Gesek!
Si loli melompat lincah dari keranjang sayur. Berdiri tegak di tanah, ia menatap tinggi ke arah Kakek Cheng dan rumah tua itu, lalu menoleh mengamati lingkungan asing di sekitarnya.
Ia menarik kembali pandangan, seolah diliputi rasa takut, lalu berlari kecil mendekati Cheng Yun dan berdempetan erat dengannya.
Kakek Cheng juga segera memperhatikan makhluk kecil berbulu putih ini. Ia menunduk memandangi loli itu, mata keruhnya bertatapan dengan sorot biru es sang loli. Sang kakek tampak ragu.
"Ini kucing atau anjing?" tanyanya pada Cheng Yun.
“Kucing.” Cheng Yan menjawab menggantikan Cheng Yun.
“Ha!” Meski merasa gelisah di lingkungan asing, kewibawaan Raja Padang Salju tak bisa dipertanyakan!
“Bulu kucing ini panjang sekali? Siapa yang memberi makannya?” tanya kakek lagi.
“Ha!!” Loli kecil itu menunjukkan kegarangan di wajahnya.
“Aku yang memberinya makan.” Cheng Yun perlahan menggeser kakinya mendorong loli, membuatnya limbung.
Loli langsung terpaku, mengangkat kepala menatapnya tajam, lalu terhisap dalam renungan.
“Ngapain kamu kasih makan kucing? Buat tangkap tikus?” Kakek tertawa sambil bertanya.
Kali ini loli bersikap patuh.
Cheng Yun tersenyum, menjaga harga diri loli, memilih tak menjawab.
Tapi sejak kaki loli menginjak lantai, pandangan semua orang tertambat padanya. Baik Cheng Qiuye, perempuan itu, maupun tiga pria tak dikenal Cheng Yun, semua menatapnya tanpa berkedip.
Tingkat kecantikan loli ini memang terlalu tinggi, postur tubuhnya juga sangat menawan.
Tak lama kemudian, perempuan itu bertanya: "Kucing ini kau taruh begitu saja di tanah, tidak takut lari?"
Loli itu memalingkan wajah ke arahnya mendengar suara, namun sorot matanya penuh keraguan—ia takut kalau bersikap galak akan membuat Da Wang kesal lagi.
"Tidak akan." Cheng Yan kembali menjawab menggantikan Cheng Yun, nada bicaranya datar, hanya tanpa disadari menunjukkan sedikit kebanggaan.
"Bukannya itu hampir sama dengan anjing?" pria yang agak gemuk itu heran.
"Kucing ini pasti mahal ya? Aku belum pernah lihat kucing secantik ini, harganya berapa?" perempuan itu bertanya lagi.
Cheng Yun tidak bersuara.
Cheng Yan meliriknya, untuk menghindari momen canggung, kembali menjawab: "Hadiah dari seorang teman."
"Waah!"
Perempuan itu menjerit kaget.
Cheng Yun tersenyum kecil, baru menarik lengan Yin Nuxia dan Tang Qingying sambil membawa mereka menghadap Kakek Cheng. "Ini kakek saya dan Cheng Yan," jelasnya.
"Halo Kakek, saya teman sekelas Cheng Yan. Panggil saja Yao Yao," ujar Tang Qingying dengan senyum manis. Gaya berpakaiannya yang cantik hari ini langsung membuat sang kakek tersenyum lebar.
"Bagus! Bagus! Bagus! Halo!"
Cheng Yun sempat khawatir gadis ini tiba-tiba "otaknya kambuh" dan mengucapkan kata-kata aneh. Tapi Tang Qingying hanya menyebut diri sebagai teman sekelas Cheng Yan, bahkan tidak menyebut nama lengkap. Kelincahan dan kepahamannya ini justru membuat Cheng Yun tertegun sejenak.
Yin Nuxia tiba-tiba berdiri tegak bagai murid SD di hadapan guru, bicaranya terbata-bata.
"Kepala... Kepala Stasiun Kakek... Halo..."
“Emm……baik baik, kamu juga baik.” Kakek jelas tertegun sejenak, mengamati bekas luka di pipinya, bertanya penuh perhatian, “Luka di wajahmu ini kenapa?”
“Waktu kecil memanjat pohon sampai terluka.”
“Aduh, sayang sekali!”
“Orang lain sudah kamu temui semua kan?” Cheng Yun bertanya lagi.
“Sudah sudah.” Kakek mengangguk sambil tertawa riang.
Dari dapur terdengar suara menggoreng lauk, wangi harum pun mengepul. Setelah ditanya, Cheng Yun baru tahu itu adalah orangtua Cheng Qiuye, yaitu paman dan ibunya yang sedang sibuk memasak di dapur.
Sekarang sudah pukul sebelas setengah.
Kakek segera menyambut semua orang: “Silakan masuk, sebentar lagi makan.”
Pria gemuk yang pulang bersama Cheng Qiuye tersenyum pada Kakek Cheng, berkata sopan: “Kakek, terima kasih banyak.”
