Yu Dian sudah berusia 24 tahun, namun bertubuh kurus dengan aura kematangan yang nyaris tak terlihat. Berjalan di samping Cheng Yun, ia lebih mirip mahasiswi semester satu. Ia bahkan datang dengan mengenakan seragam OL musim panas formal yang terlihat murah, terutama karena aura polosnya sama sekali tak selaras dengan pakaian tersebut - tak ada jejak percaya diri, keceriaan, atau kebijaksanaan yang seharusnya dimiliki wanita seumurannya, malah cenderung berkebalikan.
Sifat polos dan introvertnya benar-benar di luar kebiasaan. Dari obrolan, Cheng Yun juga mengetahui bahwa ia selalu tinggal sendirian. Sungguh membuat orang bertanya-tanya bagaimana dia bertahan hidup selama ini.
Sekitar pukul dua sore, Cheng Yun telah mengajarinya semua peralatan dan sistem yang diperlukan di resepsionis. Karena cukup sederhana, proses belajarnya pun cepat. Lebih banyak waktu dihabiskan untuk berdiskusi tentang pengaturan jadwal kerja.
Yu Dian sangat tidak punya pendirian, hampir semua perkataan Cheng Yun hanya diiyakan dengan anggukan dan "Hm", seolah selama diberi pekerjaan yang menyediakan tunjangan makan dan tempat tinggal plus gaji, serta banyak waktu pribadi, ia sudah merasa kehidupan ini sempurna. Terutama di sini fasilitas makannya enak, tempat tinggalnya juga bagus, setidaknya lebih baik daripada kamar kecilnya di rumah sewa yang ia bagi dengan orang lain.
Dua hari ini bisnis cukup ramai, tamu berdatangan terus-menerus, kebetulan juga bisa jadi latihan bagi Yu Dian untuk mempraktikkan operasional nyata.
Cheng Yun berdiri di sebelah, sambil memberikan pengalaman juga menunjuk kesalahan-kesalahannya. Kecuali interaksinya dengan tamu yang masih terkesan terlalu pemalu dan penakut, aspek lain hampir tak tercela.
Sekitar pukul empat sore, Yu Dian pulang untuk menyiapkan barang-barang, membuat resepsionis hotel kembali hanya menyisakan Cheng Yun seorang diri.
Malam harinya, Cheng Yan dengan ekspresi datar mengayuh sepeda Mobike datang, begitu masuk langsung duduk di sofa main ponsel, sama sekali tidak mengangkat kepala, menunjukkan sikap mutlak tidak mau bicara dengan Cheng Yun.
Cheng Yun dengan wajah pasrah mengakhiri statistik tagihan, berkata pada Cheng Yan: "Aku keluar sebentar, kamu jaga di sini ya!"
"Tidak!" Cheng Yan bahkan tak mengangkat kepala.
"Cuma jaga sepuluh menit!"
"Tidak!"
"Kamu ini ngambek kenapa sih..." Cheng Yun setengah kesal setengah geli, "Jangan mengacau, aku mengaku kalah, oke?"
"Pokoknya tidak!" Setiap kali mendengar nada "orang tua ke anak" darinya, Cheng Yan langsung kesumat, "Bukannya kamu sudah dapat kasir depan? Gajinya juga nggak nanggung gaji aku, ngapain harus bantu?"
"Dia baru mulai besok." Cheng Yun menjawab dengan bingung.
"Oh!! Sudah diusir, sekarang karena penggantinya belum datang, mau tarik ulur lagi? Ada baiknya seperti itu?" Cheng Yan menggerutu dengan wajah menggembung seperti genderang.
“Hah？？Bukannya kamu sendiri yang mau pergi? Malah terlihat lega banget... Kukira akhirnya kamu nggak perlu kerja di sini lagi, rasanya seluruh tubuh ini jadi ringan!” Cheng Yun hanya merasa bingung, “Ini kok bisa dibilang aku yang ngusir kamu? Marah-marah nggak jelas begini dasarnya di mana sih...”
“Gaji tetap udah lunas semuanya!”
“Kalau gitu... Kembalikan dong?”
“……” Cheng Yan langsung mengabaikannya, terus asyik main ponsel sambil menunduk.
Cheng Yun pasrah: “Aku mau belanja ke pasar. Kalau kamu nggak jagain toko, malam ini makan makanan online lagi?”
Cheng Yan langsung bangkit berdiri, dengan gesit memasukkan ponsel ke saku depan jeans ketatnya, lalu melangkah masuk ke etalase sambil berdiri: “Aku mau makan iga babi asam manis, ikan mendidih.”
“Ngurus ikan ribet banget!” Cheng Yun mengerutkan kening, “Masak dua sayur biasa aja lah!”
“Aku mau makan ikan mendidih.”
“Gadis ini! Kok merepotkan sekali!”
“Ikan Mendidih!” Cheng Yan melotot ke arahnya, “Kamu bilang kalau aku jaga resepsionis, masakanmu harus memenuhi standarku!”
