Dua manusia satu makhluk tiba-tubah menjadi tiga manusia satu makhluk.
Sepanjang jalan, Cheng Yun terus mengamati tas gitar yang digendong Cheng Qiuye, sementara Cheng Qiuye menunduk memandangi loli kecil yang berjalan di depan.
Merasakan sorot mata tak sopan dari manusia biasa ini, sang loli kecil sangat kesal, sesekali harus menoleh tajam sambil melotot ke arahnya.
Tapi manusia ini sama sekali tidak punya 'sense X' di hatinya, juga tak paham isyarat peringatan yang tersirat dalam tatapan sang loli.
Musim dingin di Jinguan tidak terlalu ekstrim, tapi malam hari tetap banyak orang yang pakai topi dan masker saat keluar rumah.
Kancing mantel Cheng Qiuye tidak terpasang, meski bersenjata lengkap, paling-paling posturnya agak bagus, sama sekali tidak menarik perhatian orang yang lewat. Lagipula perhatian orang-orang sudah sepenuhnya tersedot oleh Sang Mage dan si loli kecil.
Cheng Yun bertinggi 1,8 meter dengan postur tegap, berkat Penyesuaian Srikandi selama setengah tahun terakhir, tubuhnya melebar signifikan, menambah aura penindasan. Di kirinya berdiri Sang Mage setinggi 178 cm yang di mata orang adalah jelita sempurna, di kanannya Cheng Qiuye yang menggendong tas gitar berjalan lambat. Gen keluarga Cheng memang menghasilkan banyak pria ganteng dan wanita cantik, Cheng Qiuye adalah yang terbaik di antara mereka.
Cheng Yun yakin pandangan orang penuh kecemburuan terhadapnya.
Cemburu apa lagi cemburu...
Satu pria dari dunia lain, satu sepupu kekanak-kanakan.
Dan seekor... hm si loli kecil selain sering menggeram sebenarnya lumayan penurut, lagipula Cheng Yun juga tak tahu apa yang ada di kepala makhluk itu saat mengaum.
Menatap tajam pantat si loli, Cheng Qiuye membuka mulut: "Eh, aku bilang, kucingmu ini ketidakmurnian garis darah ya?"
Loli itu langsung menoleh, menatap mati-matian padanya: "Ha!!"
Dua hal paling dibenci loli seumur hidup: Pertama ketika di Dunia Pan Yu, Wang mengatakan garis darahnya tidak murni; Kedua di dunia ini orang menyebutnya kucing;
Manusia biasa yang bodoh ini!
Tadi sudah berkali-kali dia beri petunjuk lewat tatapan! Hasilnya tetap tak berguna!
Makhluk itu berhenti, tidak pergi lagi, hanya melotot ke Cheng Qiuye, wajah kecilnya yang masih muda penuh wajah garang.
Cheng Qiuye tertegun oleh tatapannya, agak takut.
Cheng Yun menggerakkan tali pengikat, bertanya dengan datar: "Kenapa garis darahnya tidak murni? Sepupu."
Loli itu terkejut.
Sepupu?
Baiklah Wang akan beri kamu sedikit harga diri.
Cheng Qiuye tanpa sadar baru saja melewati pintu hidup dan mati, melanjutkan bicara dengan sikap tenang: "Mana ada kucing yang seperti ini, bagaikan anjing!"
Sorot mata loli itu menyimpan Amarah.
Sang Mage tetap diam sementara itu diam-diam mengamati ekspresi wajah "Raja Binatang Penghancur Dunia" sang pangeran.
Tak lama kemudian, tiga manusia satu makhluk memasuki aula kopi yang mahal mati, satu-satunya lokasi di seluruh pasar malam yang bisa diduduki untuk minum air.
Cheng Qiuye mencari sudut, duduk menghadap dinding, meletakkan gitar di sebelah, dan memesan secangkir kopi Amerika.
Cheng Yun juga memesan kopi Amerika.
Sang Mage memilih espresso Italia yang pahit.
"Kau bisa bermusik juga? Bukannya kau seorang aktor?" Cheng Yun menatap gitar Cheng Qiuye dengan keraguan.
"……" Cheng Qiuye membalikkan mata, "Kamu benar-benar tidak mengenal Kakak! Siapa bilang aktor hanya boleh berakting tidak boleh menyanyi?"
“Benar juga.” Cheng Yun mengangguk, merasa aktor, penyanyi, sutradara di era ini semuanya berkeliaran lintas profesi. Kita kira si Anu adalah penyanyi, tiba-tiba suatu hari melihatnya di film pengumpulan uang. Saat kita anggap dia aktor, eh tiba-tiba rumah tangganya mengadaptasi lagu ciptaannya sendiri jadi film.
“Jadi tadi kamu naik ke atas panggung untuk menyanyi?” Cheng Yun bertanya lagi.
“Emangnya mau apa? Tampil stand-up comedy sepuluh menit?” Cheng Qiuye kembali membalikkan mata.
