Saat Zhou Yi pulang ke rumah, Ibu bertanya heran: "Kenapa lama sekali? Apakah rumahnya jauh?"
"Ya, agak jauh." Zhou Yi mengangguk, lalu ingin masuk ke kamarnya tapi ditahan oleh Ibu.
"Eh, anak..."
"Ada apa, Bu?"
"Kamu dengan... Kottane itu dekat ya? Bukan maksudku kalian pacaran, tapi hubunganmu dengannya pasti lebih dekat daripada pemain lain dengannya kan?" kata Li Cuiyun.
Zhou Yi tidak menyangka Ibu akan menanyakan hal seperti ini, tapi dia tidak menyangkal: "Dia kakak perempuan Mark. Waktu aku tinggal di rumah Mark, sering bertemu dengannya."
“Oh, pantas saja…” Li Cuiyun tersadar.“Maksudku, saat kau bersamanya, seolah kalian sudah saling kenal lama.”
“Ibu, kau…”
“Oh, jangan salah paham. Ibu tidak mau memaksamu. Walau Kottane juga gadis yang baik, urusan asmara adalah keputusanmu sendiri. Ibu tidak akan ikut campur.” Li Cuiyun menggerakkan tangan cepat-cepat menjelaskan. Sejak dulu dia melarang anaknya main bola tapi malah membuatnya bersinar, Li Cuiyun benar-benar tidak ikut campur dalam hal apapun terkait Zhou Yi. Semua keputusan diserahkan pada sang anak.
Zhou Jianliang keluar dari kamar sambil memegang HP, menyela: “Menurutku Kottane itu bagus sekali. Nak, jangan khawatir keluarga kita tidak terima orang asing. Asal kau suka, orang Jepang pun boleh!”
Biasanya Zhou Yi akan merasa bingung mendengar ucapan orang tuanya, tapi hari ini dia hanya menjawab singkat “Oh” lalu masuk ke kamarnya.
Li Cuiyun menunggu sampai pintu kamar tertutup, baru berbisik pelan pada suaminya: “Sepertinya ada yang tidak beres dengan anak kita…”
“Pasti ada sesuatu antara dia dan Kottane.” Zhou Jianliang yakin sekali, dengan ekspresi “aku sudah berpengalaman”. “Usia 22 tahun memang sudah waktunya punya pacar. Biar wartawan tidak mengira anak kita homoseksual…”
Li Cuiyun menepuk lengan suaminya: “Jangan ngomong sembarangan!”
“Bukan aku yang ngomong sembarangan, media yang ngomong sembarangan.”
Li Cuiyun mengabaikannya, memandang sekeliling kamar luas yang meski dipenuhi beberapa perabot, tetap terlihat lapang.
“Dua hari lagi kita pergi, rumah sebesar ini hanya ditempati anak seorang, aku tidak tahu apakah dia akan terbiasa... Bagus juga kalau ada yang menemaninya...”
……
Zhou Yi masuk ke kamar, menutup pintu tanpa mendengar obrolan teredam orang tuanya di luar. Ia menghidupkan komputer, mengetik "Jonathan Lee" di bilah pencarian, mulai mencari karya penyanyi yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan khusus ini.
Hari ini di dalam mobil, setelah dibantu oleh lagu "Jimo Nannai", ia mulai tertarik pada penyanyi yang vokalnya tidak terlalu bagus ini. Dulu kesan tentang Jonathan Lee mungkin lebih sebagai produser musik dan penulis lagu. Sekarang ia merasa beberapa lagu ciptaannya yang dinyanyikan sendiri justru punya cita rasa unik, bahkan lebih menyentuh secara emosional.
Memasang headphone ke komputer, Zhou Yi bersandar di kursi, memejamkan mata, mendengarkan lagu-lagu cinta Jonathan Lee.
“...Kau adalah peri dalam hidupku, kau tahu semua perasaanku. Kaulah yang membangunkanku dari mimpi, sekali lagi, membuka hatiku... Tentang jalan cinta, kita semua pernah melaluinya. Tentang lagu cinta, sudah terlalu banyak kita dengar. Tentang kisah kita, mereka semua salah menebak. Tentang kata-kata dalam hati, hanya untukmu kusampaikan...”
