Baru masuk ke gym, dia langsung melihat Cheng Yan——
Cheng Yan saat ini mengenakan celana pendek olahraga hitam dengan pinggiran putih, memperlihatkan sepasang kaki panjang nan tegak. Kulit gadis itu putih mulus. Bagian atas tubuhnya mengenakan vest olahraga pendek yang menunjukkan pinggang ramping tanpa lemak, tulang selangka yang indah, leher jenjang, dan lengan yang proporsional. Di kakinya tersemat sepatu lari Asics, seolah foto sekilas pakai ponsel pun langsung layak jadi sampul majalah atau viral di internet.
Ternyata, meski ingin kabur karena rasa bersalah, dia tetap tak mau membuat perjalanannya sia-sia.
Cheng Yun mempercepat langkah mendekat.
Cheng Yan tengah mengenakan sarung tangan tinju di samping sandbag, sepertinya sedang berlatih teknik pukulan.
Dia juga melihat Cheng Yun, namun langsung mengalihkan pandangan. Tetap fokus pada sandbag di depannya, tubuhnya berputar lalu melayangkan pukulan yang menghasilkan suara "bum" tertahan.
Di sekitar, banyak pria dan wanita yang sedang berolahraga memperhatikannya. Para pria masih agak sopan, paling hanya mencuri pandang. Sedangkan para wanita sama sekali terang-terangan, bahkan ada yang mengeluarkan ponsel berpura-pura swafoto lalu diam-diam memasukkan dirinya ke dalam bingkai foto.
Cheng Yun mendekat. Melihatnya mengenakan earphone dengan ponsel terselip di saku celana, keningnya langsung berkerut. "Mengapa tidak mengangkat teleponku?" tanyanya.
"Aku lihat kamu asyik mengobrol dengan si cewek cantik di pintu! Kubiarkan kau punya waktu lebih agar tidak mengganggu upayamu menggoda cewek," Cheng Yan tidak menatapnya. Matanya menatap tajam ke arah sandbag, lalu tiba-tiba melancarkan pukulan lurus. "Cheng Yun, rupanya kemampuanmu meningkat! Hanya dalam waktu sesingkat ini, sudah bisa menggoda resepsionis gym sampai rela mengambil risiko memasukkanmu ke sini!"
"Jangan coba alihkan perhatian!" Cheng Yun mengabaikan seluruh ucapannya. "Apa otakmu bermasalah? Mengapa memilih Universitas Yi?"
"Aku... pilihanku adalah kebebasanku!" Cheng Yan terdengar bersalah. "Sepertinya kamu lebih tegang daripada aku."
“Aku bisa tidak tegang!?” Cheng Yun secara bawah sadar menaikkan volume suaranya, baru menurunkan lagi setelah menyadari perhatian orang-orang di sekitarnya, “Aku kakakmu! Satu-satunya walimu!”
“Jangan alihkan perhatian! Barusan aku lihat kau menggoda cewek!” Tatapan Cheng Yan tajam bagai kilat, pukulannya pun secepat petir!
Bum! Kantong pasir bergoyang.
“Dia teman sekelasku di kampus.” Cheng Yun menghela napas pasrah.
“Ha! Aku juga sempat ngobrol dengannya. Dia bahkan belum lulus!” Cheng Yan menolehkan kepala memberikannya tatapan dingin, “Sekarang kau akan bilang dia adik junior perempuanku, ya?”
“Aku brengsek…” Cheng Yun tak bisa membantah, “Baiklah! Anggap saja aku menggoda cewek, emang ada urusan apa denganmu!”
“Kalau… kalau begitu isi formulir pendaftaranku juga bukan urusanmu!” Cheng Yan kembali menghujamkan pukulan kait dengan garang, seolah sedang bermain curang.
“Mengapa kau begitu? Kepalamu mengacau ya? Universitas Yi dengan Tsinghua dan Peking University bedanya jauh sekali, kau harus kasih alasan yang jelas!” Cheng Yun berbicara, “Bukannya dulu kau selalu ingin ke ibukota?”
“Terlalu jauh dari rumah kita, tidak adaptif dengan lingkungan lokal!” Cheng Yan menjawab.
“Lalu rencanamu mendaki Tembok Besar Badaling?”
“Terlalu ramai orang, sampai kaki terangkat pun bisa melewati seluruh rute, takut dipegang-pegang orang!” Cheng Yan melanjutkan, “Nanti kalau sudah tajir aku pergi sendiri, ke Jinshanling atau Simatai.”
“Lalu hot pot domba kesukaanmu?”
“Bau kambingnya menyengat!”
“Bebek panggang Quanjude itu!”
