Bab 44 "Kerugian" Kandang Sendiri

　　Performansi aktif Yan Min hanyalah miniatur dari performansi seluruh Tim China. Selain Yan Min, pemain-pemain Tim China lainnya juga bermain sangat gigih dan proaktif. 　　Serangan balik Tim China membuat Brasil yang ingin menyerang habis-habisan pun harus ragu-ragu takut melakukan gerakan. 　　Meskipun para suporter Brasil di tribun menganggap gerakan-gerakan menarik Yan Min sebagai "provokatif" dan terus meneriakkan yel-yel untuk mendorong serangan tim mereka, 　　nyatanya performansi Tim Brasil tidak seberani yang diharapkan para suporter mereka. 　　Mereka tidak menyerbu secara membabi buta dengan semangat tak tertandingi untuk menindih Tim China. 　　Karena mereka sangat mengkhawatirkan serangan balik Tim China. 　　Baik Yan Min maupun He Ying, keduanya memiliki kemampuan individu dalam bertahan sendiri yang luar biasa. 　　Hal ini telah terbukti baik di liga Eropa sebelumnya maupun dalam pertandingan tadi. 　　Tim Brasil tidak berani mengambil risiko ini. 　　Seperti yang dikatakan Lippi sebelum pertandingan: Ini adalah kandang mereka sendiri. Semangat suporter tim tuan rumah memberi mereka motivasi tak terbatas, tapi sekaligus tekanan besar. 　　Setiap pemain mereka mungkin tidak berani membayangkan konsekuensi jika kalah di kandang sendiri... 　　Contoh nyata terbaru kekalahan di Final Piala Dunia 1950 di Stadion Maracana masih membekas jelas, meski sudah 64 tahun berlalu. Dampaknya masih terasa hingga kini. Bagi para pemain timnas Brasil yang kala itu kalah di final, bayang-bayang kekalahan terus membayangi. Julukan "pecundang" dan "aib nasional" tak pernah lepas dari mereka. 　　Kiper Brasil Barbosa yang kebobolan saat itu telah meninggal pada 2000. Namun bayang-bayang kekalahan final terus menghantuinya seumur hidup. Seorang wanita pernah menunjuknya dan berkata pada anaknya: "Lihat, itu orang yang membuat seluruh Brasil menangis." 　　Tragedi kiper kulit hitam ini bahkan memicu kembali diskriminasi rasial di dalam negeri Brasil. Timnas Brasil tidak memakai kiper kulit hitam selama puluhan tahun setelahnya, hingga munculnya Dida... 　　Saat meninggal pada 2000, tidak ditemukan satu poin pun uang pada tubuh Barbosa. Mantan kiper timnas itu menghembuskan nafas terakhir dalam kemiskinan. 　　Kekalahan di Final Piala Dunia 1950 hingga kini masih menjadi bahan kajian para pakar Brasil, dengan cakupan dan dampak yang sangat luas. 　　Seorang komentator bahkan menyebut: "Setiap negara punya sejarah kelam - seperti bom atom Hiroshima. Bencana kami, Hiroshima kami, adalah kekalahan dari Uruguay di Final Piala Dunia 1950." 　　Tahun 1970 Brasil merebut gelar juara Piala Dunia untuk ketiga kalinya, mereka bergerak tak terbendung dengan pertunjukan sempurna yang membuat lawan-lawannya yang kalah benar-benar mengakui keunggulan. Final pada saat itu, meski bukan dalam sejarah sepak bola dunia, setidaknya harus dianggap sebagai momen paling bergemilang dalam sejarah sepak bola Brasil. Timnas Brasil edisi Piala Dunia itu diakui secara global sebagai timnas terkuat dan terbaik sepanjang sejarah Piala Dunia. Namun di tahun 2000, tak ada satu pun yang teringat untuk memperingati atau merayakan 30 tahun momen emas tersebut. 　　Sebaliknya kekalahan tahun 1950 terus diingat. Pada 16 Juli 2000, harian "Jornal do Brasil" menampilkan headline besar di halaman depan: "Mimpi Buruk Setengah Abad: Zizinho Berpendapat Final 1950 Menggunakan Taktik yang Pernah Dipakai Tim São Gonçalo Carioca dari Uruguay..." 　　