Setelah makan, Zhang Yifan kembali memegang brosur properti itu, menarik lengan Yang Yang ke sofa.
“Yang, kita ganti rumah yuk. Meski di lantai satu, ada basement jadi nggak lembab. Lagipula tadi kamu bilang juga suka basement kan?”
“Bener juga. Berapa per meter?” Tanya Yang Yang sambil lalu.
“4.500. Ruang bawah tanah gratis, sangat murah.” Zhang Yifan menjawab.
“Uang tunai kita berapa? Kayaknya cuma beberapa puluh ribu. Dana tidak cukup nih.” Yang Yang mengambil selebaran promosi sambil menunjukkan ketertarikan.
Zhang Yifan menghela napas: “Enam puluh ribu. Cuma segitu, uang muka saja tak cukup. Yang, mari kita jual rumah yang sekarang. Lokasinya strategis, harga properti di area ini sedang tinggi. Rumah kita hampir 90 meter persegi plus renovasi, minimal bisa laku 500 ribu.”
Yang Yang mempelajari brosur: “Kenapa saham tak kunjung naik ya?”
Zhang Yifan melihat reaksi tak serius Yang Yang, wajahnya berubah: “Aku serius ingin ganti rumah. Bukan main-main.”
Yang Yang mengangkat alis: “Kamu kenapa akhir-akhir ini? Tinggal nyaman kok mau pindah.” Ia melempar brosur dan merogoh rokok.
Zhang Yifan menyita rokok itu.
Yang Yang menyerah: “Baiklah. Beri alasan yang masuk akal.”
Zhang Yifan menatapnya: “Kamu pernah bilang percaya akan datangnya kiamat? Awalnya aku tak percaya. Sekarang, aku yakin. Karena itu kita butuh rumah yang kokoh dan aman.”
Yang Yang tertawa.
Zhang Yifan tetap serius: “Yang, janji padaku. Tinggal di sini membuatku takut.”
Yang Yang memeluknya: “Kamu kebanyakan baca novel. Mana ada kiamat? Kalau benar, apa ganti rumah bisa selamat?”
Zhang Yifan melepaskan diri, menghadapi Yang Yang, berkata: “Yang, yang kumaksud dengan ambang kiamat bukan krisis zombi atau wabah virus. Coba pikir, dua tahun terakhir, bencana alam di bumi makin sering: gempa, letusan gunung berapi, bahkan terakhir ada laporan pembalikan medan magnet. Aku khawatir akan terjadi letusan gunung berapi bertubi-tubi.”
“Yang, kota Fuyuan kita ini tanah subur. Tidak dekat laut jadi aman dari tsunami; sejarah mencatat tak pernah ada gempa besar; juga tak ada gunung berapi. Tapi menurut laporan tahun lalu, aktivitas seismik di Danau Tianchi Gunung Changbai meningkat, kemungkinan akan terjadi letusan. Abu vulkaniknya bisa sampai ke sini. Dan kalau Danau Tianchi saja bisa meletus, gunung berapi lain juga mungkin ikut meletus.”
“Yang, kalau kita memang tidak memenuhi syarat dan tak punya kemampuan, aku rela menerima. Tapi kalau kita sudah memperkirakan semua ini tapi tidak bertindak, kita akan menyesal.”
Yang Yang sambil berpikir menjawab: “Argumenmu ada benarnya. Tapi kalau benar terjadi kiamat seperti katamu, buat apa beli rumah? Hidup beberapa hari lebih lama? Kalau persediaan makanan habis, bukankah tetap akan mati?”
Zhang Yifan berkata: “Kita bisa menyimpan makanan di ruang bawah tanah. Ruang bawah tanah sejuk di musim panas dan hangat di musim dingin, bisa menyimpan banyak aset.”
“Bagaimana kalau kiamat tidak terjadi?”
Zhang Yifan tegas dan pasti: “Pasti terjadi!” Lalu nada suaranya melunak: “Yang, bahkan kalau tidak terjadi, harga properti di kota baru pasti terus naik. Beli rumah tidak akan rugi. Anggap saja kau menemani aku bermain, bersama kita menciptakan dongeng, setuju? Ya kan?”
Yang Yang mengeluarkan rokok lagi, tersenyum pahit: “Aku harus nemenin kamu main-main?”
Zhang Yifan berkata dengan gembira: "Tentu, aku tidak bisa sendirian. Kita sudah janji, mari buat rencana matang. Besok aku akan tempel pengumuman penjualan rumah."
Yang Yang berdiri dan mendekati jendela lantai dasar. Ia membuka satu daun jendela lalu menyalakan rokok.
Zhang Yifan menyusul: "Ada satu hal lagi. Uang di pasar saham, kalau sudah naik, jual saja. Tarik semua tunai. Uang di masa depan tidak akan berharga lagi."
Yang Yang mengibaskan abu rokok ke luar jendela: "Kalau semua uang dihabiskan, bagaimana masa depan kita?"
"Percayalah, Yang. Aku tidak main-main dengan masa depan kita. Tidak akan ada 'masa depan' lagi, tidak ada hari esok yang indah."
"Baiklah, terserah kamu." Nada Yang Yang terdengar datar.
