Bum!
Pintu kamar tertutup kembali, siluet Komandan Raja Salju sepenuhnya menghilang dari pandangan Cheng Yun.
Pada saat yang sama, sinar putih yang mengunci ruang tamu juga menghilang.
Cheng Yun menutup mata, menghela napas, lalu mengusap pelipisnya yang sedikit bengkak, baru kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar tidur.
"Krak!"
Ia mendorong pintu kamar tidur terbuka!
Loli sedang berbaring miring di ranjangnya, memeluk erat boneka hiu. Mendengar suara di pintu, makhluk itu menghentikan gerakannya sebelumnya, memalingkan wajah dan menatap Cheng Yun dengan tatapan takjub, bola mata besarnya tak berkedip.
Cheng Yun bersandar di pintu, diam menatapnya.
Ekspresi loli semakin membeku. Tiba-tiba ia memiringkan kepala kecilnya ke sisi lain, tetap menatap tajam Cheng Yun, seolah tak mengerti apa yang dilakukan makhluk manusia ini.
"Ah."
Cheng Yun langsung berjalan mendekat, bum! Tubuhnya terjatuh ke ranjang. Kemudian ia berguling-guling masuk ke dalam selimut, menyelimuti diri dengan rapat—serangkaian aksi ini hampir membuat si loli kecil terlempar ke bawah ranjang!
“？？？”
Loli kecil yang memeluk boneka hiu itu kembali menunjukkan ekspresi kebingungan, makhluk manusia ini sedang melakukan apa lagi!
Dengan cepat ia berdiri, menatap Cheng Yun dengan gemetar. Tapi yang dilihatnya hanyalah Cheng Yun mengeluarkan sebuah benda persegi panjang dari tubuhnya, menempelkannya di mulut sambil berkata: "Atur alarm jam setengah sebelas!"
Mata loli kecil langsung membelalak lebar.
Tak lama kemudian, terdengar suara dari kotak itu menjawab: "Alarm sudah diatur, tenang saja Jenderal Tampan!"
Loli kecil sedikit membuka mulutnya, sorot matanya terpaku pada kotak di tangan Cheng Yun, cahaya rasa ingin tahu memancar dari pupilnya.
Kemudian Cheng Yun asal melemparkan ponsel ke meja samping tempat tidur, lalu menutup matanya sambil berkata, "Aku tidur sebentar dulu, terlalu lelah. Kau boleh bermain di mana saja, asal jangan merusak barang-barang di rumah ini."
Si loli kembali memiringkan kepala, matanya tertancap pada pria yang terpejam itu. Mendengar napasnya teratur, tak lama kemudian ia pun merebahkan diri kembali, memeluk boneka hiu kecilnya sambil mulai asyik menggigit-gigit dengan lembut.
Melihat adegan ini, siapa pun mungkin akan menyimpulkan ini hanyalah kucing peliharaan biasa yang paling biasa. Tak ada yang akan menduga ini adalah spesies kuat bawaan lahir, apalagi membayangkan makhluk ini bisa menjadi penyebab bencana pemusnahan total bagi ras perkasa yang pernah menciptakan begitu banyak kejayaan.
……
Dewa Elang telah berubah menjadi elang berpostur normal yang sedang terbang di langit. Jika bukan karena lapisan perak mencolok di sayap dan bulu ekornya, hampir tak ada bedanya dengan elang biasa di dunia nyata.
Sesuai petunjuk Cheng Yun, ia terus terbang ke arah barat dengan kecepatan yang jauh melebihi elang biasa.
Namun tak lama setelah terbang, ia mulai memperlambat kecepatannya.
Bersamaan itu, sang Dewa Iblis Agung sengaja menurunkan ketinggian terbang, matanya terpaku menatap tajam ke permukaan tanah seolah sedang mencari sesuatu.
Andai saja ia tidak berubah wujud menjadi elang, pastilah ekspresinya akan terlihat sangat mempermalukan.
Karena...
Ternyata... ia merasa lapar!
Sebagai Dewa Iblis Agung yang telah ratusan tahun tidak lagi mengandalkan metode primitif seperti makan untuk memulihkan energi, dan kini bahkan telah mencapai level dimana tubuhnya tak lagi membutuhkan asupan - ia justru merasakan sensasi kelaparan!
Kondisi seperti ini sudah tak terhitung tahun tidak dialami Dewa Elang. Bahkan saat pertama kali tiba di dunia ini ketika hampir seluruh kemampuannya dibekukan, saat sistem konversi energi tak lagi bisa menyuplai tenaga bagi tubuhnya, ia tetap tak merasakan lapar - paling hanya menyadari secara rasional bahwa tubuhnya kekurangan energi belaka!
“Dulu kupikir sudah melupakan perasaan ini, tapi sekarang kenangan akan refleks primitif ini kembali muncul.”
“Pantas mati!”
Dewa Elang tak bisa menahan amarahnya. Ia menatap matahari yang semakin mendekati ubun-ubunnya, menyadari alasan di balik rasa laparnya——
Sekarang hampir tengah hari!
Sensasi ini membuatnya merasa sangat tidak nyaman.