Koran ini menggunakan tiga halaman untuk mengingat kembali pertandingan 50 tahun lalu, di mana para pelaku sejarahnya masih belum bisa melupakan. Zizinho sebagai bintang tim Brasil saat itu merasa tak percaya dengan taktik Uruguay, karena mirip dengan variasi permainan tim kecil dari pinggiran kota Carioca yang pernah dihadapinya di masa muda. 　　Tragedi Maracanã membayangi masyarakat Brasil hingga melahirkan istilah khusus: Maracanazo. Di Brasil, dalam rangka memperingati 50 tahun tragedi Maracanã, terbit banyak buku analisis dan komentar tentang pertandingan tersebut. 　　Dan yang menjadi kontras mencolok adalah, satu-satunya buku tentang Piala Dunia 1970 Brasil diterbitkan di Inggris dan hanya tersedia dalam versi bahasa Inggris, belum bisa diakses dalam negeri Brasil... 　　Antropolog ternama Brasil Robert DaMatta berpendapat bahwa kekalahan di final 1950 "mungkin merupakan tragedi terbesar dalam sejarah Brasil, karena terjadi di depan ratusan ribu penonton yang sama sekali tidak siap secara mental, karena terjadi saat Brasil mulai menganggap diri sebagai negara besar. Hasil akhir pertandingan itu menjerumuskan kita ke jurang, ke dalam pencarian alasan dan penyesalan tak berujung atas aib kekalahan memalukan ini." 　　…… 　　Dampak kekalahan pertandingan itu terhadap negara, rakyat, dan seluruh masyarakat, pasti tidak mungkin tidak diketahui atau tidak dipahami oleh anggota timnas Brasil saat ini. 　　Tak ada yang mau hidup seumur hidup dalam bayang-bayang pecundang dan aib. 　　Tak ada yang ingin seperti Barbosa, yang hanya bisa terbebas melalui kematian - atau bahkan kematian pun tak mampu membebaskannya. 　　Sejak kecil, mungkin mereka semua punya mimpi suatu hari nanti bisa mencetak gol untuk timnas Brasil di Final Piala Dunia yang digelar di Maracanã, membantu Brasil meraih kemenangan, sambil menciptakan sejarah baru sekaligus menyembuhkan luka sejarah lama yang ditorehkan pada bangsa ini. 　　Ini berarti mereka harus terus menang, lolos ke final, kembali ke lapangan Maracanã, lalu meraih kemenangan di sana sambil menyangga piala emas. 　　Sebelum itu, mereka tak boleh KALAH, tak boleh sesaat pun lengah. 　　Mereka belum diselimuti bayang-bayang "pecundang", namun sudah berada di bawah tekanan yang sangat besar. 　　Sebenarnya setelah pertandingan pembuka Piala Dunia, psikolog timnas Brasil telah membuat laporan lebih dari seratus halaman mengenai kecemasan para pemain terkait performa buruk Brasil, lalu menyerahkannya ke pelatih kepala Scolari. Setelah membaca laporan tersebut, Scolari bahkan secara khusus meminta psikolog untuk memberikan konseling psikologis tentang "Pembantaian Maracanã" kepada para pemain, berharap mereka tidak terpengaruh oleh sejarah. Namun faktanya, Scolari sendiri juga merasakan empati ini. Dia pernah mengakui kepada media Brasil bahwa hingga sekarang, terkadang dia masih sulit tidur semalaman ketika mengingat kekalahan di Maracanã. 　　Dari pelatih hingga pemain, tekanan yang begitu besar membuat mereka sering menghentikan langkah dan ragu-ragu saat menghadapi kesulitan. Setiap masalah dan keputusan harus mereka pikirkan dengan beban tekanan yang berat. 　　Tekanan ini kemudian memengaruhi setiap keputusan yang mereka ambil. 　　Beberapa menit sebelum akhir babak pertama, timnas Brasil memilih bermain konservatif karena takut kebobolan. 　　Alhasil, tim yang terkenal dengan sepak bola ofensif di seluruh dunia ini bermain cukup buruk di kandang sendiri... 　　Para suporter Brasil di tribun yang menyaksikan timnya menunjukkan performa keterlaluan seperti ini pun menjadi sangat kecewa. 　　