Gunung Everest adalah titik tertinggi di planet kita ini, menjadi tanah suci yang didambakan semua orang berketeguhan hati tinggi di planet ini, juga bagi para pencinta pendakian! Beberapa tahun terakhir, banyak orang tajir menghamburkan uang hanya untuk mendaki Everest, seolah dengan begitu mereka bisa pamer seumur hidup dan membedakan diri dari para pemabuk penghirup arak di meja perjamuan. Sedangkan di era lampau saat uang pun tak bisa menaklukkan Everest, banyak pendaki ternama bergerak tak kenal takut, bahkan merebahkan diri di jalan setapak Everest, menjadi pemandangan dan penanda lokasi di jalur pendakian.
Gunung Everest mengira dengan menyimpan sisa-sisa kegagalan ini dalam balutan salju, lalu menempatkannya di tepi jalan, akan bisa memberi peringatan pada pendatang baru sehingga membuat mereka gentar. Nyatanya, ini justru memancing lebih banyak penakluk, atau sekadar menambah modal untuk omong kosong bagi para "pemenang" yang tak mulia.
Di dunia ini, banyak yang takut mati. Tapi yang tidak takut mati pun tak kalah banyaknya.
Cheng Yan juga pernah membayangkan suatu hari dirinya bisa mendaki Gunung Everest. Namun serangkaian biaya pendakian yang mahal membuatnya menyadari mungkin dalam waktu lama ke depan target ini takkan tercapai. Ini bukanlah masalah besar, masa depannya masih panjang, dan dia tak pernah merasa akan menjalani hidupnya dengan biasa-biasa saja.
Dia pasti akan menginjakkan kaki di tempat ini suatu hari nanti.
Tapi tak disangka, hari itu datang begitu cepat.
Lebih... bahkan sesederhana ini!
Seperti melangkahkan satu kaki—tidak, lebih mudah lagi—hanya dengan menutup mata, lalu membukanya, tiba-tiba dia sudah berdiri di tempat yang seharusnya tak bisa dijamah manusia biasa!
Sayang sekali, waktu menetapnya juga sangat singkat, belum sampai satu menit.
Saat kembali ke penginapan, Cheng Yan bahkan belum sepenuhnya bereaksi. Matanya bisa menangkap Cheng Yun mengisi cangkir keramiknya dengan air hangat di depan dispenser, bisa merasakan dinginnya kulit paha yang hanya tertutup celana pendek katun, tapi otaknya tak mampu membuat spekulasi liar. Seolah ia masih berada di ketinggian 8.800 meter, di mana udara tipis membuat kemampuan analisisnya melemah drastis dan IQ menurun.
Padahal durasi kurang dari satu menit itu sama sekali tidak mempengaruhinya.
Baru ketika cangkir air hangat diletakkan dihadapannya, menabrak meja kopi dengan suara "Brak!", disusul suara kesabaran Cheng Yun: "Minumlah air hangat untuk menghangatkan tubuh."
Cheng Yan baru sedikit tersadar: "Oh, terima kasih."
Meski berkata begitu, tubuhnya tetap tidak bergerak.
Mata Cheng Yan terpaku menatap cangkir keramik hijau rumput itu, seolah bisa merasakan kehangatan air di dalamnya. Lama sekali, barulah dia mengangkat cangkir itu dengan kedua tangan. Dua jari tangan kanannya menyelip ke pegangan cangkir, memastikan kesepuluh jarinya bersentuhan penuh dengan dinding gelas untuk menghangatkan tangan yang dingin.
Kontras yang begitu tajam: Puncak Gunung Everest yang seperti negeri dongeng bersalju, dengan Jinguan di musim panas yang hangat bak tungku perapian.
Tapi semua ini benar adanya.
Dia merasakannya.
Menunduk meminum seteguk air hangat, kehangatan menyebar dari organ dalamnya. Kemarin dia masih minum air es dari kulkas...
Tiba-tiba teringat sesuatu, dia langsung mengeluarkan ponsel dan membuka album foto untuk melihat hasil jepretannya tadi.
Lautan awan, surga nan indah, menggugah kerinduan untuk mencari Penglai dari legenda.
