Yan Min dan Zhou Yi bersama-sama terbang langsung dari Praha ke Beijing keesokan harinya setelah Piala Super Eropa.
Dia juga terpilih dalam daftar pelatihan konsentrasi timnas kali ini.
Sedangkan pemilihan terakhirnya ke timnas sebelumnya hanya karena cedera tak terduga pada pemain timnas di posisi yang sama.
Kini melihatnya kembali di timnas, hal ini membuat beberapa rekan setimnya dulu yang pernah mengejek merasa canggung - siapa sangka pemuda berucap arogan dengan otak dipenuhi gaya chuunibyou ini bisa bergabung dengan Borussia Dortmund hanya dalam hitungan bulan?
Meski belum sekalipun tampil dalam pertandingan resmi untuk Dortmund, latihan berkualitas tinggi di klub Jerman tersebut pasti memberikan peningkatan besar bagi kemampuannya.
Dulu semua mengira setelah insiden itu, Yan Min mungkin harus menunggu waktu tak tentu untuk kembali terpilih ke timnas, mungkin penampilan tunggalnya itu akan menjadi satu-satunya catatan pertandingannya.
Pada Piala Asia Timur Juli lalu dia memang tidak terpilih, tapi saat itu karena proses transfer ke Dortmund yang belum pasti, Tim China sengaja tidak memanggilnya. Bukan karena tidak memenuhi syarat untuk timnas yang seluruhnya berisi pemain dalam negeri.
Kini Yan Min tidak hanya kembali ke timnas, tapi juga sebagai pemain yang bermain di luar negeri, membuat rekan-rekan setim dulu yang meragukan masa depannya merasa tidak nyaman.
Namun tidak ada yang berani mengungkapkan sikap meremehkan mereka kepada Yan Min secara langsung, apalagi mengatakan kalimat seperti "Kamu bahkan bukan pemain cadangan di Borussia Dortmund" kepadanya.
Di satu sisi, mereka bahkan tidak memenuhi syarat untuk menjadi cadangan dari pemain cadangan di Dortmund. Di sisi lain, jelas terlihat bahwa saat ini Yan Min berada di bawah lingkaran Zhou Yi. Meskipun Zhou Yi tidak membentuk faksi di tim, bukan berarti orang-orangnya bisa sembarangan dihina.
Perlu diketahui, Gao Hongbo sebagai pelatih kepala pun sangat menghargai pendapat Zhou Yi.
Jika ada yang benar-benar membuat Zhou Yi tersinggung, bagaimana jika dia membisikkan sesuatu di telinga Pelatih Gao?
Dengarkan pidato Pelatih Gao sebelum pelatihan konsentrasi dimulai - enam kata tersebut bergema tegas, masih segar dalam ingatan, dan terasa penuh tekad baja.
Bisa jadi Pelatih Gao sengaja menunggu ada yang menabrak moncong senjatanya, untuk dijadikan tumbal sebagai bukti bahwa ucapannya sebelumnya bukan sekadar omong kosong.
Pada saat seperti ini, hanya orang bodoh yang mau menyentuh ranjau ini.
……
Masa pelatihan sangat singkat. Pada 4 September, Timnas China menyambut lawan pemanasan pertama mereka, Singapura, di Tianjin.
Gao Hongbo tidak langsung menurunkan seluruh starting lineup untuk pertandingan ini, atau lebih tepatnya sama sekali tidak ada formasi inti yang jelas. Selama latihan pra-pertandingan, media China mengamati bahwa Gao sepertinya tidak berniat menentukan formasi utama. Dalam latihan internal, dia selalu mengacak-acak pemain.
Warna rompi latihan sama sekali tidak bisa dijadikan patokan untuk memprediksi siapa yang akan menjadi starter melawan Singapura.
Kesan formasi tetap yang sebelumnya tertanam di benak publik selama babak kualifikasi, kini telah runtuh.
Hal ini menunjukkan Gao Hongbo tidak ingin mengunci formasi pemain utama saat ini. Dengan jarak hampir 300 hari menuju Piala Dunia, ia memiliki waktu cukup untuk mengevaluasi pemain dalam negeri dan mencari kombinasi personel terbaik.
Zhou Yi memang mendapat kesempatan sebagai starter dalam pertandingan ini, namun He Ying, Sun Pan, dan Guo Nu tidak masuk starting lineup. Dari "Lima Naga Kecil", hanya Zhou Yi dan Yang Muge yang menjadi pemain utama.
Dalam laga ini, Zhou Yi hanya bermain selama 45 menit sebelum ditarik keluar saat jeda babak pertama.
Pada babak pertama, Tim China sudah unggul 3-0 atas Singapura, ditambah beberapa peluang emas yang belum dimanfaatkan.