Untuk sesaat, siulan tanda ketidaksukaan terhadap tim Brasil mulai terdengar sporadis – ini jelas bukan berasal dari suporter China, mengingat perbandingan jumlah suporter kedua tim, hampir mustahil suara suporter China terdengar. Hanya ketika suporter Brasil diam, suara mereka bisa terdengar. Namun masalahnya, satu-satunya cara membuat suporter Brasil diam adalah dengan mencetak gol ke gawang mereka... 　　…… 　　Tim Brasil memilih strategi konservatif dan berhasil bertahan hingga babak pertama berakhir. 　　Saat wasit utama Webb membunyikan peluit tanda berakhirnya babak pertama, skor tertahan di 1:1 dengan kedua tim bermain imbang. 　　Komentator dari berbagai negara memberikan analisis terhadap paruh pertama pertandingan ini. 　　He Ping menyatakan kepuasan terhadap performa timnas: "...Setelah kebobolan tak terduga, kami cepat bangkit dan berhasil menyamakan skor hanya dalam tiga belas menit. Bahkan setelah itu, kami mendominasi permainan hingga memaksa Brasil bermain defensif dengan menarik diri ke belakang. Sungguh luar biasa melihat tim tuan rumah bermain di kandang sendiri harus mengalami tekanan seperti ini..." 　　Komentator TV Brasil justru mengkritik performa timnya di babak pertama, khususnya setelah kebobolan: "Setelah unggul, pemain kita terlihat terlalu meremehkan lawan. Namun setelah skor disamakan, mereka bermain pengecut! Sulit dipercaya ini adalah timnas Brasil seandainya tidak menyaksikannya langsung!" 　　Marcel Leif sebagai komentator netral berbicara cukup objektif: "Brasil dan Tim China masing-masing menunjukkan permainan bagus dalam periode tertentu. Setelah pertandingan dimulai, serangan Brasil jelas lebih mengancam, gol bunuh diri Yan Min sebenarnya walau tanpa sentuhan kakinya, David Ruiz tetap bisa mencetak gol. Tapi setelah Brasil mencetak gol, mereka tiba-tiba seperti kehilangan arah. Tim China justru memanfaatkan kesempatan dan bermain sesuai ritme mereka. Gol Zhou Yi berasal dari perampasan Yan Min di area depan... Setelah menyamakan skor, serangan balik China semakin lancar, sementara Brasil semakin kacau, bahkan kita bisa dengar siulan penonton untuk Brasil... Jujur saja, performansi Brasil hanya bagus sebelum gol pertama, setelah itu payah..." 　　…… 　　Ketika pemain China terakhir masuk ke ruang ganti, Lippi menyusul masuk sambil menutup pintu. 　　Dengan senyum tipis di wajahnya: "Bagaimana? Setelah 45 menit menghadapi mereka, apa kesan kalian? Apakah Brasil lima bintang sangat kuat?" 　　Para pemain Tim China saling pandang. Yan Min mengangkat tangan: "Tidak beda jauh dengan kami..." 　　Lippi tersenyum: "Masih lebih baik dari kita, tapi tidak jauh. Yang paling memuaskan saya dari kalian di babak pertama adalah perubahan setelah kebobolan, baik dari eksekusi taktik maupun semangat. Sebuah tim tidak mungkin selamanya bebas masalah, jadi kuncinya bukan menghindari kegagalan, tapi bagaimana merespons setelah gagal. Sejak pertandingan pertama Piala Dunia, hanya di laga ketiga fase grup kita yang mencetak gol lebih dulu, termasuk hari ini. Ada tiga pertandingan di mana kita kebobolan pertama, tapi sampai sekarang belum kalah. Apa artinya ini? Artinya kita sudah punya kemampuan untuk keluar dari masalah. Saya senang, ini adalah tanda kematangan sebuah tim..." 　　Lippi sedang memuji pemainnya, sementara Scolari mengkritik timnya dengan naik pitam. 　　"Apa yang kalian lakukan di babak pertama? Setelah cetak satu gol langsung bingung main? Hah? Lihat performa kalian! Dengar siulan dari tribun? Itu bukan untuk Tim China, tapi untuk kalian! Di babak kedua harus ubah kondisi ini, jangan biarkan mereka leluasa bermanuver di kandang kita lagi!"