Beberapa foto berikutnya yang dibuka juga sama, hanya berbeda sudut pandang saja. Beberapa foto bahkan menampilkan gunung-gunung tinggi lainnya, namun Cheng Yan hanya mengenali salah satu "saudari" Gunung Everest, yaitu Lhotse yang merupakan gunung tertinggi keempat di dunia.
"Hush..."
Namun Cheng Yan membelalakkan matanya.
Tiba-tiba Cheng Yun yang bersandar di sebelah sofa sambil matanya bolak-balik memandangi layar ponsel dan ekspresi wajahnya, berseru: "Aduh, sungguh menyesal! Waktu itu terlalu tegang dan bersemangat sampai lupa swafoto! Ini harus bagaimana ya?"
Cheng Yan langsung memalingkan wajah: "Bisakah kita kembali lagi ke sana?"
Dengan santainya Cheng Yun mengeluarkan ponselnya sendiri sambil membuka album foto: "Sudah lama tidak serius memotret, tapi teknikku masih tidak kalah dari masa lalu..."
Cheng Yan menjulurkan leher melihat, di foto itu terlihat langit biru membentang, seperti kubah setengah lingkaran menyelubungi dunia, menyelimuti gunung bersalju putih dan lautan awan tak bertepi. Di tepi tebing jurang yang mengerikan, terlihat punggungnya sendiri yang sedang termenung menghadap lautan awan.
"Kirim ke saya! Cepat!"
"Kuota internet habis."
"......Apa syaratnya? Bicara!"
"Pergi kesana bikin aku capek banget, pegal linu. Kalau ada yang mau pijitin......"
"Aktingmu berlebihan banget!"
"Pemandangan Gunung Everest lho! Kabarnya cuma 0.00007% orang yang pernah mengalami dunia itu, penuh nilai kenangan!"
“……”
Cheng Yan tetap duduk kaku, wajahnya tegang, menolak menatapnya.
Cheng Yun menggeser jari di layar sambil melanjutkan: "Aku potret tiga lho. Lho yang ini lebih bagus, Puncak Lhotse tepat di depanmu, bahkan profil wajahmu terekam jelas."
Cheng Yan sedikit menyampingkan kepalanya, matanya berputar ke arah sini sedikit, tapi langsung ditarik kembali, terus menahan dorongan kuat, pantang kompromi.
Dia juga cepat-cepat mencari alasan: "Foto bagus pun buat apa, kita pakai baju sedikit. Gambar ini cuma bisa kugunakan untuk hibur diri. Kalau diperlihatkan ke orang, yang punya otak pasti mengira ini di-PS!"
Cheng Yun mengabaikan ucapannya, menggeser layar lagi sambil bergumam: "Hah, loli kecil ini juga kena kamera, masih berguling-guling di dekat kakimu. Tadi aku malah tidak menyadarinya, sibuk memotretmu!"
Gesek!
Cheng Yan memalingkan wajah, menatap tajam ponselnya.
Loli kecil juga penuh keraguan mendekat, mencengkeram lengan Cheng Yun dengan cakar kecilnya: "Huu..."
Beberapa saat kemudian, pandangan Cheng Yan naik perlahan, menatap wajah Cheng Yun dengan tak beremosi sambil berteriak: "Kemari! Duduk manis!"
Dua menit kemudian, erangan kenikmatan Cheng Yun memenuhi udara.
Tapi sebenarnya tidak nyaman sama sekali...
Tentu sebagai kakak laki-laki, Cheng Yun juga tidak bermaksud mempersulit Cheng Yan, hanya ingin menggoda. Akhirnya dia hanya membiarkan adiknya meremas bahunya beberapa menit sebelum melanjutkan merebus telur, sambil membuka pintu kamar.
Setelah berhasil mendapatkan fotonya, Cheng Yan terduduk di sofa sambil menatapinya dengan kagum—terutama foto bonus yang ada loli kecil di dalamnya.
Setelah pertarungan batin berkepanjangan, gadis itu tetap tidak menjadikannya wallpaper. Kekhawatiran utamanya bukan soal orang curiga dia mendaki Everest pakai celana pendek, tapi takut dianggap melakukan photoshop wajahnya ke foto puncak gunung yang terlihat aneh.
