9 Maret 2018.
Lagi-lagi hari Jumat.
Cheng Yan sedang membereskan barang di asrama, memasukkan baju yang sudah diganti tapi belum dicuci selama seminggu, buku yang ingin dibaca, komputer dan kabel charger ke dalam tasnya.
Tiba-tiba, sebuah kepala muncul dari ranjang atas.
Deng Xuhong bertanya, “Cheng Yan, minggu ini kamu pulang lagi?”
Cheng Yan membalas dengan Hm tanpa mengangkat kepala.
Deng Xuhong：“Kamu kok tiap minggu pulang? Bukannya kamu bilang hubunganmu sama kakakmu nggak akrab?”
Cheng Yan：“Nggak boleh?”
“Bo…Boleh sih.” Deng Xuhong，“Tapi kan kemarin aku udah kasih tau, anak tingkat dua asrama mau ngajak kita kumpul-kumpul, janjian buat makan dan nyanyi bareng. Besok lho.”
“Aku juga kan udah bilang nggak mau ikut?” Cheng Yan balas dingin.
“Ngapain sih! Ini kan acara sekamar. Kalau kamu nggak ikut…jumlah pemain kita nggak genap!” Deng Xuhong protes.
“Sibuk!”
“Saudara Senior Huang itu khusus ngundang kita karena kamu. Kalau kamu nggak dateng, cuma kita yang pergi, kan jadi awkward banget.” Deng Xuhong mencoba meyakinkan, “Saudara Senior Huang semester depan bakal jadi kandidat kuat ketua OSIS lho.”
“Ketua OSIS bualan!” Cheng Yan mengejek.
“Eh…Gimana bisa nggak berguna? Itu kan jabatan ketua! Kedengarannya keren banget!”
“Kacung tingkat lanjut sama tukang sapu.”
“Bagaimana bisa kau bicara seperti itu?” Deng Xuhong membalikkan mata, dia bekerja di OSIS, meski tahu faktanya memang begitu, tapi tetap saja tidak nyaman mendengarnya.
Dari ranjang atas di seberang muncul kepala Song Qingqing: "Yan-yan ikutlah, asrama mereka banyak gantengnya! Meski kau tak ingin jomblo, pertimbangkanlah diriku yang memelas ini!"
"Kau saja yang pergi, aku tidak mau!"
Cheng Yan dengan cepat menarik resleting tasnya.
Deng Xuhong buru-buru bertanya: "Bagaimana dengan Saudara Senior Huang..."
"Apa urusanku?"
"Dia sangat menyukaimu, terus mengejarmu, berusaha baik padamu." Deng Xuhong berhenti sejenak, "... bahkan membeli camilan kecil untuk asrama kita..."
"Hm?" Cheng Yan mengerutkan kening, "Kalian menerima camilannya?"
"Eh... ahem." Deng Xuhong batuk-batuk kecil.
"Sungguh memalukan." Li Xuelian berkata.
"Dia yang memaksa menyelipkannya ke kita!" Kemampuan Song Qingqing mengalihkan kesalahan sangat hebat.
“Hmph.” Cheng Yan tertawa dingin dua kali, berdiri tegak menatap mereka, “Kalian membujukku hanya karena camilan kecil itu?”
“Omong... omong kosong! Banyak orang yang memberi kami camilan karena ingin mendekatimu, pernahkah kau lihat kami membujuk untuk orang lain?” Deng Xuhong berkata dengan wajah serius, “Kami merasa Saudara Senior Huang tampan dan berbakat, punya kemampuan dan watak baik, juga setia padamu. Sudah setengah tahun mengejarmu, jadi kami memutuskan membantunya sedikit. Sekalian... melihat apakah bisa membukakan pintu baru untukmu.”
“Iya, biasanya kamu cuma pulang atau ke perpustakaan, di asrama juga terus membaca buku... Ini tidak baik.” Song Qingqing berkata dengan serius.
“Camilan yang dia beri juga lebih enak.” Li Xuelian terkekeh.
“Sukses!” Cheng Yan mengejek.
“Kalau...”
“Kalau apa kalau! Tidak mau!” Cheng Yan berkata, “Yang terima hadiah orang lain adalah kalian, yang gagal memenuhi permintaan orang juga kalian. Tidak ada hubungannya denganku, aku tidak malu.”
“Akhir pekanmu lagipula tidak sibuk...”
"Kenapa tidak ada acara? Kami akan pergi piknik musim semi!" Cheng Yan sambil memasang tas ransel, lalu mengenakan earphone——kebiasaan yang ditularkan Tang Qingying, sekarang dia suka berjalan sambil mendengarkan musik dengan gerakan santai.
"Kalian? Maksudnya staf hotel kalian?"
"Apakah dewi sekolahku juga ikut?"
"Bagaimana dengan si loli?"
"Hm, seharusnya ada satu orang yang tetap jaga hotel." Kata Cheng Yan.