“……Bekerja itu mudah, menghasilkan uang itu sulit；Bercinta itu mudah, membangun rumah tangga itu sulit；Saling mencintai itu mudah, hidup rukun itu sulit；Memutuskan itu mudah, tapi menunggu……itu sulit……”
“Aku adalah Letnan Cinta yang datang merebut benteng hatimu. Jangan kira pertahananmu kuat, jangan sangka persiapanmu sempurna. Darimu aku akan merasakan manisnya cinta……Letnan Cinta takkan menangis, Letnan Cinta takkan mabuk, Letnan Cinta pantang tidur, mengejar cinta tak perlu antri……”
“……Ada yang bertanya ke mana keistimewaanmu, bertahun-tahun tak kulupakan. Senyummu melebihi indahnya angin semi, yang tak pernah melihat takkan mengerti……”
……
……
Malam itu, Zhou Yi tertidur ditemani lagu-lagu Li Zongsheng.
Keesokan harinya di basis pelatihan sepak bola, Zhou Yi tidak bertemu Kottane. Ia pun tak mencari sang gadis. Biarlah orang itu mempertimbangkan permintaannya.
Yang mengejutkan, tak ada wartawan yang menanyakan hubungannya dengan Kottane——Rekan setim benar-benar menepati janji menjaga rahasia. Bahkan Großkreutz si tukang gosip kali ini bisa menutup mulut rapat-rapat.
Saat bertemu Großkreutz di lokasi latihan, pemain itu malah mendesak penasaran: "Gimana? Udah ngomong ke Kottane?"
"Dasar kepo!" Zhou Yi melirik kesal ke Großkreutz.
“Aduh, cuma perhatian aja sama kamu. Cepetan, kamu udah nembak belum?”
“Udah…” Zhou Yi mengangguk, karena dia sudah yakin dengan perasaannya, tidak ada yang perlu disembunyikan lagi.
“Bagus! Terus dia nerima gak?” Grosskreutz mendesak, wajahnya penuh antisipasi bersemangat.
“Katanya mau pertimbangkan dulu…”
“Pertimbangkan dulu?” Grosskreutz mengerutkan alis, jawaban Kottane ini di luar perkiraannya. Menurutnya Kottane harusnya langsung menerima atau menolak, cewek Jerman kok banyak tingkah, masih mikir-mikir?
“Mikir sehari terus nolak kamu?”
“Gua juga gak tau…” Zhou Yi membuka tangan. Jawaban Kottane ini juga bikin dia bingung setengah mati. Kalau suka, masa perlu mikir dulu baru terima? Kalau gak suka, masa nolak aja masih ragu?
“Yaudah, gua juga belum pernah nemu cewek kayak gini. Si Kevin ini beneran gak bisa kasih pengalaman hidup…” Grosskreutz menggaruk kepala. Cewek-cewek di sekitarnya gak perlu usaha buat dapetin, cukup tunjukin status, uang dikibasin, langsung pada berebut nyamperin. Kalau dia mau cari pacar, mana mungkin ada yang bilang “aku mau mikir dulu”?
……
Sampai latihan selesai hari itu, Zhou Yi tidak bertemu Kottane maupun menerima telepon darinya.
"Apakah Kottane sudah mempertimbangkan dengan matang atau belum, dia juga tidak tahu."
Keesokan harinya, Zhou Yi masih belum menerima telepon dari Kottane. Tapi kali ini, dia tidak terus menunggu melainkan langsung pergi ke ruang fisioterapi tempat Kottane berada untuk mencarinya.
"Hoi! Bagus atau tidak, beri jawaban dong!" Zhou Yi mengeluh kepada Kottane begitu masuk pintu.
"Ah, saya kira kamu hanya impulsif sesaat. Setelah beberapa hari pasti akan lupa sendiri..." Kottane mengangkat tangan.
"Mana mungkin impulsif? Aku sudah melalui pertimbangan matang!" Zhou Yi bersuara keras.
"Kamu tidak ubah keputusan?" tanya Kottane.
"Kenapa aku harus ubah keputusan?" Zhou Yi bertanya balik.
"Aku ingat dulu kamu pernah bilang, kriteria memilih pasangan adalah ada chemistry. Kalau setiap hari bertengkar, pasti tidak akan langgeng."
"...Iya juga." Zhou Yi teringat, dia memang pernah mengatakan hal serupa.
