Meski Zhou Yi masuk tiga finalis sudah menciptakan sejarah untuk sepak bola Tiongkok bahkan Asia, semua tetap berharap dia bisa meraih penghargaan tertinggi.
Banyak yang berpikir seperti ini——Perform Zhou Yi musim lalu benar-benar luar biasa, secara prestasi berhasil membawa timnya meraih gelar juara Bundesliga, menyelesaikan tiga gelar liga berturut-turut, bahkan mengangkat piala telinga besar di Champions Eropa.
Prestasi gemilang dan hasil yang menyilaukan ini merupakan kesempatan terbaik dalam karier Zhou Yi. Ini bahkan bukan tahun besar seperti Euro atau Piala Dunia. Jika kali ini dia tidak bisa memenangkan penghargaan, siapa tahu kapan lagi kesempatan berikutnya akan datang?
Sebenarnya, sebagian besar suporter China masih kurang percaya diri terhadap Zhou Yi. Meskipun Zhou Yi masih muda, banyak yang menganggap masuknya namanya dalam daftar final kali ini seperti keberuntungan sampah, dan kemujuran sebaik ini belum tentu akan selalu menyertai Zhou Yi setiap kali.
Begitu peluang muncul, harus langsung direbut. Melewati desa ini tidak akan ada toko lagi.
Tapi realitanya kejam——Bukan berarti dengan meraih cukup prestasi, otomatis bisa memenangkan penghargaan.
Banyak yang memiliki kekhawatiran seperti ini, dan alasan kekhawatiran mereka adalah karena pernah ada preseden serupa sebelumnya.
Pada pemilihan Ballon d'Or FIFA tahun 2010, tahun tersebut merupakan tahun pertama penggabungan penghargaan FIFA dengan Ballon d'Or majalah Prancis France Football, sekaligus tahun besar yang ada Piala Dunia.
Tiga kandidat final Ballon d'Or FIFA tahun itu adalah Iniesta, Xavi, dan Messi.
Tidak perlu melihat hasil akhir, hanya dengan melihat daftar kandidat tiga orang ini, siapa pun yang benar-benar paham sepak bola bisa melihat masalahnya. Karena dalam daftar kandidat akhir yang hanya menerima tiga besar dari proses pemungutan suara, gelandang Belanda dan pemain inti Inter Milan Sneijder ternyata tidak masuk!
Dalam kompetisi klub Eropa tahun itu, Inter Milan menjadi pemenang terbesar. Tim yang dipimpin Mourinho meraih gelar liga Serie A, piala Coppa Italia, dan Champions Eropa, menjadi treble winner pertama dalam sejarah Serie A. Pemain inti tim Sneijder menjadi figur kunci kesuksesan tim sebagai treble winner, dengan performansi yang sangat brilian. Dalam berbagai penghargaan pemain terbaik klub musim Eropa pertengahan tahun, Sneijder mengalahkan Xavi dari Barcelona dan rekan senegaranya Arjen Robben dari Bayern München, menjadi gelandang terbaik.
Dalam kompetisi timnas tahun itu, performa apik Sneijder terus berlanjut. Bersama Robben, mereka memimpin timnas Belanda menaklukkan satu per satu rintangan di Piala Dunia Afrika Selatan, akhirnya lolos ke final Piala Dunia setelah terakhir kali di Piala Dunia Jerman 1978. Ini menjadi prestasi terbaik Belanda di Piala Dunia setelah 32 tahun. Terutama saat melawan Brasil yang diunggulkan, Sneijder tampil sempurna. Meski Brasil unggul di babak pertama dengan situasi yang sangat menguntungkan, Sneijder bangkit dengan dua gol yang membalikkan keadaan, mengantarkan Kaka pulang ke Brasil, sementara dirinya melaju ke final.
Di final, Belanda bertarung sengit dengan Spanyol hingga perpanjangan waktu sebelum akhirnya dikalahkan oleh gol Iniesta. Meski begitu, performa Sneijder selama Piala Dunia itu tetap sempurna. Dengan lima gol dan satu assist, statistik ini membuktikan bahwa dialah pemain inti dan pemimpin timnas Belanda. Ia juga meraih Silver Ball dan Bronze Boot pada Piala Dunia tersebut.