Sementara itu, loli kecil mengamati Cheng Yun memasak di tepi tungku.
Tak lama kemudian, Cheng Yan kembali mendekat dengan sikap ragu-ragu. "Cheng Yun..." ujarnya setengah berbisik.
"Hm?" Cheng Yun tidak menoleh.
"Bagaimana kalau lain waktu kita ke sana lagi? Pakai jaket putih, tinggal lebih lama?"
"Ha?"
“Bisa juga pergi malam hari, lihat angkasa dan galaksi perak. Aku sangat pengin liat galaksi pake mata telanjang.” Cheng Yan berkata.
“Hush...”
Cheng Yun tak tahan memalingkan wajah, ekspresi geli di selangkangan menatap Cheng Yan—sejujurnya dia benar-benar tak ingin menyulitkan si gadis ini, seperti yang semua tahu dia kakak yang baik, tapi nggak bisa nolak, bukankah si gadis ini sengaja datang ke pintu rumah buat bikin dia dilemma?
Cheng Yan menarik sudut bibir: “Kau mau apa? Syaratnya...ajukanlah.”
Cheng Yun dengan wajah dilemma berkata: “Kaki pegal.”
Cheng Yan menggigit gigi: “Baik! Malam ini juga kita pergi!”
“Setuju!”
“Kemarilah!”
“Tunggu sebentar...”
Cheng Yun membuat kentang iris bumbu pedas lagi, tentu saja level dewa pedasnya, nggak bisa nolak, Cheng Yan dan si loli sama-sama penyuka pedas, Cheng Yun juga suka.
Lalu Cheng Yun duduk di sofa, tubuh bagian atas bersandar di sandaran sofa, ekspresi menikmati.
Cheng Yan wajahnya menghitam, berusaha mengosongkan pikirannya, tangannya melakukan gerakan kaku secara mekanis.
Tiba-tiba, siluet manusia masuk dari luar pintu, melewati dapur kecil, sorot matanya langsung menangkap Cheng Yun dan Cheng Yan yang sedang berjongkok di samping sofa sambil mengetuk-ngetuk kakinya. Kilatan keterkejutan muncul di wajah manisnya: "Apa yang kalian berdua lakukan ini?"
Gerakan tangan Cheng Yan membeku, menunjukkan ekspresi yang sangat tidak enak dilihat: "Cheng Yun baru saja terjatuh, aku sedang memijatnya."
"Apakah..."
Tang Qingying secara bawah sadar merasa tegang, namun pertanyaan yang belum sempat terucap sudah ditelannya. Dia mengedipkan mata dua kali, lalu bereaksi: "Keseleo pergelangan kaki ya?"
"Bukan, jatuhnya mengenai paha."
"Postur jatuh seperti apa yang bisa membuat paha terluka?"
"Jatuh dari tepi sofa lalu tak sengaja menabrak."
"...Memang mungkin saja, tapi kalau sampai menabrak, bukankah seharusnya kakak memijat paha kakak ipar? Memakai teknik ketuk-ketuk tidak akan menyebabkan cedera sekunder?"
“Dia sendiri yang minta.”
Cheng Yan telah memulihkan raut wajaknya, seolah membuktikan bahwa dirinya juga bukan "lampu hemat minyak" yang mudah diatur.
Yang penting bisa mengarang cerita yang meyakinkan, cukup untuk menipu dirinya sendiri. Tujuannya agar tidak merasa malu, soal pendapat orang lain? Urusan mereka sendiri, mana ada hubungannya dengan Cheng Yan?
Tiba-tiba, suara santai Cheng Yun terdengar bergema layaknya tuan besar: "Cepetan! Jangan malas-malasan!"
Cheng Yan: "……"
Mata Tang Qingying berputar-putar licik: "Kak Ipar, biar aku yang pijit kakimu yang sebelah!"
Cheng Yan langsung meliriknya dengan ekspresi kesal.
Apa gadis ini sakit otak? Pekerjaan beginian aja mau direbut?
Dari sudut matanya, ia melihat si loli kecil berjongkok di atas meja kopi, menatap tajam ke arah mereka berdua dengan wajah tidak puas.
Usai memijit kaki, waktunya sarapan tiba.
