Bab 79 Lan Xin Demam Tinggi
Kejadian ini lebih parah dari yang dibayangkan Lei Tingyu, reaksi Lan Xin melampaui ekspektasinya.
Sekarang Lan Xin hanya punya satu sikap terhadapnya: non-kooperasi tanpa kekerasan.
Tidak hanya mengabaikan upaya Lei Tingyu yang sengaja menunjukkan kebaikan, bahkan menganggapnya sebagai udara. Apapun yang dikatakannya, dia berpura-pura tidak mendengar. Akhirnya, masakan gelap itu tidak jadi dia berikan.
Memesan makanan via telepon, boss memilih rasa favorit Lan Xin, tapi Lan Xin tidak mempromosikannya.
Makanan tiba, dia mengetuk pintunya. Di dalam sunyi senyap. Diputarnya gagang pintu, tidak bergerak sama sekali.
Terkunci dari dalam.
Lei Tingyu juga bukan tipe yang sabar merayu. Setelah memukul pintu dua kali, dia melempar ultimatum dengan wajah muram.
“Kesempatan terakhir, tidak dibuka akan kuhancurkan.”
Di dalam tetap tidak ada suara.
Kapak yang dulu digunakan menghancurkan pintu masih ada.
Lan Xin hanya mendengar suara ledakan keras, membuatnya ketakutan hingga melepas penyumbat telinga. Lei Tingyu berdiri di pintu dengan wajah gelap, masih memegang kapak.
Pintunya terbelah dua seperti itu.
Secara insting dia takut. Seorang pria berkarakter licik, suhu wajahnya lebih dingin dari es ribuan tahun, memegang senjata. Tidak takut itu aneh.
Melihatnya mengerut ketakutan, Lei Tingyu menekan amarahnya.
Kucing Liar sekarang punya psikologi penolakan terhadapnya, lebih baik tidak memprovokasinya lagi.
Lan Xin melihatnya melangkah mantap mendekat, menggenggam sprei dengan tegang, matanya penuh kewaspadaan.
Tapi dia tidak melakukan gerakan lain, hanya meletakkan pesanan makanan di sisi ranjangnya.
"Makan."
Lan Xin melirik serpihan di lantai, lalu melihat wajahnya yang muram. Dia mulai curiga, jika tidak makan, yang akan dihancurkan menjadi serpihan adalah dirinya sendiri.
Melihatnya mulai makan dengan mangkuk di tangan, Lei Tingyu sedikit lega. Dia duduk berseberangan dan makan bersama setelah badai berlalu.
Lan Xin hanya makan beberapa suap lalu berhenti. Hatinya masih tidak nyaman, apalagi Lei Tingyu berada di dekatnya, memberi tekanan psikologis besar.
Alisnya berkerut melihat sedikitnya makanan yang dimakannya. Ingin menyuruhnya terus makan, tapi melihat pori-porinya seakan mengunci diri, ucapannya ditelan kembali.
Makan malam itu terasa sangat sunyi.
Ruangan yang berantakan sudah rapi, tapi luka di hati tak kunjung hilang.
Setelah makan, Lan Xin membelakanginya, terus berpura-pura menjadi mayat.
Setelah menunggu lama, terdengar suaranya membereskan rumah, tapi tak ada bunyi pintu tertutup.
Kenapa dia belum pergi juga?
Berada bersama orang ini sekarang benar-benar membuatnya tertekan.
Alih-alih kepergian Lei Tingyu, yang terdengar justru langkahnya memasuki kamar. Lan Xin menoleh kaget melihatnya sedang melepas pakaian.
Pakaian Lei Tingyu sudah basah kuyup karena bolak-balik kehujanan.
Dia melepas pakaiannya hanya menyisakan pakaian dalam yang selalu mendampingi, sementara pakaian basah lainnya dibuang begitu saja di lantai.
Merasa Lan Xin mengamatinya, ia menoleh sembarangan. Lan Xin segera memalingkan kepala, meski ekspresinya tetap mempertahankan sikap menganggapnya sebagai udara.
Hatinya berdegup kencang saat melihat garis-garis tubuhnya yang terpahat sempurna.
"Lan Xin, kau harus punya harga diri! Bagaimana bisa kau lupa semua perbuatan menyakitkan yang Iblis ini lakukan, hanya karena terpesona pesona prianya?"
Lan Xin menggerutu dalam hati sambil menekan wajahnya ke bantal, mendengar langkahnya menuju kamar mandi miliknya.
Rintik air mulai terdengar.
Bayangan tubuh Tingyu yang tinggi besar terhimpit di kamar mandi sempitnya, air mengalir membasahi lekuk tubuhnya yang berotot.
Pikiran Lan Xin melayang pada mimpi-mimpi 'berwarna' yang pernah dialaminya, pipinya pun memerah membara.
Namun ingatan akan kegeraman Lei Tingyu saat mempertanyakan dirinya tiba-tiba menyergap, membuat hatinya seketika membeku.
Senyum getir mengembang. Bagaimana mungkin dia mengira singa yang tertidur adalah domba jinak? Lei Tingyu tetaplah sosok yang tak terjangkau.
