Pagi hari kedua Tahun Baru Imlek, Zhang Yifan dan Yang Yang sudah bangun. Orang tua mereka sedang menyiapkan sarapan di dapur kamar 102. Zhang Yifan melirik menu hari ini: bubur dan martabak telur. Bubur sudah matang, aroma daun bawang pada martabak telur membuatnya tak kuasa menghirup dalam-dalam. Gerakan kecil ini tak luput dari perhatian ayah dan mamanya. Senyum hangat mengembang di wajah mama sambil menyodorkan martabak telur yang baru matang: “Cicipi, makan selagi hangat. Yang Yang, kamu juga ambil satu.”
Ayah sedang mengaduk tumis kentang dengan sendok besar di sebelah. Asap mengepul dari wajan, sementara irisan seledri di talenan sudah dipotong rapi-rapi menunjukkan keterampilan pisau khas ayah.
Yang Yang dan Zhang Yifan menerima martabak telur, lalu sibuk mengisi bubur dan menyiapkan peralatan makan. Zhang Yifan bertanya: “Haruskah kita panggil kakak untuk makan bersama?”
Mama bertanya: “Jam berapa sekarang?”
Zhang Yifan mengangkat kepala melihat jam dinding. Ruangan tidak kekurangan baterai, jam dinding setengah tahun pun tidak menguras satu baterai pun, jadi setiap kamar memiliki jam dinding: "Pukul tujuh lebih sepuluh menit."
"Jangan teriak lagi." Ibu mengeluarkan kue dari wajan, menutup piring lain dan menyimpannya kembali di panci untuk dihangatkan: "Sebentar biar mereka makan bersama anak."
Ayah juga menyisakan sebagian lauk di panci: "Biarkan mereka tidur – bangun juga cuma makan saja."
Empat orang duduk di meja. Zhang Yifan sangat menyukai telur dadar buatan ibu, lembut dan lunak. Yang Yang juga menikmati keahlian memasak ibu. Sambil makan, Zhang Yifan tak tahan memuji: "Bu, telur dadarmu, berapa pun aku makan takkan pernah bosan."
Senyuman bahagia merekah di wajah ibu: "Besok, tiap hari Ibu buatkan untukmu."
Ayah mengangkat sumpit menawari: "Ayo Yang Yang, coba kentang tumisku ini, renyah tidak?"
Yang Yang menjepit sejumput, terus mengangguk: "Pak, kok bisa iris kentangmu serapi ini?"
Ayah tersenyum bangga: "Tipis kan? Kalau tidak tipis tak enak."
Ibu juga mencicipi sejumput: "Ketrampilan memotong ayahmu ini, orang biasa sulit menyaingi."
Hati Zhang Yifan berdesir. Meski ayah sudah berusia 60-an, fisiknya selalu sehat. Kini sehari-hari hanya menganggur. Bagaimana kalau ayah juga latihan melempar pisau terbang? Latihan pisau terbang tak perlu mempertimbangkan usia.
Memikirkan ini, Zhang Yifan membuka topik: "Ayah, Ibu, sekarang jumlah orang di sini sudah semakin banyak, tempat tinggal juga cukup, persediaan makanan pun tidak kekurangan. Jadi semalam aku dan Yang Yang berdiskusi, ke depannya kita akan makan bersama keluarga Yang Yang." Ia menjelaskan hasil diskusi mereka semalam.
Ibu belum sempat bicara, Ayah sudah lebih dulu bersuara: "Yifan, ini tidak boleh." Menatap Yang Yang dengan serius: "Mengajak kakak-kakakmu ke sini bukan untuk menyuruh mereka masak melayani kita, mana bisa begitu. Aku tahu kalian anak muda tidak suka masak, Ayah dan Ibu seharian juga tidak ada kegiatan lain. Tidak ada pekerjaan justru membuat tidak nyaman, mana mungkin hanya bengong sepanjang hari, ya kan?" Melirik Ibu yang mengangguk setuju, lanjutnya: "Ayah dan Ibu yang bertanggung jawab urusan masak."
Yang Yang tertegun, sama sekali tidak menyangka ayah Zhang Yifan akan mengambil alih urusan konsumsi belasan orang ini.
