Cheng Yun setengah berbaring di ranjang, AC menyala, tangan tanpa sadar memain-mainkan bola kristal.
Si loli berbaring di ranjang sebelah, seluruh tubuhnya tegak seperti penghapus panjang. Ia sedang merasakan kehangatan selimut listrik dengan penuh konsentrasi.
Cheng Yun mengalami gejala ketinggian.
Kepala membengkak, mata memerah dan perih, tinnitus parah - ini gejala ketinggian yang biasa dialaminya.
Ini tampaknya sangat wajar, jelas dia sudah lama tidak datang ke dataran tinggi, tiba-tiba berada di ketinggian 4.000 meter dan menempuh tanjakan-turunan hampir 10 kilometer. Jika tidak diberi pelajaran, harga diri dataran tinggi akan ternoda. Selama setengah tahun terakhir, baik latihan fisik maupun meditasi, atau awal proses berkultivasi, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan reaksi dataran tinggi. Fungsi paru-paru dan jantungnya sekarang jauh lebih kuat daripada dulu, tetapi konsumsi oksigennya juga lebih besar.
Dengan cepat, Cheng Yun menemukan gejala tinggi lainnya pada dirinya - insomnia.
Dulu saat mengalami reaksi dataran tinggi, dia tidak pernah mengalami insomnia.
Mungkin semua keresahan hati yang tadi tidak sempat dipikirkan sekarang berhamburan keluar, atau mungkin ini belum waktunya dia tidur.
Hal ini justru memberinya lebih banyak waktu untuk merenung.
Dia tidak takut pada pemerintah, sama sekali tidak.
Meski punya adik perempuan, dia tetap tidak gentar.
Tapi masih banyak hal yang tidak dia pahami, misalnya mengapa pemerintah sama sekali tidak melakukan kontak dengannya?
Sedang memainkan permainan kecocokan hati?
Masih belum yakin untuk sementara, sedang mengamati dari kejauhan apa?
Hingga pukul dua belas malam, barulah Cheng Yun mematikan lampu, menyelimuti diri dengan selimut sambil berkata: "Tidur cepat ya, besok bangun lebih awal! Aku sudah janji dengan sopir, pukul enam harus berangkat!"
Si loli diam-diam meliriknya, masih membuka mata lebar, sesekali mengedipkan mata beberapa kali dalam kegelapan.
Alarm membangunkan Cheng Yun tepat waktu.
Meski suhu musim panas, subuh hari tetap sangat dingin. Cheng Yun menyibak selimut, melihat ke ranjang sebelah tempat si loli kecil yang sudah bangun namun meniru gaya-nya menyelimuti seluruh tubuh hanya menyisakan kepala kecil yang menatapnya, tak bisa tidak menggelengkan kepala sambil mengusap mata yang perih sembari mengambil baju dan mulai berpakaian.
Setelah mengenakan pakaian dengan rapi, selesai mandi dalam beberapa gerakan, Cheng Yun mengambil tas pendakian, menggendong dompet dan bola kristal lalu bergegas keluar.
Setelah check-out, dia makan semangkuk mi di depan pintu, memesan satu keranjang bakpao daging dan semangkuk susu kedelai untuk si loli. Baru saja selesai makan, sopir sudah meneleponnya.
Mobil adalah mobil van, selain dia ada empat orang lagi, dua sramanera, dua orang Tibet, semuanya bukan turis.
Cheng Yun mengangguk pada mereka satu per satu, duduk di mobil, sopir pergi ke tempat lain menjemput seorang turis, lalu langsung menuju Kecamatan Riwa.
Cheng Yun memeluk loli duduk di barisan paling belakang, bersebelahan dengan turis kurus tinggi itu, tetap diam.
Pertama kali ke dataran tinggi, tidur sangat penting, tapi semalam jelas dia tak bisa tidur nyenyak, pagi ini juga tak bangun alami, membuat kepalanya sekarang bagai hendak meledak, sulit ditahan.
Turis kurus tinggi itu agak heran melihatnya, lalu melihat kucing dalam pelukannya, dengan maksud menjalin hubungan sebagai teman jalan mulai berbicara: "Kamu juga sedang liburan?"
Cheng Yun mengangguk sambil menyunggingkan senyum.
Ia menambahkan: "Kucingmu cantik sekali! Jarang melihat orang yang membawa kucing jalan-jalan, yang bawa anjing lebih banyak kulihat, biasanya para backpacker! Lagipula kamu tidak pakai tali, sifat kucing itu liar, tidak seperti anjing yang manja. Tidak takut dia kabur tiba-tiba? Di daerah begini, kalau dia lari ke hutan atau padang rumput, kamu bakal susah mencarinya."
Cheng Yun kembali tersenyum.
Loli kecil justru menyembulkan kepala dari pelukan Cheng Yun, menatap tajam ke arah manusia itu sambil menggeram mengancam!
Orang itu terkejut lagi: "Ya! Kucing ini pasti mahal, harganya puluhan ribu ya? Kalau kabur pasti rugi besar!"
Mendengar itu, Loli langsung menggeliat dalam pelukan Cheng Yun sekuat tenaga, seolah ingin menerobos keluar untuk memberi pelajaran pada manusia tolol ini. Cheng Yun buru-buru menahannya.
"Jangan bergerak!" teriaknya dengan suara lembut.
Melihat Cheng Yun seolah tak ingin bicara, orang itu menunjukkan sedikit penyesalan, namun tak mengganggunya lagi.
