24 Januari 2018.
Hari ke-8 bulan ke-12 penanggalan lunar, Festival Laba.
Menurut tradisi, hari ini wajib menyantap bubur Laba.
Sejak kedatangan Sang Mage ke penginapan, seluruh tugas jaga Cheng Yun beralih ke tangannya. Maka Sang Penguasa Ruang-Waktu yang Agung pun sepenuhnya terdemosi menjadi koki hotel.
Sebagai satu-satunya juru masak, di hari raya seperti ini sudah menjadi kewajibannya untuk memikul tanggung jawab mulia ini!
Maka Cheng Yun sudah sangat pagi membawa loli dan Cheng Yan keluar membeli bahan-bahan bubur laba, merebus satu kuali besar penuh. Jika bukan karena porsi makan Srikandi dan Sang Mage yang mengguncang, ditambah loli juga makan cukup banyak, mungkin mereka tidak akan menghabiskannya dalam sekali makan.
Sementara itu setelah beberapa hari berturut-turut meminum obat antiradang dan berkumur-kumur, gigi bungsu Tang Qingying perlahan tidak sakit lagi.
Menurutnya sebelumnya bagian terdalam giginya terasa membengkak, sampai makan pun sakit. Sekarang sudah tidak bengkak lagi. Pagi ini ia bahkan mencuri keripik Cheng Yan untuk dimakan.
Cheng Yun menyuruhnya kembali ke rumah sakit untuk memeriksakan gigi dan mencabut gigi bungsu tersebut sesuai saran dokter, tapi ia tetap menolak pergi bagaimanapun caranya.
Dia kadang bilang gigi bungsu itu belum tumbuh sempurna, kasihan kalau dicabut; kadang ngomong itu gigi tumbuh dari tubuhnya sendiri, sudah ada ikatan emosi jadi berat hati mencabut; kadang ngomong gigi itu sekarang sudah tidak sakit lagi, kedepannya juga tidak akan kambuh... Intinya dia takut kesakitan.
Meskipun Cheng Yun berulang kali menjelaskan kalau tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk mencabut, nanti sakitnya akan terus kambuh, lebih parah dari sakit pasca cabut, dan pada akhirnya tetap harus dicabut...
Tapi dia tetap TAK BERANI, TAK KUAT TEKAD untuk cabut, masih berharap pada KEBETULAN!
Cheng Yun hanya bisa TERUS-MENERUS menggelengkan kepala, seperti menghadapi anak yang TIDAK PATUH.
Hal seperti ini ya, yang belum pernah MENGALAMI pasti masih BERHARAP PADA KEBETULAN! Tunggu saja next time INFEKSI lagi, SAKIT SAMPAI MATI-MATIAN, baru dia akan BAIK-BAIK pergi cabut.
Kalau infeksi lagi harus tahan SAKIT beberapa hari, harus tunggu radang reda dulu baru bisa cabut!
NASIB yang pantas bagi yang TIDAK MENDENGAR NASIHAT ORANG TUA...
Tidak lama setelah makan siang, Cheng Yun langsung naik ke atas, sementara si loli tetap bertugas di resepsionis menjaga peruntungan hotel.
Baru saja Cheng Yun duduk di sofa dan mengambil bola kristal, pintu kamar sudah diketuk.
"Dentuman berirama."
"Kepala stasiun, aku tahu kau sudah kembali." Suara yang sangat netral, enak didengar, pastilah Sang Mage.
"Hm?" Cheng Yun mengerutkan alis lalu berdiri untuk membuka pintu.
Benar saja, Sang Mage berdiri di luar pintu.
"Ada perlu?" tanya Cheng Yun sambil menatapnya.
"Kepala stasiun, pinjamkan ponselmu untukku baca buku dong! Aku bosan sampai setengah gila!" pinta Sang Mage.
"Mau baca buku apa?"
"Fisika dunia kalian."
"Kau ini calon magister, ngapain belajar fisika?"
"Harap hilangkan dua kata 'magang', terima kasih."
“……”
"Lalu? Aku harus belajar Bahasa Mandarin dan matematika sejarah? Sebenarnya aku sudah membeli banyak sekali buku teknik, tapi komputerku tidak bisa dibangunkan... Apa lagi yang bisa kulakukan?" Sang Mage mengusap kepalanya, "Menurutku teknologi dunia kalian cukup menarik. Meskipun mengambil jalur berbeda, dan sangat tertinggal dibandingkan dunia kami, beberapa materi masih memiliki nilai referensi yang sepadan untuk kukaji."
"......" Cheng Yun melihatnya bicara panjang lebar sampai pipinya memerah, lalu langsung berbalik menuju dalam ruangan, "Jangan sembarangan membuka file di ponselku!"
"Aku... Aku Berjanji!"
"Hm? Kalian para mage memang punya rasa ingin tahu yang besar ya?"
"Sa-sama sekali tidak! Kami hanya punya keingintahuan kuat pada hal-hal akademis. K-kami hanya tertarik mengeksplorasi misteri alam semesta, bukan mengorek privasi orang!" Sang Mage membela diri dengan kikuk, seolah takut ditolak meminjam.
"Benarkah?" Cheng Yun tetap curiga.
