BAB 251 Senang-senang Saja!
"Setiap aku kesal atau nekat, aku suka makan. Pudding ini buatanku semalam, sudah didinginkan semalaman, segar banget. Coba makan, siapa tau marahmu reda."
Lan Xin pertama-tama menyodorkan dessert cinta buatannya.
Dari sudut matanya, boss melirik sekilas. Ternyata rasa favoritnya.
Lebih parah lagi dikemas dalam wadah berbentuk hati yang super imut. Tangannya hampir refleks menggapai.
Tapi sebagai boss, mana boleh bersikap kayak pecinta makanan?
Maka boss bermuka dingin, "Singkirkan!"
Oh, nggak mempan ya? Kalau gitu pakai yang ini.
Lan Xin meraba-raba dalam tasnya, mengeluarkan benda lembut mirip telur imitasi.
“Ini mainan pelampiasan emosi untukmu, lihat, saat tidak bahagia, lempar saja ke lantai seperti ini, berapa kali dilempar pun tidak akan pecah, 10 ribu per 5 buah gratis ongkir, bisa dijatuhkan berulang kali!”
Mata boss menyala-nyala, Kamu menganggapku anak taman kanak-kanak?
“Bukankah kau tidak suka telur? Sebenarnya ada bentuk lain, aku beli lima...”
“Ambil, pergilah!”
Boss merasa seluruh amarahnya telah dialihkan, Dia menggunakan barang-barang ini untuk menghina IQ-nya?
Begini pun masih belum mereda...
Lan Xin terpaksa terus meraba, mengeluarkan botol anggur merah kosong, menatanya di depan Lei Tingyu.
Menganggapku pemulung sampah?!
Boss merasa, dirinya hampir mengeluarkan asap kemarahan.
“Jika dua benda tadi benar-benar tak bisa memuaskan keinginanmu untuk melempar barang saat marah, maka silahkan hancurkan ini. Meski mungkin agak merepotkan saat membersihkan, tapi biayanya lebih rendah.”
Kedepannya botol anggur merah sisa minum di rumah, jangan pernah dibuang, kumpulkan semua, siapa tahu suatu hari boss tiba-tiba gila, bisa langsung dikeluarkan.
“Lihat, saat kau melempar komputer atau menghancurkan furnitur, sama sekali tidak sekeras suara botol pecah, juga tidak ada efek dramatis seperti pecahnya botol.”
Yang terpenting, melempar botol anggur, lebih hemat.
Lan Xin begadang semalaman mencoba meredakan amarah Lei Tingyu, boss tidak hanya tidak reda, malah semakin murka.
Botol anggur pun tidak mempan? Sepertinya harus mengeluarkan senjata rahasia!
Lan Xin memberanikan diri, menyerahkan pentungan duri karet yang tergantung di punggungnya kepada Lei Tingyu, sementara dirinya sendiri mengenakan helm dengan gagah layak pejuang yang siap berkorban.
"Masalah ini aku yang memulai, jika cara apapun tidak bisa meredakan amarahmu, maka pukullah aku."
Memegang mainan karet yang tidak menyakitkan ini plus memakai helm, "ketulusan" seperti ini benar-benar "mengharukan" sang boss.
Lan Xin menutup mata mendekatinya, menggunakan helm bergambar topeng opera Peking versi kartun Q untuk menghadapkan wajahnya ke arah Lei Tingyu.
Pukullah! Aku bertanggung jawab penuh atas perbuatanku!
"Kau tidak takut aku marah?"
Dia tidak menerima pentungan duri karet yang menggelikan itu.
"Takut dong." Boss yang sedang gila bisa jadi tornado, tidak menghancurkan sesuatu pasti tidak akan mau berhenti.
Sebelumnya entah merusak barang atau mengikatnya, bahkan pernah duduk di tepi tebing, mana ada orang yang tidak takut?
"Kalau takut kenapa tidak kabur?"
"Kabur? Ke mana? Aku yang memulai masalah ini, malu dong lari begitu saja?"
Lan Xin sampai sekarang masih yakin, gara-gara dia tidak sengaja menyinggung ibu Lei, boss jadi bermusuhan dengan ibunya sendiri.
"Andai bukan kau yang memicu amarahnya, maukah kau tetap tinggal?"
Lei Tingyu adalah pria yang sangat pandai menekan emosi. Di mata publik, dia hampir seperti robot tanpa perasaan.
Tapi justru pria seperti ini, sekali tersulut titik kemarahannya, akan berubah sangat menyeramkan.
Terkadang, dia sendiri juga merasa tidak bisa mengendalikan dirinya yang sedang dilanda murka.
