Tang Qingying keluar dari meja resepsionis, pandangannya segera beralih ke Yin Nuxia dengan sedikit kekaguman. Mengepal tangan sambil berteriak: "Kak Yin Dan jempolan!"
Tangan Yin Nuxia penuh membawa barang-barang, ia hanya tersenyum kecut tanpa berusaha meletakkan barangnya terlebih dahulu.
Cheng Yun malah meletakkan bebek panggang di meja kopi, mengangkat dagu ke arah Tang Qingying: "Panggil mereka turun, aku bawa tulang belakang domba dan bebek panggang."
"Oh!"
Tang Qingying mengeluarkan ponselnya.
Dengan cepat, ia menyelipkan ponsel kembali ke saku. Melihat koper Cheng Yun tergeletak di pusat jalan, Tang Qingying buru-buru berlari menghampiri sambil menarik pegangan koper itu, berusaha memindahkannya ke pinggir tembok.
Namun……
"Berat banget!" Tang Qingying kesulitan menariknya.
"Ahem biar aku saja! Koper ini agak bermasalah, rodanya terjebak, putarannya sama sekali tidak lancar..." Cheng Yun mengambil alih koper dari tangannya.
"Eh!!"
Tang Qingying melirik Cheng Yun, lalu Yin Nuxia, bertanya heran: "Kucing siluman itu mana? Kalian membuang makhluk gaib itu? Atau dia kabur di tengah jalan?"
"Lagi tidur di dalam koper..."
"Oh."
"Kenapa terkejut begitu? Kalau dia hilang, bukannya kamu harusnya senang?" Cheng Yun memandangnya dengan sorot mata terhibur.
“Benar! Bukankah seharusnya aku senang?” Tang Qingying membuka matanya lebar-lebar bagaikan baru tersadar dari mimpi, terpaku beberapa saat sebelum akhirnya tertegun, “Hush... Celaka! Aku kemungkinan juga sudah terkena sihir siluman kucing itu!”
“……”
Tiba-tiba koper bergetar hebat ke kiri dan kanan, seolah ada sesuatu yang berusaha keluar. Setelah beberapa detik, koper itu pun terjatuh ke samping.
Braak!
Suara retakan berat memenuhi udara.
Tang Qingying menatap koper dengan takjub sambil menelan ludah: “Barang kecil ini langsung bersemangat begitu mendengar suaraku...”
Cheng Yun dengan pasrah berjongkok dan membuka koper tersebut.
Tang Qingying melihat seorang loli duduk rapi di dalam koper, di bawah pantatnya terdapat celana dalam olahraga hitam tipis yang transparan. Makhluk kecil itu mengangkat cakar mungilnya mengusap mata, lalu melotot tajam ke arahnya!
Pandangan Tang Qingying turun sebentar, lalu beralih ke Cheng Yun: “Ternyata kakak ipar memakai jenis seperti ini...”
Yin Nuxia langsung menutupi matanya, karena celah jarinya agak renggang, ia terpaksa menggunakan metode berbohong pada diri sendiri agar kutukan misterius tidak menyerangnya: "Jangan lihat! Nanti kena jaruk di mata, aku tidak mau lihat……"
Loli melirik Cheng Yun, lalu mengangkat pandangan ke lantai atas. Dengan suara "syuuu", ia melompat keluar dari koper dan buru-buru lari ke atas.
Cheng Yun agak canggung, buru-buru menutup koper lalu membawanya naik ke lantai atas.
Di tengah tangga, ia berpapasan dengan Cheng Yan.
Cheng Yan yang sedang menoleh ke arah lantai atas, mendengar dentang langkah lalu memalingkan wajah sambil meliriknya datar: "Sudah kembali?"
"Hm."
"Kenapa loli itu buru-buru lari ke atas?"
"Mungkin mau melihat tikus kecilnya."
"Oh, kalau begitu aku turun dulu."
"Hm, makanan sudah kutaruh di meja kopi."
"Oke!"
Loli menunggu Cheng Yun di depan pintu dengan wajah cemas.
Hingga Cheng Yun membukakan pintu untuknya, ia berlari masuk ke kamar. Melihat hamster kecil sedang riang berlari di roda kandang, barulah ia merasa lega, lalu kembali menatap Cheng Yun.
Cheng Yun meletakkan koper dan berjalan keluar.
Di lantai dua, ia mengetuk pintu kamar Naqu. Tak ada respon, mungkin masih di klub dan belum pulang.
Resepsionis.
Yin Nuxia berdiri di depan rak dinding sambil memegang dua piala. Setelah melihat ke kiri-kanan, akhirnya ia menaruh piala di slot tengah rak yang kedua dari bawah - posisi paling mencolok.
Untuk ini, ia memindahkan pot bambu hias ke tempat lain.
