"Kamu sedang menelepon siapa?" Cheng Yan bertanya.
"Li Huaian." Cheng Yun memandanginya dengan bingung, menggoyangkan layar ponsel di depan matanya, "Tadi Li Huaian juga menanyakanmu. Kubilang kamu diterima di Universitas Yizhou jurusan sejarah, dia langsung bilang pasti itu hasil kegilaanmu mengacau. Tapi aku tidak cerita soal keanehanmu itu."
“Kau yang mengacau!” Cheng Yan melotot ke arahnya dengan keras, melanjutkan, “Nelfon cowok sampai lama banget, jangan-jangan kau mau... gay²an?”
“……” Cheng Yun menghela napas pasrah, “Cuma sepuluh menit, masa disebut lama!”
“Jangan kira aku nggak tahu hubungan mesra kalian berdua.” Cheng Yan berkata dengan nada "jangan coba-coba ngeles", “Lagipula maksudmu 'cuma sepuluh menit'? Buat kebiasaan cowok dan karaktermu, sepuluh menit itu udah sepadan dua jam buat cewek!”
“……” Cheng Yun melambaikan tangan, berjalan menuju tangga, “Aku mau masak. Mau makan apa siang ini?”
“Kelinci cabai segar, Semut Naik Pohon, sama Iga Babi Kecap.” Cheng Yan mengikuti pantatnya naik ke lantai atas.
“Nggak ada pohon sama kelinci.”
"Mengapa Li Huaian meneleponmu? Apakah mantan pacarmu menyuruh sahabat karibmu untuk menyelidiki?" Kaki jenjang Cheng Yan dengan mudah melangkahi dua anak tangga sekaligus, tapi tetap menarik baju Cheng Yun, "Pelan-pelan! Saat naik-turun koridor harus pelan!"
"Eh? Sejak kapan kamu segini heboh urusan orang?" Cheng Yun meliriknya dengan tatapan keterkejutan.
"Apakah benar?"
"Mana mungkin!" Cheng Yun berkata, "Li Huaian baru saja dapat ijazah dan langsung ke Thailand, baru dua hari ini pulang ke rumah kita. Dia sebelumnya juga tidak tahu situasi keluarga kita, jadi setelah kembali cuma menelepon sebentar."
"Wah, baru pulang dari Thailand ya, Ckckck!" Cheng Yan menyorotkan pandangan serius ke Cheng Yun, mengeluarkan suara jijik dua kali.
"Maksudmu apa sih?" Cheng Yun benar-benar tak tahu harus berkata apa.
"Maaf, aku nggak ada maksud apa-apa." Cheng Yan berdiri di pintu dapur menyilangkan tangan di dada dengan wajah terlalu serius, "Cuma mengingat kamu satu-satunya pria di keluarga kita, penerus keturunan semua tergantung kamu. Jadi cuma mau ingetin... Sekalipun operasi di Thailand-nya berhasil, tetap nggak mungkin bisa punya kemampuan reproduksi. Juga nggak bisa mengubah fakta dia dulunya pria. Jangan nekad main 'tusuk sate' gitu!"
"Ngaco banget sih! Darimana kamu belajar omongan kotor begini!?" Cheng Yun menepuk dahinya sambil menjelaskan, "Keluarga mereka punya bisnis internasional, cuma dikirim ke sana buat latihan."
"Nggak kelihatan dia ternyata generasi kedua orang kaya!" Cheng Yan pernah dua kali bertemu Li Huaian. Dalam ingatannya, itu pemuda berwajah tampan dan berkarakter baik. Tapi sepertinya penampilannya biasa saja - nggak pakai arloji mewah atau mobil gede, pakaian kebanyakan dari Taobao dan merek olahraga lokal. Sesekali pakai sepatu basket branded tapi harganya cuma seribuan. Katanya sih itu semacam "keyakinan" para cowok.
"Ya, tak terlihat kan!" Cheng Yun menarik sudut bibir, "Keluarga mereka tajir luar biasa!"
"Oh." Cheng Yan mengangguk tak beremosi, "Cuma bercanda saja."
Pertanyaan sampai di sini, dialog menjadi hambar tak berasa. Ia berbalik menuruni tangga, "Aku mau beli bihun dan kelinci."
Tinggalkan Cheng Yun berdiri di dapur, bingung tak karuan.
Selama proses memasak, telepon dari Guan Yue masuk. Sejak kenal, jumlah telepon teman ini tak sampai lima kali.
Usai makan, beberapa kawan terus-menerus mengirim pesan simpati. Tentunya semua berkat jasa Li Huai'an.
Sore hari, cuaca masih begitu sejuk.
Cheng Yun naik ke atap gedung. Bunga-bunga di taman atap bersemi cantik, menghias area ini bagai taman megah. Berada di sini membuat hati terasa lebih bahagia.
Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan, ikan-ikan berenang dengan santai di kolam, ditambah dengan tanaman air dan makhluk lain, serta tumbuhan hijau di taman batu buatan, menjadikan tempat ini lingkaran ekosistem yang sempurna.