“Masa tiap hari makan bebek panggang? Masakan utara juga tidak cocok di lidahku.” Cheng Yan berkata sambil menghindari pertanyaan lebih lanjut. Setelah diam sejenak, ia segera mengalihkan topik, “Lagian kenapa menyalahkanku? Bukannya dulu kau ingin jadi Interpol yang gagah? Sekarang malah kayak ikan asin tak berguna...”
“……Kamu masih ingat.” Cheng Yun merasa agak canggung, "Itu urusan masa kecil, mana bisa dianggap serius."
“Itu juga cuma angan-angan waktu kecil.”
“Sekarang pun kamu masih kecil!” Cheng Yun membalikkan mata, amarahnya yang tak jelas sumbernya tiba-tiba sudah hampir hilang, "Kalau begini... bagaimana aku harus memberi jawaban pada Ayah Ibu?!"
“Mereka?” Tatapan Cheng Yan melembut sesaat sebelum sudut bibirnya kembali menyeringai, "Ibu selalu menghargai pendapatku. Kalau Ayah... dengan karakter 'santai' dan 'tidak peduli' macam itu, menurutmu dia akan mengurusiku? Lebih baik jangan ikut campur urusan orang."
“……” Cheng Yun benar-benar kehabisan kata.
Baru saat itu Cheng Yan berhenti, menghela nafas lega. Ia mengangkat tangan dan menggigit velcro sarung tinju dengan gigi, melepas satu per satu sarung tangan itu dengan gerakan terampil.
"Kau tunggu di luar saja, aku mau mandi dulu dan ganti baju." Cheng Yan melemparkan sarung tangan, berjalan menuju kamar mandi.
"Ah." Cheng Yun menghela napas dalam-dalam.
Samar-samar ia teringat malam ketika seluruh keluarga duduk bersama menikmati makan malam jelang Ujian Nasional, kebetulan saat itu mereka membahas masa depan Cheng Yan.
Cheng Yan secara samar menyatakan keinginannya kuliah di ibukota, jadi selama nilainya cukup tinggi, pilihannya hanya Tsinghua atau Peking University.
Cheng Yun selalu yakin dengan performa akademik adiknya.
Profesor An agak panik karena Cheng Yan tak kunjung memastikan pilihan kampusnya, sehingga gagal mendapatkan rekrutmen khusus dan kehilangan kesempatan seleksi mandiri. Padahal kedua jalur ini bisa sangat mengurangi risiko Ujian Nasionalnya.
Justru Cheng Yan sendiri sangat tenang.
Profesor Cheng bahkan lebih kalem lagi.
Saat itu Profesor An bertanya padanya: "Apa pandanganmu tentang dua universitas Tsinghua dan Peking?"
Profesor Cheng mendorong kacamata di pangkal hidungnya dan menjawab: "Sama saja, tidak masalah, isi sembrono salah satu saja!"
Cheng Yun juga tak tahu harus berkata apa seperti hari ini, berkomentar: "Ini menyangkut seluruh hidup anakmu nanti, tak bisakah kau memberi sedikit saran? Kenapa semuanya serba 'sembrono-sembrono', jangan-jangan dulu waktu menikahi Ibu juga pilihan sembrono?"
Profesor Cheng tertegun sejenak, malah merasa bingung dengan ucapannya, menjawab: "Iya, ibu kalian memang pilihan sembronoku dulu. Lihat, sekarang juga baik-baik saja kan?"
Adegan saat itu seolah baru terjadi kemarin.
"Ah." Cheng Yun berjalan keluar gym dengan kepasrahan, hanya bisa terharu "adik sudah besar tak bisa ditahan".
"Wanita cantik itu adikmu?" Pan Shimeng di resepsionis tiba-tiba menatapnya dan bertanya.
"Iya, kau kenal dia?"
“Sempat berbincang beberapa kalimat, tidak terlalu akrab. Tapi masih ingat namanya Cheng Yan.” Pan Shimeng berkata sambil menunjukkan ekspresi tersadar, "Cheng Yun, Cheng Yan, awan dan asap. Benar-benar sepasang kakak adik."
"Hm……"
Kerabat Cheng Yun tidak menyangka bahwa nama kedua bersaudara sebenarnya berasal dari Profesor Cheng yang sama sekali tidak bisa mengambil keputusan. Saat itu Profesor An cukup menghormatinya, lalu memutuskan memberikan hak penamaan ke tangannya. Namun Profesor Cheng menyatakan cukup memberi nama sembrono untuk panggilan saja, toh setelah 100 tahun semuanya akan menjadi asap dan kabut yang berlalu. Maka terciptalah dua nama Cheng Yun dan Cheng Yan, direncanakan jika lahir anak laki-laki diberi nama Cheng Yun, anak perempuan Cheng Yan.
Setelah melahirkan Cheng Yun, karena masih tersisa satu nama lagi, kedua profesor itu memutuskan untuk melakukan regenerasi sekali lagi.