Prestasi di klub dan performa di timnas sama-sama gemilang. Performa ini hampir setara dengan Zhou Yi, bahkan mungkin lebih meyakinkan karena ada faktor pertandingan timnas yang memperkuat nilainya dibanding pencapaian Zhou Yi.
Tapi pemain sekelas ini, di puncak kariernya, bahkan tidak masuk tiga besar nominasi penghargaan tahun itu... Bukankah ini sangat konyol?
Ballon d'Or FIFA adalah gabungan dari Pemain Terbaik Dunia FIFA sebelumnya dan Ballon d'Or majalah France Football. Sistem pemungutan suara hanya menambahkan secara mentah kedua metode pemungutan suara tanpa mempertimbangkan bobot. Sistem voting wartawan France Football dan sistem voting pelatih timnas + kapten timnas FIFA disatukan begitu saja. Namun jumlah pelatih dan kapten timnas jelas lebih banyak daripada wartawan media, sehingga suara mereka akan jauh lebih dominan. Pilihan merekalah yang menentukan hasil akhir, sementara voting wartawan yang dianggap otoritatif hanya menjadi pendamping terbaik.
Dalam proses pemungutan suara, terlihat jelas Sneijder menerima persentase suara tertinggi dari wartawan sebesar 7,7%. Namun dalam voting kapten timnas dan pelatih timnas, persentase Sneijder lebih rendah dibandingkan tiga kompetitor yang masuk tiga besar akhir, masing-masing hanya 3,79% dan 3%.
Pada total perolehan suara akhir, Sneijder meraih 14,48% dan berada di peringkat keempat. Bagaimana dengan Messi yang menempati posisi pertama? Total suaranya mencapai 22,65%, namun persentase suara media justru terendah di antara empat besar - hanya 4,38%.
Messi mengandalkan suara dari kapten timnas dan pelatih timnas dengan persentase masing-masing 8,55% dan 9,72%, jauh meninggalkan ketiga pesaing lainnya.
Sistem pemungutan suara FIFA ini terus dikritik sebagai tidak profesional, bertolak belakang dengan sistem voting Ballon d'Or France Football di masa lalu.
Beberapa orang mungkin merasa aneh, mengapa pelatih timnas dan kapten tingkat nasional bisa tidak profesional?
Profesionalitas pemain tercermin dalam kemampuan teknis sepak bola mereka, namun belum tentu dalam pemahaman menyeluruh tentang sepak bola.
Bisa dikatakan, pengetahuan Kapten timnas tentang tren sepakbola dunia mungkin kalah dari suporter China yang bahkan tidak bisa menendang bola dengan baik.
Apalagi pelatih dan kapten dari negara-negara kecil dan lemah di sepak bola. Misalnya, berapa banyak yang bisa diketahui pelatih dan kapten timnas Tonga tentang sepakbola dunia? Intelijen sepak bola mereka mungkin lebih bergantung pada pemberitaan media, jadi bintang-bintang yang sering muncul di media tentu yang paling mereka kenal, seperti Messi atau Cristiano Ronaldo yang merupakan bintang lapangan kelas dunia.
Saat harus memilih, mereka sama sekali tidak mengenal kandidat lain, hanya memilih nama-nama yang familiar. Tentu saja orang seperti Messi dan Cristiano Ronaldo diuntungkan.
FIFA saat ini memiliki 209 negara anggota. Setiap pelatih timnas dan kapten negara anggota memiliki hak suara, total 418 hak pilih. Bagaimana dengan panel juri media Ballon d'Or? Hanya 53 media terpercaya yang punya hak pilih.
Sekalipun 53 wartawan media ini memilih Sneijder, tetap tidak bisa menandingi 418 suara untuk Messi.
Maka di bawah aturan pemungutan suara yang unik ini, pemain dengan performa terbaik tahun 2010, Sneijder, dengan memalukan bahkan tidak masuk tiga besar...
