatinya.
Setelah bolak-balik berpikir, dia memutuskan untuk mengungkapkannya. Meski tahu kemungkinan besar hasilnya tak akan baik—karena sebenarnya dia sudah memahami perasaan Zhou Yi: dia hanya dianggap teman sekelas biasa. Keakraban mereka di Jerman hanyalah karena situasi, bukan pertanda munculnya perasaan khusus. Mungkin bisa terjadi pada orang lain, tapi menurut pengetahuannya tentang Zhou Yi, probabilitasnya adalah nol.
"Tapi dia tetap harus mengatakannya, bukan untuk mencari respons, tapi untuk membuktikan diri. Dia sangat serius menanggapi rasa suka diam-diam ini, berhasil atau tidak, harus ada akhir. Perasaan yang dia perlakukan dengan serius ini tidak bisa dibiarkan menggantung tanpa kepastian."
Memikirkan ini, dia tiba-tiba mengangkat kepala dan menatap mata Zhou Yi: "Aku ingin minta maaf padamu, Zhou Yi."
"Hah? Minta maaf?" Zhou Yi terheran-heran, tak mengerti mengapa Zheng Lulu berkata begitu.
"Karena aku tidak jujur padamu."
"Ini..."
Zhou Yi agak bingung dengan arah pembicaraan Zheng Lulu ini.
"Aku menipumu, Zhou Yi. Aku kuliah di Jerman bukan karena suka Jerman." Zheng Lulu tidak memberi waktu reaksi pada Zhou Yi, juga tidak memberi kesempatan dirinya untuk ragu lagi, melontarkan semua kalimat yang terpendam dalam hatinya.
"Tapi karena aku suka... Aku suka padamu!"
Mendengar kalimat ini, Zhou Yi seolah tersambar petir, seluruh tubuhnya membeku di kursi.
Melihat ekspresi Zhou Yi yang terdiam, Zheng Lulu berhenti sejenak lalu melanjutkan, toh kalimat itu sudah terucap, apa lagi yang tak bisa dikatakan?
“……Saat masih di sekolah, aku selalu diam-diam memperhatikanmu. Menurutku kamu orang yang menarik, meski banyak hal tentangmu yang dianggap orang lain tidak masuk akal. Tapi aku merasa kamu punya semangat dan pesona yang kuat. Waktu itu aku tidak percaya diri, tidak berani mengungkapkan perasaan. Takut ditolak, siapa yang mau menyukai orang seperti aku yang memakai kawat gigi? Jadi setelah tahu kamu akan ke Jerman untuk bermain sepak bola, aku membujuk ibuku untuk mengizinkanku kuliah di Jerman, tujuannya agar bisa lebih dekat denganmu.”
“Setelah tiba di Jerman, aku berusaha keras mengubah diri. Memaksa diri hidup mandiri di negara asing yang belum kukenal, belajar bahasa, kerja paruh waktu, menjalin pertemanan, aktif di kegiatan sekolah, berlatih bicara di depan banyak orang. Bahkan ikut kegiatan pidato di kampus... Teman-teman sekelasku di Jerman tidak tahu bahwa sebenarnya aku adalah gadis yang tidak berani bersuara keras, selalu menahan bibir saat tersenyum... Semua ini kulakukan agar bisa lebih percaya diri dan lebih baik, baru berani mengungkapkan perasaan di hadapanmu...”
“Aku mengikuti setiap pertandinganmu di Jerman, membaca semua berita tentangmu. Setiap hari melihat kemajuanmu, ini membuatku semakin termotivasi untuk berubah. Berharap bisa memiliki keberanian dan kualifikasi untuk berdiri di sampingmu... Tapi seberapa pun aku berubah menjadi lebih terbuka, saat harus bertemu langsung, aku tetap kurang keberanian... Maaf aku berbohong lagi, sebenarnya akun QQ-ku tidak diretas, hanya saja aku tidak berani menyapamu...”
“Aku ingin bisa menjadi sehebat dirimu, tapi selalu merasa belum cukup baik. Sampai akhirnya menjelang lulus, baru berani memutuskan untuk menemuimu. Tapi setelah benar-benar bertemu, aku... aku jadi ragu-ragu. Takut mengucapkan kalimat itu, berkhayal kalau kau sebenarnya juga menyukaiku, lalu mengungkapkan perasaan di malam Natal... Maaf, terlalu banyak baca novel romantis.” Zheng Lulu menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Aku tahu kau selalu menganggapku sebagai teman sekelas biasa. Aku juga tahu jika aku mengucapkan itu, mungkin akan merepotkanmu... Jadi kupikir baiklah, anggap saja ini reuni biasa. Setelah makan malam ini, tak ada yang terjadi, kita berpamitan dengan ucapan sampai jumpa, lalu pulang. Tapi tadi... aku menyesal. Karena... karena aku... tidak rela...”
Saat berbicara sebelumnya, tempo bicara Zheng Lulu cepat tapi nada suaranya tenang. Ia masih bisa tersenyum. Namun sampai di bagian ini, suaranya mulai bergetar, samar-samar terdengar seperti hendak menangis.
Tapi ia segera mengembalikan stabilitas emosinya dan melanjutkan:
“Aku tidak rela mengucapkan selamat tinggal padamu seperti ini. Aku tidak rela sudah berusaha bertahun-tahun tapi masih kehilangan kepercayaan diri. Aku tidak rela kesanmu tentangku hanyalah teman sekelas biasa... Aku tetap ingin menyampaikan perasaanku. Tapi tenang saja, aku tidak akan menuntut apapun darimu. Ini adalah tuntutan untuk diriku sendiri. Takut kalau tidak mengatakannya hari ini, besok tidak akan ada kesempatan lagi. Jadi terserah mau menolak atau menertawakanku, tidak masalah. Tidak perlu merasa terbebani, aku hanya ingin kamu tahu ini saja.”
Zheng Lulu menarik napas dalam lalu tersenyum: "Ternyata setelah diungkapkan, hati jadi lebih lega. Tadinya takut ditolak, takut dipermalukan, ternyata setelah berani bicara justru tidak ada yang perlu ditakutkan!"
Dia membungkuk sedikit pada Zhou Yi: "Terima kasih, Zhou Yi. Terima kasih untuk makanannya, terima kasih sudah mendengarku, terima kasih... telah hadir dalam hidupku."
Dengan tas di tangan, dia berbalik dan pergi. Tanpa keraguan maupun keberanian untuk menunggu jawaban Zhou Yi. Tapi tidak apa-apa, yang perlu dikatakan sudah tuntas. Sekarang hasil akhir justru tidak terlalu penting.
Di belakangnya, ponsel Zhou Yi berbunyi - taksi yang dipesankannya untuk Zheng Lulu sudah menunggu di depan restoran...