Di babak kedua, He Ying, Sun Pan, dan Guo Nu dimasukkan ke lapangan. Pada menit ke-68, Yan Min juga melakukan substitusi.
Tim China mencetak tiga gol tambahan di babak kedua, namun juga kemasukan satu gol.
Akhirnya, China menang 6-1 atas Singapura, meraih kemenangan pertama dalam persiapan pertandingan pemanasan menuju Piala Dunia.
Usai pertandingan, Zhou Yi memberikan wawancara ke stasiun TV: "...Kekuatan lawan tidak penting, yang utama adalah menggunakan laga ini untuk mengondisikan ritme permainan dan menemukan kondisi terbaik para pemain. Semua demi Piala Dunia Juni tahun depan..."
Empat hari kemudian saat melawan Malaysia, Zhou Yi tidak masuk starting lineup. Ia dan He Ying baru ditarik masuk di babak kedua.
Meski menang, skor kemenangan Tim China kali ini tidak sebesar pertandingan sebelumnya.
Kali ini China menang 3-0 atas Malaysia.
Dua pertandingan pemanasan memang meraih kemenangan, tapi hasil akhir bukan yang jadi fokus perhatian. Yang lebih diperhatikan publik adalah performa yang ditunjukkan Tim China dalam pertandingan.
Gao Hongbo mencoba kombinasi pemain berbeda di dua laga ini, bahkan bereksperimen dengan formasi berbeda. Performa Tim China juga belum bisa dibilang bagus, mengingat sudah lama tak berlatih dan bertanding bersama. Ditambah lagi, Liga Super China (CSL) sedang memanas saat ini, stamina banyak pemain belum pulih sepenuhnya sehingga terlihat lelah saat membela timnas.
Usai dua pertandingan pemanasan, Tim China langsung dibubarkan di Tianjin. Para pemain kembali ke klub masing-masing.
Zhou Yi, Yan Min, dan Yang Muge terbang bersama ke Jerman menggunakan satu penerbangan.
Di bandara, Yang Muge berpamitan dengan Zhou Yi dan Yan Min. Dia harus kembali ke Gelsenkirchen.
Zhou Yi dan Yan Min justru dijemput mobil oleh agen mereka, Schulze. Alih-alih pulang ke rumah masing-masing, mereka langsung menuju rumah baru Zhou Yi.
Di sana, orang tua Zhou Yi sudah menanti kedatangan mereka.
Sebelumnya Zhou Yi sudah berjanji akan mengundang Yan Min dan Schulze untuk makan di rumahnya, mencicipi keahlian memasak ibunya.
Li Cuiyun juga mempersiapkan segalanya matang-matang. Barang terbanyak yang dibawanya dari China adalah berbagai bumbu masakan Tiongkok, khawatir tidak bisa mendapatkan yang otentik di sini.
Schulze yang sudah pernah bertemu orang tua Zhou Yi dan mencicipi masakan Ny. Zhou, sangat antusias mendengar bisa menikmati hidangan lezat di Jerman.
Yan Min merasa sedikit cemas—dia belum pernah bertemu orang tua Zhou Yi, dan merasa gelisah tentang kunjungan ke rumah Zhou Yi.
Di dalam mobil, Zhou Yi memperhatikan keanehan Yan Min dan bertanya, "Kenapa, tidak enak badan?"
Yan Min cepat-cepat menggelengkan kepala: "Tidak-tidak, aku cuma agak gugup..."
"Gugup apa? Kamu cuma berkunjung ke rumahku, bukan ke rumah calon mertua..." Zhou Yi mengolok-olok.
Tak disangka Yan Min menjawab: "Aku takut salah bicara nanti..."
Zhou Yi tertawa mendengarnya: "Akhirnya kamu sadar juga soal mulutmu itu?"
Setelah mengolok-olok Yan Min, Zhou Yi merasa hangat di hati—meski terkadang bertingkah konyol, Yan Min sebenarnya perhatian pada orang lain.
Dia pun menghibur: "Tenang saja, orang tuaku mudah diajak bergaul. Lihat saja aku." Dia menunjuk wajahnya sendiri.
Yan Min bingung memandangnya, tak mengerti maksudnya.
"Lihatlah diriku. Orang tua yang bisa membesarkan anak sebaik aku, mungkin sulit diajak bergaul?" Zhou Yi membanggakan diri.
Yan Min tersenyum. Zhou Yi adalah pemain China dengan prestasi tertinggi. Di usia muda sudah meraih hasil gemilang, kebanyakan orang pasti sudah sombong setinggi langit, penuh kesombongan muda. Tapi Zhou Yi bahkan masih dianggap rendah hati meski sesekali berlagak.