“Pantas mati!” teriak Dewa Elang lagi. “Pagi ini saja sudah makan tiga tael mi usus lemak!” Geramnya. “Orang-orang biasa serakah itu pasti mengurangi bahan! Ususnya cuma sedikit, mienya pun tidak cukup! Nejak melampaui langit! Nanti Tubuh asliku kembali pasti akan mencabut Jiwa kalian dan menyobek-nyobeknya!”
“Juga harus menyalahkan yang itu!!!”
“Kalau bukan karena dia yang setiap hari menyuruh orang mengantar makanan untukku, mana mungkin aku punya kebiasaan ingin makan setiap jam makan!!”
“Hmm...”
Nafsu makan yang menguat membuat Dewa Elang mulai mencari-cari kota orang biasa, sambil dalam hati diam-diam bergumam: "Tumis daging babi, Kung Pao Chicken, daging sapi rebus pedas, ayam potong putih..."
Tapi setelah terbang beberapa jarak, bahkan menarik ketinggian lagi, tetap tak terlihat permukiman manusia.
Hampir seluruh pandangan hanya bukit yang menghempas atau hutan, sesekali terlihat danau bak batu permata biru tertanam di bumi, paling banter hanya beberapa desa kecil - mustahil Dewa Elang sejati seperti dirinya merendahkan status mencari makanan di desa orang biasa, apalagi desa kecil itu pasti tak punya makanan kesukaannya!
Baru kini ia sadar, tanpa disadarinya ia telah melampaui wilayah Yidongnan yang disebut beliau, masuk ke Dataran Tinggi Yixi.
Anehnya, Dewa Elang yang sebenarnya memiliki karakter sangat menjijikkan orang biasa ini, setiap kali melihat orang biasa yang begitu padat, ia akan merasakan mual dan bulu kuduk merinding. Sebelumnya ia selalu ingin meninggalkan distrik perkumpulan orang biasa, sekarang akhirnya tercapai keinginannya, tapi malah mulai bertanya-tanya apakah dirinya mampu bertahan melawan nafsu makan yang semurni dan seprimitif ini di daerah sepi tak berpenghuni!
Dengan cepat, Dewa Elang menemukan metode bagus——menyusuri jalan raya, pasti akan menemukan kota!
Kesombongan seperti dirinya tak pernah terbayangkan akan sampai ke level ini, tentu sekarang ia juga tak sempat memikirkan materi tidak penting ini.
“Mapo Tofu...”
“Siomay kukus...”
“Pangsit kuah...”
Saat ia menyebut "pangsit kuah", tiba-tiba mencium aroma aneh yang tampaknya berasal dari rumah penduduk di tepi jalan raya. Bangunan itu terlihat sangat aneh - bukan gedung pencakar langit perkotaan, juga bukan rumah kuno seperti yang pernah dilihatnya di TV, melainkan gedung kecil berdiri sendiri dari batu dengan banyak jendela dan warna yang sangat mencolok.
Asap mengepul dari pekarangan.
Dewa Elang kembali mengendus, merasa ada familiaritas dalam aroma ini namun tak kunjung teringat.
Ia ingin mengerutkan kening, tapi tak bisa.
Tiba-tiba tatapannya mengeras——Ia ingat!
Sebelumnya, beliau dan orang-orang biasa itu pernah menggunakan rak untuk memanggang sesuatu di atap gedung. Saat itu di dalam kamar pun ia mencium aroma serupa, tapi agak malu-malu untuk naik dan meminta.
"Kriiik!"
Dewa Elang mengeluarkan suara bergema, sekejap menyimpan sayap dan mulai meluncur ke permukaan tanah, seluruh tubuhnya bagai anak panah!
Matanya yang tajam melihat jelas-jelas pemandangan di pekarangan — sekelompok orang biasa berkulit agak kasar sedang mengelilingi rak besi sambil mengobrol riang. Di atas rak besi itu terdapat seekor domba utuh. Mereka menggores-gores seluruh tubuh domba itu, menaburkan banyak cabai dan beberapa benda aneh yang tak dikenalnya. Minyak keemasan mengalir dari tubuh domba panggang dan menetes ke api, menciptakan asap putih bergelombang. Bahkan ia bisa menangkap suara desis samar-samar dari angin.
Lalu seseorang mulai menaburkan bawang prei di atasnya, sementara yang lain membawa golok dan piring-piring seolah bersiap memotong.
Dalam sekejap mata, pikiran Dewa Elang nyaris kosong, hanya tersisa satu keinginan dominan —
"Kambing Panggang Utuh!"
Aku Dewa Elang yang agung ini cuma ingin makan sedikit daging, perlu apa memikirkan segudang aturan! Maka ia mempercepat kecepatannya lagi, menyambar turun dari langit dengan selubung cahaya perak!
"Sruuk!"
"Sekelompok penduduk Tibet ini dalam sekejap diterpa angin kencang dan cahaya perak hingga porak-poranda. Ketika mereka mulai bereaksi dengan teriakan terkejut, kambing panggang utuh telah lenyap."
"Jika Cheng Yun mengetahui pemandangan ini, selain marah pasti akan merasa antara ingin tertawa dan menangis."