Mulai sekarang, dia hanya akan menganggapnya sebagai penyewa. Begitu utang lunas, dia akan segera pergi.
Begitu niatnya, tapi saat Lei Tingyu mendorong pintu kamar mandi dengan rambut basah menetes, wangi sabun mandi miliknya yang menyengat justru membuat jantung Lan Xin berdegup kencang.
Aroma sabun yang biasa saja di tubuhnya, terasa berbeda saat dipakai Lei Tingyu - segar tapi masih menyisakan jejak aura maskulinnya.
Dikira setelah mandi dia akan langsung pergi, tapi harapan Lan Xin pupus.
Ketika merasakan ranjang di sampingnya sedikit melesak, seluruh sarafnya tegang.
Dia berbaring, apa yang akan dilakukannya!
Tangan mencengkeram selimut erat-erat, mata tanpa sadar melirik ke lampu meja di kepala ranjang.
Jika dia berniat melakukan sesuatu padaku, bisakah benda ini digunakan untuk menghantammnya pingsan?
Ketegangan emosinya mengalir sampai ke Lei Tingyu, membuat tangan yang semula hendak merangkul bahunya berhenti. Sudahlah, beri dia waktu untuk beradaptasi.
Detak jantung Lan Xin berdegup kencang, ia merasa di sampingnya berbaring seekor singa yang siap menggigit kapan saja.
Meski enggan mengaku, tapi performa Lei Tingyu hari ini benar-benar membuatnya merasa menakutkan, sekaligus kekesalan yang tak terungkap.
Ia tetap tak bergerak, tubuh kaku, diam-diam menggeser diri berkali-kali sampai hampir terjatuh baru berhenti.
Di antara mereka terbentang retakan lebar bagai jurang.
Sebenarnya ia lebih ingin pindah ke sofa, menjauh darinya, tapi tindakan itu justru akan memancing kemarahannya.
Apa yang akan dilakukan Lei Tingyu saat kehilangan kendali, Lan Xin sekarang pun tak bisa memastikan. Ia tak lagi bisa bercanda sembarangan atau main-main di batas toleransinya seperti dulu.
Meski tak ada gerakan lain, tapi aura yang terpancar dari tubuhnya tetap melilitnya.
Kewaspadaan Lan Xin diamati Lei Tingyu dengan mata kesal dan hati geram. Ia menahan dorongan untuk menyergapnya ke pelukannya, hanya menatap punggung kaku itu sampai suara napas teratur terdengar dari sana.
Menggeser Lan Xin yang sedang tertidur lelap ke dekatnya, Lei Tingyu menyangga kepalanya dengan satu tangan, memandangi wajahnya yang tertidur, separuh wajahnya tersembunyi dalam siluet cahaya yang dibuat oleh lampu meja.
Dalam mimpi pun Lan Xin sepertinya tidak bahagia, keningnya berkerut ketat, entah apakah dalam mimpinya ada dirinya.
Sekalipun ada, pastilah bukan mimpi yang indah.
Lei Tingyu menghela nafas tanpa suara, hari ini sepertinya dia telah membuatnya ketakutan.
Harus bagaimana menghadapimu... Dia merapikan rambutnya dengan lembut.
"Lei Tingyu, kamu brengsek, aku tidak mau pedulikan kamu..." gumamnya dalam tidur.
Sudut bibirnya berkedut, lihat, bukankah sudah kukatakan? Kucing kecil ini benar-benar menyimpan dendam padanya, bagaimana caranya membuat kucingnya ini benar-benar menjadi miliknya, dari hati hingga tubuh.
Ini adalah masalah sulit yang membuat Lei Tingyu yang ber-IQ tinggi kebingungan.
Menjelang dini hari, Lei Tingyu terbangun oleh panas yang menyengat dari lengan yang ditindihnya.
Lan Xin tanpa sadar telah menggelinding ke pelukannya, menempel gemetaran padanya, dia mengulurkan tangan untuk meraba dahinya.
Panas sekali!
Dia demam!
Suhu tubuhnya seperti bola api kecil, tapi tubuhnya gemetar tak terkendali, bahkan bisa dirasakan getaran dinginnya, mulut kecilnya juga komat-kamit mengeluh kedinginan.
Lei Tingyu membungkusnya erat dengan selimut, tapi dia tetap terlihat menderita.
Di rumahnya tidak ada kotak P3K, Lei Tingyu menelepon dokter keluarganya, tapi mendapat kabar karena hujan lebat, pihak dokter tidak bisa datang.
Membuka gorden, baru terlihat musim hujan yang tak henti-hentinya telah menguji hati nurani drainase kota. Hujan yang terlalu deras menyebabkan genangan air dalam jumlah besar di jalanan, mobil yang diparkir di bawah rumah Lan Xin sudah tenggelam separuh.
Cuaca seperti ini membuat dokter keluarga yang tinggal di sisi lain kota tak bisa mengemudi ke sini. Meski Lei Tingyu punya pesawat pribadi sekalipun tak berguna, Tuhan tidak kooperatif, punya uang juga percuma.
Bagaimana dengan kucingnya?
