Bab 5: Dilepaskan Merpati oleh Boss
Berangkat berjuang belum sukses sudah mati, keluar dari perusahaan Lei, Lan Xin ingin menangis tak bisa.
Tidak mencapai tujuan, malah dipermainkan oleh Bing Shan Lei hingga kehilangan muka.
Tapi jangan kira ini bisa menghilangkan niatnya! Demi mencapai tujuan, dia takkan jadi anjing pengecut dengan mudah!
Jalan perusahaan buntu, Lan Xin memutuskan menyelinap ke parkir bawah tanah perusahaan Lei, menunggu Bing Shan menabrak pohon!
Cepat terlihat kendaraan mewah Bing Shan Lei yang norak, Bugatti edisi terbatas dengan garis perak-abu, pamer kesombongan berbalut kesederhanaan. Lan Xin berjongkok di depan mobil, mengeluarkan ponsel ingin mengirim pesan WeChat menyentuh hatinya.
Saat mengeluarkan ponsel, tubuhnya kaku.
Aplikasi yang barusan dipakai mengganggu Lei Tingyu masih terbuka, hanya gambar babi berkepala manusia di sana sudah diubah dari miliknya jadi gambar dirinya.
Harus diakui Bing Shan Lei memang berbakat. Dengan aplikasi edit foto yang sama, hasil editan Lan Xin selalu jelek dan norak, tapi setelah dieditnya, kepala babi Lan Xin malah jadi imut menggemaskan.
Seimut apapun, tetap babi!
Lan Xin menggigit gigi menghapusnya, berbalik menyepak mobil mewahnya.
Membuka WeChat, baru ingin mengganti nama panggilan Bing Shan Lei jadi "Babi Terbesar di Alam Semesta", kembali emosi melihat foto profilnya.
Foto profil Lei Tingyu awalnya adalah tulisan kaligrafi "" yang penuh wibawa, hasil goresan tangannya sendiri.
Beberapa detik yang lalu, kaligrafi gagah itu berubah menjadi gambar Lan Xin dengan hidung babi imut dan telinga berkedip-kedip.
“Lan Xin merasakan darahnya berdesir ke kepala, menahan keinginan untuk terus menghentakkan kaki menghajar Bugatti. Dengan gigi terkatup, dia mengetik beberapa pesan yang tak sesuai dengan suasana hatinya saat ini.”
“Ting Yu, aku menunggumu. Kalau kau tak keluar, aku akan terus menunggu.”
“Setelah sekian lama, akhirnya dia membalas dengan satu kata: 'Oh'.”
“Lan Xin tetap menggenggam ponselnya sambil menunggu. Selama bisa bertemu dengannya, masih ada harapan. Kedatangannya kali ini hanya punya satu tujuan: memohonnya turun tangan menyelesaikan masalah Klan Lan. Demi ibunya, dia tak punya pilihan lain.”
“Beberapa hari terakhir, dia juga sempat berpikir meminta bantuan orang lain. Seluruh Kota B, semua koneksi telah dicoba. Begitu mendengar Klan Lan, semua menghindar. Hanya Lei Tingyu yang punya kemampuan menyelamatkannya.”
“Lan Xin mengeluarkan ponsel sambil bermain-main sambil menunggu. Parkir bawah tanah ramai lalu-lalang. Mobil satu per satu berkurang, hingga akhirnya hanya tersisa Bugatti mewah ini.”
“Baterai ponsel hampir habis. Lan Xin mengirim pesan WeChat ke Lei Tingyu.”
“Ting Yu, kerja keras ya? Jangan terlalu banyak lembur sampai sakit.”
“Yang sebenarnya ingin dia katakan: Cepat turun sini! Tunggumu membuat pinggangku pegal, kakiku kram, belum makan setengah hari, stamina terkuras habis.”
“Dia cepat membalas: Tidak lembur.”
“Lan Xin girang bukan main. Kalau tidak lembur berarti bisa cepat turun! Saat dia sedang menyusun kata-kata, notifikasi WeChat kembali berbunyi.”
“Sudah dalam perjalanan pulang.”
“Lan Xin panik. Tak peduli lagi mengirim pesan, langsung menelepon.”
“Lei Tingyu, kau sudah pulang?”
“Um.” Pria hemat kata ini sepertinya sedang di dalam mobil. Lan Xin mendengar suara speaker dari dalam kabin.
“Tapi, mobilmu--?”
“Siapa yang bilang aku cuma punya satu mobil?”
Lan Xin seolah diguyur air es, segera menyadari dirinya dipermainkan Bing Shan.
“Lei Tingyu, kamu sengaja?” Selama beberapa jam ini kakinya pegal menunggu, untuk apa semua ini!
“Meski kau menunggu seratus tahun, percuma saja.”
Di ujung telepon hanya tersisa suara bip, Lan Xin menggenggam ponsel sambil mengingat tingkahnya seperti badut sepanjang hari ini. Marah, ia berbalik mencabut kunci dan mulai menghajar mobil mewah si penipu itu dengan kedua tangan!
Setelah coreng-moreng mobilnya, amarahnya sedikit reda. Lan Xin keluar dari parkir bawah tanah, langit sudah gelap. Hujan rintik-rintik mulai turun entah sejak kapan.
