"Hei, apakah ini Sang Kepala Stasiun? Tolong jemput saya."
"Ada apa? Aku sedang beli sayur."
"Oh! Tolong jemput saya!" Yin Nuxia meningkatkan volume suaranya, khawatir riuh pasar membuat Sang Kepala Stasiun tidak mendengar.
“……Kamu lari ke mana?”
“Aku nggak tahu.”
“Terus kamu sekarang di mana?”
“Nggak tahu juga.”
“……”
“Kepala Stasiun cepatlah menjemputku, matahari terik sekali. Di sini nggak ada tempat buat nahan sengatan matahari.” Suara Yin Nuxia terdengar dari ponsel, sepertinya dia kesulitan menahan panas.
“Kalau gitu cari tempat yang ada teduh, nggak kelihatan orang dan nggak ada kamera pengawas. Tunggu di situ, aku segera menjemput. Ngerti maksudku kan?” Cheng Yun menghela napas pasrah.
“Ngerti! Whoosh~~”
“Bisa nggak?”
“Bisa!”
“Kalau udah siap, kirim SMS.”
“Oke!”
“Aku lanjut beli sayur dulu. Mau makan apa nanti malem?”
“Aku pengen banget es krim...” Suaranya terdengar lembek seperti meleleh diterpa panas.
“Aku tutup dulu...”
“Dududu...”
Yin Nuxia mendengar nada sibuk dari ponsel, dengan limbung meletakkan perangkat itu. Matanya kembali menatap matahari terik di langit biru yang semakin mengerikan di bawah kontras cahaya terang. Sinar itu seakan memenuhi seluruh alam semesta, sengaja ingin membuatnya tak punya tempat berlindung.
Dengan kebingungan memandang sekeliling, di tepi jalan terlihat deretan pohon setinggi setengah orang, lalu hamparan ladang berisi tanaman yang masih tumbuh...
Di kedalaman hati Yin Nuxia, sebuah pertanyaan menggelitik-
Kemana aku sampai berlari ini?
Setelah melirik sepeda barunya, ia menyeka keringat lalu dengan satu tangan mengangkat dan memikul sepeda itu. Langkahnya bergegas menyusuri jalur sempit menuju semak di balik tanjakan kecil.
"Ding!"
SMS terkirim.
Lalu... menunggu dan menunggu...
Dalam kebosanan menanti ditambah gigitan nyamuk, lingkungan seperti ini memicu kontemplasi filosofis Yin Nuxia-
Apa aku ini orang bodoh ya?
Akhirnya, Yin Nuxia merasakan seolah dunia lain sedang menekan dunia ini, bagai gelombang pasang yang menyebar dan menelan segala yang terlihat. Sebelum sempat bereaksi, pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang—
Sinar terang benderang yang sebelumnya memenuhi pandangan langsung lenyap, membuatnya buta sekejap mata!
Tak lama kemudian, matanya mulai beradaptasi.
Yang terhampar di depan adalah ruang kehampaan hitam pekat, hanya diselingi bola cahaya oval biru pekat di sebelah kanan.
Kemampuan Sang Kepala Stasiun semakin hebat...
Yin Nuxia membuka mata lebar-lebar sambil merenung.
Tunggu...
Yin Nuxia mengerutkan kening sambil memandang sekeliling, ekspresinya serius.
Tempat ini...
Tiba-tiba, kening berkerutnya mulai menghilang, berubah menjadi senyum sumringah.
Di sini pun bisa mengayuh sepeda!
Lagipula sejuk!
……
Begitu tiba di hotel, Cheng Yun langsung memasukkan bahan makanan dan masuk ke ruang node. Ia menduga gadis itu pasti sudah sangat tidak sabar menunggu. Faktanya membuktikan kekhawatirannya berlebihan—
Bayangannya tentang "gadis malang menunggu bodoh di samping bola cahaya node" ternyata tidak terbukti.
……Dia justru menemukan Yin Nuxia sekitar lebih dari 30 kilometer dari bola cahaya node.
Saat itu, si gadis sedang mengayuh sepeda dengan kasar dalam kecepatan ekstrem…
Seolah sedang mengikuti kompetisi sepeda rally!
"Ahem!"
Cheng Yun sengaja batuk.
Yin Nuxia langsung mengerem tajam. Sepedanya drift 180° di angkasa sebelum berbalik arah… Dengan lincah ia melompat turun. Tentu saja ia tak mau terlihat tidak anggun dengan menopang sepeda pakai satu kaki.
"Ah Sang Kepala Stasiun, akhirnya Anda datang! Aku sudah menunggu lama sekali!"
"……Benarkah."
"Hehe! Sepedanya seru banget!"
"……Kelihatan."
"Hehehe!"
“Silakan jelaskan, bagaimana caramu bisa mengayuh dari pusat kota Jinguan sampai ke desa?” Cheng Yun mengambil ekspresi "silakan ceritakan kisahmu".
