Pintu kamar terkunci rapat, tirai jendela pun tertutup, membuat ruangan terasa remang-remang.
Di atas ranjang berserakan beberapa kotak kertas.
Dari luar sesekali terdengar bunyi peralatan dapur bertabrakan, dan suara orang mengobrol. Dibandingkan dengan itu, suasana dalam kamar jauh lebih hening.
Secercah cahaya menyala terang dalam kegelapan, menyinari wajah manis nan menggemaskan. Sepasang mata besar berbentuk lingkaran sesekali berkedip, sementara telinga runcangnya terus menangkap setiap gerak-gerik di balik pintu.
Loli tidak bisa main ponsel, tapi semua anak kecil di seluruh jagad sama - cepat menguasai gadget seperti ponsel. Bahkan takkan lama bisa lebih jago dari orang dewasa.
Setelah lama diam-diam mengamati, loli sudah paham dasar operasional ponsel pintar. Meski ponsel mini ini belum terhubung internet atau punya aplikasi, cukup dengan mencakar layar, menekan-nekan bagian ini-itu sambil melihat perubahan di layar, si loli sudah sangat puas.
"Huuuu......"
Tanpa sadar, loli mengeluarkan suara riang.
Tiba-tiba, telinganya bergerak mendeteksi dentang langkah mendekati kamar. Dengan cepat dia mengenali pemilik suara itu.
Gesek!
Secepat kilat, dia menyelesaikan rangkaian aksi: mengunci layar ponsel kecil - memasukkannya ke kotak kemasan ponsel - menyelipkan kotak itu ke dasar kardus ekspedisi yang pernah dibuka Da Wang - menutup rapi dengan sampah di atasnya - menutup pintu lemari pakaian.
"Makan!"
Cheng Yun berteriak sambil membuka pintu, melihat si loli sedang malas-malas berbaring di tengah ranjangnya, sambil menggeliat, menatapnya dengan manis.
"Cepat bangun, waktunya makan!"
"Huu……"
Si loli dengan malas melompat turun dari ranjang dan berjalan keluar.
Cheng Yun tanpa sadar melirik pintu lemari pakaian—tidak benar-benar tertutup rapat, menyisakan celah sekitar dua sentimeter—
Persis seperti kebiasaannya saat menutup lemari!
Kalau ditutup terlalu rapat nanti akan sulit dibuka.
Ia mengatupkan bibir, menatap si loli yang berjalan lambat di lantai, bertanya: "Besok ulang tahunmu, mau rayakan bagaimana?"
Langkah si loli terhenti. Ia menoleh dan menatapnya tajam.
Beberapa saat kemudian, si loli mendekati Cheng Yun, menggesekkan kepalanya dengan akrab pada ujung celana Cheng Yun, lalu mengangkat muka memandangnya—kemampuan menggoda yang luar biasa ini entah belajar dari siapa.
Cheng Yun tentu saja terharu hingga lupa diri, langsung membungkuk mengangkatnya, dengan wajah lembut berkata: "Tapi tetap harus memikirkan bagaimana merayakannya, ini kan hari ulang tahun pertamamu di sini, masak mau dirayakan biasa-basa saja?"
Loli kecil itu baru memiringkan kepala sambil berpikir setelah mendengar perkataannya.
Tak lama, ia melepaskan diri dari pelukan Cheng Yun dan berlari ke kamar, Cheng Yun pun berdiri di depan pintu menunggunya.
Terdengar suara laci dibuka...
Sebentar kemudian, loli kecil itu keluar, melompati Cheng Yun langsung menuju ruang tamu kecil, berdiri di atas meja kopi lalu meletakkan benda yang digigitnya di mulut — yang ternyata adalah ruby merah sebesar telur merpati.
"Huuuu!"
Loli kecil itu memandang ke sekeliling, mengoceh dalam bahasa yang hanya dimengerti dirinya sendiri.
Aksi ini segera menarik perhatian Bos Tang dan Yin Nuxia yang tadi sibuk di dapur. Keduanya mendekat, menatap tajam batu permata itu sambil mencoba memahami maksud si loli.
“Apa yang sedang dilakukan si loli?” tanya Bos Tang.
“Dia pasti ingin memberi masing-masing kita sebutir batu.” Yin Nuxia mengusap rahang bawahnya.
“Wu wu!” Si loli menunjukkan ketidaksetujuan.
“Dia ingin mentraktir kita semua makan di luar,” kata Cheng Yun, “Karena setiap ulang tahun kita selalu makan di luar, benda kecil ini tidak tahan melihat orang lain punya kegiatan atau memiliki sesuatu.”
“Wu wu!”
Si loli buru-buru mengangguk, menatap Da Wang dengan mata berbinar penuh kekaguman. Namun secepat itu pula dia menyadari ada yang tidak beres, seolah Da Wang juga mengatakan sesuatu yang kurang enak didengar.
Tiba-tiba, dari sebelah terdengar suara mesin traktor -
“Pukukukukuku...”
Dengan wajah bingung, si loli menoleh ke sumber suara. Dia melihat Yin Nuxia sedang menutupi mulutnya dengan tangan, entah karena menahan tawa atau tertawa terbahak, yang pasti wajahnya merah padam.
Si loli sama sekali tidak mengerti, apa yang lucu dari ini!?
