"Ah~~"
Loli membuka mulutnya mengeluarkan lidah kecil merah muda, merentangkan tubuhnya yang anggun, lalu menguap lemas.
Ia kembali mengangkat kepala, menyipitkan mata memandang matahari di atasnya, merasakan kehangatan menyelimuti seluruh tubuhnya. Di Pan Yu Arctic tak bisa menikmati sensasi ini, namun anehnya ia tak menolak kehangatan ini.
Tiba-tiba, seekor benda kecil melesat keluar dari rumah sebelah. Loli langsung menyadarinya.
Itu juga seekor kucing, tepatnya kucing putih.
Kucing putih itu seluruh tubuhnya putih salju, posturnya ramping, bulunya pendek - kucing kampung yang umum ditemui.
Loli langsung menatapnya terpaku.
Kucing putih itu sejenak tertegun, seolah dalam hidupnya jarang melihat begitu banyak orang asing di pintu rumah. Dengan penuh kewaspadaan, matanya menyapu sekilas para tamu tak dikenal ini. Terutama wanita yang berdiri di depan terus menggerakkan jarinya memanggilnya.
Dengan cepat, ia melihat si loli kecil.
Kedua makhluk itu terpaku, saling pandang dalam diam.
Suasana tiba-tiba terasa canggung.
Mereka yang terus memandangi si loli segera menyadari keanehan itu. Mengikuti arah pandang si loli, mereka pun melihat kucing putih itu. Pandangan mereka mulai bolak-balik antara si loli dan kucing. Mata biru-beku yang jernih si loli bagai menyimpan ribuan bintang, sementara kucing putih biasa di seberang itu ternyata memiliki sepasang mata yinyang yang langka - satu kuning dan satu biru.
Peng Manxuan langsung meregangkan bibirnya. Ia terus menarik-narik ujung jubah Feng Han di sampingnya sambil tertawa, "Coba lihat! Menurutmu, apa yang dipikirkan kedua kucing itu?"
Yin Nuxia khawatir menatap Cheng Yun: "Kepala Stasiun, mereka tidak akan bertarung, kan?"
Cheng Yun dengan pasrah mengetuk kepalanya.
Beberapa saat kemudian, loli kecil menarik kembali pandangan. Dengan sikap tenang, ia menundukkan kepala, mengangkat cakar kecil putih saljunya untuk dilihat, lalu melirik ke arah kucing putih berbulu pendek di seberang yang masih diam berdiri. Akhirnya, ia menatap Cheng Yun dengan wajah penuh kebingungan.
Ekspresinya seolah bertanya: "Apa yang terjadi dengan benda yang mirip Wang ini?"
Pertama kali melihat makhluk seperti ini adalah saat minum sup daging domba. Sesekali ketika pergi ke kota juga melihatnya, tapi ia tak pernah tahu apa sebenarnya. Hanya tahu disebut kucing. Sepertinya tak ada bedanya dengan tupai kecil, ular kecil, atau burung-burung kecil.
Setelah Cheng Yun memberi peringatan "Jangan membuat onar", ia segera menjadi kalem.
Hal ini membuat beberapa orang di samping yang sedang mendiskusikan "Jika kucing Ragdoll berpostur lebih besar tapi berwatak lembut bertarung dengan kucing kampung berpostur kecil tapi ganas, siapa yang akan menang?" merasa sedikit kecewa.
Cheng Yun menarik Kakek Cheng, menyuruhnya duduk di kursi belakang becak roda tiga listrik, lalu mengajarinya mengendarai.
Cheng Yun mempraktikkan cara mengendarai di halaman, terutama menjelaskan fungsi tuas gas, rem tangan-kaki, dan berbagai tombol. Tapi ia tak berani membiarkan sang kakek langsung mencoba. Karena halaman terlalu sempit, khawatir sang kakek tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan langsung terjun ke sawah.
Meski dulu pernah merantau dan mengayuh becak roda tiga manual untuk berjualan, namun becak listrik jelas berbeda dengan becak manual. Kakek berusia 70-an tahun ini sudah puluhan tahun tidak menyentuh becak. Meski benda ini sederhana, tetap butuh latihan beberapa waktu sebelum bisa perlahan-lahan melaju di jalan. Yang paling ditakuti Cheng Yun adalah kekakuan gerak dan kelambatan berpikir lansia dalam mengendalikan tuas gas dan arah kendaraan.
Yin Nuxia berdiri di pinggir menyaksikan mereka berlatih, ekspresi memelas dengan iri yang hampir meluap dari matanya.
Sekitar tengah sore, seorang tetangga menggendong keranjang punggung keluar dari rumahnya, melewati pintu rumah lama Cheng Yun, melihat banyak anak muda berdiri di halaman, lalu menatap Kakek Cheng yang sedang duduk di becak sambil berbincang dengan Cheng Yun. Dengan senyum manis dia berkata: "Hari ini rumahmu sangat ramai ya!"