Ibu juga menambahkan: "Ayahmu benar. Bagaimanapun juga, kakak-kakakmu datang dari jauh sebagai tamu. Mana mungkin menyuruh tamu masak untuk kita, tidak boleh."
Yang Yang melirik Zhang Yifan, memberi isyarat agar membujuk orang tua. Zhang Yifan meneguk bubur: "Ayah, Ibu, kalian juga tidak bisa terus di sini. Kalian punya urusan resmi yang harus dikerjakan."
"Urusan resmi apa?" tanya Ayah. Yang Yang juga tampak bingung.
“Pertama,” Zhang Yifan meletakkan mangkuk sambil berkata: “Mulai hari ini kita harus menjaga kelancaran informasi. Di luar juga tidak tahu aman atau tidak, jadi setiap hari harus ada yang menyimak siaran radio, ini poin pertama; Kedua, Ayah, kamu juga harus latihan melempar pisau terbang atau menyetir mobil. Jika kita tidak pergi keluar, latihan ini memang tidak berguna, tapi begitu kita perlu pergi, semua pemain harus siap tempur. Setiap orang harus punya keahlian khusus agar bisa saling membantu; Ketiga, untuk tiga anak ini, Mama, kamu harus lebih bersusah payah, terutama cucu perempuan Kak Yang Yang yang baru 3 tahun, biasanya juga perlu bantuanmu mengasuhnya. Lihatlah, begitu banyak urusan resmi, mana ada waktu untuk kalian berdua masak?”
Ayah tampak serius, mengangguk: “Aku memang harus belajar menyetir, biar saat keluar nanti kalian yang bertanggung jawab soal keamanan. Aku duduk-duduk saja juga tidak berguna, menyetir cocok untukku.”
Zhang Yifan melihat ekspresi kecewa di wajah ibunya, buru-buru menambahkan: “Aku ingin Mama juga belajar menyetir. Tadi tidak sebut karena khawatir Mama tidak mau.”
Ekspresi ibu berubah menjadi kejutan: “Aku bisa?”
Sebelum Zhang Yifan sempat menjawab, ayah menyela: “Kenapa tidak? Kita berdua tidak bisa berburu tikus, orang muda juga tidak boleh membiarkan kita nekat. Menyetir lebih cocok. Lagipula, belajar dulu lebih baik daripada tidak bisa sama sekali.”
Yang Yang juga segera menyahut: “Mama, Papa benar. Untuk urusan masak jangan diperdebatkan lagi. Seperti kata Yifan, mari kita sepakati seperti ini.”
“Benar, begitu saja kita tentukan, ah tidak, ubah sedikit. Aku selalu ingin merasakan masakan Mama dan Ayah, jadi ngiler. Begini, Yang Yang, mulai besok sarapan biar kakak-kakakmu yang urus sendiri. Kita makan bersama Mama, gimana?”
“Menurutku boleh, begitu saja kita putuskan.” Ibu berkata sambil tertawa santai. Yang Yang juga tidak menolak.
Setelah makan, orang tua bersikeras tidak mau membiarkan Zhang Yifan dan Yang Yang mencuci piring. Akhirnya mereka berdua langsung menuju ke area kakak-kakak.
Kakak ipar perempuan juga sedang membuat bubur, tapi hanya bubur polos tanpa telur dadar atau lauk lain. Beras sudah dimasukkan ke panci. Zhang Yifan berdiri di dapur mengobrol dengan kakak ipar pertama dan kedua, sementara Yang Yang berbincang dengan kakak-kakak lelakinya.
Setelah beberapa saat, Yang Yang memanggil Yifan: “Aku sudah bicara dengan Kakak Pertama dan Kedua. Mereka setuju. Isi detailnya akan kita bahas setelah makan.”
Kakak Pertama duduk di sofa dengan wajah berseri berkata: “Tidak perlu buru-buru makan. Mari kita berdiskusi dulu agar nanti Yifan bisa menjelaskan ke Paman Zhang dan lainnya. Kemarilah, istriku. Istri Kakak Kedua juga ikut. Xiao Chun, kamu sibuk sendiri dulu sebentar.”