“Oh! Ini!”
Yin Nuxia sama sekali tidak merasa ada yang salah, malah tampak kesal: “Membicarakannya saja sudah bikin aku geram!”
“Kenapa? Tidak puas dengan IQ-mu sendiri?”
“Apa maksudmu?!” Yin Nuxia mengerutkan kening sambil melambaikan tangan, menunjukkan dia sama sekali tidak mengerti perkataan Sang Kepala Stasiun, “Aku bertemu bebal, lalu mengikutinya sampai tanpa sadar terlalu jauh.”
“Saling memahami karena kesamaan nasib?” Cheng Yun tetap tak beremosi.
“Bukan! Dia menantangku balap lari!” Yin Nuxia baru sadar kena tipu, wajahnya merah padam, “Di jalan ramai, di depan banyak orang memprovokasi! Jika aku tidak menerima, bukankah itu menghina mobil baru pemberianmu? Mobil ini kan bisa cepat!”
“Lalu?”
“Aku menang!” kata Yin Nuxia.
“……” Cheng Yun muka hitam，“Aku tanya ini? Aku tanya bagaimana kamu keluar kota?”
“Ya seperti itu…” Yin Nuxia bola mata berputar ke langit, tangan menggerakkan gerakan tak sadar di udara, seolah menggambarkan peta rute ke Cheng Yun，“Beginilah…melewati persimpangan besar…lalu…”
“Berhenti!” Cheng Yun berteriak.
“……” Yin Nuxia sekejap menutup mulut, mengedipkan mata menatap tajam Cheng Yun, dalam hati menebak apakah ia sudah paham.
“Sudah, aku sudah tahu.” Cheng Yun berkata dengan asal-asalan，“Cepat pikul motormu keluar!”
“Benar! Saatnya makan iga domba panggang!”
“……”
Pagi hari Cheng Yan dan Tang Qingying ada ujian, hanya Tang Qingying yang pulang lebih dulu, Cheng Yan agak malam.
Saat semua penghuni hotel sudah berkumpul, hotel menjadi Kelas Kosong.
Hari ini Feng Han dkk masih akan menginap di sini, akhir-akhir ini frekuensi mereka menginap semakin tinggi, Cheng Yun hanya menaruh kartu kamar di alas mouse resepsionis lalu menelepon mereka untuk ambil sendiri saat datang.
Bisa dibilang Bos Cheng sudah terlalu royal sampai tak terkendali...
Yang dimaksud Tang Qingying dengan iga domba panggang bukanlah hidangan restoran mewah yang dipanggang dengan oven, melainkan dari kedai halal dengan metode panggang tradisional yang sangat laris.
Cheng Yun memesan satu ekor kambing panggang utuh ukuran besar, menambah 10 jin iga domba, serta memesan beberapa lauk pauk, satu mangkuk kuah, dan berbagai tusuk daging setelah tiba di restoran.
Baru saja duduk mengelilingi pemanggang, aroma harum sudah mulai tercium.
Karena penganut agama tertentu tidak mengonsumsi babi dan fokus pada daging sapi, domba, dan ayam - soal hidangan lainnya yang berantakan kita kesampingkan dulu - khusus untuk olahan daging sapi-domba, keterampilan tangan mereka benar-benar tak perlu diragukan.
Seperti sate daging domba, sup daging sapi, Dapanji (ayam piring besar) - bukan kedai halal tidak mungkin menghasilkan cita rasa autentik seperti ini.
Yin Nuxia sudah sejak tadi terus menelan air liur.
Orang-orang yang tersisa juga gelisah ingin segera menyantap.
Cheng Yan di depan hidangan lezat pun tak bisa tetap dingin, ditambah semua adalah orang yang sudah akrab, dialah yang pertama kali menggenggam sumpit dan bertanya: "Ini harus dimakan bagaimana?"
Yin Nuxia mengangkat tangan: "Aku tahu! Daging domba digenggam pakai tangan!"
Pria muda bertopi putih dan bermasker diam-diam memegang pisau dan garpu: "Pakai pisau motong, bisa saya bantu motong, atau kalian bisa motong sendiri."
"Kita motong sendiri saja." Kata Cheng Yan.
"Kalian...bisa?"
"Aku bisa!" Yin Nuxia paling ahli dalam memotong daging.
"Baiklah, kalau ada masalah panggil saya." Setelah berkata demikian, pria itu menyerahkan pisau dan garpu kepada Yin Nuxia, tidak pergi malah berdiri di samping mengawasi, bisa dibilang pelayanannya sangat baik.
Yin Nuxia memutar pisau di tangannya dengan mahir SATU PUTARAN, membidik bagian kaki domba lalu menyabetkan pisau, sepotong daging pun melayang. Pisau dijulurkannya lagi, dengan stabil menangkap potongan daging itu, bahkan tanpa pakai garpu.
