"Aduh, kamu sungguh menjengkelkan!" Feng Yujia langsung berubah ekspresi seperti baru menelan lalat, sambil menepuk-nepuk lengan Cheng Yun dengan manja dua kali untuk menunjukkan ketidakpuasannya.
"Hmm!" Ekspresi Cheng Yun terlihat sangat menarik.
Cheng Yan di sebelah hanya menatap dengan wajah tak beremosi.
Rombongan ekspedisi naik dari tanjakan kecil di sebelah ke jembatan penyeberangan, menyusuri saluran air di pusat hingga mencapai tengah jembatan. Di bawah dua pohon kecil itu mereka duduk sambil berjemur dan bercakap-cakap. Sore itu masih ada angin sepoi-sepoi, cuaca seperti ini benar-benar membuat orang merasa nyaman, bagai seluruh tulang tubuh menjadi lemas tak bertenaga. Ditambah rasa kantuk setelah kekenyangan makan siang, membuat orang benar-benar ingin berbaring dan tidur sebentar.
Andai ada bantal lutut dari sepasang kaki lagi, pasti akan semakin mengesankan.
Cheng Yun duduk di dinding batu sambil memandang pemandangan kejauhan dan berkhayal. Di sebelah kirinya duduk Cheng Yan, sementara di kanannya Feng Yujia. Usia keduanya hampir sebaya, sama-sama gadis cantik yang langka ditemui. Sayangnya sekarang sudah bukan masa kecil lagi, saudara kandung seusia ini memang layak menjaga batas.
Loli kecil berbaring di dinding batu di hadapannya, dengan malas menguap panjang sambil meregangkan postur tubuh yang menawan. Cahaya matahari yang menembus celah-celah daun menyinari tubuhnya, membuat bulu putih murni itu terlihat ilusif.
Ia terlihat setengah tertidur-tidur dengan mata yang setengah terpejam, namun kadang melirik ke Cheng Yun, kadang ke Cheng Yan, bahkan sesekali dengan kewaspadaan melirik ke arah Feng Yujia.
Pemandangan kejauhan terlihat memukau, di belakang Cheng Yun berdiri gunung raksasa sementara di depannya hanya terhampar bukit-bukit kecil yang membentang hingga cakrawala, bagaikan selimut hijau tua bertekstur bergelombang.
Perbukitan yang membentang, sebagian wilayah tertutup awan kabut, sebagian lain ada asap hijau yang mengepul. Ada area yang menyembunyikan kota-kota nun jauh, rumah-rumah samar-samar terlihat. Di tempat lain menjulang menara-menara sinyal, tak terhitung jumlahnya. Semakin jauh semakin buram, langit cerah sepuluh ribu li dengan pandangan terbuka, membuat orang tak kuasa membayangkan kejauhan yang dikaburi kabut gunung itu, ingin melesat mengeceknya.
Periode Tahun Baru Imlek ini juga dipenuhi nuansa santai dan kemalasan, tak perlu terlalu banyak khawatir akan berbagai urusan.
Cheng Yun dan Feng Yujia mencermati kejauhan, mana sisi mentari sore, mana Xiling, mana Chujiang, mana lagi wilayah kecamatan dan desa mana...
Cheng Yan mengikuti arah telunjuk mereka berdua, tapi sama sekali tak bisa membedakan. Ia tak lama tinggal di kampung halaman, cuma bisa membedakan Kota Mentari Sore, Kota Gunung Barat, dan Teluk Bunga Air saja. Mengenai arah pastinya, ia tak terlalu paham. Apalagi kota-kota lain itu.
Ia juga kesulitan menyela, terpaksa duduk di sebelah sambil mendengarkan bisikan-bisikan rendah mereka, lalu memandang ke kejauhan dengan diam.
Tak lama kemudian, duo itu mengakhiri topik ini dan mulai mengobrol. Cheng Yan geram mendapati dirinya bahkan masih kesulitan menyela percakapan.
Biasanya dia memang pendiam, tapi kini perasaannya aneh sekali—campur aduk antara geram dan nyinyir. Persis seperti waktu kecil saat mengetahui orangtua membelanjakan uang untuk Cheng Yun tapi tidak untuknya, atau seperti hewan peliharaan yang tiba-tiba menemukan ada anggota baru di rumah kita. Sosok yang seharusnya lebih dekat dengannya malah akrab dengan orang lain, membuat keseimbangan hatinya buyar sekejap.
Keharmonisan ala kadarnya dengan Cheng Yun selama ini tak pernah jadi masalah baginya, sebab begitulah karakternya. Bahkan saat duduk berdua tanpa satu kata pun terucap, itu terasa sangat wajar.
Tapi tiba-tiba muncul sepupu yang berinteraksi lebih mesra dengannya ketimbang dirinya sendiri, sang adik kandung...
"Padahal aku kan adik kandungmu yang sebenarnya, Hei?!"