Cheng Yun membiarkannya beraksi sesuka hati.
Cheng Yan dan yang lain duduk manis di depan meja kopi, sedang membuka satu per satu kotak makanan terbesar yang ada di atas meja.
Mengingat populasi penghuni hotel yang banyak, Cheng Yun membeli dua ekor bebek panggang plus tulang belakang domba senilai ratusan yuan yang membutuhkan tiga kotak besar.
Sang Mage menarik napas dalam-dalam: "Wanginya!"
Tang Qingying mengangguk: "Hm!"
Cheng Yan merasakan kehangatan di tangannya, namun sedikit mengerutkan kening: "Kenapa masih panas begini? Sama sekali tidak dingin!"
Cheng Yun langsung tertegun, ini memang kelalaiannya.
Cheng Yan teringat materi komedi daring, tak sengaja melirik Cheng Yun: "Jangan-jangan kamu beli makanan di Jinguan terus ngakuin sebagai oleh-oleh khas ibukota buat kita?"
Tang Qingying menunjuk sudut kanan bawah kantong bebek panggang: "Di sini tertulis alamatnya, ibukota."
"Lalu kenapa bisa begini?"
"Cuacanya panas kali!" Tang Qingying tak terlalu mempedulikan, langsung memakai sarung tangan dan menyambar tulang belakang domba ke mulutnya. Daging di tulang belakang domba sudah direbus sampai empuk, gigitan pertama langsung membanjiri aroma daging. Kuahnya mengalir di antara bibir dan gigi, membuatnya tak kuasa menunjukkan ekspresi nikmat.
“Seharusnya begitu, aku juga tidak beli lama-lama, baru dibeli sebelum naik pesawat. Mungkin karena semua ditaruh di tempat yang sama, jadi tidak gampang dingin.” Cheng Yun berkata sambil pura-pura cemberut, “Tidak dingin malah bagus! Banyak pilih-pilih! Cepat makan selagi masih hangat!”
“Aku cuma merasa agak aneh saja…” Cheng Yan melihat Tang Qingying makan dengan lahap, dia pun segera mengenakan sarung tangan.
“Huu…” Loli berkata dengan suara lemah.
“Lihatlah kalian, mengabaikan loli!” Cheng Yan yang melihat sorot mata penuh harap loli langsung kehilangan kewarasan, tak peduli lagi pada makanannya sendiri, buru-buru menyodorkan sepotong daging ke mulut loli.
Loli juga tidak menolaknya, dengan patut menggigit daging dari tangan Cheng Yan, mengunyahnya perlahan-lahan.
“Aku akan naik ambilkan mangkuk untuknya.”
Cheng Yun naik ke atas lalu turun membawa mangkuk makan loli dan sebuah mangkuk biasa. Loli diserahkan ke Cheng Yan, sementara dia sendiri mengisi mangkuk dengan sumsum domba dan meletakkannya di samping.
Cheng Yan meliriknya: "Ini jatah untuk Naqu Sensei?"
"Hm, biar dia juga mencicip."
"Sepertinya dia juga hampir kembali..."
"Hm."
"Akan kuceritakan bagaimana Sang Kepala Stasiun dan aku pergi ke istana kerajaan, memanjat Tembok Besar, juga memotret banyak foto. Akan kutunjukkan padamu." Kepala Yin Nuxia dan gadis kecil Yu Dian berdempetan, dengan gesit ia mengeluarkan ponsel tak sabar ingin berbagi catatan ekspedisi dengan Nona Yu-nya.
Gadis Yu Dian sambil menggigit tulang domba kecil-kecil, dengan patuh mengangguk-angguk sambil menyisihkan tenaga untuk mendekat melihat foto-foto itu.
"Bagus sekali..." Gadis Yu Dian menelan kata terakhir, lalu melontarkan pandangan penuh dorongan ke arah Yin Nuxia.
"Hihihi, pujianmu terlalu berlebihan..." Yin Nuxia menggaruk kepala, tersenyum malu-malu, "Lihat yang ini, ini namanya Taman Kekaisaran."
"Oh." Gadis Yu Dian melihat sebatang pohon, di luar itu ada separuh kepala seorang kakek tua.
"Ini foto kepala stasiun yang kuambil di Tembok Besar."
"Oh." Gadis kecil Yu Dian melihat rangkaian gunung hijau yang miring membentang dan sebagian Tembok Besar. Setelah mencari lama, dia menemukan seorang pemuda yang memeluk kucing di pojok kiri bawah, "Oh oh... Sudah kulihat."
"Lihat yang ini..."
"Ahem!" Gadis kecil Yu Dian tak tahan lagi mengalihkan topik, "Aku sudah menonton pertandinganmu, kamu benar-benar hebat!"
