"Tidak percaya diri itu tidak buruk, setidaknya itu membuktikan kau bisa mengenali diri sendiri dengan jernih. Sekarang ini orang yang bisa mengenali diri sendiri dengan jernih sudah terlalu langka. Terlalu banyak pemuda yang prestasi sebesar kentut tapi kesombongannya selangit, hmph!" Xu Genbao dengan kebiasaannya mengkritik fenomena aneh di masyarakat, mengingatkan Yan Min bahwa sebenarnya sang guru memang selalu memiliki temperamen yang tidak terlalu baik...
“Kalau tidak percaya diri, artinya kamu sadar diri masih kurang baik, maka kamu akan berusaha memperbaiki diri. Ini alasan aku menyukaimu, dan kenapa kamu bisa tetap di Chongming serta dipromosikan ke tim utama. Keraguanmu untuk ke Borussia Dortmund juga hal baik, menunjukkan kamu sudah memperkirakan kesulitan yang ada. Ini benar, jangan katakan pindah tempat main, bahkan kalau tetap di Chongming pun belum tentu lancar. Pindah klub tentu lebih berisiko. Mempertimbangkan risiko itu langkah bijak. Tapi jangan sampai takut mundur karena risikonya besar. Apa sih? Bukankah sama seperti waktu kamu pertama kali datang ke Pulau Chongming dari rumah? Di mana pun, sepak bola tetaplah sama: latihan keras dan tampil baik. Kalau dua hal ini bisa kamu lakukan, apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Takut? Makin giatlah berlatih dan tampilkan performa terbaik!”
Xu Genbao mengangkat tangan dengan penuh wibawa.
“Bahkan kalau tidak bisa main di Dortmund, hasil latihanmu di sana pasti bisa membawamu ke klub lain. Masa tidak ada yang mau?”
Yan Min tiba-tiba tersadar — bukankah Pelatih Xu memanggilnya untuk mendengar pendapatnya? Kok sekarang malah sepertinya beliau sudah punya keputusan?
Ia batuk kecil: “Pelatih Xu... Bapak sudah memutuskan?”
Xu Genbao bertanya: “Ada masalah?”
“Bukan, maksud saya... Wu Lei juga ingin pergi ke luar negeri untuk bermain sepak bola, kenapa Bapak tidak setuju?” Yan Min bertanya dengan hati-hati. Hanya di hadapan mentornya inilah dia menunjukkan sikap seperti ini.
Pertanyaan Yan Min membuat Xu Genbao terdiam sejenak, lalu menghela napas: "Kamu dan Wu Lei berbeda. Wu Lei kalau pergi terlalu awal justru akan hancur..."
"Kalau saya tidak akan begitu?" Yan Min memberanikan diri bertanya.
"Kamu..." Xu Genbao meliriknya. "Karakter pribadimu justru lebih berbahaya jika tetap di dalam negeri. Temperamenmu ini benar-benar..."
Yan Min segera mengangguk: "Tidak disukai orang, saya tahu saya tahu..."
"Bagus kalau kamu sadar. Klub sudah memutuskan menyetujui transfermu..." Melihat ekspresi gembira Yan Min, dia melanjutkan, "Tapi jangan senang dulu. Klub punya syarat, kami bukan lembaga amal, harus ada profitabilitas. Jadi keberangkatanmu ke Borussia Dortmund tergantung apakah mereka bisa menawarkan biaya transfer yang sesuai... Tentu kami juga bukan klub yang mematok harga selangit." Xu Genbao menambahkan sambil mendengus.
"Sudah, kamu boleh pergi."
Setelah mengatakan ini, Xu Genbao melambaikan tangan menyuruh Yan Min pergi.
Saat Yan Min meninggalkan kantor Xu Genbao, dia masih belum sepenuhnya sadar - bukannya dipanggil untuk dimintai pendapat?
Tapi jika benar-benar ditanya lagi apakah mau pergi, sekarang pasti akan dijawab tanpa ragu: Mau!
Bukan cuma Borussia Dortmund, bukan cuma gelar Champions Eropa, apa yang perlu ditakuti? Kalau mau tampil di lapangan, mau berdiri kokoh di tim seperti Zhou Yi... Berjuang saja!
Soal kegilaan, Yan Min punya kepercayaan diri yang tinggi pada dirinya sendiri.
Jangan juga mikirin gagal bertahan di luar negeri dan balik main bola di China, Yan Min sengaja nggak nyiapin jalan mundur.