Kakak Pertama melanjutkan: “Tadi San Di (adik ketiga) bilang, kita para pria harus menjalani latihan. Harus bisa seperti San Di yang bisa membunuh tikus hanya dengan menggoyangkan tangan. Kalian perempuan bertugas mengurus logistik dan masak. Xiao Ling biar dijaga Paman Zhang dan Bibi Zhang. Mereka berdua orang terpelajar, pasti tidak masalah. Xiao Chun, tenang saja. Xiao Ling juga bisa bermain dengan pamannya, ada temannya. San Di, bukankah begitu?”
Yang Yang mengangguk dan berkata: "Secara garis besar seperti itu, urusan masak-memasak harus lebih diserahkan pada kakak ipar pertama dan kedua. Yifan dan kakak perempuannya tidak ahli dalam hal ini. Untuk barang-barang yang kurang, mintalah langsung pada Yifan."
Kakak ipar pertama dan kedua melihat suami mereka mengangguk, ikut mengangguk sambil menghitung dalam hati: Memasak memang terlihat melelahkan, tapi sekarang tidak perlu keluar rumah seharian, jadi memasak tidak bisa dianggap sebagai pekerjaan berat. Lagipula selama bertanggung jawab memasak, bahan makanan harus melalui tangan mereka sendiri, pasti keluarga tidak akan kekurangan makanan. Karena itu mereka buru-buru mengangguk menyetujui.
"Sebentar kalian makan dulu, setelah makan kami akan kembali. Ngomong-ngomong, tadi malam tidurnya nyaman? Tidak kedinginan kan?" Yang Yang tidak berpikir panjang, senang melihat kakak-kakaknya menyetujui dengan mudah.
Setelah mengobrol sebentar, Zhang Yifan dan Yang Yang berdiri hendak pamit, sepakat akan kembali satu jam kemudian.
Baru saja masuk ke dalam rumah, Zhang Yifan langsung mendorong Yang Yang keluar: "Pergilah cari kakak ipar untuk buat rencana. Arena latihan agak sempit, pakai juga ruang tamu lantai atas di nomor 103. Untuk urusan lain, kalian para lelaki yang berdiskusi. Laporkan saja padaku setelahnya. Nanti aku tidak ikut, kamu pergi bersama kakak ipar. Oh ya, sebelum pergi datang dulu ke sini, bawa makanan siang."
Melihat Yang Yang pergi, Zhang Yifan kembali ke kamar tidur, bersandar di tempat tidur. Makanan untuk 16 orang tidak mungkin setiap kali sebanyak 7-8 hidangan seperti yang dibuat orangtua, tapi juga tidak boleh terlalu sederhana. Minimal harus tiga hidangan sayur dan satu sup dengan kombinasi daging dan sayur. Zhang Yifan memusatkan kesadarannya ke dalam ruang penyimpanan yang penuh sesak - sebagian besar berisi makanan. Enam belas orang ini bisa bertahan makan selama delapan tahun bahkan sampai sepuluh tahun.
Dengan santai mengambil 2 ekor ayam potong, sekantong jamur merah, belasan mentimun dari ruang penyimpanan. Setelah berpikir, dikeluarkan lagi dua kembang kol, lima enam tomat, ditambah daun bawang, rumput laut ungu, telur yang menumpuk di depan pintu. Untuk standar selanjutnya: satu daging, satu sayur, satu hidangan dingin dan satu sup.
Pikiran Zhang Yifan beralih ke latihan. Yang Yang dan Dong Zhipeng sekarang bisa membela diri. Kemampuan pisau terbangnya sendiri tidak masalah, tapi belum tentu bisa melindungi orangtua, anak-anak, dan kakak perempuan yang berempat. Kakak perempuan juga harus ikut latihan. Manusia pada dasarnya egois - Zhang Yifan secara batin tidak percaya kakak-kakak laki-laki Yang Yang akan dengan setia melindungi orangtuanya. Justru karena pikiran inilah Zhang Yifan berencana mengajarkan orangtuanya menyetir mobil - kemampuan menyetir bisa menjadi metode bertahan hidup saat diperlukan.