"Ramai sekali!" Kakek Cheng juga tertawa riang membalas.
"Ini bukan Cheng Yun, kan? Cheng Yun sudah pulang?" Tetangga itu menatap Cheng Yun yang sedang menyetir.
"Paman Ketiga Li." Cheng Yun memanggil.
"Cheng Yun memang semakin ganteng." Pujian sang tetangga.
Kakek Cheng tertawa sambil mengobrol beberapa kata dengannya. Langkah tetangga itu tak berhenti, perlahan semakin menjauh.
Cheng Yun menghentikan kendaraan, menarik rem tangan, menyerahkan kunci kepada sang kakek sambil tersenyum: "Latihan hari ini cukup sampai di sini. Dua hari lagi aku akan mengajakmu ke Jembatan Xingou untuk berlatih. Jalan di sana bagus, panjang dan lebar, juga lurus. Sekarang kita harus naik gunung untuk memanggang sosis. Cepat keluarkan stokmu!"
Kakek menerima kunci, mengangguk lalu turun dari mobil dan berjalan ke ruang dalam: "Kalian boleh bermain, bersenang-senanglah!"
Cheng Yun mengikuti kakek ke dapur, mengambil semua sosis yang sudah direbus tapi belum dipotong hari ini, serta dua bagian sosis mentah. Kemudian kakek dan Ibu Cheng Yun berpikir, mempertimbangkan bahwa dengan begitu banyak orang, beberapa potong sosis ini pasti tak akan cukup. Maka mereka mengambil separuh ayam yang sudah diasinkan dan seekor kelinci utuh, memasukkannya ke dalam dua kantong plastik lalu menyuruh Cheng Yun membawanya ke gunung untuk "dikalahkan".
Karena semuanya keluarga sendiri, Cheng Yun sama sekali tidak sungkan, dengan riang menerima semuanya. Baru saja keluar rumah, dia bertemu dengan pemuda bernama Zhu Jiayan.
"Ayo, bawa ini. Ini camilan kita di gunung nanti," kata Cheng Yun menyodorkan kantong plastik padanya.
"Wah banyak sekali!" teriak Zhu Jiayan kaget, mengambil semua barang itu ke tangannya.
Cheng Yun berbalik mengambil tusuk besi, golok kayu, dan kawat besi. Hampir setiap tahun mereka memanggang di gunung saat pulang kampung. Meski tidak punya pemanggang, tusuk besi untuk barbekyu masih ada. Bukan tusuk kecil tipis seperti tusuk sate, melainkan pipih dengan pegangan kayu di ujungnya, bagai pedang kecil panjang. Ini dibeli Cheng Yan secara grosir di Taobao dulu, sangat murah - yang kecil 1-2 mao per batang, besar 5 mao.
Lalu bumbu seperti garam, MSG, cabai yang dikemas dalam botol berlubang, plus minyak dan kuas kecil.
Bisa dibilang sangat profesional.
Tak lama, ia keluar membawa semua perlengkapan.
Yin Nuxia paling pertama mendekat, disusul si loli yang melesat ke sampingnya. Satu manusia satu makhluk sama-sama menatap tajam ke arahnya.
Tepat waktunya!
Cheng Yun menyerahkan semua barang di tangannya kepada Yin Nuxia sekaligus: "Bawa ini, kita akan memanggang di gunung. Aku akan beli bubuk jintan dulu di jalan!"
Mendengar ada makanan lagi, mata kedua manusia dan satu makhluk itu langsung berbinar.
Tak lama kemudian, sekelompok anak muda berangkat dengan gegap gempita.
Cheng Yun berjalan di depan sebagai penunjuk jalan, Yin Nuxia mengikuti di belakangnya. Si loli berjalan dengan langkah kecil di sampingnya, kadang berlari mendahului tapi cepat-cepat berhenti menunggu.
Cheng Qiuye dan teman-temannya terkejut melihat tingkah laku kucing yang nyaris setia seperti anjing.
Sang Mage berada di ujung rombongan. Ia kerap berhenti untuk membungkuk membongkar-bongkar semak, mencabut rumput atau memetik daun lalu mengamatinya dengan saksama, layaknya ahli botani yang sedang meneliti wilayah Hujiakou.
Salah satu teman Cheng Qiuye, Lin Yuanwu, terus mendampinginya sambil sesekali menyapa.
Tetapi Sang Mage tidak banyak menghiraukannya, malah wajahnya menghitam.
"Apa yang kau lihat?"
"Rumput."
