Rasa ingin tahu Yin Nuxia dan IQ-nya membuat Cheng Yun benar-benar tak tahu harus berkata apa.
“Apa tadi aku belum menjelaskan dengan jelas?”
“Ah? Oh! Bukan, maksudku…” Yin Nuxia bicara kacau, butuh waktu lama untuk merapikan pikirannya, lalu dengan susah payah berkata, “Maksudku kan semua kejadian ini sudah kau lihat dengan matamu sendiri? Bukannya hal yang dilihat mata pasti bisa diingat? Kenapa harus ditulis? Kami selalu menyimpan ingatan di kepala, belum pernah dengar ada yang mencatat di naskah!”
“...Apakah kau tidak sadar diri soal kemampuan otakmu menyimpan ingatan?”
“Hmm, sepertinya benar juga!” Yin Nuxia kembali tertegun, mengedipkan mata dua kali, lalu memandang Cheng Yun dengan girang: “Maksud Sang Kepala Stasiun… apakah kau juga sering lupa hal-hal tertentu tanpa alasan?”
“Tolong jangan pakai kata 'juga' saat bicara denganku. Aku tidak mau IQ-ku disejajarkan denganmu.”
“Kalau begitu… kenapa kau menyiksa diri sendiri? Menulis itu melelahkan! Paling melelahkan!”
“Menurutku tidak.” Cheng Yun menjawab dengan ekspresi datar.
“Oh!” Yin Nuxia langsung mengangguk, yakin telah mendapat jawaban. Ia mengaku paham dengan ide aneh Sang Kepala Stasiun yang berasal dari Dunia Atas itu, tak bertanya lagi.
Cheng Yun kembali diam.
Andai tahu begini, sejak awal ia seharusnya dengan ketegasan mengakui pada srikandi ini bahwa dirinya menyukai menulis, daripada buang-buang tenaga berdebat. Lagi pula, meski sudah berpanjang lebar, sama sekali tak berhasil membuatnya paham makna diari yang ditulisnya.
Yin Nuxia menyelipkan sepotong apel ke mulutnya, terus memandangi Cheng Yun seperti melihat makhluk aneh.
Bagi Yin Nuxia yang maksimal hanya bisa menulis 80 karakter untuk esai, deretan kata begitu padat dan terpelintir itu benar-benar membuat bulu kuduknya merinding! Cheng Yun yang menunduk fokus menulis pun semakin ia kagumi - Menurutnya, jika suatu hari harus menulis sebanyak ini, pasti itu karena ditangkap musuh dan dijadikan pekerja kasar, persis seperti rakyat jelata yang direkrut paksa militer untuk membangun benteng pertahanan!
"Oh iya!" Yin Nuxia tiba-tiba seolah teringat sesuatu, "Kalau ini tulis... buku harian, apa Sang Kepala Stasiun menulis tentangku?"
"Tentu saja."
"Waktu pertama aku datang?"
"Kedatanganmu sudah kucatat sebelumnya. Sekarang juga akan kusinggung karena kau setiap hari melompat-lompat di hadapanku!" Cheng Yun mengatupkan bibir, "Awalnya aku tidak berniat menulis diary. Baru beberapa hari lalu mulai. Jadi sekarang selain menulis kejadian harian, aku juga harus mengisi catatan masa lalu untuk memuaskan iblis bernama gangguan obsesif-kompulsif ini. Saat ini sedang mengisi bagian saat Jenderal Li tiba di tempat kita."
"Ckck..." Yin Nuxia menarik sudut bibir. Astaga, harus mengisi yang sudah lewat pula, benar-benar mencari sengsara sendiri.
"Berapa lama itu akan ditulis?" tanyanya.
"Sangat lama."
"Lalu bagaimana Sang Kepala menulis tentangku?" Mata Yin Nuxia tiba-tiba berbinar menatap tajam Cheng Yun.
"Lihat saja sendiri!" Cheng Yun agak malu menjelaskan.
“Aku tidak bisa baca.”
“Oh.”
“Apa kau tulis aku itu bijaksana dan perkasa? Bertubuh tinggi besar? Ilmu bela diri mumpuni? Hmm... lalu... juga rajin dan cakap... semacam itu.” Yin Nuxia tersenyum kecut, menatap bodoh ke arah Cheng Yun.
“Rajin apa?”
“Cakap!”
“Untuk sementara belum kutulis.”
“Oh, ini tidak terlalu penting, yang lain? Yang lain pasti sudah semua kautulis kan?”
Cheng Yun mengelak dari tatapannya.
“Hah? Kepala Stasiun kenapa diam?” Yin Nuxia sama sekali tidak menyadari kejanggalan, masih menatap penuh harap.
“Ahem.” Cheng Yun batuk dua kali, melirik loli yang sedang berbaring di tepi kolam ikan sambil memandang ke arah sini, lalu mengalihkan topik, “Lihat, si loli terus memandang ke sini!”