Tapi semua hal ini sama sekali tidak terlihat pada Zhou Yi. Dia tidak sombong, tidak pernah memamerkan prestasinya untuk menekan orang lain. Di dalam tim, baik pemain baru maupun veteran, dia perlakukan dengan setara. Yan Min yang baru datang ke Borussia Dortmund dan sama sekali tidak mengerti apa-apa, berkat bantuannya bisa mapan. Setelah Yan Min baru saja berpisah dengan agen, Zhou Yi langsung dengan sigap memperkenalkan agennya yang sekarang. Saat Yan Min menghadapi perhatian berlebihan dari wartawan, lagi-lagi Zhou Yi yang aktif maju mengalihkan perhatian media dan membelanya...
Dulu Yan Min tidak punya kontak dengan Zhou Yi, pengetahuannya tentangnya hanya terbatas pada pemberitaan media dan menonton pertandingannya.
Tapi sejak datang ke Borussia Dortmund, barulah dia menyadari Zhou Yi berbeda dengan bayangannya. Seorang pemain sukses yang bisa bersikap seperti ini sangat langka. Mengingat orang-orang yang pernah dia temui saat bermain di dalam negeri dulu, yang prestasinya bahkan tidak mencapai sepersepuluh Zhou Yi tapi semuanya sok jagoan dan sombong.
Dengan perbandingan ini, dia baru merasa betapa tepat keputusannya bermain ke luar negeri. Setelah membuka wawasan dan melihat dunia yang lebih luas, secara alami tidak ada lagi kesombongan. Zhou Yi yang sudah sukses saja rendah hati, apa hak kalian untuk pamer?
Setelah mendengar perkataan Zhou Yi, perasaan cemas Yan Min berkurang banyak.
……
Agen Schulze mengemudikan mobil langsung ke dalam garasi bawah tanah gedung apartemen yang dibeli Zhou Yi. Ketiganya mengambil bagasi dan turun, membuka pintu lift eksklusif menggunakan kunci sidik jari. Setelah verifikasi identitas melalui sidik jari di dalam lift, lift langsung naik dari basement ke lantai tempat tinggalnya – lantai paling atas.
Pemandangan ini membuat Yan Min terkesima – kalau bukan karena Zhou Yi yang menuntun, dia dan Schulze sama sekali tidak akan bisa masuk.
Sistem pengamanan tempat ini memang sangat baik. Kapan ya aku bisa membeli rumah seperti ini... Eh tunggu, bukannya targetku kan tinggal di villa?
Saat Yan Min masih melamun, Zhou Yi berkata: "Sampai." Membuyarkan lamunannya.
Pintu lift terbuka perlahan, pintu rumah Zhou Yi langsung terlihat di hadapannya.
"Selamat datang di rumahku." Setelah mengucapkan itu, Zhou Yi mengeluarkan kunci dan melangkah keluar terlebih dahulu, menyeret bagasi sambil membuka gawang. Kemudian berteriak ke dalam: "Ayah! Ibu! Aku pulang!"
Baru saja berteriak, dia melihat ayahnya keluar sambil memegang lap: "Wah, istri! Lihat siapa yang pulang!"
Namun Li Cuiyun tidak membalasnya. Yang terdengar justru suara mendesis dari dapur.
Melihat itu, Zhou Jianliang langsung berbalik menuju dapur, meninggalkan anaknya terpaku di depan pintu.
Zhou Yi tidak mempermasalahkannya, menoleh untuk memanggil Schulze dan Yan Min—sebenarnya terutama memanggil Yan Min. Schulze sudah pernah bertemu orang tua Zhou Yi sebelumnya, dan ini bukan pertama kalinya dia datang ke rumah ini, jadi dengan aktif melepas sepatu di pintu masuk. Sedangkan Yan Min terlihat agak kikuk.
Setelah masuk, dia melirik sekeliling dan terkesima oleh luas dan terangnya rumah—seumur hidupnya belum pernah melihat rumah seluas ini. Tadinya dia mengira hanya villa yang bisa seluas ini. Apartemen tingkat biasa, seberapa luas mungkin? Sekarang baru sadar betapa kurangnya pengetahuannya, ternyata satu lantai ini hanya satu unit, pasti luas!
Saat Yan Min masih terpana, Li Cuiyun akhirnya dipanggil suaminya keluar dari dapur. Melihat Zhou Yi, dia sangat senang, mengelap tangan dengan celemek. Tapi sebelum sempat selesai mengelap, Zhou Yi sudah memeluknya duluan.
Kemudian dia memperkenalkan Yan Min kepada ibunya—Schulze sudah lama dikenal, tidak perlu diperkenalkan lagi.
"Ini Yan Min, rekan setimku di Borussia Dortmund dan timnas," kata Zhou Yi menunjuk Yan Min.