"Siapa yang mau?" Tanya Yin Nuxia.
"Hebat!" Pria itu berkomentar.
"Siapa yang mau?" Yin Nuxia bertanya kembali.
Beberapa orang saling pandang, mempertahankan diam.
Situasi ini sebenarnya agak canggung, setelah terdiam beberapa detik Cheng Yun membuka mulut: "Kalau tak ada yang mau, berikan padaku..."
Tiba-tiba ia menyadari ada gema dari ucapannya sendiri.
Refleks matanya beralih ke Cheng Yan.
Kini giliran Yin Nuxia yang dilemma, matanya bolak-balik memandang Sang Kepala Stasiun dan Cheng Yan dengan ragu.
Sang Kepala Stasiun identitasnya mulia... Cheng Yan...
Yin Nuxia menyodorkan daging domba panggang berkulit renyah ke piring Cheng Yan, menyipitkan mata sambil tersenyum: "Cicip dulu!"
Cheng Yan juga tersenyum tipis: "Terima kasih Kak Yin Dan!"
"Urusan sepele!"
Berikutnya baru giliran Sang Kepala Stasiun.
Kemudian dibagikan sesuai urutan tempat duduk satu per satu.
Cheng Yun mencicipi satu suap, langsung memuji: "Enak!"
Tapi Tang Qingying yang mengusulkan iga domba panggang justru sedang memegang ponsel dengan kening berkerut.
Di ponselnya terbuka antarmuka grup chat WeChat. Nama grup tersebut agak norak, tapi sebenarnya merupakan grup keluarga Tang yang resmi. Banyak paman, bibi pejabat dan pengusaha dari keluarganya ada di dalamnya.
Biasanya grup ini sepi bak air tergenang. Tang Qingying juga tidak aktif ngobrol di dalamnya, bahkan enggan masuk ke grup ini.
Hari ini Tang Qingyan tiba-tiba mengirimkan sebuah tautan—
Bantu rebut tiket kereta cepat?
Memang, selain bagi-bagi angpao saat tahun baru atau festival, biasanya hanya ada yang kirim pesan di grup keluarga saat perlu bantuan rebut tiket, minta like, atau ada promo Alipay.
Hampir saja Tang Qingying mengabaikan pesan ini. Syukurlah matanya tajam, melihat tulisan "Utara Kota Tiancheng" di halaman tautan.
Tiket kereta cepat ke Tiancheng?
Utara Tiancheng, bukankah itu di Yizhou?
Tang Qingying langsung serius. Ia merasa sebagai adik, meskipun sekandung ayah berlainan ibu, tetap perlu memantau pergerakan sang kakak.
Tak sabar menunggu sedetik pun, ia langsung mengirim chat pribadi ke Tang Qingyan.
Tang Qingying: Untuk apa kamu pergi ke Tiancheng?
Tang Qingyan: Main.
Tang Qingying: Tiketmu dari mana ke utara Kota Tiancheng?
Tang Qingyan: Tiba-tiba peduli padaku... sangat menarik!
Tang Qingying: Nah, kita kan pernah menjadi saudari seperguruan.
Tang Qingyan: ……
Tang Qingying: Tiket berangkat dari Jinguan?
Tang Qingyan: Omong kosong, kalau tidak begitu apa aku harus naik kereta cepat langsung dari Pintu Batu ke Tiancheng?
Tang Qingying: Kenapa kamu harus ke Yizhou? Reuni sekolah?
Tang Qingyan: Menikah.
Tang Qingying: Oh, kakak ipar tahu?
Tang Qingyan: Mengapa dia harus tahu?
Tang Qingying: Oh!
Tang Qingyan: Mau tidak kakak datang menemui dan membawakanmu daging golok kesukaanmu?
Tang Qingying: Tidak perlu, terima kasih/senyum mengembang.
Tang Qingyan: Benar-benar menarik!
Tang Qingying: ……
Setelah lama ragu-ragu, Tang Qingying memeriksa ke kiri-kanan. Saat yakin tak ada yang memperhatikan percakapannya, barulah ia menghela napas lega. Dengan gerakan licik seperti pencuri, jemarinya melesat cepat mengetik: "Mau tidak kamu main ke Jinguan?"
Nada bicara Tang Qingyan penuh ejekan: "Kalau kubilang mau, apa kamu akan sangat tegang?"
"Brengsek, ini mah omong kosong!"
Namun setelah berpikir, Tang Qingying merasa tak boleh menunjukkan kepanikan di hadapan kakaknya. "Kau terlalu berandai-andai," katanya sambil menyangkal, "Mustahil terjadi."
Tang Qingyan: "Baiklah, aku akan mencarimu."
Tang Qingying: "...Lebih baik tidak. Lagi pula kita tidak akrab."
