Bab 120 Tiba di Tempat yang Ajaib
“Apa?” Lan Xin tidak mendengar jelas.
Dia mengetuk kepala wanita itu sekali, "Tidak ada orang lain yang bisa mendengar, ini edisi terbatas."
Satu-satunya di dunia, khusus untuk Lei Tingyu.
"Edisi terbatas macam apa ini? Efek sintetisnya berteriak seperti sosok asli!" Wajah Lan Xin masih memerah.
Memang disintesis berdasarkan gelombang suaranya.
Tapi kalimat tentang mencapai tujuan ini adalah rekaman.
Ini terjadi saat pasangan ini baru menikah, ketika Lan Xin menggunakan segala cara untuk menjilatnya demi memohon bantuan bagi Keluarga Lan.
Hal paling menyedihkan di dunia adalah mengetahui niat palsunya, tapi dia tetap memasukkan wanita itu ke dalam hatinya.
Pandangan Lei Tingyu tertancap pada suatu titik di luar mobil. Pikiran puitis yang tadi muncul tiba-tiba terhenti.
Itu... kulit semangka?
Di jalan-jalan, setengah kulit semangka terbalik di tanah, dikerubungi lalat.
Paman dan Bibi membawa sayuran mondar-mandir dengan wajah puas.
Kehadiran Bugatti menjadi elemen yang tidak harmonis.
"Jangan-jangan...kau mau berbelanja di sini?" Wajah Lei Tingyu menghitam.
Perhatian mereka berdua terus terfokus pada navigasi spesial Lan Xin. Saat Lei Tingyu sadar telah diseret ke tempat ajaib ini, semuanya sudah terlambat.
"Ini dia, Pasar Terbuka Komoditas Pertanian Jalan Hongqiao! Tempat berkumpulnya bahan makanan terbaru se-kota!"
Lei Tingyu sudah lama tidak melihat tempat sekotor ini. Daun sayuran busuk bertebaran di antara keriuhan orang banyak, membuatnya enggan turun mobil.
"Dia mengira semua lapak sayur, sama rapi dan bersihnya seperti supermarket."
"Ayo, bantu aku bawa barang dong." Lan Xin mendorongnya, sebentar lagi dia akan membeli banyak barang.
Kenapa terkejut sekali? Tuan ini benar-benar tak tersentuh kehidupan duniawi.
Bagi pria perfeksionis kebersihan, memaksanya berdesakan di kerumunan sambil waspada menginjak kulit semangka dan daun sayur di kaki – ini tantangan tingkat tinggi yang luar biasa.
Lan Xin sudah dengan riang melesat di antara lapak-lapak sayur besar. Terlihat jelas dia sangat familiar dengan area ini, bahkan beberapa penjual sayur menyapanya dengan ramah.
Udara dipenuhi berbagai aroma – rempah-rempah, buah-buahan, makanan laut – campuran yang menjadi siksaan indra penciuman bagi Lei Tingyu.
Dia yang biasa duduk di kursi tinggi, urusan pengadaan seperti ini tak pernah disentuhnya. Pasar rakyat seperti ini pun belum pernah dikunjunginya.
"Lan Lan, udang hari ini segar banget. Mau dibeliin?"
Bibi penjual seafood mata berbinar melihat Lei Tingyu di belakang Lan Xin.
"Ini suaminya ya? Cocok banget sama kamu! Aku kasih diskon ya!"
Keramahan si bibi membuat pipi Lan Xin memerah, namun dia tak sanggup meluruskan status Lei Tingyu sebagai mantan suaminya.
Lei Tingyu memperhatikan telinganya yang merah sampai ke pangkal, tiba-tiba merasa tempat ini tak sepenuhnya tak tertahankan.
Setelah membayar, si bibi masih sempat meledek.
“Pemuda tampan yang tahu menyayangi istri, mau membantu membawa barang, Lan Lan sungguh beruntung ya!”
Lei Tingyu tiba-tiba merasa, bibi yang berbicara dengan dialek lokal ini sepertinya juga cukup ramah dan baik hati.
Pasar tidak seberapa besar, tapi ke mana pun dia pergi selalu ada yang memuji dia menikahi suami tampan.
Pujian itu akhirnya membuat Lan Xin kaku, saat orang lain memujinya menikahi suami baik, dia tidak hanya tidak memerah wajah, malah mengobrol santai sebentar.
"Mana ada sebagus itu, di rumah sehari-hari juga suka semaunya sendiri."
"Bagaimana mungkin? Keluar saja mau membantu membawa barang, pria seperti ini sekarang jarang ditemui lho."
"Bla bla bla..."
Obrolan santai tentang urusan rumah tangga biasanya paling dibenci Lei Tingyu, juga diremehkan untuk membuang-buang waktu.
