Cheng Yun membuka tirai jendela ruang tamu sepenuhnya, kamar pun terlihat lebih terang.
Kemudian ia kembali mendorong jendela terbuka, ingin memberi ventilasi pada rumah. Suara rintik hujan di luar tiba-tiba menjadi jelas terdengar, gemericik tak henti, agak mempengaruhi pikiran.
"Whoosh..."
Cheng Yun menarik napas dalam-dalam, berjalan kembali ke sofa dan menyibak sudut kain anti debu, lalu duduk.
Cheng Yan masih sibuk membereskan barang-barang di kamarnya.
Sejak kecelakaan menimpa kedua profesor, bisnis hotel perlahan mulai stabil. Kedua kakak-beradik ini jarang kembali lagi. Awalnya Cheng Yan sempat tinggal beberapa malam di sini, namun segera pindah kembali ke hotel. Cheng Yun bahkan lebih jarang pulang, kebanyakan seperti hari ini hanya mengambil barang.
Tempat ini memang menjadi lokasi yang enggan disentuh keduanya, sarat dengan ingatan masa lalu namun tak memiliki daya pikat magis hotel yang menenangkan. Pantaslah Cheng Yan tak berani tinggal sendirian di sini.
TV yang tertutup plastik kubah, kabinet TV di bawahnya juga diselimuti kain anti debu, di seluruh ruang tamu seolah hanya lukisan bordir "Menyambut Tamu Saat Matahari Terbit" di belakang Cheng Yun yang masih mempertahankan bentuk aslinya.
Cheng Yun ingat dulu Profesor Cheng selalu duduk di posisinya sekarang saat malam hari menonton berita, pantat hanya menyentuh setengah bagian sofa. Sebab jika ia berbaring nyaman di sofa, Profesor An yang sibuk memasak di dapur akan merasa tidak seimbang hati, lalu memakinya. Sedangkan pagi atau sore hari, Profesor Cheng akan berbaring nyaman di sofa sambil membaca buku atau koran, di atas meja kopi terletak kendi teh Pu'er atau jarum perak Tuan Gunung...
Profesor An selalu pusing mengurus segalanya. Sebagai kepala rumah tangga yang menyeimbangkan urusan dalam-luar, ia kerap sibuk di rumah; kadang mengepel lantai, memilih sayur, menjemur pakaian, atau membuat sandal dari benang rajut...
Dulunya di atas kabinet TV seharusnya ada dua pot Lidah Mertua yang diletakkan di kiri dan kanan, di ambang jendela ditanami kaktus, bunga narsis, dan mawar. Tapi sekarang semuanya sudah dipindahkan ke Hotel Anju.
Dulu di atas kabinet TV juga seharusnya terpajang foto keluarga saat Cheng Yun lulus SMA saat berwisata ke Xinduqiao. Saat itu Cheng Yan masih SMP, meski posturnya sudah hampir 160 cm, penampilannya masih terlihat sangat muda dan hijau yang belum matang.
Jika ingatan Cheng Yun tidak salah, bingkai foto itu seharusnya disimpan di laci sebelah kiri kabinet TV. Sebenarnya dia sudah ingin membawanya pergi sejak pertemuan sebelumnya, tapi setelah berpikir-pikir akhirnya tidak melakukannya. Biarlah ini menjadi kenangan untuk Cheng Yan di kemudian hari.
Ia menghela napas, lalu berdiri dan kembali ke kamarnya sendiri.
Barang-barang cowok mudah diatur - cukup menarik koper dari lemari, lalu memaksakan semua yang ingin dibawa ke dalamnya.
Tapi cewek jelas tidak sama.
Ketika Cheng Yun menarik koper yang menggelembung menuju pintu kamar tidur Cheng Yan, adiknya masih sibuk berkemas dengan penuh kebimbangan—ia melipat mantel tipis secara menyamping dua kali dan menatanya rapi di dalam koper, namun setelah mengerutkan alis merenung sebentar, ia mengambilnya kembali dan melipat dua kali lagi sebelum menyelipkannya ke celah pinggiran koper. Baru kemudian ia mengeluarkan piyama berbulu hitam-putih dari lemari, terus menerus dilanda dilema...
Cheng Yun tak tahan lagi berkomentar: "Untuk apa kau bawa piyama setebal itu? Cuaca belum akan mendingin secepat itu, awal Oktober nanti masih ada gelombang kehangatan kembali. Bawa saja pakaian musim semi-gugur, jaket tebal dan mantel bulu angsa bisa kau ambil bulan depan."