Mikirin gitu, tiba-tiba dia udah nggak sabar pengen buru-buru ke Dortmund.
……
Lihat Yan Ming pergi, Xu Genbao melepas kacamatanya, badannya langsung bersandar di sandaran kursi sambil mendongak, pura-pura istirahatin mata.
Hari ini dia ngobrol banyak sama Yan Min, hal-hal yang belum pernah dibahas sebelumnya, bahkan emosi yang biasanya ditutup-tutupi depan Yan Min.
Alasannya bicara seperti itu, Xu Genbao merasa mungkin ini kesempatan terakhirnya ngasih nasihat begini, biar semua keluar demi kebaikan Yan Min.
Penilaiannya tentang Wu Lei dan Yan Min yang mau main di luar negeri bukan asal ngomong atau sekadar alasan buat ngehindar.
Dia benar-benar yakin karakter pribadi dan temperamen Yan Min cuma bakal bikin sering nabrak tembok di lingkungan rumit sepakbola China. Seberapa tinggi semangatnya, akhirnya tetap kalah sama realita kejam. Mungkin masih bisa jadi pemain CSL, tapi jauh dari harapannya...
Sebenarnya seperti apa sih Yan Min yang dia harapkan?
Setidaknya bisa menjadi pilar utama di Timnas Tiongkok, seperti Wu Lei.
Banyak orang tidak tahu, di Chongming Shanghai, Wu Lei adalah pemain paling populer, paling diperhatikan dan paling dinanti. Sejak kecil dia sudah terkenal di dunia sepak bola dalam negeri, menjadi pemain termuda dalam sejarah sepak bola Tiongkok yang tampil di liga profesional, bahkan meraih Medali Emas Olimpiade dan terpilih ke Timnas... Yan Min sepertinya sama sekali tidak bisa dibandingkan dengannya.
Namun di hati Xu Genbao, Yan Min dan Wu Lei ditempatkan setara. Ia yakin prestasi Yan Min di masa depan tidak akan kalah dari Wu Lei.
Tapi perbedaan karakter keduanya menentukan jalan yang berbeda. Wu Lei yang sudah terkenal sejak kecil menapaki jalan relatif mulus, tak terhindarkan memiliki sifat arogan dan kesombongan di masa muda. Meski di permukaan tetap rendah hati, dan dipercaya serta disukai rekan setim. Tapi Xu Genbao tahu betapa besar kesombongan dalam hati Wu Lei, sehingga perlu ada yang sesekali menyemangati, menghajar, dan mengingatkannya.
Bagaimana dengan Yan Min? Meski terlihat lebih percaya diri daripada Wu Lei di permukaan, sebenarnya dia memiliki rasa rendah diri yang dalam dan kurang percaya diri. Tanpa kehadiranku di sampingnya, ketidakpercayaan dirinya justru membuatnya tetap jernih berpikir. Namun karakter yang ditunjukkannya sangat tidak disukai di China, terlihat dari hubungannya yang buruk dengan rekan setim. Dia selalu menjadi bahan olok-olokan dan tidak ada yang benar-benar menghargai, menyukai, atau mendukungnya. Saat ini dia masih bisa bermain di Tim Chongming semata-mata karena Xu Genbao sebagai satu-satunya otoritas di klub Chongming masih bisa memberikan bantuan dan perlindungan padanya.
Tapi Xu Genbao tahu tidak mungkin melindunginya selamanya, dia tidak bisa dan tidak boleh melakukannya. Faktanya, saat ini dia sedang berusaha mencari induk baru bagi klubnya. Dia sedang bernegosiasi dengan sponsor utama tim saat ini, Harbour Group, berharap Harbour Group bisa mengakuisisi penuh klub Chongming. Hanya dengan sumber keuangan yang stabil klub ini bisa berkembang lebih jauh.
Langkah ini jelas untuk masa depan klub, namun juga berarti dia akan kehilangan kendali atas klub. Posisinya sebagai ketua klub pun belum pasti. Xu Genbao cukup legawa menghadapi ini, buktinya dia yang aktif menghubungi Harbour Group. Jika Harbour Group benar-benar mengakuisisi klub, ini akan menguntungkan hampir semua orang kecuali satu - Yan Min yang merepotkan.
