"Wang Lei dan Ding Wenjun berdiri penuh semangat di antara teman-teman sekelas, saling berbisik dengan kepala bertemu: 'Hei, barangnya sudah siap?'"
"'Sudah!'"
"'Bagus! Nanti harus cari kesempatan untuk minta tanda tangan!'"
"'Masih perlu ditanya lagi?!'"
"'Tapi...' Wang Lei melirik ke sekeliling sambil mengerutkan alis, 'Kayaknya banyak yang punya niat sama dengan kita... Persaingannya ketat.'"
"'Tentu! Itu Zhou Yi!' Ding Wenjun berseru penuh semangat, 'Itu Zhou Yi!'"
"'Kalau semua orang mau minta tanda tangannya, mana mungkin dia bisa memenuhi keinginan semua orang?' Wang Lei mengkhawatirkan."
"'Hanya bisa mengandalkan keberuntungan...' Ding Wenjun juga menyadari beratnya tugas ini."
"Dia terus memandangi sekelilingnya seperti waspada terhadap pencopet, mengawasi teman-teman sekelasnya."
"Namun dalam pengamatannya, dia juga bertemu tatapan serupa. Jelas pemikiran orang lain sama dengannya - menganggap sesama sebagai pesaing."
Tatapan ke kiri-kanan dan bisikan-bisikan seperti ini memenuhi stadion, menyebabkan suara dengung memenuhi langit atas lapangan olahraga.
Siswa SMA 1 Qingyang berkumpul di lapangan olahraga sekolah sesuai unit kelas masing-masing, menanti kedatangan Zhou Yi.
Bahkan siswa kelas 3 SMA yang sudah menyelesaikan Ujian Nasional pun kembali ke kampus, mereka semua tahu bahwa tamu hari ini sangat spesial.
……
Saat taksi yang ditumpangi keluarga Zhou Yi berhenti di gerbang SMA 1 Qingyang, Wang Shunquan kepala bagian pengajaran yang sudah menunggu lama di tepi jalan langsung menyambut, membuka pintu belakang mobil dengan sigap. Begitu Zhou Jianliang dan Li Cuiyun turun, ia langsung menjabat tangan mereka dengan sikap yang sangat ramah.
Kemudian ia berlari membuka pintu kursi penumpang depan, Li Cuiyun berusaha menghentikannya: "Terlalu repot, Pak Kepala."
"Tidak apa-apa, memang seharusnya..." Wang Shunquan tersenyum pada Li Cuiyun sambil tetap membuka pintu mobil.
Tapi Zhou Yi tidak langsung turun, dia sedang memberikan tanda tangan untuk supir taksi...
"Cepat, orang sudah menunggu!" Li Cuiyun menegur anaknya.
"Tunggu sebentar, tanda tangan dulu." Zhou Yi tidak keberatan membuat Wang Shunquan menunggu. Supir ini adalah suporter setianya, mana yang lebih penting masih bisa dia bedakan.
Setelah menandatangani, barulah Zhou Yi turun lalu berjabat tangan dengan Wang Shunquan.
Wang Shunquan terus memuji selama berjabat tangan: "Wah, sudah tumbuh tinggi dan berotot ya!"
Zhou Yi hanya tersenyum hehe, tidak menanggapi pujian itu.
Selanjutnya, Wang Shunquan berjalan di depan memimpin keluarga Zhou Yi menuju ke dalam kampus.
Zhou Yi mengangkat kepala dan melihat spanduk merah tergantung di atas gerbang utama sekolah: "Selamat datang kepada alumnus kami Zhou Yi dalam kunjungan kembali ke almamater!"
Zhou Yi tersenyum puas - tak menyangka dirinya juga mendapat perlakuan spesial seperti ini.
Dulu, saat baru selesai rekaman acara realitas dan kembali ke sekolah, gerbang ini sepi sekali, mana ada kemegahan seperti hari ini?
……
Wang Shunquan mengantar Zhou Yi sampai ke stadion. Dari kejauhan Zhou Yi sudah melihat kerumunan orang yang padat di lapangan.
Dia tentu tahu ini adalah siswa-siswa yang disuruh sekolah menunggunya di lapangan.