Cheng Yan terkejut, seolah baru menyadari kehadiran kakaknya di ambang pintu, dengan nada kesal berteriak: "Kok diam-diam saja kau berdiri di situ seperti hantu!"
Sambil bicara, pandangannya tak sengaja melirik ke samping.
"Aku sudah berdiri di sini cukup lama. Kukira kau tahu kedatanganku." kata Cheng Yun dengan nada bingung, sekaligus mengikuti arah pandangannya ke samping—langsung melihat sehelai celana dalam putih kecil...
"Hmm!"
Ia cepat-cepat menarik kembali pandangan, tapi malah bertatapan langsung dengan Cheng Yan yang raut wajaknya mulai memerah.
"Keluar!!"
"......" Cheng Yun yang canggung menarik koper kembali ke ruang tamu, tetap merasa tak mengerti—ngapain sih malu-malu! Kakak kandung adik, waktu kecil dulu dia telanjang bulat pun aku sudah punya ingatan! Lagipula dulu urusan cucian selalu Profesor An yang mengurus, waktu mandi baju kotor ditumpuk jadi satu, kadang kalau Profesor An sibuk kerja malah suruh aku bantu masukin mesin cuci... Pokoknya sudah sering melihatnya, sama sekali tidak perlu malu!
Ia kembali duduk di posisi semula, menoleh memandang hujan di luar jendela, menunggu dan terus menunggu.
Di dalam kamar, Cheng Yan mengerutkan kening melihat koper yang penuh sesak. Matanya beralih ke bantal kelinci usang di ranjang, setelah keraguan sesaat, ia mengeluarkan jaket olahraga dari koper.
Bantal kelinci itu diselipkan ke dalam koper. Dengan tas ransel di tangan, ia memasukkan kembali jaket tadi ke dalamnya sebelum akhirnya berjalan keluar.
"Sudah selesai?" tanya Cheng Yun langsung.
Cheng Yan hanya meliriknya dengan santai tanpa jawaban. Matanya berkedip-kedip seolah sedang memikirkan sesuatu. Lama kemudian ia mengangguk mantap, mendekati lemari listrik, menyibak kain anti debu, membuka laci, dan mengambil bingkai foto untuk dimasukkan ke tas.
Cheng Yun tertegun: "Kau mau bawa itu?"
"Iya, ditaruh di sini juga tidak ada artinya!"
"Mau dibawa ke mana?"
"Hotel." Cheng Yan berhenti sejenak, "Bukannya foto itu untuk dilihat? Lagipula udah dicetak dan dibingkai, harusnya dipajang di suatu tempat. Buat apa disimpan di laci!"
"Baiklah..." Cheng Yun mengangguk, "Sudah hampir siang, mau duduk-duduk lagi? Kalau nggak, kita bisa balik buat masak."
Cheng Yan melirik sofa yang tertutup kain rapat-rapat, tertegun sebentar, lalu menggeleng, "Nggak usah. Mending buru-buru pulang buat masak. Aku juga belum sarapan."
"Hm." Cheng Yun menarik kopernya keluar sambil bertanya, "Ini mau dibawa ke sekolah ya?"
"Jangan ikut campur!"
“……”
Saat mereka kembali ke hotel, jam sudah menunjukkan pukul sebelas.
Jenderal Li masih duduk di depan pintu menjaga lapak guokui. Hujan semakin deras, dagangannya pun sepi. Kebetulan dia juga sibuk menunduk membaca buku "Seni Perang Sun Tzu" dengan fokus.
Saat masuk, Cheng Yun sempat menyapanya.
Yin Nuxia duduk di sofa sambil bermain Kejayaan Raja. Di tubuhnya tiba-tiba terlihat mantel luar merah dan putih yang sepertinya merupakan seragam sekolah tertentu. Terlihat jelas mantel ini sudah sangat usang - bagian merah mulai pudar dicuci, bagian putih pun tak lagi seputih dulu. Namun tidak ada bagian yang sobek, dan pas sekali dikenakan oleh Yin Nuxia.
Cheng Yun menyipitkan matanya sesaat, lalu menghela napas pelan. Sekilas langsung tahu ini baju siapa.
Hampir bersamaan, gadis kecil Yu Dian juga turun dari lantai atas. Ia tidak mengenakan mantel luar, melainkan sweter rajutan putih kemerahan yang sudah berbulu-bulu, tapi tetap terlihat cantik yang menonjolkan sisi lemah lembutnya.
