Bab 238 Kenapa Tak Bisa Mengalahkan Si Licik Ini
Saat bos mengumumkan kemenangan, Lan Xin yang sudah berniat menghindar dari janji, menyungging senyum licik.
Memanfaatkan saat bos santai menyuruhnya memenuhi perjanjian, tiba-tiba dengan kecepatan kilat dia meraih papan catur dan mendorongnya keras.
Bidak-bidak berhamburan di atas ranjang.
Lan Xin pura-pura terkejut, "Aduh!"
"Aduh, tanganku licin!"
Bos tak terkejut, hanya memandangnya dingin.
"Lekas tunjukkan kelicikanmu yang lain!"
Lan Xin menutup mulut dengan tangan, tertawa terbahak-bahak.
“Oh hē hē hē~ Menurut aturan arena catur, babak ini tidak termasuk hitungan!”
“Arena catur apa yang tidak tahu malu seperti ini?”
Lan Xin mengedipkan mata, "Arena catur Xin Xin!"
Wilayah kekuasaanku, akulah yang berkuasa!
Lan Xin berusaha mencari kata-kata yang tepat, lalu berkata dengan penuh seni.
"Moodku saat ini seperti di musim panas yang terik, suhu di luar 40 derajat, tapi aku di dalam ruangan, menikmati hot pot dengan AC menyala!"
Mantap sekali sampai tak terkira!
Boss memandang dingin Lan Xin yang sedang bersenang-senang, sambil bersenandung riang ia memasukkan semua bidak catur ke dalam kotak.
"Sekarang, apakah masih ada kenangan buruk tentang tempat ini?" tanya Boss.
Lan Xin menggelengkan kepala, adegan membalik papan catur tadi benar-benar membuatnya sangat senang.
"Sebenarnya, kurasa kau bisa lebih bahagia lagi."
Boss tiba-tiba terjun menghampiri, Lan Xin berteriak "Ah!", pandangannya berkunang-kunang.
Terjungkal...
Lalu, dalam pertimbangan terakhir sebelum tak sadarkan diri, Lan Xin tersadar.
Lei Tingyu si licik tingkat dewa itu, dua babak pertama pasti sengaja dikalahkannya.
Karena... dia tidak perlu melepas pakaian...
Lei Tingyu, sialan kau! Kutukan untukmu habis tenaga sampai mati!
Meski kini ada kenangan berbeda di sini, Lan Xin tetap tidak menyukai tempat ini. Jangan tanya alasannya...
Hari kedua, Lan Xin tidur sampai siang baru bangun.
Boss sudah berangkat kerja, meninggalkan catatan agar ia menemui untuk makan siang.
Lan Xin menguap sambil meraih ponsel, baru sadar bahwa perangkat itu diubahnya ke mode silent.
"Ada 3 panggilan tak terjawab di atasan, semuanya dari nomor asing yang sama."
"Siapa ini?"
Saat menelepon balik, di ujung lain terdengar suara perempuan yang sangat lembut.
"Selamat siang, apakah Anda yang meninggalkan pesan di toko saya tentang membeli foto?"
Lan Xin teringat, ini adalah bos Feng Luo Jiu Tian! "Ya, itu saya!"
"Oh ternyata kamu." Feng Ting juga memiliki kesan mendalam pada Lan Xin, gadis ini sangat disukainya, bisa dikenali dari suaranya saja.
"Anda masih ingat saya? Kalau begitu, apakah Anda punya waktu siang ini? Saya akan datang ke tempat Anda, bisakah kita bertemu langsung?"
Lan Xin benar-benar menyukai foto itu, sangat berharap bos mau memberikannya.
"Baik."
Setelah tutup telepon, Lan Xin mengirim pesan suara WeChat ke Lei Tingyu.
"Saya harus menemui bos Feng Luo Jiu Tian siang ini untuk membicarakan pembelian foto. Jika kamu lapar, makanlah dulu."
boss dengan cepat membalas: Bagus.
Kemudian mengirimkan sebuah gambar padanya.
Setelah melihatnya, Lan Xin murka.
Lei Tingyu yang tidak tahu malu, kamu benar-benar bisa semakin berhati-hati ya?
Yang dikirimkannya adalah pose tidur Lan Xin ketika kelelahan semalam.
boss dengan tak tahu malu menghantam keras, bahkan menggunakan papan kertas bertuliskan beberapa karakter yang ditempelkan di dadanya.
Tulisan itu berbunyi: Yang kalah harus menerima kekalahan.
Sungguh pendendam! Dia hanya bilang akan memfotonya, tapi dia malah memfotonya dengan cara tak tahu malu...
Lelaki pendendam ini membuat Lan Xin menggigit gigi, mengapa dia tak bisa mengalahkannya?