"Lalu bukankah kita sering bertengkar?" tanya Kottane.
"Ini... Pertengkaran yang berbeda kali..." Zhou Yi berusaha menjelaskan.
"Apa bedanya pertengkaran dengan pertengkaran?"
"Emm..." Otak Zhou Yi bekerja cepat. Dia merasa jika tidak memberikan penjelasan logis, hubungan ini akan gagal. Tapi dia memang punya kecerdikan spontan, pertanyaan ini tidak benar-benar menjebaknya.
“Tentu berbeda. Saat Ayah dan Ibu bersama, mereka sering bertengkar sebentar. Tapi itu bukan pertengkaran sungguhan, melainkan bentuk flirting… Benar, flirting. Perasaan mereka tidak pernah rusak karena hal seperti ini, sampai sekarang pun masih begitu… Kami orang China punya pepatah ‘’ yang artinya jika hubungan tidak cukup dekat, hal seperti ini mustahil terjadi…” Zhou Yi menjelaskan.
“Orang China memang aneh…” Kottane baru pertama kali mendengar pepatah ‘’. “Jadi kamu tidak mengubah keputusan? Masih mau aku jadi pacarmu?”
“Tentu. Aku tidak bercanda, juga bukan karena kalah dalam permainan truth or dare. Ini keputusan yang sudah kupikirkan matang-matang.” Suara Zhou Yi di telepon sangat serius. “Kottane, meski pertemuan pertama kita tidak menyenangkan, meski ada gesekan saat tinggal bersama… Tapi Kottane, seperti yang pernah kukatakan, kriteria pasanganku adalah chemistry. Sekarang aku tertarik padamu. Tidak diragukan lagi, hasil pertimbanganku yang serius ini: aku mau kamu jadi pacarku.”
Kottane tidak menyela, mendengarkan sampai Zhou Yi selesai berbicara, baru bertanya: “Kamu sungguh mau bersamaku? Aku berbeda dengan gadis biasa, tidak suka hal romantis…”
“Aku juga tidak pandai meromantis.” Zhou Yi segera menjawab.
“Aku agak sinis.”
“Kebetulan, teman-temanku bilang aku punya lidah tajam.”
Kottane tertawa mendengar ucapan itu: “Sepertinya, Zhou Yi, hanya kita berdua yang bisa bersama. Kalau diganti perempuan lain, mungkin tidak akan tahan denganmu.”
“Kalau diganti lelaki lain, mungkin juga tidak akan tahan denganmu. Jadi, kita sangat cocok.”
“Bagaimana jika aku menolakmu?” tiba-tiba Kottane bertanya.
“Aku tidak tahu…” Zhou Yi tertegun sejenak sebelum menjawab. “Aku belum memikirkan itu. Apa kamu akan menolakku?”
“Aku juga tidak tahu. Aku pun belum memikirkan ini,” kata Kottane. “Aku tidak pernah membayangkan akan berpacaran dengan pemain sepakbola profesional. Tapi Zhou Yi, kalau objeknya adalah kamu, aku ingin mencoba.”
Bahkan Zhou Yi yang cekatan pun membutuhkan waktu untuk mencerna jawaban Kottane ini.
“Kamu menerima aku?!”
Tanyanya dengan penuh keheranan.
“Ya, aku menerimamu, Zhou Yi.” Kottane mengulangi.
Zhou Yi yang baru sadar mulai tertawa terkekeh-kekeh.
“Apa yang lucu?” tanya Kottane.
“Aku berpikir, kalau kita sudah jadi pasangan, apakah kita bisa melakukan... beberapa hal?”
“Misalnya?” Kottane menatapnya dengan pertanyaan balik.
“Misalnya... misalnya...” Zhou Yi gagap, tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.
Tapi Kottane secara aktif merangkul leher Zhou Yi dengan kedua lengannya, mendekatkan kepalanya. Jarak mereka begitu dekat hingga embusan napas panas saling menyentuh wajah.
“Seperti ini?”
Kottane menundukkan pandangan, memiringkan kepala dan mengecup bibir Zhou Yi.
Zhou Yi mengeluarkan suara "hm hm" dua kali, lalu menutup mata dan menikmati momen itu sepenuhnya - bibir yang tak terkesan seksi itu justru memiliki kelembutan dan kehangatan yang tak tergambarkan...