"Lho? Bukannya kamu tidak main game?"
"Iya, tapi aku tetap menonton pertandinganmu. Bukan cuma aku, Cai Qing dan Cheng Yan juga nonton." Gadis kecil Yu Dian berkata, "Meski tidak mengerti, tapi melihat komentar langsung penuh pujian untukmu, aku langsung tahu seberapa hebatnya kamu."
"Ini... bukan karena aku hebat, tapi mereka payah banget..." Yin Nuxia tetap merendah seperti biasa.
"Kening..."
Sekitar pukul sepuluh malam, ketika yang lain sudah naik ke atas, barulah Naqu kembali.
Melihat siluet Cheng Yun, dia menyunggingkan senyum paksa dan menyapa, "Kepala stasiun sudah kembali?"
Saat itu Cheng Yun sedang memeluk loli dan duduk di resepsionis, menonton Dragon Cat bersama Tang Qingying. Melihat kedatangan Naqu, ia buru-buru berdiri: "Hm, baru pulang sekarang?"
"Latihan lebih lama sedikit." Nada bicara Naqu sarat kelelahan.
"Aku bawa makanan dari ibukota, kusisakan untukmu. Meski mungkin sudah tidak seenak saat masih hangat." Cheng Yun mengangkat mangkuk dari meja kopi dan menyodorkannya ke Naqu, ditutupi piring-piring. "Jangan selalu memaksakan diri. Tapi kalau sudah lelah, beristirahatlah lebih awal. Bawa ini ke atas untuk dimakan. Besok pagi saat sarapan, bawa turun mangkuknya saja."
"Ini... Terima kasih Kepala Stasiun." Naqu menerima mangkuk itu.
Seperti Cheng Yun yang tetap merasa hangat di hati saat menyantap kue Yin Nuxia yang semalaman di kulkas, Naqu juga merasakan aliran hangat mengalir dari dasar kalbu. Di dunia asing ini, ini adalah penghibur kecil.
Ia menggenggam erat mangkuk, sangat takut tubuhnya yang kelelahan akan menjatuhkannya, berjalan langkah demi langkah dengan stabil menaiki tangga.
Tang Qingying mengangkat kepala menatap Cheng Yun: "Kak!"
"Datang!"
Cheng Yun kembali duduk, baru kemudian Tang Qingying menekan tombol spasi.
……
Di ambang Padang Gurun, tenda-tenda militir berjejer rapat.
Gemerincing unta bergema dari puncak bukit pasir, di bawahnya terdengar teriakan latihan perang, samar-samar diselingi deru meriam.
Seorang pria paruh baya berjanggut pendek berbaju kain turun dari unta, matanya menyapu sekilas lingkungan sekitar: pohon pendek saxaul, kerikil, tenda militer, dan prajurit berotot yang berjaga di bukit pasir nun di kejauhan...
Brak brak...
Zirah Jia dan senjata saling bertabrakan saat bergerak, memproduksi rangkaian bunyi logam bersahutan.
Whoosh!
Seorang prajurit menyibak tirai tebal, pandangannya menyapu sekilas beberapa orang di dalam tenda, akhirnya menetap pada seorang jenderal muda. Tanpa basa-basi, ia mengepalkan tangan di dada hingga terdengar suara teredam "Braak!": "Laporan Jenderal! Ia telah tiba!"
Jenderal muda itu sekejap berdiri, menatap ke belakang jenderal kecil.
Seorang pria paruh baya kemudian memasuki tenda.
Pandangan kedua orang itu tiba-tiba bertabrakan.
Mata pria paruh baya itu tenang, senyum perlahan mengembang di bibirnya, sementara jenderal muda hanya terpaku, seolah tenggelam dalam kenangan tertentu.
Akhirnya Daois Changyao yang pertama membuka mulut: "Kau bernama Li Jing?"
"Benar!" Jenderal Li mengangguk.
"Kepala stasiun menyuruhku menyebut julukanmu." Daois Changyao memalingkan wajah ke arah prajurit yang berdiri bagai menara besi itu, "Cukup manjur juga!"
"Kepala stasiun... Apakah ia baik-baik saja?"
"Tentu. Sudah beberapa tahun di sini, tapi di sisi kepala stasiun baru berbulan-bulan." Kata Daois Changyao.
“Rupanya begitu!” Jenderal Li yang sudah berpengalaman pun bisa menerima keajaiban ini. Ia menunjukkan senyum mengembang, “Aku juga ingin bertanya kabar Sang Kepala Stasiun, Srikandi, dan Nona Yao Yao.”
“Brengsek!”
“Selamat berkenalan!” Jenderal Li menyatukan tinjunya.
“Selamat berkenalan!” Daois Changyao juga tersenyum tipis.