Zhang Yifan terlalu familiar dengan intonasi ini. Setiap kali Yang Yang menggunakan nada seperti itu, itu pertanda jawaban mengambang: Aku setuju, tapi tidak percaya kamu bisa konsisten. Besok pasti kamu berubah pikiran.
Tangan kiri Zhang Yifan gemetar menyentuh kalung kepala tengkorak di lehernya. Ruang hampa tiba-tiba muncul dalam kesadarannya.
"Yang, bagaimana caranya agar kamu percaya?"
"Aku percaya kok." Jawab Yang Yang sambil bersandar santai.
Zhang Yifan menahan napas. Lama kemudian ia berkata: "Semua penjelasanku sia-sia?"
Yang Yang tersenyum: "Tidak sia-sia. Ayo, analisis basement pilihanmu itu. Besok kita lihat rumah bersama."
"Zhang Yifan menahan impulsifnya, menurunkan tangan kiri, dan kembali duduk di sofa. Dengan rahasia kalung itu, Yifan sepenuhnya yakin bisa membuat suaminya percaya pada ucapannya. Namun di kedalaman hati, ia enggan meyakinkan Yang Yang dengan cara seperti ini. Apakah ini soal ketidakpercayaan? Bukan. Tapi ada emosi tak terdefinisi yang sedang mempengaruhinya."
Yang Yang mendekat dan duduk di sampingnya: "Marah ya?"
Zhang Yifan menggelengkan kepala.
Yang Yang berkata dengan nada memanjakan: "Jangan terlalu dipikirkan, hidup kita sekarang sudah sangat baik."
Tiba-tiba Zhang Yifan ingin melakukan eksperimen. Ia sangat penasaran dengan reaksi suaminya saat mengetahui ia diam-diam membeli empat unit properti.
Zhang Yifan bangkit, mengeluarkan kesepakatan rahasia pembelian properti dari tasnya, dan menyodorkannya ke Yang Yang.
Yang Yang menerimanya: "Apa ini?"
"Baca saja nanti mengerti."
Yang Yang melirik dokumen itu, mendekatkannya, membaca dengan seksama dua kali dari awal hingga akhir sebelum akhirnya mengangkat kepala dan bersandar di sofa. Yifan bukan tipe orang impulsif, tapi perilakunya belakangan aneh. Dia yang biasanya sangat mementingkan karier tiba-tiba berhenti mengikuti studi malam, padahal promosi sebagai kepala departemen sudah di depan mata. Jangan-jangan ada masalah di sekolah yang membuatnya stres?
Memikirkan ini, Yang Yang merasa bersalah karena kurang perhatian pada istri. Ia menenangkan nada bicaranya: "Yifan, apakah ada masalah di sekolah?"
Zhang Yifan hampir tak bisa menahan emosi: "Ah, bukan urusan sekolah, ini tidak ada hubungannya dengan kampus."
"Lalu kenapa?" Yang Yang melirik kesepakatan rahasia itu lagi, kertas putih dengan tulisan hitam, pasti tidak palsu. Yifan sendiri sudah menentukan empat set, ternyata dia memesan empat unit perumahan.
Ruang tamu sunyi senyap, tidak ada suara sama sekali.
Zhang Yifan juga diam, dalam hati berpikir dengan kejam: Kalau dia berani naik pitam, di kemudian hari, saat kiamat nanti aku akan membawa anak sendiri, biarkan dia menyesal sendirian.
Cahaya perlahan meredup, dua orang itu duduk diam, masing-masing memikirkan urusannya sendiri. Langit hampir gelap total ketika Yang Yang akhirnya bersuara: "Kamu sudah memutuskan, apapun benar atau salah sudah ditetapkan. Sepertinya nanti aku hanya bisa tinggal di ruang bawah tanah. Huh!" Melempar kertas kesepakatan itu, dia berdiri: "Ayo jalan-jalan, hari melihat sinar matahari tinggal sedikit. Ah, bintang-bintang juga hampir tidak kelihatan. Sebelum kiamat tiba, istri, ayo kita jalan-jalan."
Zhang Yifan tertawa terbahak: "Yang, kamu tidak marah aku bertindak semaunya?"
Yang Yang berlebihan menjawab: "Berani apa aku? Nanti saat kiamat datang, aku masih harus minta kamu lindungi."
Melihat senyum bahagia di wajah Zhang Yifan, Yang Yang dalam hati menghela napas: Marah? Marah pun kamu sudah beli rumah. Memandangi Yifan masuk kamar membantu anak berpakaian, semua gerak-geriknya normal, hati tetap merasa aneh: Sudah tiga puluh lebih tahun, kok percaya kiamat? Jangan-jangan dihipnosis seseorang? Guru Xiao Zhou? Iya, Guru Xiao Zhou yang pergi bersama Yifan, jangan-jangan dia 'tukang tipu'?
"Yifan, Guru Xiao Zhou beli rumah itu juga?"
“Guru Xiao Zhou？Ah, siang nanti saya pergi sendiri.” Sambil menoleh: “Ssttt—” menunjuk ke arah anaknya. Anak itu sudah siap pakai baju, sendiri pergi ke pintu ganti sepatu. Zhang Yifan berbisik ke Yang Yang: “Ini rahasia ya, jangan beri tahu siapa pun. Aku tidak mau dikira orang gila.”
Yang Yang mengangguk, dalam hati berkata: Aku juga tidak mau.