"Sekeras apapun, kamu tidak boleh bersikap lebih baik ke sepupu dibandingkan denganku!"
"Kalau tidak, ke mana harga diriku akan perletak?"
"Ini seperti 'mainan' sendiri yang boleh diperlakukan semaunya, dibiarkan berdebu pun tak apa, tapi sama sekali tak bisa mentolerir orang lain merebutnya!"
Cheng Yan menahan amarah dalam hati, namun ekspresinya tetap datar.
Hanya si loli yang seolah menangkap sesuatu, memalingkan wajah dengan tatapan bingung ke arah Cheng Yan.
Cheng Yun bertanya pada Feng Yujia: "Jujur saja, universitas mana yang ingin kamu tuju nanti? Sudah ada rencana?"
"Aiya~ Jangan bahas ini di sini dong! Bikin kesal!" nada manja Feng Yujia masih tetap sama.
Cheng Yan diam membisu.
Dia paham betul "sepupu" formalnya ini segan membahas topik sekolah di hadapannya.
"Lalu kota mana yang kamu incar?" Cheng Yun bertanya lagi.
"Jinguan, kota metropolitan."
"Sudah ada target spesifik?"
"Aiya!"
“Ceritain dong, aku janji nggak bakal bilang siapa-siapa.”
……
Cheng Yan tetap diam sepanjang perjalanan.
Turun dari jembatan penyeberangan, semua orang melanjutkan ke bendungan.
Lokasi ini berfungsi mengatur debit air hilir sekaligus pembangkit listrik. Di bawahnya ada hamparan batu tempat Cheng Yun sering menangkap kepiting tiap musim panas waktu kecil.
Baru pukul empat sore lebih mereka tiba kembali di rumah.
Cheng Yun yang kehausan langsung menuang air ke mangkuk dan meneguk setengahnya. Melihat si loli menatapnya penuh harap, ia menyodorkan mangkuk itu ke hadapan gadis kecil itu.
Cheng Yan mengambil bangku dan duduk di depan pintu bersebelahan dengan San Gu, berbisik: "San Gu, alamat lengkap rumah Ibu berapa? Yang detail termasuk nama jalan, kompleks perumahan, dan nomor gedung."
"Mau ngapain?"
“Feng Yujia kan sebentar lagi mau Ujian Nasional, di tempatku masih banyak materi persiapan dan kertas ujian simulasi yang tahun lalu sudah kukerjakan, sangat bermanfaat. Ada juga soal-soal buatan guru sekolah kami sendiri. Kalian juga tahu rasio kelulusan sekolah kami, para guru itu jago menebak soal.” Cheng Yan berkata dengan datar kepada San Gu dan suaminya, “Nanti akan kukirim ke alamat kalian.”
“Wah bagus sekali!”
“Jangan kasih tahu dulu ke Kakak Yujia, nanti setelah kalian terima, awasi saja dia mengerjakannya. Dijamin performanya akan cepat meningkat!” kata Cheng Yan.
“Siap!”
“Hm, sebutkan alamatnya, akan kutulis di sini.” Cheng Yan membuka QQ, ragu sebentar, lalu beralih ke aplikasi notepad.
……
Malam hari.
Kamar di desa sebenarnya cukup luas, tapi setelah diisi satu ranjang dan kursi lipat dingin, jadi terasa agak sempit.
Kursi lipat saat musim panas bisa dilipat jadi bangku panjang, begitu dibuka langsung berubah menjadi tempat tidur kecil. Ditambah kapas, tidur satu dua orang sepenuhnya tidak masalah. Biasanya desa punya benda ini.
Cheng Yun tidur di kursi lipat, Feng Yuze dan Xiao Nian tidur di ranjang.
Sebuah lampu hemat energi tergantung di kabel di atas kepala, cahaya pucatnya tak begitu terang, mungkin karena sudah lama dipakai, agak menguning. Di sudut langit-langit masih ada sisa jaring laba-laba yang belum dibersihkan bulan lalu, syaratnya agak sederhana.
Cheng Yun menyangga bantal di punggung, bersandar di tembok, memakai earphone sambil membuka video WeChat, langkah demi langkah membimbing Sang Mage membuat bubur.
Tentu saja si loli tidur bersama di ranjang yang sama dengannya.
Saat ini ia sedang menginjak perut Cheng Yun, menekan boneka hiu kecilnya dengan satu cakar kecil, menggigit resletingnya dengan susah payah untuk membukanya. Kemudian ia mengambil angpao yang diberikan Cheng Yun pagi tadi, menyelipkannya ke dalam boneka hiu kecil itu dan menyembunyikannya.
Feng Yuze dan Xiao Nian di sebelah hanya bisa terdiam kaku menyaksikan adegan ini.