"Tapi, kucing pengecut itu, tetap bertahan."
"Mengapa harus pergi? Kenapa tidak tinggal?" Lan Xin mengangkat kepala, menatap mata dalam Lei Tingyu, berkata dengan sungguh-sungguh.
"Mengapa?"
"Karena kau memberiku rumah. Ini rumahku, kau suamiku. Ke mana lagi harus ku pergi? Meski pergi jauh, saat waktunya tiba, tetap harus kembali ke pintu yang sama. Membukanya dengan dua kunci. Berapa pun jauhku pergi, akhirnya harus kembali. Jadi buat apa repot-repot pergi?"
Saat paling menyedihkan baginya, Lei Tingyulah yang memberinya rumah.
Ia tak lagi punya rumah untuk kembali. Di mana pun dia berada, itulah tempatnya berpulang.
Sifatnya memang keras, tapi jika aku pergi, bagaimana nasibnya?
Setelah selesai bicara, Lan Xin menutup matanya.
"Ayo, ingat, jangan pukul wajah. Pukul sampai amarahmu reda saja."
Toh tongkat udara itu takkan sakit~
Tapi boss tetap tak bergerak.
Lan Xin memandangnya penuh keraguan. Tiba-tiba, boss berdiri menghadapnya.
Lan Xin mundur ketakutan.
"Hei, kusuruh pakai yang udara, bukan tinjumu!" Bercanda, itu pasti sakit sekali.
Lalu, ekspresi serius Lei Tingyu ini, ada apa sebenarnya?
Tak sempat menghindar, Lan Xin diremas erat dalam pelukan boss. Dekapannya begitu kuat, seolah ingin menyatukannya dengan tubuhnya.
"Lei Tingyu, kau—mmph!"
Baru satu kalinya bicara, bibirnya sudah disegel ciuman dahsyat. Ciumannya penuh gairah, bagai kelaparan bertahun-tahun.
“Lan Xin merasa dirinya seperti akan ditelan hidup-hidup olehnya, gerakan pria hari ini luar biasa kasar.”
Tiba-tiba, dia mengangkatnya dan melemparkannya ke ranjang.
“Hai, bukankah kau masih marah?”
Hanya karena satu ketidaksepakatan, langsung paham melepas pakaian – situasi apa ini?
“Apakah peralihan adegannya terlalu cepat?” Tanya Lan Xin sementara pakaiannya sudah mulai terlepas.
Celaka! Sungguh menyakitkan hati! Pakaian ini jauh lebih berharga daripada botol anggur kosong! Robek? Sungguh menyayat hati!
“Diam!” Lei Tingyu hanya punya satu pertimbangan sekarang.
Mencintainya dengan tegas!
Ucapan Lan Xin "Ini rumahku" menyentuh saraf Lei Tingyu dalam-dalam. Segala amarah dan kehilangan kendali terlontar dari pikiran.
Dia bilang ini rumahnya. Dia bilang dia suaminya. Dia bilang takkan meninggalkannya, meski sementara pergi, sejauh apapun akan kembali.
Kalimat biasa itu menusuk hatinya, membuatnya ingin memeluk erat-erat hingga menyatu, tak terpisahkan.
Saat hampir terjebak, Lan Xin masih dengan susah payah menemukan sisa kewarasan untuk protes.
“Sebenarnya... aku bukan tidak mau bekerja sama. Tapi kata di internet, bercinta sambil marah tidak baik, mudah sesak nafas... Menurutku, pria berkarakter dingin seperti gunung es bisa sesak nafas karena alasan ini, agak... Ha!”
Boss yang sudah siap tempur, langsung kehilangan momentum oleh kalimat absurdnya.
Dia sudah bersiap menindihnya, namun karena ucapan gadis itu, tak berdaya berbaring di ranjang, bahu bergetar tak terkendali.
Lan Xin buru-buru bangkit, menatap bos yang malang dengan perasaan bersalah.
Mengulurkan jari menyentuh bahunya, "Hai, aku tidak menolakmu kok, kalau mau tidak masalah, tapi bisakah kita tunggu sampai amarahmu reda, agar tidak sesak napas--"
Bahunya bergetar semakin kencang.
Gawat, jangan-jangan dia membuat bos menangis?
Lan Xin merasa berdosa berat, sampai Bing Shan marah seperti itu, dia bahkan tidak memenuhi permintaan sederhananya, mungkinkah dia menangis karena murka?
Menggigit gigi, dengan sukarela berbaring membentuk huruf X besar.
"Ayo, lakukan apa saja yang kau mau, yang penting kau senang!"