Nanti jika dirinya sudah tidak punya suara di klub, seberapa besar perlindungan yang bisa diberikan kepada si anak yang tidak disukai ini sulit dipastikan. Masa iya dia mau mengorbankan hubungan dengan manajemen klub hanya demi seorang pemain? Tanpa perlindungannya, Xu Genbao yakin posisi Yan Min di tim akan merosot drastis. Dia terlalu paham dengan gaya "jianghu" yang berlaku di sepak bola China.
Jadi sebenarnya meski tidak ada urusan Borussia Dortmund ini, Xu Genbao sudah merancang cara untuk mengirim Yan Min keluar. Awalnya dia menyuruh Yan Min ikut syuting reality show juga ada niat terselubung ini. Xu Genbao sangat memahami pemain didikannya.
Sekarang syukurlah, karena bermain satu pertandingan melawan Borussia Dortmund, Yan Min malah dilirik oleh mereka. Tapi memang si Yan Min ini layak dipuji, performanya di pertandingan itu hampir sempurna...
Memikirkan ini, senyum kepuasan muncul di wajah Xu Genbao yang sedang merenung. Sebagai pelatih, apa yang lebih membahagiakan daripada melihat pemain binaannya meraih prestasi?
Xu Genbao yang memejamkan mata mulai melayang pikirannya.
Dia teringat masa-masa sulit dulu ketika masih aktif sebagai pelatih kepala di garis depan sepak bola domestik.
Kala itu dirinya bukanlah "pria baik-baik" yang dipuji semua orang, melainkan "pelatih berkepribadian" yang selalu dikelilingi berita dan kontroversi.
Dia pernah meraih kecemerlangan saat melatih Shenhua merebut gelar Jia-A dari tangan Dalian yang dominan di tahun 1995, namun juga mengalami masa suram ketika kembali ke Shenhua dan hanya bertahan sepuluh pertandingan sebelum diberhentikan.
Saat melatih Tim Olimpiade Tiongkok, dia pernah berkoar "tegaskan hati, harus lolos kualifikasi", tapi akhirnya kalah di Kuala Lumpur 1992 oleh Tiga Menit Kelam yang membunuh asa, menjadi bulan-bulanan cibiran seluruh rakyat.
Dia juga mengeluarkan pernyataan "pragmatis" seperti "juara itu seratus poin, juara dua cuma empat puluh poin". Saat meninggalkan klub Shenhua dengan getir, masih berkoar "sepuluh tahun lagi aku akan bangkit".
Pada dirinya terkristal berbagai kontradiksi, mengalami pasang surut takdir yang berliku-liku.
Tapi karakter keras dan tegasnya tak pernah berubah sedikit pun.
Karena karakter ini, dia pernah tertipu, menderita, dipermalukan, membayar harga yang tak murah, akhirnya memilih bertapa di Pulau Chongming yang terpencil dari pusat Shanghai. Namun bahkan di lembah keterpurukan terendah, masih menyimpan ambisi - ingin membangun klub China setara Manchester United dalam sepuluh tahun.
Karena telah mengalami begitu banyak hal, ketika Xu Genbao melihat bayangan dirinya sendiri dalam diri Yan Min, dia langsung tahu betapa sulitnya perjalanan yang akan dialami pemuda ini jika tetap bermain di dalam negeri. Dia tidak tahu apakah keberuntungan Yan Min cukup baik untuk mengatasi setiap hambatan, tapi dia berharap Yan Min bisa mengalami lebih sedikit kesulitan—tentu saja, syarat untuk itu bukan dengan menunduk pada dunia nyata dan mengubah karakternya. Xu Genbao sendiri melalui banyak cobaan tanpa pernah ingin mengubah sifat dan temperamennya, tentu dia juga tak ingin Yan Min berubah. Menurutnya, perubahan seperti itu akan membuat Yan Min "kehilangan keunikan dan menjadi biasa saja".
Dia berharap kehidupan dan realitas tak mengikis ketajaman serta semangat pemberontak dalam diri Yan Min. Tapi di dalam negeri, harapan ini mungkin sulit terwujud. Masyarakat kita memiliki terlalu banyak peraturan yang terang maupun tersembunyi, seperti aliran air yang tak henti menggerus setiap individu.
Anak berbakat seperti ini, lebih baik dikirim ke luar negeri saja.
Semoga dia bisa menemukan tempatnya sendiri di Dortmund dan Eropa.
Prestasi yang diraih di luar negeri akan menjadi baju zirah yang melindunginya, sehingga dia tak perlu lagi khawatir...