Saat hasil akhir belum diumumkan, sekedar susunan tiga besar ini saja sudah memicu kontroversi dan keraguan yang sangat besar.
Ketika hasil akhir benar-benar diumumkan, hal ini membuat hampir semua media tidak puas - Anda bilang Sneijder tidak masuk tiga besar dan tidak berhak ikut kompetisi akhir, baiklah. Di antara tiga kandidat tersisa, Xavi atau Iniesta yang membawa timnas Spanyol menjadi juara Piala Dunia, seharusnya memiliki peluang lebih besar daripada Messi untuk meraih penghargaan ini, bukan?
Tapi nyatanya tidak! Messi-lah yang akhirnya memenangkan Ballon d'Or FIFA!
Saat pengumuman hasil, Messi sendiri terkejut dan tidak menyangka - dia benar-benar merasa tidak layak menerima penghargaan tersebut.
Di tahun penyelenggaraan Piala Dunia, performa di turnamen tersebut memiliki nilai referensi yang sangat tinggi. Performa Messi di Piala Dunia sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Xavi maupun Iniesta. Di Piala Dunia Afrika Selatan, ia tidak mencetak satu gol pun, sementara timnas Argentina yang dibawanya dihancurkan telak oleh timnas Jerman. Bagaimana performa seperti ini layak mendapatkan Ballon d'Or?
Tapi siapa sangka dia adalah bintang dunia paling populer di media beberapa tahun terakhir, bahkan dijuluki sebagai Raja Sepak Bola ketiga?
Tingginya eksposur media, namanya terus muncul di berbagai pemberitaan, semua yang tahu sepak bola pasti mengenal Messi - inilah keuntungannya dalam pemungutan suara...
Dengan demikian, Messi secara kontroversial meraih penghargaan individu tertinggi tahun itu, Ballon d'Or FIFA.
Karena tidak ada persaingan antara Ballon d'Or Eropa dan FIFA, maka Messi menjadi pemain profesional terbaik di dunia tahun itu.
Tentu saja ini tidak adil. Dari segi kemampuan, Messi memang salah satu pemain terbaik dunia, namun berdasarkan performanya di tahun 2010, seharusnya Sneijder yang lebih layak meraih penghargaan ini.
Bertahun-tahun kemudian, ketika orang mencari pemenang Ballon d'Or 2010, mereka hanya akan melihat nama Messi. Kisah di baliknya mungkin terlupakan. Mereka akan menganggap wajar Messi memenangkannya karena dianggap memiliki performa terbaik yang diakui secara resmi.
Jika hal seperti ini bisa terjadi pada Sneijder, pemain inti Belanda yang merupakan negara sepak bola kuat, mengapa tidak bisa terjadi pada Zhou Yi, pemain inti Tim China yang lemah tiga tahun kemudian?
Perlu diingat, Sneijder bahkan adalah treble winner, sedangkan Zhou Yi bahkan belum memenangkan treble sekalipun.
Satu-satunya harapan mereka adalah otoritas dan keadilan dari wartawan aliansi media olahraga Eropa, berharap mereka bisa membuat pilihan yang sesuai dengan penilaian profesional dan status otoritatif mereka.
"Tapi ada juga yang khawatir, di momen genting ini, apakah ada kemungkinan diskriminasi rasial? Diskriminasi rasial di lapangan sepak bola memang selalu parah, di media yang didominasi Eropa-Amerika juga ada masalah seperti ini. Prasangka mereka terhadap China tidak berkurang. Ingat Olimpiade London tahun lalu, itu contoh nyata diskriminasi media Eropa-Amerika terhadap olahraga China."
"Jangan-jangan ada wartawan yang menganggap pemain China tidak layak dapat penghargaan ini, tidak mau melihat pemain China ikut meraih keuntungan di sepak bola, lalu memilih memberikan suara ke Messi atau Ribery?"
"Saat hasil akhir akan diumumkan, para suporter China yang lama merasa inferior di dunia sepak bola menjadi sangat sensitif dan rapuh..."