Melihat mereka menoleh ke arahnya, loli itu langsung memutar kepala, pura-pura terus mengamati kolam ikan.
Bunga biru kecil di kepalanya terlihat luar biasa segar.
“Huh? Apa dia bisa mengerti pembicaraan kita?” Yin Nuxia terkejut.
“Tentu saja bisa.” Cheng Yun membalikkan mata, “Jangan kau anggap dia kucing biasa. Dalam hal IQ, mungkin kau belum punya kualifikasi untuk merendahkannya.”
Yin Nuxia langsung mengerutkan alis, membantah dengan serius: “Aku ini pintar! Ayah, ibu, dan pamanku semua bilang aku jenius bela diri!”
“Sebutan-sebutan dalam daftarmu itu mungkin ada yang berulang lho...”
“Apa? Maksudmu gimana?”
“Nggak, nggak ada.” Cheng Yun buru-buru menggelengkan kepala, “Maksudku kalau ayahnya dengar kau meragukan kemampuannya memahami bahasa manusia, ayahnya mungkin marah.”
“Gitu... maksudnya?” Yin Nuxia mengerutkan kening, bergumam, “Tapi aku jelas dengar kau bilang tentang sebutan... sesuatu yang berulang...”
“Itu logat daerah, kau salah dengar.”
“Oh.” Yin Nuxia mengangguk, “Kepala Stasiun, kalau kau tidak makan apel ini, aku akan habiskan semuanya ya!”
“Tidak masalah.”
“Adikmu yang menyuruhku bawa camilan ke atas. Katanya kalau berjemur harus sambil ngemil! Kalau tidak… kalau tidak jemurnya jadi sia-sia.”
“Nanti saja aku makan.”
“Hmm! Bicara soal setan, setan pun datang. Cheng Yan sudah naik.” Yin Nuxia buru-buru menyelipkan apel yang sudah tergigit sedikit-sedikit ke mulutnya, menelannya dalam beberapa gigitan, lalu duduk diam seperti patung.
Cheng Yun juga langsung menutup laptopnya, mengambil pulpen dan melemparkannya sembarangan – laptop dan pulpen langsung lenyap.
Yin Nuxia langsung terpaku.
Loli kecil di pinggir kolam ikan juga tertegun sebentar, lalu melanjutkan aksinya menoleh melihat ikan-ikan kecil di kolam.
Sesaat kemudian, Cheng Yan baru muncul dari bawah sambil memegang es krim cornet yang sedang dimakannya. Melihat sikap mereka, dia mengedipkan bibir: “Kalian masih santai saja, berjemur sambil mengantuk!”
Cheng Yun tertegun: “Cuaca dingin begini kamu masih makan es krim?”
“Ini namanya es krim.” Cheng Yan berkata datar, sambil perlahan menjilat es krimnya.
Sambil berbicara, diam-diam matanya mengamati sekeliling atap gedung. Tak lama, pandangannya tertumbuk pada sosok loli yang tengah berbaring di tepi kolam ikan kecil. Bunga biru kecil yang menancap di dahi loli itu membuat matanya berbinar, namun seketika ekspresinya menjadi suram.
Meski bunga itu tampak cantik menghiasi dahi si loli, bukan Cheng Yan yang menaruhnya di sana.
“Kamu yang memasang bunga itu untuknya?”
“Lalu siapa lagi?”
“Bukannya katamu kamu tidak bisa menyentuhnya!?”
“Aku juga tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja bisa merabanya!” Cheng Yun mengangkat bahu tak bersalah, “Dia tidak menghindar, tidak kabur, hanya diam berbaring di sana. Jadi kuberikan bunga ini.”
“Tidak melawan?”
“Tidak.”
“Tidak mengancammu dengan geram?”
“Tidak.”
“Tidak mencabut bunganya?”
“Tidak juga, terlihat dia cukup menyukai bunga kecil ini.” Cheng Yun menguap sambil berbicara.
“……” Cheng Yan terdiam.
Dengan cepat, dia menukar es krim ke tangan kiri-kanan, lalu melangkah mendekati si loli: “Aku juga mau mencoba!”
“Sebaiknya jangan lakukan itu.”
“Aku tidak mau dengar! Bagaimana jika dia juga tidak menolakku? Aku sudah memperlakukannya baik, membelikan mainan, alas tidur dan mangkuk makan, bahkan kaleng kucing dan ikan kecil. Atas dasar apa dia lebih menyukaimu daripada aku?”
“...Hmm.” Cheng Yun menyipitkan matanya.
Kurang dari satu menit, dalam desisan ancaman si loli, Cheng Yan kembali dengan raut wajah yang suram.
“Ini...tidak...adil!”
“Hm? Mau kubelikan bunga juga untukmu?” Cheng Yun membuka matanya sedikit, menatap Cheng Yan yang sedang melampiaskan kekesalan setelah ditolak si loli.
“……”