Lan Xin mencari lokasi yang disebut Feng Ting, baru menyadari bahwa di halaman belakang restoran hidangan spesial rumah tangga, ada sebuah rumah kecil tempat Feng Ting tinggal.
"Apa tidak mengganggumu?" Lan Xin penasaran mengamati pekarangan kecil ini, sebuah siheyuan. Bagian depan digunakan untuk restoran hidangan spesial rumah tangga, masuk melalui pintu belakang, langsung ke rumah Feng Ting. Di halaman tumbuh banyak bunga mawar.
Bunganya mekar dengan indah.
Feng Ting memasang meja di halaman, di atasnya sudah tersedia teko cha dingin yang telah didinginkan sejak lama.
"Tidak, aku jarang punya teman. Duduklah, minum cha dingin."
Sungguh lembut, pikir Lan Xin dalam hati sambil memperhatikan Feng Ting dengan lihai menuangkan cha untuknya.
"Belum sempat menanyakan nama Anda?"
"Namaku Feng Ting."
"Kalau begitu kusebut Kakak Feng?" Lan Xin tak bisa menebak usianya karena topeng yang selalu dikenakan, tapi melihat tangan dan suaranya, masih terasa muda.
"Usiaku cukup untuk jadi ibumu, panggil saja Tante Feng. Cicipilah, suka atau tidak."
Lan Xin menyesap sedikit, matanya berbinar.
"Enak sekali!"
Benar-benar takdir! Bukan hanya hidangannya cocok dengan seleranya, cha dinginnya juga sempurna!
"Tante Feng, kali ini aku sungguh-sungguh ingin membeli foto itu. Aku sangat menyukainya, boleh tahu siapa yang memotretnya?"
Hanya dua orang yang bisa menangkap jiwa dalam foto: Gong Lao Da saudara Lei Tingyu yang ia kagumi, dan fotografer bernama Tian ini.
Feng Ting tersenyum meminta maaf, "Maaf, itu barang tidak dijual bebas."
"Ah..." Lan Xin terlihat menyesal, tapi tidak memaksa.
"Sepertinya ini foto yang punya cerita ya."
"Um, itu satu-satunya hadiah yang ditinggalkan pria yang kusukai untukku. Mungkin tidak berharga, tapi bagiku ini kenangan. Aku sangat menyukai kucing, mengenalnya juga karena kami sering memberi makan kucing liar di taman bersama."
Feng Ting tersenyum.
"Kalau dipikir lucu juga, dulu kami pernah berjanji, jika kelak punya anak perempuan, berharap dia bisa secantik kucing yang pandai manja."
Lan Xin tertawa kaku, "Tuan saya selalu bilang aku mirip kucing."
Rupanya benar ada orang yang sangat mencintai kucing seperti ini.
"Haha, pantasan saja aku merasa cocok denganmu."
Saat mereka sedang berbincang santai, tiba-tiba bel di halaman berbunyi.
"Ini bel darurat tamu di depan. Aku akan lihat apa yang terjadi. Silakan duduk sebentar, aku segera kembali."
Lan Xin berkeliling halaman, terpesona oleh desain taman yang cerdik ini.
Bibi Feng ini benar-benar wanita yang paham hidup. Lihat saja bagaimana dia menata halaman sedemikian hangat.
Setelah menunggu beberapa saat tanpa kehadiran Bibi Feng, Lan Xin merasa heran dan berjalan ke halaman depan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Sebelum sempat menginjakkan kaki ke restoran spesial, terdengar suara perempuan yang mempertanyakan di dalam.
"Bos, kami datang ke sini karena dengar menu di sini unik. Tapi Anda cuma menghidangkan ini untuk kami?"
"Maaf tamu, ada yang tidak memuaskan?" suara lembut Feng Ting terdengar.
"Buddha Melompat Tembok yang baik harus menggunakan sirip ikan terbaik, ini yang kamu pakai apa sih?"
Suara perempuan yang bersikap agresif ini terdengar familiar bagi Lan Xin.
"Sudahlah Bai Yanan, ini sudah enak kok, jangan memperumit Tante Feng."
Suara lainnya langsung dikenali Lan Xin.
Jin Shishi?
Bukannya dia masih dalam masa menjaga kandungan? Kenapa bisa datang ke sini?
Sambil berpikir, Lan Xin mendorong pintu masuk ke dalam ruangan, tepat melihat perempuan bermata sinis yang pernah merepotkannya itu sedang menekan Tante Feng dengan agresif.
Sedangkan yang menjadi penengah adalah Jin Shishi yang baru saja berhasil menjaga kandungannya!
Sepertinya Bai Yanan mengajak Shishi makan, tapi di tengah jalan tidak puas lalu mencari-cari masalah dengan Tante Feng!