Cheng Yun asal memetik sekuntum bunga lalu duduk manis di kursi santai, cahaya keemasan yang sedikit menembus lapisan awan pun tertutupi oleh payung paviliun.
Sekarang baru pukul satu. Ia harus keluar untuk latihan pukul setengah tiga, masih bisa tidur siang selama satu setengah jam.
Tersipu malu!
Cheng Yun menutup matanya.
Matahari sedikit miring, sedikit cahaya menyinari wajahnya melalui sudut miring payung paviliun, sempat membuat Cheng Yun terbangun. Tapi sinar hari ini tidak menyengat, ia pun hanya menyipitkan mata lalu melanjutkan tidurnya.
Hingga tiba-tiba ada sosok ramping yang mendekatinya perlahan, membawa bau familiar, berhenti tepat di depannya - bayangannya yang ramping menyatu dengan tubuhnya yang sedang tertidur...
Cahaya matahari tiba-tiba terhalang sepenuhnya.
Cheng Yun masih berkunang-kunang, membuka matanya, melihat siluet berpostur tinggi berdiri di hadapannya, sedikit menunduk memandanginya. Di wajah cantik manisnya terpancar senyum penuh seloroh.
Wajah itu sudah lama tak ia jumpai.
"Hm?" Cheng Yun langsung tersadar, sorot matanya kembali jernih menatap tajam perempuan itu, "Kau bagaimana..."
"Aku bagaimana? Apa kau terkejut?" Perempuan itu tersenyum memandangnya, senyum di bibirnya semakin lebar. Ia lalu duduk di kursi santai sebelahnya, "Lingkungan di sini lumayan indah. Jadi kau sudah memulai hidup masa tua lebih awal ya?"
Cheng Yun menggelengkan kepala penuh kepasrahan, duduk tegak dan berkata, "Maksudku, kenapa kau datang?"
Tang Qingyan diam sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab, "Dulu Paman dan Tante selalu baik padaku. Sekarang mereka mengalami masalah, tentu aku harus menjenguk! Bagaimana denganmu? Tidak sampai putus asa kan?"
Cheng Yun kembali menggelengkan kepala: "Sudah lama berlalu."
"Maaf." Ekspresi Tang Qingyan muram, "Aku juga baru tahu beberapa jam yang lalu, itu pun dari Li Huaian yang memberitahuku."
"Bukannya kamu di Shen'an?"
"Hm." Tang Qingyan mengangguk, "Gagal bertahan, memutuskan pulang kampung. Tapi setelah dengar kabar tentang Paman dan Tante, langsung terbang ke Jinguan, ingin melihat keadaanmu sekarang... Sepertinya baik-baik saja, pemahamanmu tentang hidup sudah jauh melampaui teman seumuran."
"Ahem." Cheng Yun batuk palsu, bertanya lagi, "Lalu bagaimana kamu bisa menemukan tempat ini?"
"Hotel ini? Gaode Map yang membawaku ke sini."
"Siapa yang memberitahumu aku di sini?"
"Guan Yue."
"Lalu bagaimana kamu bisa naik ke atap?"
"Cheng Yan di bawah, tapi sepertinya dia enggan memberitahuku." Tang Qingyan menjawab, "Tapi akhirnya dia tetap kasih tahu."
"Kamu berani tanya Cheng Yan..." Wajah Cheng Yun menghitam.
"Ada masalah?"
"Tidak ada." Cheng Yun mengibaskan tangan, "Cuma si gadis ini entah kenapa akhir-akhir ini suka ikut campur urusanku. Aku yakin sebentar lagi kepala bakal pusing lagi."
"Masalah apa lagi yang bikin pusing! Di usia Cheng Yan sekarang ini seharusnya dia sudah mulai dewasa, lebih perhatian ke kakak laki-lakinya itu hal yang wajar!" Tang Qingyan bersandar di kursi santai, "Ngomong-ngomong, lupa bilang, aku bisa naik ke sini juga karena Cheng Yan yang ngajak. Entah dia masih nongkrong di pintu tangga atau enggak..."
Cheng Yun buru-buru menoleh ke arah pintu tangga. Tapi pintu hanya terbuka sedikit, tak terlihat apa-apa dari sini.
"Dia pasti nggak segitunya iseng."
"Mungkin."
"......" Cheng Yun terdiam sejenak. Interaksi dengan Tang Qingyan memang selalu terasa kikuk, apalagi dalam jarak sedekat ini. Aroma parfum familiar di tubuhnya bahkan bisa tercium jelas.
"Kamu datang cuma buat ngobrolin hal-hal yang tidak penting ini?"
“Sama saja, terutama aku ingin menjenguk Paman dan Tante, berbagi kenangan denganmu cuma urusan sampingan.” Tang Qingyan tersenyum, “Apa merasa agak memalukan? Padahal sudah lama putus, juga sudah lama tidak berhubungan, tapi tiba-tiba duduk manis bersama bercakap-cakap seperti masih akrab.”
“Memang sedikit.”