Waktu masih jadi siswa dulu, dia juga pernah mengalami hal serupa ketika ada pejabat penting yang akan berkunjung, baru disuruh kumpul di lapangan lalu mendengarkan pidato.
Rupanya hari ini dia mendapat perlakuan seperti pejabat penting.
Saat rombongan Zhou Yi masuk ke stadion, sorakan gembira meledak dari siswa-siswa yang telah lama menunggu.
Di tengah sorakan, Zhou Yi melambaikan tangan ke arah kerumunan, membuat sorakan semakin membahana...
Sorakan yang tiba-tiba membesar ini membuat Zhou Yi kaget, refleks menarik lehernya.
Adegan ini ditangkap oleh para siswa, beberapa tak bisa menahan tawa.
Di antara gelak tawa semua orang, Zhou Yi tampak agak malu, menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Ini Zhou Yi ya…” Wang Lei menatap Zhou Yi sambil berkata, selebritas besar di hadapannya ini tampaknya tak berbeda jauh dengan mereka…
“Sepertinya juga tidak punya sikap sok selebritas…” Ding Wenjun juga menambahkan.
“Media bilang Zhou Yi sangat ramah, ternyata benar!” Wang Lei senang. Jika Zhou Yi mudah didekati, mungkin dia bisa mendapatkan tanda tangan sang bintang tanpa ditolak mentah-mentah. Beberapa selebritas yang sebenarnya tidak terlalu terkenal justru sok jaim, keluar rumah dikawal empat lima bodyguard. Kalau ada penggemar nekat minta tanda tangan, bisa-bisa digebukin bodyguard…
Komentar serupa tentang Zhou Yi menyebar di antara para siswa.
……
Setelah Zhou Yi naik panggung, sesuai prosedur dimulailah sambutan dari berbagai pejabat.
Pejabat pertama yang berpidato adalah Kepala Sekolah SMA 1 Qingyang Xie Fanghua, seorang kepala sekolah wanita yang menggantikan kepala sekolah tua Lin Xianrong empat tahun lalu.
Kepala sekolah wanita ini menyoroti kesuksesan pribadi Zhou Yi sebagai cerminan kesuksesan SMA 1 Qingyang dalam “membina talenta tanpa terikat konvensi”. Dia berharap para siswa bisa meneladani Zhou Yi dalam berani mengejar mimpi, serta membanggakan almamater dengan prestasi.
Pidato visioner sang kepala sekolah tidak mendapat resonansi. Para siswa sudah tidak lagi “masuk angin” dengan gaya pidato khas pejabat seperti ini. Di bawah panggung, telinga mereka mendengar tapi pikiran melayang. Banyak yang malah fokus mengamati Zhou Yi, sama sekali tidak menyimak isi pidato.
Setelah sambutan kepala sekolah, giliran mantan wali kelas Zhou Yi, Zhai Liying yang memberikan pidato bertema "Bagaimana Saya Menyaksikan Perjalanan Zhou Yi dari Siswa Biasa Menjadi Bintang Sepak Bola Dunia".
Bagian ini sedikit menarik perhatian karena Zhai Liying menyelipkan beberapa "informasi internal" yang belum banyak diketahui publik, seperti saat Zhou Yi meminta izin cuti padanya untuk syuting acara realitas. Zhai Liying mengungkapkan percakapan detail antara dirinya dan Zhou Yi.
Materi-materi ini bahkan tidak diketahui media, sehingga terasa segar bagi audiens. Narasinya terdengar seperti gosip selebritas. Siapa yang tidak suka gosip? Jelas terlihat, berbeda dengan kepala sekolah, Zhai Liying memiliki ikatan emosional yang nyata dengan Zhou Yi mengingat dia menjadi wali kelasnya selama dua tahun.
Usai seluruh pimpinan dan guru menyampaikan pidato, seharusnya tiba giliran Zhou Yi naik panggung.
Tapi tidak.
Wang Shunquan maji ke depan dengan senyum manis, "Sebelum memberikan kesempatan Zhou Yi berpidato untuk siswa SMA 1 Qingyang, izinkan kami memperkenalkan tamu spesial hari ini!"