Ponselnya berdering. Melihat nomor yang muncul, ia buru-buru mengangkat.
“Halo, Dokter Zhang?”
Nomor ini dari rumah perawatan pribadi. Setiap muncul, selalu membawa kabar buruk. Kali ini tak terkecuali.
“Nona Lan, ibumu tiba-tiba di luar kendali! Segera datang ke sini!”
……
Sopir Lei Tingyu yang sedang cuti dipanggil mendadak bosnya. Dari kediaman Lei, ia mengemudikan Rolls Royce Phantom versi panjang untuk menjemput.
Menjadi sopir Tuan Lei adalah pekerjaan enak. Gajinya fantastis, puluhan mobil mewah bisa ganti-ganti dikendarai. Yang paling mantap, bos biasanya menyetir sendiri. Jarang-jarang ada panggilan mendadak seperti hari ini.
Sebagai sopir profesional, ia peka membaca situasi. Melihat bos terus menatap hujan di luar jendela, segera ia menyambung pembicaraan.
“Hujan musim semi ini turun tepat waktu, prakiraan cuaca mengatakan malam ini akan berubah menjadi hujan badai.”
“Putar balik, kembali ke perusahaan.”
Mengira bos lupa mengambil barang, sopir tidak berani menunda, segera memutar kembali. Baru saja parkir di gerbang utama, mendengar perintah Lei Tingyu, “Bawa ke parkir bawah tanah!”
Hasilnya, dia hanya melihat mobil barunya yang coret-coretan, urat nadi di keningnya berdenyut.
Bagus, mobil mewah yang baru dibeli kurang dari sebulan sudah harus kembali ke pabrik untuk dicat ulang. Cakar kucing liar itu benar-benar tajam.
Kembali ke mobil, tidak ingin pulang ke rumah keluarga Lei. Kepala pelayan setiap hari melihatnya terus mengomel, membuat telinganya hampir berkapur.
Dia mengeluarkan ponsel, memencet beberapa nomor sahabat karib, mengirim pesan ke semua: “Temui di park bar malam ini.”
Bercanda dengan kucing, minum anggur, menikmati pemandangan hujan, periode damai yang tenang.
Lei Tingyu baru selesai acara jamuan di jam dua pagi, bersandar di kursi dengan sedikit mabuk. Hujan benar-benar membesar, mengguyur deras membersihkan kemewahan kota.
Bayangan ilusi melesat cepat, menyemburkan lapisan percikan air di tepi jalan. Tiba-tiba Lei Tingyu duduk tegak, siluet yang duduk di pinggir jalan di luar jendela menarik perhatiannya.
Lan Xin keluar dari rumah perawatan dengan kondisi kelelahan total.
Kali ini ibu menelan bilah pisau. Untung dokter menemukan tepat waktu, kalau tidak sudah tidak bisa diselamatkan sama sekali.
Hal pertama yang dilakukan ibu setelah sadar adalah menunjuk Lan Xin dengan suara parau memohon: “Tolong cari Lan Mantian.”
Dia menelepon Lan Mantian, mendapatkan kesimpulan yang sama: Masalah keluarga Lan tidak terselesaikan. Meski ibunya meninggal, jangan berharap Lan Mantian mau melihat sekalipun.
Dalam kondisi linglung, dia keluar dari rumah sakit. Pakaiannya basah kuyup oleh hujan, hawa dingin menempel di tubuhnya. Beberapa taksi yang lewat berhenti lalu pergi. Dia tak tahu harus kemana.
Berjongkok memeluk diri, air hujan dan air mata bercampur di wajahnya.
Tubuhnya semakin dingin, tapi tak sebanding dengan lelah di hatinya.
Sebelum dibawa kembali keluarga Lan, dia hidup bergantung pada ibu. Saat ibu belum sakit, sangat menyayanginya. Pernah demam tinggi karena pneumonia hampir tewas, ibu menggendongnya lari ke rumah sakit saat tak bisa mendapatkan taksi. Kehangatan pelukan itu takkan pernah dilupakan Lan Xin.
Selalu ada sedikit harapan. Lan Xin tak mau menyerah. Ibu menjadi gila karena cinta. Bagi ibu, pria Lan itu satu-satunya penebus. Meski Lan Xin merasa ayah kandungnya kejam, dia terus merendahkan diri demi ibu.
Lan Xin terduduk lesu dalam hujan. Sekarang dia benar-benar tak tahu harus bagaimana.
Terhadap Lei Tingyu dia sudah berusaha maksimal. Mengorbankan harga diri dan karakter, tapi dia sama sekali tak mau bertemu. Lan Mantian pun berhati batu. Apakah dia harus melihat satu-satunya orang yang menyayanginya di dunia ini terus-menerus berjuang di ambang kematian?
“Hujan tiba-tiba berhenti, tidak, ada orang yang menghalangi hujan untuknya.”
Sepasang sepatu kulit buatan tangan berkualitas tinggi setengah terendam dalam genangan air hujan berlumpur.
Mengikuti garis celana panjang yang lurus sempurna, Lei Tingyu memegang payung hitam, berdiri diam bagai patung.