"Wah bolehkah kami ikut! Aku ingin bertemu kakak laki-lakimu dan dewi sekolahku!" Song Qingqing langsung berseru.
"Ahem, kita kan ada acara silaturahmi." Deng Xuhong memberi isyarat halus, "Tidak baik membatalkan janji dengan Saudara Senior Huang, bagaimana jika dia memberi kita perlakuan tidak adil... Lagipula di asrama mereka banyak cowok ganteng yang jago main bola, bisa memainkan kecapi dan bernyanyi."
"Oh!" Song Qingqing langsung tenang kembali.
"Perlakuan tidak adil?" Cheng Yan menyeringai dengan sikap meremehkan.
“Baiklah baiklah, kamu pulang saja. Pihak Saudara Senior Huang biar kami yang urus.” Deng Xuhong menghela napas. Dia tahu Cheng Yan selalu mengabaikan para pelamarnya, tak peduli seberapa tulus usaha mereka atau bagaimana kualifikasi mereka. Cheng Yan juga tak menghiraukan OSIS, meski dalam lingkup kewenangan OSIS pun dia tak menunjukkan ekspresi ramah pada anggotanya. Deng Xuhong menduga... mungkin ini terkait dengan "bimbingan khusus" yang diberikan kakaknya saat dia baru masuk sekolah dulu?
“Aku pergi.” Cheng Yan menggendong tasnya dan meninggalkan asrama.
……
Malam hari, Hotel Anju.
Sekelompok orang yang baru saja makan malam berkumpul di resepsionis, berunding tentang rencana piknik musim semi besok.
Karena sebenarnya tak ada yang benar-benar familiar dengan medan sekitar, diskusi terutama dilakukan oleh kakak-beradik Cheng Yun dan Cheng Yan yang mengajukan usulan dan berdebat. Tang Qingying sesekali bisa menyelipkan komentar, sementara "makhluk hidup" lainnya hanya diam-diam mendengarkan.
Setelah mencapai kesepakatan, Cheng Yun berkata lagi: "Kita perlu menyisakan satu orang untuk berjaga di hotel..."
Mereka saling pandang.
Gadis kecil Yu Dian bergerak sedikit. Awalnya dia ingin maju dan proaktif mengatakan akan tinggal berjaga, namun entah memikirkan apa, dia tetap tidak bersuara.
Tiba-tiba Cheng Yun mengeluarkan segumpal kertas dari saku, tersenyum: "Kita putuskan dengan undian! Dari enam gulungan kertas ini, satu bertuliskan 'Tinggalkan!'. Siapa yang dapat gulungan itu akan berjaga, setuju?"
Loli kecil tertegun mendengar itu, memandang sekeliling dan dengan susah payah menghitung jumlah orang.
Enam gulungan kertas?
Cheng Yan berkomentar tenang: "Tidak ada masalah."
Tang Qingying berkata: "Sama seperti di atas."
"Sama seperti di atas."
"Kepala stasiun yang memutuskan."
"Huu!"
Akhirnya Sang Mage ragu-ragu, dengan ekspresi dilema: "Hanya ini satu-satunya cara?"
"Bisa juga dengan tusuk sate," kata Cheng Yun, "Tapi aku tidak membuatnya."
"Tidak ada cara lain?" wajah Sang Mage memancarkan kerumitan.
"Cara lain?"
"Seperti melempar dadu, suit gunting-batu-kain, atau semacamnya."
"Tidak! Aku takut ada yang main curang!" Cheng Yun meliriknya dengan penuh makna.
"Tapi...tapi sistem undian ini sendiri sudah curang!" Sang Mage protes tidak puas, "Pasti aku yang akan terpilih!"
Mendengar itu Cheng Yan tertegun: "Bagaimana kau tahu pasti dirimu?"
Sang Mage: "......"
Tiba-tiba, Cheng Yun telah melemparkan enam gulungan kertas.
Yin Nuxia mengibaskan tangannya dengan cepat, menyambar satu gulungan di udara secepat kilat.
Si loli juga menyergap tubuh bak angin kencang, menekan satu gulungan dengan kedua cakar kecilnya di telapak tangan, mencoba membukanya...sayang cakarnya tak cukup lincah.
Yang lain masing-masing mengambil satu gulungan.
Yin Nuxia pertama membuka: "Cuma kertas kosong."
Cheng Yan juga berkata: "Kosong."
"Kosong."
"Kosong."
Hanya Cheng Yun dan Sang Mage yang diam.
Sang Mage memegang gulungan tak bergerak, ekspresinya bagai berkata "Dunia telah mengecewakan kecantikan abadiku".
Cheng Yun menerima gulungan kertas dari cakar loli, membukanya dan menunjukkan ke semua orang: "Kelas Kosong."
Loli langsung terlihat sangat gembira.
Semua orang memandang ke arah Sang Mage.
Cheng Yan membelalakkan matanya: "Sekeren ini? Kalau kamu bilang itu kamu, benar-benar kamu!"