Tapi saat melihat dia mengobrol tentang dirinya dengan orang lain, ternyata tidak menjengkelkan, bahkan dari awal sampai akhir, sudut mulutnya tetap membentuk lengkungan yang tak disadarinya sendiri.
Saat mengobrol santai, Lan Xin juga diam-diam melirik boss dari sudut mata, merasa Lei Tingyu yang terpengaruh suasana duniawi ini tidak lagi sedingin biasa.
Saat mereka berdua keluar, lengan Lei Tingyu sudah penuh membawa barang-barang.
“Ke depan kamu benar-benar harus sering ikut aku berbelanja, lihat, dapat bonus sebanyak ini!”
“Beli jahe dapat bawang gratis, semua karena daya pesona boss yang besar.”
“Suka keuntungan receh.” Lei Tingyu menggelengkan kepala, membuka bagasi, bersiap menaruh semua barang belanjaan.
Tiba-tiba, mata Lan Xin berbinar, "Lei Tingyu! Beri aku 5 ribu rupiah!"
Uang di dompetnya sudah habis. Lei Tingyu mengeluarkan dompet dan memberikan selembar uang besar padanya.
"Tunggu aku!" Lan Xin berlari ke pedagang kaki lima, seorang Nenek yang mendorong troli berisi kue dingin.
Lei Tingyu bersandar di mobil menunggu. Beberapa saat kemudian Lan Xin kembali dengan banyak kue dingin, sementara troli Nenek sudah kosong.
"Beli sebanyak ini, kamu bisa habiskan?"
Boss mengangkat alis. Dia tidak makan makanan buatan orang luar. Dia ingat Lan Xin juga tidak suka jajanan tradisional seperti ini?
"Aku memang tidak suka makan. Nanti kita lewat panti asuhan, kita bagikan ke anak-anak saja."
Lan Xin melempar kue-kue ke kursi belakang, lalu masuk ke kursi depan mobil.
"Nenek itu sangat kasihan. Cucunya sakit tapi tidak ada biaya berobat. Usianya sudah 80 lebih masih jualan kue untuk menutupi kebutuhan rumah tangga. Setiap lewat sini aku selalu membeli."
Hari ini Nenek tidak punya uang kembalian, jadi Lan Xin membeli semuanya.
Boss menjentik kepala Lan Xin dengan lembut, matanya memancarkan kelembutan.
"Seharian wajah bodoh begini."
Makanan tidak disukai tetap saja dibeli.
Tapi, Lan Xin yang kikuk seperti ini juga cukup menggemaskan.
Di sebelah panti asuhan Kota B terdapat rumah sakit ibu dan anak. Saat Bugatti mewah berhenti, banyak anak yang sedang bermain di halaman berkerumun penasaran. Lan Xin turun dan membagikan kue-kue tersebut.
Lei Tingyu duduk di mobil, mengamati profil wajahnya yang membungkuk. Sinar matahari sore menerobos cabang-cabang pohon di tepi jalan, menyinari tubuhnya bagai diselimuti cahaya nakal.
Barang-barang cepat habis dibagikan. Lan Xin melambaikan tangan mengucapkan selamat tinggal pada anak-anak. Dari arah rumah sakit muncul seseorang yang lesu berjalan mendekati Lan Xin.
Lan Xin sedang melambaikan tangan pada anak-anak, tanpa melihat jalan saat menoleh.
Dua orang yang tidak fokus itu hampir bertabrakan.
Saat Lei Tingyu menyadari, sudah terlambat untuk memperingatkan Lan Xin.
Kedua perempuan itu bertabrakan.
"Ah!" Lan Xin merasakan sesuatu menyenggol punggungnya, dia cepat-cepat menghentikan langkah.
"Maaf!"
"Maaf!"
Keduanya serentak berkata.
Lan Xin menengadah, perempuan yang ditabraknya ternyata dikenalnya.
"Shishi?"
Bukankah ini tunangan Mu Feng, Jin Shishi?
"Lan Xin?" Ekspresi Shishi terkejut melihat Lan Xin.
"Kebetulan, kamu juga datang menjenguk anak?" Setelah pertemuan lalu, Lan Xin lupa menukar kontaknya, tapi kesan terhadap nona ini tetap mendalam.
"Aku..." Shishi menggenggam erat tas rumah sakit di tangannya, menunduk takut ketahuan.
"Kalian kenal?" Lei Tingyu menghampiri, memastikan Lan Xin tidak terluka sebelum menoleh ke Shishi.
"Ini Shishi." Lan Xin memperkenalkan.
Lei Tingyu teringat, tunangan Mu Feng?
Oh, seharusnya ditambahkan kata 'mantan'.
"Mantan tunangan, katanya kedua keluarga sudah membatalkan pertunangan."