Yin Nuxia terkekeh "kukuku" sambil menyelipkan kalimat di sela tawanya: "Kenapa... kukuk... tidak... kukuk... mengeluarkan bingkai merah simpananmu? Banyak... kukuk... banyak uangnya wkwkwk!"
Akhirnya, dia tak lagi bisa menahan tawanya.
Loli menatapnya diam-diam dengan tatapan tidak ramah.
Cheng Yun akhirnya menepuk bahu Yin Nuxia untuk menghentikan ejekannya, sambil menyimpan batu permata ia berkata ke loli: "Ini terlalu banyak. Lagipula sudah kami sepakati, ulang tahun semua penghuni penginapan akan dibiayai oleh penginapan untuk makan di luar. Tak perlu kau yang bayar."
Loli kembali mengangkat pandangan ke Cheng Yun.
Cheng Yun merasa agak canggung, bagaimanapun dialah yang dulu membujuk loli. Waktu itu dia tak menyangka tingkat budaya loli bisa meningkat secepat ini.
“Itu, waktunya makan.” Cheng Yun buru-buru berbalik, “Besok siang kita masih makan di rumah, aku akan masakkanmu seluruh hidangan sapi, malamnya kita makan di luar. Kamu pikir-pikir mau makan apa.”
“……”
Sekitar setengah jam kemudian, setelah makan.
Cheng Yun mencolek perut lembut si loli: "Aku mau keluar belanja sayur, kamu ikut tidak?"
Si loli ragu sejenak, rupanya menolak.
Cheng Yun tertegun, curiga mengamati si loli, lalu berkata: "Baiklah, lagipula tidak apa-apa. Pokoknya membeli daging sapi sebanyak-banyaknya saja."
Bos Tang maju: "Aku ikut bersama!"
Ini pertama kalinya si loli merayakan ulang tahun, dia merasa harus lebih banyak usaha agar si loli menyukainya.
Maka Cheng Yun pun pergi bersama Bos Tang.
Berjalan di jalan, Cheng Yun jelas merasakan hawa dingin, bukan hanya suhu, tapi juga angin. Cuaca gelap tak wajar, ia mengangkat kepala memandang langit, berkata: "Kita harus cepat kembali, nanti mungkin turun hujan."
Bos Tang mengangguk.
Mall, pasar, setelah berjalan-jalan, tangan keduanya segera penuh membawa barang.
Tapi baru keluar dari pasar, hujan pun turun.
Hujan datang mendadak. Butiran sebesar kacang menghantam kanopi pasar berdentang-dentang, memercikkan genangan air di tanah, menjebak mereka di pintu pasar tak berani melangkah keluar.
Cheng Yun mengeluarkan ponsel melihat: "Penumpang taksi di hari hujan terlalu banyak."
Bos Tang juga melirik ke jalan: "Taksi sulit dipanggil. Kita tunggu sebentar, hujan deras begini tak akan lama."
Cheng Yun mengangguk.
Sekitar sepuluh menit kemudian, hujan memang mulai reda.
Saat itu pikiran Bos Cheng mulai melayang. Ia melirik ke samping, ada sebuah hotel. Tulisan "kamar harian" membuat tenggorokannya terasa kering. Aroma harum samar-samar tercium dari tubuh Bos Tang di sebelahnya. Dengan mata menyipit ia mencuri pandang, lekuk tubuh yang menggairahkan itu seolah merangsang saraf-sarafnya.
"Gulp!"
Bos Cheng tak kuasa menelan ludah, ribuan pikiran melesat cepat di kepalanya——
Hujan memang sudah mereda, tapi musim dingin mana boleh kehujanan;
Lagipula semuanya milikku;
Sudah jadi pasangan lama, tidak ada masalah kan;
……
Maka setelah mempersiapkan diri sejenak, Bos Cheng mengusulkan dengan hati-hati: "Kurasa hujan ini masih akan turun satu dua jam lagi, berdiri menunggu di sini juga cukup melelahkan..."
"Hm? Mau cari kedai teh susu buat duduk-duduk? Atau pelan-pelan menyusuri tepi jalan sambil pulang?"
"Perkiraanku hujan ini akan turun sampai dua jam."
"Mending pulang pelan-pelan sambil lihat apakah bisa dapat taksi."
“Sana... bisa sewa kamar jam...”
“？？？”
Bos Tang langsung dipenuhi tanda tanya di kepala saat menatap Cheng Yun, pikiran-pikiran kecilnya bahkan bisa terbaca oleh orang buta sekalipun.
"Cheng Yun, kenapa trikmu sekarang jadi sepayah ini?" Tanda tanya di kepala Bos Tang perlahan menghilang, digantikan ekspresi menghina, "Trik kecil ini benar-benar membuatku meremehkanmu."
"Ahem ahem ahem..."
"Kembali!" Setelah berkata demikian, Bos Tang langsung melangkah keluar pasar dan masuk ke dalam hujan.
"Eh, aku cuma bercanda!" Cheng Yun tetap berdiri di tempatnya.
"Cih!!"
Bos Tang yang sudah berjalan beberapa langkah tiba-tiba menoleh kembali, ekspresi menghinanya masih utuh: "Ayo, ngapain bengong? Ke tempatku, di sana sepi!"
"Ah... Oh oh!"
Bos Cheng buru-buru menyusul.
Ejekan Bos Tang masih terus bergema di telinganya: "Benar-benar, makin tua makin kekanak-kanakan!"
Bos Cheng tetap diam.