Tang Qingying diam seribu bahasa, hanya melontarkan sorot mata terhibur ke Cheng Yan yang ekspresinya jelas mengatakan "Aku pura-pura nggak tau ya", lalu mengangkat sepiring lauk dan bergegas keluar.
Cheng Yan juga tak punya lagi yang bisa dikatakan, reputasinya hancur lebur.
Saat sarapan, Cheng Yan terkesan sangat kikuk. Di sebelahnya duduk beberapa orang yang sudah sangat familiar, tapi kini ia tiba-tiba menyadari setiap dari mereka menyimpan rahasia besar di balik diri mereka. Perasaan ini benar-benar sulit ia deskripsikan dengan kata-kata.
Ia sudah berusaha mati-matian bersikap seperti biasanya, tapi pandangannya tetap tak kuasa melirik ke arah orang lain, seolah ingin menemukan keunikan tertentu dari orang-orang dari alam semesta lain ini.
Naqu Sensei yang paling normal, benar-benar seperti orang biasa yang rajin dan patuh, bahkan terlihat agak malu-malu saat mengambilkan sayur dengan gerakan tangan yang tidak berani terlalu menjangkau.
Kak Yin Dan dan si loli masih asyik menyantap makanan dengan kasar.
Kak Cai Qing meski gerakannya anggun, tapi sebenarnya makan dengan cukup cepat, sesekali mengangkat kelopak mata untuk melirik sekeliling.
Kak Liu Xi hanya makan sedikit dan sangat pelan.
Pandangan samar Cheng Yan sia-sia belaka, mengingat sebagian besar yang duduk di sini memiliki persepsi yang tajam.
Yin Nuxia yang sedang fokus menyantap makanan langsung mengangkat kepala, menatap Cheng Yan sambil mengusap wajahnya: "Kenapa kamu terus-terusan lihatin aku? Apa ada bubur nempel di muka?"
"Ada?"
Cheng Yan kaget dalam hati, apa orang ini punya mata di ubun-ubun?
Secara bersamaan dia menyadari pandangan dari loli kecil dan Sang Mage, terutama sorot mata Sang Mage yang membuatnya merasa seperti terbaca seluruh isi hati.
Yin Nuxia mengerutkan alis serius: "Ada! Dari tadi kamu terus melirikku, sudah berapa kali itu!"
Cheng Yan: "……"
Tiba-tiba Tang Qingying di sebelah berkata: "Yan-yan cuma kagum sama poni tujuh kelilingmu hari ini. Pasti Kak Yu Dian yang nata rambutmu? Benar-benar beraura gagah!"
Yin Nuxia bingung: "Berenergi Yin?"
Tang Qingying menjelaskan: "Maksudku penampilanmu sangat memukau, apalagi gaya gagah ala perempuan itu!"
Yin Nuxia tersenyum malu-malu sambil menggaruk pipinya, terlihat sangat pemalu: "Ini Nona Yu yang menyisir rambutku, dia juga bilang cocok."
Cheng Yan menghela napas lega, tak beranda melihat lagi.
Baru saat ini dia benar-benar menyadari bahwa orang-orang yang sudah lama hidup bersamanya ini memang masing-masing luar biasa.
Usai makan, Yin Nuxia tetap meminjamkan mobil putih kecilnya untuk mereka kendarai ke sekolah mengemudi. Meski hari ini dia juga harus melapor ke klub, masih ada sepeda cadangannya. Karena rangka sepeda touring itu berwarna biru-hitam, maka dinamai Xiao Lan.
Liu Xi dan gadis kecil Yu Dian membereskan piring kotor, sementara Sang Mage berkata pada Cheng Yun: "Hari ini Cheng Yan agak aneh ya."
Cheng Yun mengangguk: "Sudah kuberi tahu dia."
Sang Mage juga tidak terkejut, seolah setelah sekian lama di bumi, dirinya pun menjadi jauh lebih matang dibanding setengah tahun lalu. Kali ini dia hanya mengangguk: "Bagus juga, tapi...bisakah dia menerima?"
"Seharusnya bisa."
"Semakin dalam konsepsi terhadap suatu materi, semakin sulit menerima hal yang bertolak belakang." Mage Muda berkata, "Anda seharusnya menjelaskan bahwa kami berasal dari alam semesta lain, dengan harapan ini tidak menghantam konsepsinya tentang alam semesta asal."