Semua orang tertegun, termasuk Zhou Yi - dia tidak pernah mendengar tentang tamu misterius ini.
Puas dengan reaksi kaget audiens, Wang Shunquan menarik napas dalam lalu berseru lantang: "Mari kita sambut... mantan kepala sekolah SMA Qingyang yang legendaris!!!"
Dia memimpin tepuk tangan meriah.
“Semua orang lain juga mulai bereaksi, ikut bertepuk tangan. Di dalam stadion, tepuk tangan meriah bergema—tepuk tangan ini bukan sekadar formalitas untuk para kepala departemen, melainkan datang dari hati. Setiap anggota SMA 1 Qingyang, baik siswa maupun guru, memiliki rasa hormat yang sangat besar terhadap kepala sekolah tua mereka, Lin Xianrong.”
“Setelah keterkejutan awal, Zhou Yi pun mulai bertepuk tangan dengan penuh semangat. Terhadap kepala sekolah tua ini, tentu saja rasa hormatnya juga tulus berasal dari dalam hati.”
“Di tengah gemuruh tepuk tangan, Lin Xianrong yang berusia 79 tahun dipapah oleh putranya menuju podium stadion.”
“Kepala sekolah saat ini, Xie Fanghua, segera berlari mendekat untuk membantu memapah Lin Xianrong sambil menanyakan kondisi kesehatannya dengan penuh perhatian.”
“Aku baik-baik saja, sehat walafiat.” Lin Xianrong menjawab sambil tersenyum lebar. Meski posturnya lebih bungkuk dari sebelumnya, semangatnya tetap menyala-nyala.”
“Sorakan siswa-siswa bergema dari bawah podium.”
“Lin Xianrong kembali melambaikan tangan ke arah siswa-siswa di bawah, membuat sorakan semakin menggema keras.”
“Kemudian Lin Xianrong berbalik menghampiri guru-guru lain sekolah itu, berjabat tangan satu per satu dengan mereka.”
“Terakhir, dia tiba di depan Zhou Yi. Alih-alih langsung mengulurkan tangan, dia menatap Zhou Yi dengan seksama, mengamati dari ujung kepala hingga ujung kaki. Baru kemudian dia mengulurkan tangan—bukan satu tangan, melainkan membuka kedua lengannya untuk memeluk Zhou Yi.”
“Zhou Yi yang tidak menyangka mendapat sambutan hangat semacam ini dari sang kepala sekolah tua, awalnya terlihat kaku dan tidak alami saat dipeluk. Namun tak lama kemudian, dia mulai bisa menyesuaikan diri.”
“Dia pun dengan lembut menepuk-nepuk punggung kepala sekolah tua itu.”
Setelah berpelukan dengan Zhou Yi, Lin Xianrong berbalik menuju mikrofon di depan.
Melihat para siswa di bawah panggung, ia mengibaskan tangan dan berkata: "Jangan tegang, saya tidak akan berpidato ala kepemimpinan."
Seketika riuh tawa nakal bergema dari bawah panggung.
Bahkan Xie Fanghua yang sebelumnya sempat berpidato resmi ikut tertawa - candaan seperti ini bila diucapkan orang lain tentu akan membuatnya kesal, tapi bila Lin Xianrong yang melakukannya, sama sekali tak ada rasa tak nyaman. Sebaliknya, menjadi bahan olok-olok Lin Xianrong justru menunjukkan hubungan yang sangat spesial!
Maka ia pun tertawa lepas dengan gembira.
Zhou Yi mengamati kepala sekolah tua dari belakang. Suara pria tadi terdengar gemetar, jauh berbeda dengan suara penuh semangat yang dulu sering ia dengar saat masih menjadi siswa SMA 1 Qingyang.
Direnungkannya, sang kepala sekolah tua tahun ini genap berusia 79 tahun.
Sudah lima tahun berlalu sejak ia meninggalkan sekolah untuk mengejar mimpi menjadi pemain profesional.
Kilasan kenangan masa sekolahnya bergulir di benak, waktu bagai kuda putih melesat celah, menguap dalam nostalgia.