Cheng Yun menggelengkan kepala menyadari keadaan, lalu tersenyum pada Pan Shimeng: "Hari ini benar-benar memberimu masalah."
“Tidak apa-apa, lagian aku juga cuma kerja part-time sambil iseng selama liburan musim panas, sekalian berunding dengan bos untuk menyelesaikan formulir magang nanti. Meski ketahuan bos ngasih orang masuk, juga nggak masalah.” Pan Shimeng tentu takkan bilang kalau bos di sini adalah ayah pacarnya, "Adikmu cantik sekali, gen bagus emang beda! Di antara cewek-cewek yang fitness di sini, adikmu adalah yang tercantik dan bertubuh paling ideal yang pernah kulihat."
"Sekarang posturmu juga udah bagus kok."
Tak lama mengobrol, Cheng Yan selesai mandi dan berganti pakaian, membawa baju gantinya keluar dari dalam.
Dia mengenakan celana harlem hitam panjang sembilan bagian yang elastis menempel tubuh, dipadukan kaos olahraga abu-abu tua yang kontras tajam dengan kulitnya yang putih salju. Di atas sepatu olahraganya terlihat kaus kaki abu-abu muda, rambut setengah kering disisir rapi, wajah tanpa makeup segar bak puisi. Aura percaya diri dan ekspresi dinginnya, ditambah gerakan langkahnya yang mantap, langsung menarik sorotan mata banyak orang selama berjalan keluar.
"Tolong pegang ini." Cheng Yan menyodorkan kantong kertas di tangannya ke Cheng Yun, lalu menyipitkan mata melihat Pan Shimeng sejenak sebelum langsung berjalan ke luar, "Ayo pulang."
"Kami duluan ya, nanti chat lewat WeChat." Cheng Yun menoleh sambil tersenyum ke arah Pan Shimeng.
"Oke."
Cheng Yun menyusul Cheng Yan, tanpa sengaja melirik isi kantong: Hmm, ada vest olahraga dan celana pendek olahraga, serta perlengkapan mandi dalam kantong plastik biru. Eh, kain tipis yang menyembul di sudut ini...
Ia bersalah melirik Cheng Yan.
Waduh, tepat bertabrakan dengan pandangan terkejut Cheng Yan!
"Kamu ini menyimpang!" Cheng Yan membalikkan matanya, "Suruh pegangin doang, malah mengintip isinya di jalanan!"
"Dasar pilihan katamu... Ini bisa disebut mengintip?" Cheng Yun membela diri, "Kamu yang suruh aku pegang, tapi enggak kasih tahu isinya. Cuma liat sekilas aja udah disalahin! Kalau ada yang tidak pantas diliat, ngapain suruh aku pegang?"
“Lalu apa yang kamu lihat?”
“Apa yang bisa diliat! Cuma perlengkapan mandi dalam kantong plastik! Benar-benar gak penting!” Cheng Yun mengibaskan tangan, “Nanti aku beliin tas penyimpanan yang lebih bagus buat kamu.”
“Kamu juga minta WeChat cewek itu?”
“Wah pola pikirmu ini... loncat-loncat banget sih!” Cheng Yun merasa capek berdebat, “Bukannya sudah kubilang? Kami sudah kenal lama, WeChat-nya juga sudah saling tambah bertahun-tahun! Dulu pernah nongkrong di pinggir jalan sambil makan barbekyu minum bir bareng!”
Cheng Yan menoleh melihatnya sebentar, lalu melanjutkan jalan.
Belum jauh melangkah, dia berhenti lagi. Matanya menyorot postur Cheng Yun, “Lihat dirimu, sudah waktunya olahraga. Lingkar pinggangmu membesar satu lingkaran, pasti sudah ada lemak berlebih!”
“Ini lagi-lagi pola pikir... beneran, terlalu melompat-lompat!” Cheng Yun menghela napas.
Tapi ucapan Cheng Yan kali ini justru mengena di hatinya.
“Meski saat ini sebenarnya belum sampai memiliki lemak berlebih, tapi dibandingkan masa lalu saat masih memiliki otot perut dan dada, terlihat lebih kurus namun berat badan lebih ideal, kondisi sekarang masih jauh tertinggal. Dalam aktivitas sehari-hari pun bisa jelas merasakan penurunan kondisi fisik.”
“Benar, aku adalah pria yang harus berurusan dengan berbagai penjelajah waktu dan melindungi dunia, mana mungkin bisa setlemah ini?” Cheng Yun bertekad dalam hati, “Tubuh yang sehat adalah modal utama untuk melakukan apapun. Sudah terlalu lama bermain-main, saatnya mulai berlatih.”
“Mulai dari liburan musim panas ini!”