“Bagus! Ikan Mendidih!”
“Ditambah Iga Asam Manis.”
“Bagus! Iga Asam Manis!”
“Ikan Mendidihnya harus ekstra pedas!”
“Bagus! Pedas level maksimal!”
“Hmph!”
“……”
Cheng Yun berjalan keluar dengan wajah serius. Tak jauh dari situ terdapat pasar tradisional, jarak tempuh sekitar lima menit.
Sekitar satu jam kemudian, Ikan Mendidih dan Iga Asam Manis terpajang di meja kopi. Buku matematika SMA Cheng Yan menjadi alas piring Ikan Mendidih - ukurannya persis pas.
Cheng Yan tampak sangat puas, raut wajahnya lebih cerah. Ia menyendok nasi penuh mangkuk dan mulai menyantap.
Di sorot matanya, Cheng Yun tidak memiliki kemampuan yang berarti. Performanya selama kuliah pun tak layak masuk hitungannya, karena uang yang dihasilkan Cheng Yun tidak berkaitan dengannya, apalagi masuk ke rekeningnya. Hanya kemampuan memasak yang berbeda—dialah salah satu penerima manfaat langsung, sekaligus penerima terbesar saat ini. Karenanya dia sangat mengapresiasi sisi Cheng Yun ini.
Dia juga berterima kasih pada mantan pacar Cheng Yun yang telah melakukan Penyesuaian kemampuan masaknya sedemikian baik.
Hanya saja sekarang ada satu orang lagi yang berbagi kemampuan memasak Cheng Yun, yakni resepsionis wanita muda di depan kasir itu.
……
Kawasan sekitar kampus sebenarnya bukan dipenuhi warnet, hotel, apalagi toko pakaian dan jajanan, melainkan rumah-rumah sewa murah dan sederhana yang tersebar di sekitarnya.
Banyak murid tidak memperhatikan seberapa bagus lingkungan sekitar rumah sewa atau lokasi geografisnya, juga tidak menuntut persyaratan ketat untuk dekorasi rumah atau konfigurasi perangkat keras. Selama dekat sekolah dan ada AC serta air panas, itu sudah cukup. Bahkan banyak yang tidak membutuhkan dapur sama sekali, asalkan bisa lepas dari asrama sempit dan teman sekamar yang sulit diajak rukun, serta memiliki tempat tinggal bersama pacar. Mereka bahkan rela tidak pakai dapur, cukup menyewa satu kamar tidur saja.
Calon mahasiswa pascasarjana memiliki permintaan yang sedikit lebih tinggi, hanya mengejar suasana yang lebih hening.
Rumah tipe empat atau lima kamar di sekitar kampus cukup umum, setiap kamar bisa disewakan ke satu mahasiswa atau sepasang kekasih. Harga sewa termurah sekitar delapan sembilan ratus, yang mahal sekitar seribuan, jauh lebih menguntungkan daripada menyewakan seluruh rumah.
Para penyewa biasanya berdesakan enam tujuh orang di rumah seperti ini, tanpa memandang jenis kelamin, bersama-sama menggunakan ruang tamu dan dapur. Kamar utama dengan kamar mandi dalam masih lumayan, penghuni kamar lain harus antri untuk mandi.
Yu Dian menyewa di gedung residensial tua yang sangat tak mencolok, lantai lima, tanpa lift, kamar terkecil.
Rumah ini disewakan lima kamar tidur. Kamar yang dia sewa adalah satu-satunya tanpa AC, bahkan tidak memiliki jendela. Setiap musim panas terasa sesak dan sulit ditahan. Bahkan pemilik kos yang sudah cukup akrab karena lama berinteraksi merasa kasihan, memberinya kipas angin.
Dalam keluarga, kamar seperti ini biasanya digunakan sebagai ruang penyimpanan atau ruang baca. Tentu harganya sangat murah, hanya enam ratus sebulan, bayar satu bulan di muka, sewa satu bulan, sangat cocok dengan kondisi ekonominya.
Nama Yu Dian konon diberikan karena saat ibunya melahirkannya, di luar sedang hujan, sehingga dinamai "Titik Hujan".
Saat ini pukul enam sore, Yu Dian sedang menahan kepanasan di dalam kamar saat senja. Untungnya secara fisik lemah, tidak mudah berkeringat.
Dari ruang tamu di luar terdengar suara sepasang kekasih yang akan meninggalkan hari ini sedang berpamitan dengan yang lain. Mereka akan pindah kembali ke asrama dalam beberapa hari ini untuk menghadapi pemeriksaan akhir semester jurusan. Juga tercium wangi makanan online yang dipesan teman sekamar. Sementara itu, Yu Dian diam-diam duduk di ranjang papan keras kamar kecilnya, menahan lapar yang menggerogoti perutnya.