“Ahem...” Cheng Yun merasa ide itu bagus.
“Dasar! Masih saudara sendiri tapi sama sekali tidak paham usaha Kakak!” protes Cheng Qiuye.
Kopi segera diantar. Cheng Qiuye melepas masker, memperlihatkan wajah oval putih bersih dan sempurna. Syal menutupi rahang bawahnya, tepi topi ditekan rendah - manusia biasa mungkin takkan mengenalinya.
Toh cuma artis kacangan.
Cheng Yun mengobrol sambil menyeruput kopi dengan sepupunya yang sudah lama tidak bertemu. Si loli berjongkok di atas meja, diam-diam mengamatinya. Sesekali, saat ia lengah, cakar mungilnya menyelinap ke cangkir kopi Cheng Yun untuk mencuri setetes kopi lalu dijilatnya diam-diam.
Meski Sang Mage melihatnya, ia tak berani bersuara. Ia hanya mencicipi rasa pahit kopi dalam diam, sementara matanya mengamati tas gitar yang tergeletak di sebelah Cheng Qiuye.
Cheng Yun memang sudah lama tidak melihat Cheng Qiuye, bahkan di TV sekalipun—ia sedikitpun tidak tertarik pada drama bodoh yang diperankan sang sepupu.
Pertemuan terakhir mereka terjadi saat Cheng Qiuye datang menjemput Cheng Lianxin dulu.
Belum lama mengobrol, Cheng Qiuye sudah geram dibuatnya—si adik sepupu ini sama sekali tidak menganggapnya sebagai selebritas!
Dasar! Tidak ada rasa kagum sedikitpun sudah biasa, tapi bagaimana mungkin ia bahkan tidak tahu aktivitas terkini sang kakak yang terkenal ini? Sungguh keterlaluan sikapnya!
Bukankah seharusnya dia diam-diam memantau dinamika "selebritas besar" sepupu perempuannya ini setiap hari, bertarung melawan haters di platform daring untuk mendukung sang sepupu, bahkan sampai memasang foto sepupunya sebagai wallpaper latar belakang chat WeChat?
"Huu~"
Saudari Sepupu menarik napas dalam-dalam, memutuskan untuk tidak menggubris tingkah adiknya ini. Dengan marah, ia mengangkat cangkir kopi dan meneguknya.
Tiba-tiba, penglihatan tepinya menangkap sosok Sang Mage.
Mengikuti arah pandangan Sang Mage, ia melihat gitar di sampingnya.
"Kau bisa bermusik?" Cheng Qiuye bertanya pada Sang Mage.
"Mungkin…" jawab Sang Mage ragu-ragu, sambil mencuri pandang Cheng Yun.
"Maksudmu 'mungkin' apa? Bisa ya bisa, tidak ya tidak!" Cheng Qiuye mengikuti arah pandangnya ke arah Cheng Yun yang sedang tenang menyeruput kopi. Ia menggaruk kepala, penuh kecurigaan.
"Err… Aku juga tidak tahu."
"Apa maksudmu pernah belajar gitar tapi tidak menguasainya?"
“Bukan, aku pernah belajar alat musik sejenis lainnya, tapi tidak bisa memainkan yang kau punya ini… gitar.” Sang Mage berkata.
“Oh! Kulihat kau terus menatap tajam gitar ini, kukira kau bisa menjentikkan gitar.”
“Seharusnya aku bisa memainkannya.” Sang Mage sangat ingin menyentuh benda ini.
“Benarkah? Mau coba?” Cheng Qiuye tertegun berkata, sambil mengambil gitar di sampingnya dan meletakkannya di meja lalu menyerahkan padanya.
“Untukku?” Sang Mage kembali menunjukkan keraguan.
“Tak apa, gitar ini juga kupakai untuk latihan, tak ada harganya. Silakan mainkan.” Cheng Qiuye tersenyum, matanya menyipit membentuk dua lengkungan indah, “Sebenarnya kau seharusnya sedang jalan-jatan di festival kuil bersama Cheng Yun, tapi malah kusuruh minum kopi… Kulihat kau duduk di sebelah juga lumayan bosan.”
“Bolehkah kucoba?” Sang Mage bertanya lagi.
“Tentu! Bukankah sudah kukatakan…” Cheng Qiuye belum selesai bicara sudah tersadar: pertanyaannya bukan ditujukan padanya.
“Enm…” Perasaannya mulai aneh.
"Kalau sudah diberikan padamu, mainkan saja sesukamu." Cheng Yun menarik sudut bibirnya.
"Terima kasih!" Mata Sang Mage berbinar saat menerima gitar, tangannya menjelajahi permukaannya sebelum membuka resleting tas gitar dengan cepat dan mengeluarkan sebuah gitar folk.
"Ti-Tidak usah sungkan..." Cheng Qiuye merasa semakin aneh.