Setelah menutup kembali resleting, si loli kecil menepuk-nepuk boneka hiu kecilnya seolah menghibur atau memberi instruksi. Lalu ia melompat turun dari tubuh Cheng Yun, lari ke bantalnya dan berbaring memeluk leher Cheng Yun. Matanya yang bulat tak berkedip menatap layar ponsel yang menampilkan Sang Mage sedang memasak bubur dengan gaya seperti meracik ramuan magis.
Cheng Yun merasakan geli di lehernya. Ia menggelengkan kepala ke kiri-kanan sambil terus memberi instruksi: "Sekarang bisa tambahkan gula batu, sekitar sepuluh butir saja."
Loli itu mengira manusia ini sedang menggesekkan dirinya, ia tertegun sejenak dalam kebingungan. Setelah ragu sesaat, ia pun menggelengkan kepala sambil menggosokkan lehernya ke leher Cheng Yun.
Cheng Yun langsung merasa semakin geli.
Bulu halus, suhu tubuh, dan hembusan napas hangat dari makhluk kecil ini semua menyentuh lehernya. Kebetulan kulit di area lehernya sangat sensitif, membuatnya sangat tidak nyaman.
Tiba-tiba, si loli menoleh ke arah samping.
Cheng Yun tetap fokus mengarahkan Sang Mage membuat bubur, sampai sebuah siluet manusia muncul tak jauh di sebelahnya.
"Waah! Kakak Ketiga sedang video call dengan cewek! Itu kakak cantik sekali, apakah ini istriku?" Xiao Nian berdiri di atas ranjangnya bersama Feng Yuze, membungkuk sambil menopang tembok, menjulurkan kepala untuk melihat layar ponsel Cheng Yun dengan ekspresi berlebihan.
Mendengar itu, Feng Yuze langsung bangun penuh rasa ingin tahu: "Di mana? Di mana? Aku juga mau lihat!"
Di layar video, Sang Mage dipenuhi garis hitam di wajahnya. Jelas ia mendengar omong kosong dua anak kecil itu.
Feng Yuze yang mengintip itu berkata: "Kakak Ketiga, jangan-jangan semalem kamu ketemu Nona-nona ini ya?"
Cheng Yun tak bisa membantah.
Akhirnya ia hanya bisa melambaikan tangan sambil menghardik: "Pergi sana! Masih kecil sudah sok ikut campur urusan orang!"
Xiao Nian dan Feng Yuze cengar-cengir sambil merebahkan diri kembali ke kasur.
Cheng Yun punya firasat buruk.
Keesokan paginya saat terbangun, si loli masih meringkuk manis di lehernya. Tarikan napasnya datar namun berirama, tubuh mungilnya naik turun perlahan mengikuti respirasi. Wajah ayunya terlihat sangat damai.
Cheng Yun segera mengulurkan tangan menggoyangnya: "Bangun! Mandi dulu, kita harus segera kembali."
Loli mengangkat kepala dengan wajah mengantuk menatapnya, melihat ia masih berbaring di ranjang, langsung merebahkan diri kembali dan terus tertidur menghadap lehernya.
"Bangun!" Cheng Yun menekan saklar lampu dengan plak.
"Huu..." Loli buru-buru mengeluarkan dua cakar kecil menutupi mata, memblokir cahaya sambil tetap tidur.
“……”
Cheng Yun duduk tegak di tempat tidur.
Loli langsung tertegun - lekukan leher yang hangat telah lenyap. Ia segera berdiri tegak, menatap tajam ke arah Cheng Yun.
Saat turun tangga, Cheng Yun berpapasan dengan Cheng Yan. Para senior sudah bangun pagi dan menyiapkan sarapan.
Usai sarapan, Feng Yuze, Xiao Nian, dan Cheng Qiuye baru terbangun. Cheng Yun dan Cheng Yan naik ke lantai atas untuk mempersiapkan barang-barang sebelum kembali ke Jinguan.
Sekitar dua puluh menit kemudian, kedua saudara itu turun membawa koper, namun menemukan semua orang lain sedang menatap mereka dengan ekspresi aneh.
Cheng Yan tertegun sejenak, melihat sekeliling dengan keraguan, baru yakin bahwa fokus perhatian mereka terutama pada Cheng Yun.
Paman Keempat Cheng langsung berkomentar: "Cheng Yun, kabarnya kamu punya pacar yang lumayan cantik, kapan mau bawa pulang buat kami lihat bentuknya seperti apa?"
Bibi ketiga Cheng Yun juga menyahut: "Iya, katanya semalam kamu main ke rumah si gadis itu ya?"
Cheng Zu'an menambahkan dengan senyum nakal: "Semalem kamu buka video sama dia, ketahuan sama Xiao Nian dan Yuze lho."
Cheng Yun terkejut.
Cheng Yan juga terpaku, buru-buru memalingkan wajah ke arah kakaknya.
Cheng Yun melirik Feng Yuze dan Xiao Nian yang duduk kaku bagai patung dengan ekspresi "Aku nggak tau apa-apa, ini semua omongan mereka", antara ingin tertawa dan menangis.