Sang Mage dengan ekspresi pasrah: "……"
Akhirnya ia menerima takdir sialan ini, sementara yang lain bersorak gembira mempersiapkan piknik musim semi.
"Besok harus bawa apa ya..."
"Kantong sampah, alas makan, kuaci buah-buahan, camilan..."
"Jangan lupa powerbank!"
"Cheng Yun bagaimana kalau besok kamu bikin sushi, bakpao atau guokui pangsit goreng untuk kita bawa? Kompor peninggalan Li Jing itu kan bisa kamu pakai?" tanya Cheng Yan.
"Bisa sedikit," jawab Cheng Yun. "Nanti kita ke supermarket beli camilan, roti dan kue-kue."
"Hm!"
Sang Mage menyeringai sendirian di pojok: "Kue pasar..."
Keesokan harinya pagi-pagi, semua orang pun berangkat.
Cheng Yun dan Yin Nuxia masing-masing menggendong tas berisi makanan, minuman, barang-barang lain, serta si loli kecil. Selain Tang Qingying yang membawa papan lukis, yang lain tidak membawa apa-apa.
Lokasi yang mereka pilih adalah desa bernama Jiujiang di pinggiran Jinguan dengan pemandangan indah, bisa diakses dengan naik bus ke pinggiran kota lalu dilanjutkan bus kecamatan.
Naik kereta bawah tanah lalu transit ke bus lebih cepat, tapi tidak bisa membawa si loli kecil.
Cheng Yun sebelumnya sudah membuat perjanjian dengan si loli: bermain "game jangan bergerak" dimana loli harus pura-pura jadi kucing palsu di dalam tas, melihat siapa yang lebih dulu tidak tahan - apakah loli yang bergerak atau Cheng Yun yang membangunkannya.
Si loli setuju dengan antusias.
Sekitar pukul sepuluh pagi, mereka turun dari bus kecamatan.
Cheng Yun akhirnya membuka resleting tas dan mencengkeram tengkuk belakang si loli untuk mengeluarkannya.
"Hush... Berat sekali ini!"
"Kenapa loli ini diam saja?" Cheng Yan bertanya dengan keraguan, tiba-tiba matanya membelalak, "Jangan-jangan kau menutupi..."
"......" Cheng Yun memandangnya dengan sinis, lalu berkata pada loli, "Sst, turun dan berdiri, permainan sudah selesai."
"Wu!"
Loli langsung hidup kembali, mendarat dengan empat kaki, berjalan-jalan sebentar di tanah, mengamati lingkungan asing di sekitarnya, lalu menoleh kembali ke Cheng Yun dengan mata berkilau—
"Baiklah, aku kalah," kata Cheng Yun dengan wajah pasrah.
Barulah loli itu menarik kembali pandangannya, mengamati sekelilingnya.
Kota telah tertinggal di belakang mereka, bayangan samarnya terlihat di balik kabut pagi. Gedung-gedung pencakar langit bagai memancarkan kilau logam, mirip model 3D di ufuk langit.
Di depan semua orang terbentang sebuah lembah, dikelilingi bukit-bukit kecil yang masih menyisakan warna kuning kering. Bukit-bukit ini membentuk cekungan yang hampir berbentuk lingkaran, dengan banyak rumah bergaya Eropa kecil bertebaran. Bangunan-bangunan ini hampir menyatu membentuk satu kesatuan di lembah. Menjelang jam makan, asap tipis berwarna kehijauan mengepul dari kompleks perumahan, menambahkan nuansa mistis dan kabur pada pemandangan megah ini. Kabut pagi masih melingkupi lereng gunung, seolah-olah kita bisa mendengar nyanyian penggembala yang memikul kayu bakar jika mendekat.
Langit biru di pagi hari, awan putih yang tipis, angin yang berhembus, dan pemandangan indah bagai puisi di kejauhan...
Secara spontan semua orang mengeluarkan teriakan kecil takjub, hati mereka dipenuhi keceriaan.
Cheng Yun menutup rapat resleting tasnya, menggendong kembali tas tersebut sambil menatap ke arah jauh, "Kita mau ke arah mana? Atau kalian punya pilihan lain?"
Cheng Yan menunjuk ke arah kebun persik di kejauhan yang bermekaran merah muda di antara bukit-bukit kecil, "Sana pemandangannya sangat cantik!"
"Kalau begitu kita ke sebelah sana," kata Tang Qingying.
Maka semua orang berangkat, sambil memotret perlahan menuju hutan persik itu.
Si loli melangkah riang dengan langkah kecil, mengikuti di sebelah kanan Cheng Yun, sesekali lari ke pinggir jalan setapak di pegunungan dan menjulurkan kepala untuk melirik ke bawah.
Cheng Yan mengikuti dari belakang sambil mengangkat ponsel, merekam video channel si loli dan Cheng Yun.
Yin Nuxia juga tak ketinggalan terus-menerus memotret dengan ponselnya.