Sang Mage memegang gitar itu, namun tak grogi langsung memainkannya. Alih-alih, ia mengamati seluruh jajaran alat musik itu dengan seksama. Seolah hendak memindai konstruksi gitar ke dalam pikirannya, sorot mata redup berkelap-kelip membuat bola matanya terlihat sangat berbinar.
Beberapa saat kemudian, jarinya menggesek senar-senar kecapi.
Sejumlah besar alunan musik langsung memenuhi udara.
Sang Mage berpikir sejenak, tampaknya dalam waktu singkat ia telah menguasai poin-poin penting alat musik ini, lalu mulailah memainkannya dengan kikuk.
Sebuah demi sebuah nada melompat keluar dengan sedikit tertahan, dengan cepat menjadi lancar.
Aula kopi mulai dipenuhi denting-dong mengalir.
Lingkungan yang sebelumnya masih agam riuh cepat menjadi hening.
Cheng Yun dan Cheng Qiuye berhenti bicara, keduanya menatap Sang Mage dengan keterkejutan.
Pelanggan lain di sekeliling perlahan berhenti bicara dan melirik ke arah ini.
Bahkan si loli kecil pun bingung menatap Sang Mage——makhluk manusia bodoh pengguna mantra ini sedang mengembangkan hal istimewa apa?
Menawan...
Hening...
Komposisi ini seharusnya lebih efektif dengan gitar klasik, tapi meski Sang Mage memakai gitar folk, orang tetap bisa merasakan Lapisan-nya. Bagai angsa mulia yang diam di danau sunyi, waktu membeku indah bagai lukisan saat senja.
Cheng Qiuye yang membelakangi orang lain secara bawah sadar memasang masker.
Sebentar kemudian, Sang Mage berhenti.
Sorot matanya memancarkan kebahagiaan, seolah baru menemukan permainan seru atau titik temu dengan kampung halaman melalui musik.
“Lagu apa yang kamu mainkan tadi?” Cheng Qiuye bertanya dengan mata berbinar.
“Kenapa?” Sang Mage tertegun.
“Sangat enak didengar!”
“Aku... aku lupa namanya.”
“Ini lagu klasik, kan?” Cheng Qiuye bertanya.
“Bukan.” Sang Mage menggelengkan kepala, “Ini musik pengiring lagu pop.”
“Musik pop? Kok aku belum pernah dengar?”
“Err...” Sang Mage seolah menyadari sesuatu, menoleh dengan tatapan memohon ke Cheng Yun.
Cheng Yun tetap tenang.
“Huu!” Sang Mage menghela napas lega.
“Sayang sekali.” Cheng Qiuye mengerutkan alis, “Komposisi ini sangat indah. Kalau ada lirik yang pas, pasti jadi lagu yang bagus. Tapi karena belum pernah kudengar, mungkin kurang terkenal.”
“Mungkin...” Sang Mage setuju dengan nada datar.
"Menurutku kamu bisa jadi selebriti." Cheng Qiuye tiba-tiba mengamati Sang Mage dari ujung kepala hingga kaki dengan serius, "Gaya kamu main gitar tadi sangat keren, super ganteng. Meski gerakannya masih belum lihai, tapi ada aura musisi yang kental... Apalagi fisikmu yang sempurna ini, cuma modal wajah saja sudah bisa hidup enak. Sungguh sayang kalau tidak jadi artis."
"Eh... Aku tidak punya keinginan seperti itu."
"Baiklah, ah." Cheng Qiuye menghela napas.
"Apa kamu bisa memainkan lagu lain?" tanyanya lagi.
"Bisa..." Sang Mage baru saja terucap, lalu melirik Cheng Yun dengan cepat dan buru-buru membetulkan ucapan, "Bisa... atau tidak ya..."
"......" Cheng Qiuye dipenuhi garis hitam di keningnya.
Ia melirik sepupunya, pandangannya menunjukkan kekhawatiran.
Tapi saat melihat tingkat kecantikan Sang Mage, timbul perasaan absurd "sudah semestinya" dalam hatinya. Kira-kira... seandainya dia laki-laki, mungkin juga tidak akan mempermasalahkan gender Sang Mage?
Eh tunggu! Pikiran mulai melenceng nih!
Cheng Qiuye buru-buru mengerem pikirannya. Ia baru saja mulai mencurigai, mana mungkin langsung menyimpulkan!
Cheng Yun juga merasa iringan kecapi yang dimainkan Sang Mage sebelumnya sangat merdu, jenis melodi yang bisa membuat orang mabuk meski tanpa nyanyian. Maka ia meletakkan cangkir kopi dan berkata penuh minat, "Lanjutkan, aku belum puas mendengar."
Wajah Sang Mage langsung sumringah. "Kali ini akan kumainkan komposisi klasik kecapi enam senar," ujarnya.
……
Para pengunjung kafe yang terbuai alunan musik mungkin tak menyangka, mereka sedang menikmati penyucian budaya dari dunia paralel.