Yin Nuxia yang biasanya gagah perkasa malah terlihat ragu-ragu, sangat canggung, bahkan jalannya pun lambat, baru masuk rumah paling akhir setelah lama mengulur-ulur waktu.
Di dalam ruangan terpasang dua meja delapan dewa yang tua bagaikan benda purba museum. Di atas meja terhampar setengah meja lalapan dingin, ayam-bebek-angsa-sapi-domba-kelinci termasuk sosis dan daging asap buatan sendiri serta bingkisan tahun baru, semua tersedia lengkap. Terlihat jelas Kakek Cheng telah bersusah payah menyiapkan ini semua untuk menjamu tamu sebanyak itu.
Kakek Cheng duduk di posisi terhormat meja delapan dewa, tersenyum riang menjamu tamu. Sementara penempatan kursi bagi tamu lain tidak mengikuti aturan khusus.
Seluruh penghuni penginapan duduk berkumpul di satu meja bersama Cheng Yan. Pria bersih dan menawan yang datang bersama Cheng Qiuye juga bergabung di sana. Cheng Yun duduk manis di sisi Kakek Cheng di posisi terhormat, bersama Cheng Qiuye dan tiga temannya. Sementara satu sisi meja dikosongkan untuk Paman Cheng dan istrinya.
Cheng Yun melirik sekelompok pemilik mobil mewah itu. Tak satu pun dari mereka menunjukkan sikap meremehkan kesederhanaan ruang tamu atau peralatan makan yang kuno. Sebaliknya, mereka tertawa riang dengan wajah penuh rasa hormat, menunjukkan apresiasi yang tulus.
"Kakek Cheng, mana mungkin kita bisa menghabiskan semua masakan ini!" kata perempuan cantik itu.
"Merepotkan Kakek Cheng, awalnya kami hanya ingin main ke sini sekalian mengunjungi Qiuye, eh malah ikutan makan... Sungguh memalukan." Pria yang sedikit kegemukan itu juga bersikap sopan.
Kakek Cheng merespons satu per satu.
Cheng Qiuye segera berkata pada Cheng Yun: "Ayo kuperkenalkan mereka, biar saat makan nggak canggung gegara saling tidak kenal."
Semua orang tertawa kecil.
Pria gemuk itu memakai kacamata, namanya Feng Han, konon ia teman sekelas Cheng Qiuye baik di SMA maupun kampus. Perempuan cantik itu adalah pacarnya bernama Peng Manxuan, kabarnya mereka sudah mau menikah.
Dua pria lainnya adalah Lin Yuanwu yang bertubuh kekar dan berparah ganteng, usianya terlihat sebaya dengan Cheng Qiuye. Serta Zhu Jiayan yang berusia awal dua puluhan dengan wajah tampan, ia duduk di meja Cheng Yan.
Cheng Yun tidak canggung, karakternya lembut, tapi juga bukan tipe yang mudah akrab. Maka ia hanya memberi salam pada mereka.
"Ngomong-ngomong! Kakak sepupa belum kembali?"
"Dia baru akan pulang saat Malam Tahun Baru Imlek."
"Oh! Kamu juga baru pulang hari ini?"
"Aku sudah kembali sejak kemarin lusa. Akhir-akhir ini tidak ada syuting, hidup sengsara jadi libur tahunan lebih panjang," kata Cheng Qiuye. "Hari ini hanya pergi menjemput mereka, sekalian menemani bermain beberapa hari."
"Maksudku kenapa kamu tidak bawa mobilmu kembali?"
Tiba-tiba dengan cepat, si loli melompat dari sebelah ke pinggir meja, membuat Cheng Qiuye kaget setengah mati.
Cheng Yun tertegun, memalingkan wajah ke arah Cheng Yan, lalu menatap si loli: "Kenapa kamu berlari ke sini lagi? Bukannya sudah disepakati kamu duduk manis di meja itu?"
Si loli tidak bersuara, hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca, wajah kecilnya terlihat sangat menyedihkan.
Barusan Cheng Yan mungkin merasa si kucing kelaparan, lalu menjepit sepotong daging sapi yang kedua sisinya sudah dilumuri cabai kering untuk diberikan padanya... Biasanya Cheng Yun juga mencelupkan cabai saat memberinya makan, tapi tidak sebanyak ini.
“Ha~ Ha~ Ha~”
Loli kecil itu mengeluarkan lidah tipisnya, menghela napas pelan sambil memberi isyarat bahwa sekarang dia bisa memuntahkan api.
Cheng Qiuye tertegun: “Dia sedang meniru anjing ya?”
Peng Manxuan matanya hampir melebar membentuk hati, dia mengepal kedua tangannya erat sambil berkata: “Lihat tatapan memelasnya! Mana ada kucing secantik, sepintar, dan setempel ini! Berikan aku selusin, biar mereka mengelilingiku setiap hari!”
Loli kecil itu satu per satu mengarahkan pandangan penuh amarah ke mereka.
Barusan dia berpikir lama, dan sudah menyadari: selama tidak berbuat jahat pada orang biasa yang sudah tua itu, pasti aman.