"Ada yang spesial? Bukankah ini cuma rumput liar biasa?" Lin Yuanwu bertubuh tinggi gagah dengan aura Tuan Muda yang anggun dan kharisma prajurit. Ia pernah menjalin banyak hubungan asmara dengan wanita-wanita cantik berkompetensi tinggi dan beraura memikat. Bahkan lebih banyak lagi gadis yang mendekatinya. Namun sosok "gadis" seperti Sang Mage yang posturnya melebihi model, tingkat kecantikannya mengalahkan selebritas besar, hanya dengan penampilan luar saja sudah mampu membuatnya terpana seperti melihat bidadari turun ke bumi - jenis seperti ini benar-benar belum pernah ia temui sebelumnya.
Lin Yuanwu pun membungkuk memetik sehelai daun, membolak-baliknya di tangan namun tak menemukan keanehan. Bahkan meniru Sang Mage dengan memasukkan daun ke mulut dan mengunyahnya, tapi yang ia rasakan hanya kepahitan menyengat di lidah disertai bau anyir rumput, membuatnya buru-buru memuntahkannya.
"Apa kau belajar kedokteran?"
"Bukan."
"Ada dokter di rumah kita?"
“……”
“Mahasiswa biologi？Botani？” Lin Yuanwu seolah kembali melihat aura akademis dari sang Mage yang pendiam, membuatnya terkesan akan keagungannya.
“……”
Sang Mage tetap mengabaikannya, hanya menoleh ke belakang memandang kampung halaman Cheng Yun—saat mendaki tak terasa, baru setelah berbalik menyadari titik awal sudah sangat jauh. Di kaki gunung juga tak terlihat, setelah memanjat tinggi dan melihat ke bawah barulah tahu rumah itu dikelilingi kabut hijau samar.
Sang Mage menarik napas dalam-dalam, menenangkan kegelisahan di hatinya, memperlakukan pria di sebelahnya bagai seekor lalat.
Dunia ini begitu indah, masakan diriku begitu gelisah...
Perlahan-lahan, jarak antara mereka berdua semakin tertinggal jauh.
Feng Han yang berjalan di depan menoleh melihat Lin Yuanwu yang mendampingi sang Mage, tak kuasa tersenyum tipis.
Cheng Yun juga beberapa kali menoleh ke belakang, tertawanya semakin lebar.
Tak lama kemudian, Sang Mage tiba-tiba melihat beberapa bunga liar yang sedang mekar di hamparan tanah gersang. Matanya langsung berbinar, segera mendekat.
Sang Mage mengusap perlahan kelopak bunga dengan ujung jarinya, menyentuh embun yang menempel, tapi tak memetiknya.
Melihat hal itu, Lin Yuanwu di sebelahnya langsung berkata: "Kau suka bunga ya?"
"Hush~"
Sang Mage kembali menarik napas dalam-dalam, akhirnya tak tahan lagi. Ia memalingkan wajah ke Lin Yuanwu: "Pernahkah ada yang memberitahumu, aku ini laki-laki!"
Lin Yuanwu tertegun sejenak, lalu menyeringai lebar.
Saat hendak membalas, tiba-tiba Sang Mage melirik ke arah kesatuan militer yang sudah jauh di depan. Barulah ia berbisik marah: "Diam! Kalau masih ngebandel, kuhajar kau!"
Istilah "ngebandel" ini dipinjamnya dari Kepala Stasiun.
Lin Yuanwu kembali tertegun, agak canggung. Beberapa saat kemudian ia berkata: "Kalau soal itu... kemampuan menahan pukulanku sebenarnya cukup baik, bahasa awamnya ya tahan dipukuli..."
Sang Mage cuma mengeluarkan suara "Hmph".
Ledakkan nyala api kecil……Cih!……Ledakkan bola api kecil paham gak, Satu tembak langsung jiwa!
Lin Yuanwu semakin merasa malu. Ia juga tak bisa terlalu banyak bergulat dengan Sang Mage, akhirnya berkata: "Kalau gitu gue cari mereka dulu."
Sang Mage tidak bersuara.
Lin Yuanwu pun dengan kikuk mengejar kesatuan militer, meninggalkan Sang Mage yang sendirian dengan santai ngekor di belakang.
Menurutnya, "gadis" bermarga Cai seperti ini……yang sudah melihat mobil offroad hasil modifikasi bernilai jutaan dankeren miliknya tapi masih bersikap tak sopan seperti ini, benar-benar langka. Gadis lain sekalipun tak tertarik pada hartanya, takkan seberani ini, takut melakukan kesalahan padanya.
Andaikan Sang Mage tahu isi pikirannya, pasti akan tertawa terbahak-bahak karena emosi darinya.
Bernilai jutaan? keren?
Buspernah lihat gak? Gue dari kecil naik sampai besar, kantor pemerintah aja tak berani minta bayaran!