Sungguh disayangkan orang yang menarik seperti ini tak bisa menjadi teman perjalanan.
Pikirnya dalam hati.
Cheng Yun tetap memeluk si loli, sesekali membuka tas pendakian untuk melirik ke dalam, memantau pergerakan Dewa Elang.
Dewa Elang kini tidak berada di kota mana pun, melainkan di tengah pegunungan primordial yang dikelilingi beberapa gunung bersalju. Di sebelahnya terdapat desa dengan beberapa rumah penduduk. Cheng Yun tak mengenali desa itu, tapi ia sangat familiar dengan formasi gunung salju tersebut - tepatnya salah satu puncaknya.
Kebetulan yang unik: Walau kebanyakan gunung salju terlihat serupa bagi Cheng Yun, formasi khusus ini begitu khas hingga bisa langsung dikenali sekilas.
Xiannai Ri!
Sebuah gunung bersalju yang sangat termasyhur.
Sebuah lokasi yang amat legendaris.
Daoba, Yading!
Cheng Yun pernah mengunjungi tempat ini saat masih di kampus, hingga sekarang kesannya masih membekas. Tak lama setelah ia tiba di sini, film yang membawa popularitas ekstrem bagi Daoba Yading pun dirilis.
Daoba adalah sebuah kabupaten, artinya "dataran terbuka di mulut lembah". Yading adalah nama area wisata, bermakna "tanah yang menghadap matahari".
Daoba Yading merujuk pada Kawasan Wisata Yading yang terletak di Kabupaten Daoba. Namun faktanya, pintu masuk area wisata masih berjarak lebih dari 70 kilometer dari kabupaten tersebut.
Saat ini Yading sedang berada di musim sepi wisata, tetap ada turis yang datang seolah membuktikan popularitasnya. Sebenarnya Cheng Yun agak sulit memahaminya. Meski ia juga merasa pemandangan Yading cukup bagus, namun dibandingkan berbagai keindahan di Dataran Tinggi Yixi, tempat ini tak begitu mencolok - kecuali Gunung Xiannairi yang unik dan megah. Selain itu, padang rumput yang jadi andalannya, dua gunung salju lain, serta dua Haizi juga tak istimewa. Mungkin ini contoh pemenang marketing legendaris.
Cheng Yun mulai menutup mata untuk beristirahat.
Sepanjang jalan adalah jalan raya yang rata, salju beberapa hari ini juga sudah mencair. Selain harus berhenti dua kali karena dihadang yak liar di jalan, sopir terus melesat sehingga dalam satu jam sudah sampai di pintu masuk area wisata.
Kecamatan Riwa, juga disebut Kota Shangri-La.
Cheng Yun membeli tiket dan masuk ke area wisata, masih harus naik bus resor selama beberapa waktu baru bisa sampai di Desa Yading.
Untungnya di musim sepi memang sangat sepi pengunjung, tidak perlu antri.
Sepanjang perjalanan, si loli kecil selalu menjadi fokus perhatian orang banyak. Tak sedikit cewek imut yang mengulurkan tangan ingin mengelusnya, tapi semua diusirnya dengan geram memperlihatkan gigi.
Saat tiba di Desa Yading sudah hampir pukul sepuluh. Cheng Yun turun dari mobil, mengerutkan kening menatap ke kejauhan.
Ia mencari tempat sepi lalu berhenti, mengeluarkan bola kristal, mulai mengerutkan alis mempelajari posisi Dewa Elang.
Ia hanya samar-samar melihat itu ada di sebuah gunung, tak jauh dari Gunung Xiannairi, di dekatnya ada jalan setapak. Tapi area wisata Yading sangat luas, bola kristal juga tidak menampilkan arah, Cheng Yun agak kesulitan menentukan di sisi mana Xiannairi tepatnya makhluk ini berada.
“Kamu bilang ia ada di sisi mana?” Cheng Yun menatap loli kecil di sebelahnya.
“Huu?” Loli kecil itu berjongkok di dekat kakinya, mengangkat kepala tinggi-tinggi untuk menatapnya, mata penuh keraguan.
“Ah.”
Cheng Yun menghela napas, kembali mengutak-atik bola kristal cukup lama hingga akhirnya menentukan arah, memutuskan untuk menuju ke kaki Gunung Xiannairi terlebih dahulu.
“Harus naik mobil lagi! Sepertinya juga harus mendaki gunung.”
“Andai saja tadi tidak turun!” gumam Cheng Yun sambil berjalan menuju halte bus, sekaligus mencoba menghentikan kendaraan di tepi jalan, menghibur hatinya—anggaplah ini wisata ulang ke area ini.
Loli kecil mengikuti dari belakang.
Makhluk kecil ini sangat energetik, tidak mabuk perjalanan maupun reaksi ketinggian, apalagi saat menggeram ke orang lain.
Sebaliknya, Cheng Yun mengalami reaksi ketinggian sekaligus mabuk perjalanan.
Tak lama kemudian, ia berhasil menghentikan sebuah bus besar.
Cheng Yun menggoyangkan ransel pendakian di punggungnya agar lebih nyaman, lalu meletakkan kedua tangan di depan dada. Si loli langsung melompat patuh ke pelukannya.
Bus besar itu segera melaju ke depan.
Seekor "ikan asin" biasa, kini memikul misi menangkap Dewa Iblis, melangkah menuju kejauhan.