Cheng Yun mengulurkan tangan mengusap kepala si kucing kecil, dengan pasrah memanggil Cheng Yan untuk mengambil mangkuk makannya, memaksa menggeser posisi hingga tersedia ruang untuknya.
Sang kakek sedikit menggerutu, "Kalau zaman dulu kucing naik meja pasti sudah kena pukul!" Namun tak ada yang mencegahnya.
Tak lama kemudian, Cheng Yun, adiknya, dan Cheng Qiuye bergegas ke dapur tradisional untuk mengambil lauknya. Melihat itu, tamu-tamu lain pun buru-buru mendekat ingin membantu. Tapi sekadar ikut meramaikan saja, ambil lauknya mana perlu sampai sebanyak orang!
Sebelum semua hidangan tersaji, sang kakek sudah menyuruh para tamu untuk mulai makan.
Beberapa saat kemudian, Paman Cheng Jian dan istrinya Qian Qiurong baru keluar dari dapur membawa ember terakhir berisi ikan, lalu duduk di meja ikut menyantap hidangan.
Paman Cheng Jian dan Bu Qian Qiurong sambil makan sambil mengamati para tamu hari itu, seolah berusaha menemukan calon menantu atau tunangan keponakan yang mungkin tersembunyi di antara mereka.
Sayangnya anggota keluarga Cheng tidak terlalu suka minum arak, kalau tidak, dua gelas arak putih ditenggak, bukankah semua rahasia langsung terbongkar?
Dari obrolan santai, Cheng Yun mengetahui bahwa keempat teman Cheng Qiuye ini juga sedang liburan, sekalian mampir ke kampung halamannya. Wajar saja kalau orang yang tinggal dekat area wisata sering menjamu tamu di rumah.
Tapi grup ini seolah tidak tertarik dengan pemandian air panas atau Gunung Salju Xiling, Cheng Yun juga bingung tujuan liburan mereka sebenarnya.
Usai makan, segerombolan besar anak muda berebut membereskan piring kotor dan cuci piring, sampai memadati dapur. Alhasil Cheng Jianguo dan Qian Qiurong jadi menganggur.
Sang kakek beserta pasangan Cheng Jianguo dengan licik menarik Cheng Yun ke pojok, bertanya: "Dari sekian banyak cewek itu, ada pacarmu? Atau cewek yang kauminati?"
Pipi Cheng Yun langsung menghitam.
"Usiamu juga sudah cukup dewasa," Qian Qiurong memberi petunjuk.
“……”
“Kulihat cewek bernama Yao Yao itu memang cantik, bagaikan selebritas di TV! Ada juga cewek bernama Hujan yang tampan! Yang paling memukau tetap cewek bermarga Cai itu, tinggi dan rupawan, meski gaya berpakaiannya seperti anak laki-laki…” gumam sang kakek sambil merencanakan.
Karena keluarga Cheng memiliki gen unggul yang membuat semua anggotanya tampan/cantik, maka mereka punya kepercayaan diri misterius dalam hal penampilan. Ini tercermin dari dua hal:
1、Mencari pasangan harus yang rupawan.
2、Sekeren apapun calonnya, anak keluarga Cheng pasti pantas memilikinya.
Wajah Cheng Yun semakin menghitam.
Tiba-tiba, Cheng Jianguo bertanya dengan nada penuh arti: “Apakah kau mengenal beberapa teman yang dibawa pulang Qiuye itu?”
“Tidak kenal!”
“Ayah pikir kalau kau kenal, mungkin bisa dapat informasi…”
“Tidak ada!”
“Dasar anak ini...”
Cheng Yun segera memanfaatkan waktu untuk melarikan diri dari lokasi.
Tak lama kemudian, Cheng Qiuye berlari mendekat dan bertanya: “Apa kalian punya rencana untuk jalan-jalan sore nanti?”
“Ngapain tanya aku?”
"Kita... menggesekkan."
"Menggesekkan..." Cheng Yun menarik sudut bibir, merasa ini terdengar sangat jahat.
"Kakak sedang bertanya padamu!" Cheng Qiuye berkata.
"Kamu seharusnya lebih familiar dengan tempat ini dibandingku!"
"...Jawab dengan patuh saat ditanya, ngapain ngomongin hal-hal yang tidak penting!" Kakak Sepupu berusaha menampakkan kewibawaan.
"Aku berencana naik gunung untuk memanggang sosis dan nasi bambu."
"Wah! Ide bagus!" Mata Cheng Qiuye langsung berbinar, "Sendirian tidak seru, kita akan ikut bersama. Nanti kakak akan menyanyikan lagu baru untukmu."
"Bisa tidak dengarkan..."
"Hmm?" Kakak Sepupu mulai marah!
“……”
Tanpa menunggu jawaban Cheng Yun, Cheng Qiuye langsung berlari ke teman-temannya dan mengumumkan rencana naik gunung untuk memanggang sosis dan membuat nasi bambu sore ini.
Beberapa orang kaya baru tampak antusias meski tidak terlalu terkejut, sepertinya pernah punya pengalaman serupa.