“Ini salahmu juga! Dulu bilang setelah putus masih bisa berteman, tapi kenyataannya? Kamu tidak pernah mengajakku ngobrol, ada urusan pun tidak memberi tahu, sampai-sampai baru sekarang aku tahu Paman dan Tante ternyata sudah berpulang!”
“Kamu juga tidak pernah menghubungiku kan?” Cheng Yun tersipu, sengaja menghindari topik kematian orangtua.
“Hm...” Tang Qingyan bingung menjawab, menarik suara panjang sebelum melanjutkan, “Kalau begitu, sebagai pertemuan pertama kita setelah sekian lama, ada kesan khusus tidak?”
“Kesan? Mungkin tidak ada.” Cheng Yun menggeleng, “Aku masih agak terkejut, belum sempat merenungkan.”
“Hm?”
“Kamu semakin cantik saja.”
“Prasangka yang bagus!”
“Estimasi kemampuan riasnya meningkat drastis setelah keluar dari gerbang kampus.” Cheng Yun berkata.
“……”
Percakapan mereka tak bisa dibilang terlalu akrab, mengingat sudah lama putus dan selama ini tak pernah bertemu. Citra masing-masing masih terjebak di masa lalu, padahal justru periode pascakuliah adalah fase perubahan terbesar seseorang. Reuni dadakan kali ini tetap mengandung momen-momen canggung yang berusaha mereka tutupi.
Sekitar setengah jam kemudian, Tang Qingyan membuka kamar di hotel dan menetap di sana.
Saat Cheng Yun mencari Yin Nuxia, tak sengaja bertemu Cheng Yan. Sorot mata gadis itu menusuk tajam: “Masih bilang telepon Li Huai'an tak ada hubungannya dengan mantan pacarmu!”
Cheng Yun tertegun sejenak sebelum menjawab: “Sungguh bukan. Li Huai'an yang telepon duluan, baru memberitahunya.”
Cheng Yan mendengus pelan, tetap tak bergeming: “Lagian kau biarkan dia tinggal di rumah kita. Mau nyulut lagi cinta lama?”
“……Keluarga kami memang pemilik hotel!” Cheng Yun menghela napas, “Dia buru-buru kembali setelah mendengar kabar orang tua kita sudah berpulang. Aku akan memberitahu Yin Dan dulu, hari ini sore tidak jadi lari, lalu mengajaknya ke kuburan.”
Barulah Cheng Yan diam-diam minggir.
Dia bisa menebak tujuan Tang Qingyan kembali—
Setidaknya tidak akan seproaktif ini.
Benar, gadis dengan nama agak norak ini adalah mantan pacar Cheng Yun. Dulu Cheng Yun pernah membawanya pulang, kecantikan dan keramahannya langsung merebut hati Profesor Cheng dan Profesor An. Namun hubungannya dengan Cheng Yan tidak begitu akrab, mungkin karena waktu itu Cheng Yan masih SMA dan jarang pulang ke rumah, kesempatan mereka bertemu pun minim.
Tang Qingyan berasal dari Provinsi Jizhou. Ayahnya menjabat di pemerintah Kota Shimen, ibukota provinsi tersebut—posisinya cukup tinggi. Cheng Yun juga pernah mengunjungi rumah mereka, tak cuma sekali.
Mereka berkenalan di semester satu, lalu menjalin hubungan di tingkat dua. Seperti kebanyakan pasangan kekasih di kampus, mereka menjalani masa-masa manis dan pertengkaran kecil hingga akhir tingkat tiga, bahkan sudah saling bertemu orangtua. Namun setelah memasuki tingkat empat dan masa magang, frekuensi pertemuan semakin berkurang. Seiring pertumbuhan diri, berbagai masalah semakin bermunculan. Hubungan tak lagi bisa dipertahankan hanya dengan kesesuaian karakter atau saling mengagumi kelebihan masing-masing.
Akhirnya, kontradiksi meletus. Perbedaan prinsip membuat mereka memilih untuk berpisah. Sejak itu, tak pernah bertemu lagi.
Sampai hari ini.
Cheng Yun kemudian menggunakan dua kaleng Sprite sebagai hadiah, berhasil membujuk Yin Nuxia. Barulah ia bisa mengajak Tang Qingyan membeli seikat bunga dan menuju makam orangtuanya.
Berhadapan dengan nisan dingin dan foto hitam putih kedua profesor, sikap tenang yang ditunjukkan Tang Qingyan selama perjalanan tiba-tiba runtuh. Riasannya bahkan rusak karena tangisan yang tak terbendung.
Karena dia sendiri kuliah di Universitas Yi, sedangkan kedua profesor asli Jinguan, frekuensi pertemuan jauh lebih banyak. Profesor An tak jarang memasakkan makanan enak untuknya, dia juga sering berbincang dengan Profesor Cheng. Saat itu sama sekali belum memikirkan urusan setelah lulus, hubungan mereka benar-benar sangat baik, seolah-olah dia sudah menjadi tunangan keluarga Cheng.