Kapal perang kosmik pernah lihat gak? Waktu pelatihan militer saat masuk sekolah, gue nggak mau ikut pun dipaksa!
Lin Yuanwu mengejar Zhu Jiayan di depannya, menghadapi senyum mengejek Zhu Jiayan, pipinya terasa panas.
"Si anak ini! Lihat aku ngapain?!"
"Ada apa? Kakak Yuanwu kembali diusir?"
"Usir apaan? Cih, bilang 'diusir' itu maksudmu gimana?"
"Haha..." Zhu Jiayan tertawa kecil, menahan tawa sambil mengangguk pada Lin Yuanwu, "Semangat ya Kak, Nona itu beneran cantik. Jujur, seumur hidup belum pernah lihat cewek secantik itu. Barusan Brother Feng bilang, kalau dia belum punya istri, mau putusin pacar juga bakal nekat ngejar. Kalau enggak, bakal nyesal seumur hidup!"
"Terus kamu sendiri kenapa enggak coba?"
"Ogah." Zhu Jiayan menggeleng keras, "Aku lebih pendek dari dia. Berdiri sebelahnya aja udah malu-maluin."
Matanya melirik postur 1,88 meter Lin Yuanwu, "Kakak Yuanwu pantas banget sama dia. Peluangnya masih ada."
“Di depan itu?” Lin Yuanwu menekan suaranya, "Ada dua gadis yang cantik lho. Kamu kan belum punya pacar, gimana kalau minta Qiuya memperkenalkan? Eh iya, adiknya Qiuya juga cantik. Kayaknya sebelumnya kamu terus-terusan pengin mulai percakapan sama dia ya?"
"Ng..."
"Harus berani dong..."
"Lupakan..."
"Panik kan! Haha! Balas dendam karena ngetawain aku!"
"Ng..."
"Nggak capek bawa barang sebanyak ini? Mau kubantuin bawa satu tas?"
"Nggak usah, nggak berat kok."
Sekitar setengah jam kemudian, rombongan ekspedisi berhasil mencapai puncak gunung.
Cheng Yun berdiri di pinggiran puncak, memandang ke bawah ke arah rumah kelahirannya, jalanan desa, dan gunung-gunung di kejauhan. Untuk sesaat, suasana hatinya terasa lebih tenang.
Sekitar Hujiakou terdapat banyak tanjakan kecil, tidak terlalu tinggi dan mudah didaki. Dalam tahun-tahun ini semakin sedikit orang yang bertani, banyak lahan terbengkalai atau justru ditanami pohon buah, membuat pemandangan desa semakin indah. Di balik bukit-bukit kecil ini terbentang pegunungan menjulang dengan ketinggian ribuan meter, membentang tak henti-hentinya hingga menyambung ke Xiling. Pegunungan besar ini senantiasa diselubungi kabut gunung, bahkan terdapat hutan primitif di dalamnya. Meski tidak sepopuler Gunung Salju Xiling maupun Dayuetang (puncak tertinggi Xiling yang merupakan gunung nomor satu di Jinguan) yang sulit ditaklukkan, tidak sembarang orang bisa melintasinya.
Sejak kecil Cheng Yun mendengar berbagai legenda tentang pegunungan ini: pemburu yang menemukan keajaiban saat berburu, penemuan Ganoderma lucidum ribuan tahun atau Akar Ginseng yang jadi makhluk legenda, orang yang hilang setelah masuk gunung, hingga kisah harimau dan panda yang turun gunung mengamuk - bermacam-macam versi.
Kira-kira begitulah kehidupan orang-orang yang tinggal di kaki pegunungan besar.
Seni berasal dari kehidupan. Orang-orang di kaki gunung mendengar kisah tentang gunung, orang-orang di tepi laut mendengar kisah tentang laut...
Semua ini tentu palsu. Sang Kepala Stasiun tahu hukum dunia ini tidak mengizinkan keberadaan kekuatan supernatural. Sebagian besar hanyalah khayalan manusia zaman kuno.
Tapi di pegunungan memang banyak makhluk liar, mencakup berbagai tumbuhan dan hewan langka, bahkan menjadi salah satu habitat panda raksasa. Bagaimanapun lokasinya berbatasan dengan Warisan Alam Dunia Gunung Xiling Salju. Secara teknis pegunungan itu termasuk bagian Xiling, hanya tidak masuk area wisata.
Cheng Yun kembali menundukkan kepala dan melirik ke kaki gunung. Sang Mage masih berjalan dengan santai, di tangannya sepertinya menggenggam beberapa helai rumput.
Dia tak tahan lagi mengangkat tangan membentuk corong di mulutnya, berteriak kencang: "Hei~~ Bisakah kau cepat sedikit!"
Sang Mage mengangkat kepala melihat, lalu juga berteriak: "Oh~~"