"Sudah kukatakan, dan aku percaya kemampuan penerimaannya."
"Bagaimana dengan Yao Yao?"
"Tidak tahu apakah Cheng Yan akan memberitahunya." Cheng Yun menggelengkan kepala.
"Kurasa kemampuan adaptasinya jauh lebih kuat daripada Cheng Yan." Mage Muda tersenyum.
"Gadis itu..." Cheng Yun juga menggeleng sambil tersenyum, "Selama aku bisa mengeluarkan Tongkat Emas, bahkan jika kukatakan aku adalah reinkarnasi Raja Kera Suci, dia pasti percaya."
"Dialog yang payah..."
"Hm?" Cheng Yun memalingkan wajah, "Kapan kau belajar omongan kacau-balau seperti ini? Ini tidak sesuai dengan desain karaktermu!"
……
Tiba di sekolah mengemudi, Cheng Yan turun pertama dari sepeda motor listrik. Hari ini dia menumpang di kursi belakang.
"Saat ini lapangan latihan ujian praktek SIM C masih sepi, hanya ada beberapa mobil latihan yang parkir diam, membuat pagi ini terasa agak lengang."
Tang Qingying memarkirkan sepeda motor sambil mengeluarkan gembok, "Lain kali kamu saja yang mengendarai. Aku masih belum lancar naik motor listrik. Kalau sendirian sih bisa, tapi kalau boncengan jadi agak takut. Barusan hampir saja terbalik."
Cheng Yan berkata dengan pikiran melayang, "Kamu duduk di belakang terus menekan punggungku sampai tidak nyaman."
"??Excuse me? Kamu yakin tidak nyaman?"
“？”
"Kurasa kamu cemburu!"
“……”
"Ada apa sih?" Tang Qingying menatapnya tajam, "Dari pagi sampai sekarang kamu terlihat aneh. Apa kakak ipar bilang sesuatu?"
"Hm." Cheng Yan mengangguk.
"Apa katanya? Cepat bagi cerita!"
"Katanya... dunia ini tidak sesederhana yang kita bayangkan." Cheng Yan berjuang mencari kata-kata, "Kalau mau tahu lebih detail, tanya langsung saja. Aku benar-benar bingung harus memulai dari mana."
“Kamu mengkhianati persahabatan kita!”
“Bukan seperti itu.” Cheng Yan menjelaskan, “Kamu tanya saja dia, aku percaya dia pasti akan memberitahumu.”
“Hmph! Pengkhianat!”
“……”
Cheng Yan sebenarnya tidak enggan memberitahu Tang Qingying. Jika ini rahasianya sendiri, pasti sudah dia ceritakan. Tapi kenyataannya ini bukan urusan sepele. Menurutnya, dia tidak punya kualifikasi untuk mengambil Keputusan ini mewakili Cheng Yun. Meski logikanya mengatakan: Cheng Yun sudah memberi tahu dia, pasti juga tidak akan merahasiakan dari Tang Qingying. Jadi selama Tang Qingying bertanya, Cheng Yun pasti akan menjelaskan. Tapi ini tetap berbeda dengan dia yang langsung memberitahu.
Cara dia berdiri di pihak Tang Qingying seharusnya: Jika Cheng Yun tidak memberi tahu, dia bisa menasihati Cheng Yun untuk mengatakannya.
Tiba-tiba Tang Qingying melambaikan tangan: “Sudah-sudah! Tidak usah kasih tahu! Aku juga malas urusi! Tapi ingat, kejadian ini sudah kucatat. Nanti setelah aku jadi istrimu, aku...aku tidak akan kasih kamu makan!”
Cheng Yan memandangnya dengan tertegun: “Kamu tidak mau tanya lagi?”
Tang Qingying mengembangkan kedua lengannya sambil meregangkan badan, lalu menguap: "Sudah tahu semua, tak perlu tanya terlalu detail, yang penting jadi istrimu!"
Cheng Yan langsung menunjukkan ekspresi yang sulit dipahami.
Tapi saat itu ada murid lain yang datang, maka dia pun menutup mulutnya.