Di depannya tergeletak barang bawaan yang sudah rapi. Selain perlengkapan ranjang dan meja lipat, semua pakaian musim dingin dan musim panas hanya memenuhi satu koper kecil beroda plus sebuah tas ransel.
Tanpa sengaja, Yu Dian teringat makan siang tadi. Bawah sadarnya membuatnya menelan air liur.
Siang tadi ia malu untuk menambah nasi, akhirnya hanya menghabiskan semangkuk kecil. Ditambah pola makan yang tidak teratur, perutnya cepat kenyang meski sedikit. Namun setiap mengingat porsi kentang rebus tulang iga yang ada di sisi Cheng Yan, dan sikapnya yang ragu-ragu mengulur sumpit, hatinya seperti tertusuk - andai saja berani mengambil sedikit kentang saja!
Dan ketika mengingat mulai besok dirinya sudah memiliki tiga waktu makan yang stabil, tidak hanya bisa terus melakukan hal yang diinginkan tapi juga punya pekerjaan tetap, hatinya dipenuhi harapan akan masa depan!
Sayang sekali, malam ini...
Yu Dian meraba perut, mengeluarkan Xiaomi 2s yang sudah penuh lecet dari tas, lalu membuka aplikasi pesan-antar.
Dulu aplikasi ini lebih sering jadi platform "menghilangkan dahaga dengan memandang plum" baginya. Meski tega memesan makanan enak, tak tega membayar biaya pengiriman. Daripada itu, lebih baik jalan kaki setengah jam ke restoran. Hanya saat ada diskon gila-gilaan dari persaingan perusahaan makanan online atau promo buka restoran baru, baru dia pertimbangkan.
Tapi hari ini jelas berbeda!
Sudah hampir akhir bulan, besok dia harus meninggalkan tempat ini. Sedikit rasa keengganan menyelinap - hampir dua tahun dia tinggal di kamar kecil ini. Cari kamar sewa murah dengan ruang independen di Jinguan (Ibu Kota Brokat)? Susah dapat!
Jadi dia mempersiapkan modal besar untuk makan enak sebagai persembahan atas keringat dan darah yang telah ia tumpahkan di tempat ini.
"Harus... dikontrol dalam 20 Yuan!" Yu Dian berbicara sendiri sambil dengan lihai menekan beberapa syarat seleksi di aplikasi makanan online, lalu mulai mencari.
Sekitar setengah jam kemudian, ponselnya mati karena baterai habis lebih cepat dari perkiraan.
"......" Yu Dian sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk ponsel tua ini. Ia menghela napas, "Kulkas masih ada dua roti kukus... Sudahlah, lebih baik turun ke bawah makan mie."
Duduk beberapa saat di kamar, ia merasa seharusnya mengusulkan untuk mulai bekerja malam ini juga. Tapi ia ragu-ragu, bagaimana jika bos tahu tujuan sebenarnya?
Setelah memastikan ruang tamu sepi, barulah ia membuka pintu perlahan-lahan dan menyelinap turun lewat tangga.
Keesokan harinya.
Yu Dian biasanya tidur sampai jam dua belas untuk menghemat satu kali makan siang. Ya, cukup makan sarapan di siang hari - dua roti kukus pasti bisa mengenyangkannya. Tapi hari ini dia bangun pukul enam, menggendong tas ransel sambil satu tangan menarik koper beroda, tangan lain membawa meja lipat dan bantal-selimut yang diikat rapi. Dengan diam-diam dia meninggalkan kamar, lalu menyeret koper dan perlengkapan tidur turun tangga selangkah demi selangkang --
Berbeda dengan perpisahan dramatis pasangan kekasih dan teman sekamar kemarin, kepergiannya benar-benar tak ada yang tahu.
Takut koper jatuh dan rusak (harganya mahal kalau beli baru), meski tangan sudah gemetaran dia tetap menggigit gigi erat-erat memegangnya. Saat sampai di lantai dasar, lengannya terasa mau copot.
Tiba-tiba, dering ponsel berbunyi!
Dengan panik Yu Dian melepas koper, mengabaikan otot lengan yang pegal, lalu merogoh ponsel --
Catatan kontak bertuliskan "Bos Cheng" yang baru dia simpan semalam.
"Halo... Halo bos, jangan buru-buru. Saya segera datang." Yu Dian buru-buru menjawab sambil menyambungkan panggilan.
"Jam kerja baru pukul tujuh, sekarang belum pukul enam dua puluh. Apa yang panik!" Suara Cheng Yun yang penuh kesabaran terdengar dari seberang telepon disertai tawa, "Saya hanya ingin tanya apakah barang bawaanmu banyak, perlu saya jemput tidak?"
"Ti... tidak banyak." Lengan Yu Dian masih lemas, matanya berkaca-kaca mendengar pertanyaan itu, "Saya... saya akan sampai dalam sepuluh menitan."
"Baiklah, hati-hati saat menyeberang jalan."
"Hmm..."