“Auw!” Sang Mage mengangguk dengan serius, “Dan kemampuan pengendalian diri para mage itu luar biasa kuat!”
“Baiklah, untuk sementara percaya padamu.” Cheng Yun mengambil ponselnya dari meja kopi, membuka kunci lalu menyodorkannya, “Ponselku pakai pengunci sidik jari. Untuk mencegah kesulitan membuka kunci setelah layar mati, kamu lihat di sini saja. Kebetulan, kalau tidak tahu cara mencari, aku bisa bantu.”
“……Baiklah.” Sang Mage mengangkat bahu dengan acuh tak acuh.
Ia mengambil ponsel Cheng Yun, duduk di kursi sebelah sambil mencari buku-buku fisika dan bertanya: “Kepala Stasiun, kapan aku bisa bebas beraktivitas keluar? Setiap hari terkurung di hotel, tidak bisa main komputer maupun baca buku, hampir mati lemas. Perasaan ini seperti terjebak di lokasi kelahiran saat masuk ke permainan, sangat menyiksa.”
“Beberapa waktu lagi.”
"Harus menunggu beberapa waktu lagi? Aku cuma jalan-jalan di sekitar saja tidak boleh?" Sang Mage tampak kesal. Ia merasa dunia ini sangat seru, seperti melakukan perjalanan waktu ke era kuno yang berbeda, namun sang kepala stasiun tidak mengizinkannya keluar.
"Tidak boleh."
"Ha!! Aku mau gila... Eh kamu sedang lihat apa?" Sang Mage melirik bola kristal yang terus dipegang Cheng Yun, matanya fokus membatu tanpa berkedip, membuatnya penasaran.
"Biasa saja."
"Hm? Aku tidak percaya!" Rasa ingin tahu Sang Mage langsung menyala. Satu tangannya menekan kursi agar tidak bergeser, sementara pantatnya masih terangkat saat ia berjalan jongkok mendekati Cheng Yun. Pipinya hampir menempel ke bola kristal.
Di dalam bola kristal, fragmen-fragmen kenangan terus bermunculan.
Tirai jendela ruang tamu tertutup sebagian, membuat cahaya redup. Gambar dalam kristal justru terlihat sangat jelas.
Samar-samar terdengar suara, tapi masih sangat lemah.
Mata Sang Mage membelalak, napasnya tertahan.
Dalam fragmen tersebut terlihat sebuah ruang tamu mewah dengan lukisan minyak tergantung di dinding, hiasan di sudut ruangan, akuarium hutan dengan desain rumit, rak penyimpanan penuh benda kecil. Juga ada sepasang suami-istri paruh baya. Perempuan itu duduk santai di samping meja kopi sedang menyeduh teh kungfu, sementara pria tersebut memegang tablet komputer berkacamata, tampak fokus membaca berita.
"Apa ini..." Sang Mage merasa bingung, "Rekaman video semacam ini? Bola kristal ini... sepertinya yang digunakan kepala stasiun untuk mentransfer bahasa kepadaku di hari kedatanganku?"
Saat Sang Mage sedang mengerutkan kening berpikir, tiba-tiba muncul dua sosok muda pria dan wanita di dalam bola kristal.
Matanya langsung membelalak.
Dua orang ini pernah ia lihat!
Ia tidak tahu nama mereka, tapi ingatannya sangat jelas - sebagai seorang Mage, kemampuannya mengingat sempurna-
Mereka adalah pasangan yang pernah ia temui di kafe itu!
Sang Mage menatap bola kristal ini dengan penuh keheranan.
Jadi ini sebenarnya semacam terminal tampilan monitor? Fungsinya sebanyak itu?
Dua anak muda dalam bola kristal itu tampaknya semangatnya sangat suram, kulitnya pucat kekuningan, lingkaran hitam di bawah mata sangat jelas, bahkan berjalan pun terlihat tak bertenaga.
Pria paruh baya yang sedang membaca berita menoleh menyipitkan mata ke arah mereka, mengerutkan kening, lalu memarahi: "Kenapa kondisi mental kalian berdua payah sekali? Tadi malam main ponsel begadang lagi? Dasar kalian! Sudah dewasa begini, urusan penting tak ada yang beres, tidur sampai sore baru bangun, sampai harus kubangunkan berkali-kali untuk makan!"
Kedua anak muda itu tertegun, saling pandang sejenak.
Terlihat mata mereka perlahan membelalak, lalu mengulurkan jari saling menunjuk, ekspresinya seolah ingin bicara tapi urung.
Sepertinya mereka baru menyadari, beberapa malam terakhir yang menderita siksaan bukan hanya diri mereka sendiri, tapi berdua.
Maka keduanya mulai dilanda kepanikan.
Malam pertama mereka bisa mengabaikannya.
Malam kedua mungkin juga hanya kebetulan.
Malam ketiga sudah sangat sepadan untuk diperhatikan.
Tapi kalau dua orang ini sama-sama berhadapan dengan kejadian yang sama, berarti situasinya benar-benar luar biasa.
Pria paruh baya menyesuaikan kacamatanya, menatap sepasang anaknya: "Ada apa? Kena hantu kalian?"
Keduanya gemetaran ketakutan, tapi menggelengkan kepala.
Tak berani ngomong!