Yan Min sedikit malu membungkuk hormat: "Selamat siang Paman dan Bibi."
"Sudah kenal, tidak usah sungkan. Kami sudah dengar cerita Zhou Yi tentangmu. Bisa bermain sepak bola di Eropa, pasti sangat hebat..." puji Li Cuiyun.
Yan Min kali ini tidak lagi mendongakkan kepala dan menyombongkan diri. Sebaliknya, dengan rendah hati dia mengakui bahwa dirinya masih jauh di bawah Zhou Yi... Tentu saja yang dikatakannya adalah fakta, bukan sekadar kerendahan hati, karena memang jaraknya dengan Zhou Yi masih sangat jauh.
Setelah berbincang singkat dengan Yan Min, Li Cuiyun kembali ke dapur. Bagaimanapun juga, dia masih harus menyiapkan makanan.
Sebelum pergi, dia mengeluh pada anaknya: "Dapur ala orang asing ini terbuka semua, penyedot asap dapur juga tidak bagus. Seluruh rumah penuh bau asap..."
Zhou Yi tersenyum sambil menghirup asap dalam-dalam, lalu dengan wajah penuh kepuasan berkata: "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aroma ini saja sudah wangi!"
Ini adalah aroma seorang ibu, aroma keluarga, aroma kampung halaman.
Yan Min juga tak tahan menghirup dalam-dalam, lalu mengangguk. Memang benar wanginya.
Meski bukan aroma ibu kandung, tapi... aroma masakan China bagi perantau seperti mereka, inilah aroma tanah air.
Perasaan itu semakin terasa jelas saat mereka makan.
Melihat meja penuh hidangan lezat, Yan Min tidak langsung menyentuh sumpitnya. Dia hanya terdiam memandangi.
Zhou Yi mengira dia khawatir dengan kadar lemak dan kalori berlebih, lalu menghiburnya: "Pemain profesional memang harus menjaga pola makan ketat. Tapi kamu tidak perlu khawatir, selama bertahun-tahun di Borussia Dortmund mungkin ini satu-satunya kesempatanmu. Berkat kamu, aku juga cuma dapat kesempatan ini. Ha!"
Li Cuiyun juga dengan antusias menyajikan makanan untuk Yan Min: "Ayo, coba tumis tomat telur ini. Tidak tahu apakah kamu terbiasa makan..."
Yan Min makan sesuap, lalu menundukkan kepala, tidak melanjutkan makan.
Li Cuiyun heran: "Kenapa, tidak cocok selera?" Kemudian ia mencicipi sendiri dan bergumam: "Bukannya sudah diberi garam ya..."
Tapi dia segera diam, karena telah menebak alasannya.
Yan Min ini, mungkin sedang rindu rumah...
Bagaimanapun, di mata Li Cuiyun, Yan Min masih seperti anak kecil yang merantau sendirian jauh dari orangtua ke tempat asing... Tiba-tiba Li Cuiyun teringat anaknya Zhou Yi. Meski kini mereka bisa bertemu di apartemen mewah nan terang di Dortmund, menikmati masakan rumahan dengan hangat.
Tapi dulu saat Zhou Yi merantau sendirian di Dortmund, kerinduan berjarak ribuan mil itu menyiksa Li Cuiyun. Ia tak pernah menanyai apakah anaknya rindu rumah di Jerman, karena tak ingin mengganggu tekad perjuangannya. "Kalau sudah merantau, harus sukses. Kalau tidak, bukankah itu sia-sia membuang waktu dan studi?"
Li Cuiyun tidak tahu apakah Yan Min bisa memiliki masa depan cerah seperti putranya sendiri, tapi dia berpikir, mungkin ibu Yan Min yang berada jauh di China saat ini memiliki perasaan yang sama seperti dirinya dulu – berharap anaknya bisa sukses, namun sekaligus tersiksa oleh rindu yang mendalam.
Dia ingin menghibur Yan Min, tapi sebelum sempat membuka mulut, Yan Min sudah menyendok nasi dengan lahap lagi, tanpa sungkan terus mengambil berbagai lauk ke mangkuknya.
Cara makan yang rakus ini persis seperti Schulze di sampingnya saat pertama kali mencoba masakan Li Cuiyun.
Zhou Yi yang melihat tingkah Yan Min di sebelahnya, tidak mengolok-oloknya maupun menasihatinya untuk makan lebih pelan, melainkan tetap asyik menyantap makanannya sendiri dengan cuek.
Mungkin yang dibutuhkan Yan Min saat ini bukanlah perhatian yang berlebihan, tapi kesempatan untuk makan dengan tenang dan fokus.
Cita rasa masakan rumahan dan kehangatan yang mengisi perut ini, mungkin bisa meredakan kerinduannya akan kampung halaman di negeri orang...
