Bab 267: Jika Cinta Terlalu Rendah Diri, Lepaskanlah
Lan Xin mengajarkan Shishi keberanian, sementara interaksi antara Lan Xin dan Lei Tingyu membuatnya memahami cinta dan pernikahan. Pertumbuhan terjadi dalam sekejap.
“Apa yang kau katakan?” Mu Feng mengerutkan kening.
Ekspresinya membuat Shishi semakin yakin dengan pendiriannya.
“Mu Feng, pernahkah kamu bercermin? Ekspresimu saat ini, penuh ketidakrelaan di hati, hanya demi tanggung jawab yang kamu anggap milikmu, memberi aku pernikahan sebagai sedekah. Pernahkah kamu bertanya padaku, apakah aku membutuhkan pernikahan seperti ini?”
Kata-kata tenangnya bagai bom yang meledak dengan dahsyat di hati Mu Feng.
Shishi, bagaimana mungkin mengucapkan kata-kata seperti ini? Bukankah dia selalu dikenal tanpa sifat keras kepala?
Hanya karena menyukainya, dia rela menjadi perempuan pendiam di belakangnya. Tapi sekarang, dia berani mengungkapkan isi hatinya padanya?
“Sebelumnya, bukankah kamu sangat ingin menikahiku? Sekarang, saat aku yang mengajukan, kamu malah menolak. Shishi, kita sudah dewasa, tidak perlu memainkan permainan pura-pura memberi kelonggaran ini.”
Kata "Pura-pura memberi kelonggaran" membuat wajah Shishi memucat, hatinya berdenyut-denyut sakit.
“Ucapanmu ini semakin menguatkan tekadku. Aku tidak akan menikahimu. Meski sebelumnya aku sangat ingin, sekarang aku sudah mengerti.”
“Apa maksudmu?” Mu Feng merasa perempuan di hadapannya bukan Shishi yang dikenalnya.
Mengapa dia terus mengatakan hal-hal yang tidak bisa dipahaminya?
“Cinta bukan monolog, pernikahan juga bukan kompromi sembarangan. Persatuan terpaksa demi anak, tidak adil bagimu, bagiku, maupun bayi kita. Aku akui dulu sangat menyukaimu, tapi sekarang aku sudah legawa. Mu Feng, mungkin aku tidak mencintaimu sebesar yang kubayangkan.”
“Tidak mencintaiku?” Hati Mu Feng seolah tertusuk dengan tegas hingga berlubang.
Beberapa hal yang dia anggap sangat wajar, seperti perasaan Shishi padanya. Selama empat tahun, dia selalu di belakangnya. Tapi ketika akhirnya dia ingin berbalik, baru menyadari bahwa hal-hal yang dianggap wajar itu telah pergi tanpa disadari.
“Um, aku memang menyukaimu. Tapi tidak sampai level rela melepaskan martabatku demi kamu. Dulu ingin menikahimu karena tidak tahu ada orang di hatimu. Kupikir dengan usaha keras, cepat atau lambat kamu akan melihatku.”
Shishi merasa lebih lega setelah menyelesaikan penjelasan.
Hari ini saat berinteraksi dengan Lan Xin, hasil terbesarnya adalah dia belajar berani mengungkapkan isi hati seperti Lan Xin.
Cinta ya cinta, tidak ya tidak. Orang yang disukai dan yang dibenci dibedakan dengan jelas.
Jangan ambigu, jangan bertele-tele, hadapi hidup sendiri tanpa menghindar.
Dia menengadah, menatap langsung ke Mu Feng. Di matanya ada cahaya yang menakutkan bagi Mu Feng - sorot mata yang disebut kelahiran baru.
Shishi telah menemukan kembali dirinya sendiri, tapi tidak menginginkannya lagi.
“Karena orang di hatimu kebetulan adalah kakak yang sangat kusukai. Menurutku seumur hidup takkan bisa menggantikan posisinya. Meski kamu bersedia menikahiku, hatimu takkan diletakkan di sini. Kalau begitu, mengapa harus mengalah?”
Mu Feng merasa tenggorokannya sedikit sesak. Dalam sorot mata jernih Shishi, dia melihat kerendahan dan kekerdilan dirinya sendiri. Luas hatinya, ternyata tak sebanding dengan seorang perempuan.
"Tapi jika aku menikahimu, akan kujalankan Jalan interaksi suami-istri, menjadi ayah dan suami yang baik. Apa kamu harus mempermasalahkan masa laluku?" kata Mu Feng.
Shishi menggelengkan kepala, memandangnya dengan sedikit kasihan.
"Mu Feng, aku mulai kasihan padamu. Kau terus mengejar tujuan akhir, tapi selain kejauhan, tak ada apa-apa di sana. Semua pemandangan di sepanjang jalan, kaulewatkan."
Dulu dia begitu mencintai pria ini. Tapi sekarang dia paham, hubungan tak bisa dipaksakan. Dia telah melewatkan masa terindah saat cintanya masih bersemi.
Kalimat yang pernah diucapkan Lan Xin ini, ternyata begitu tepat menggambarkan Mu Feng.
"Apa kita... benar-benar tak mungkin lagi?" Mu Feng merasa hatinya kosong melompong.
Kehilangan Shishi, lebih menyedihkan dari yang dibayangkan.
"Um, sebagai pasangan memang tak mungkin. Sekerendah apapun cintaku, tak ingin kehilangan jati diri. Pria yang tak mencintaiku, juga tak kuinginkan. Mu Feng, mari kita putus. Aku punya kemampuan ekonomi untuk membesarkan anak kita. Nanti, silakan kunjungi bayi ini kapan saja."
Shishi mengusap perutnya penuh kasih sayang.
"Akan kuceritakan pada bayi ini, seperti apa ayahnya. Kau orang baik, tak mencintaiku bukan salahmu. Dendam antara kita tak akan kualirkan pada anak."
Dia telah mempersiapkan segalanya. Namun dalam masa depannya, dia justru dibantai habis.
"Bolehkah aku bertanya, apa yang membuatmu mengalami perubahan sebesar ini?" tanya Mu Feng, sepertinya dia tiba-tiba menjadi dewasa dalam semalam.
"Interaksi antara Lan Xin dan Lei Tingyu membuatku mengerti, cinta dan pernikahan meski memiliki ribuan wujud, tapi tak satupun yang berbasis pada pengorbanan diri."
Bahkan Lei Tingyu yang begitu sombong bisa memperlambat ritme hidupnya untuk menyesuaikan diri dengan Lan Xin yang terkadang bertingkah aneh, masih ada apa lagi yang tidak mungkin?
Hanya tergantung pada apakah dia mau melakukannya untuk dirinya sendiri atau tidak.
Jika sebuah hubungan terlalu merendahkan diri dalam mencintai, lepaskanlah. Setidaknya dengan kehilangan cinta, dia menemukan kembali dirinya.
Ini, bagus.
Lan Xin berdiri di balkon lantai dua, kamera DSLR-nya tergenggam di tangan.
Memperkecil jarak fokus, memaksakan kamera sebagai teleskop, mengintip Shishi dan Mu Feng secara terang-terangan.
Ekspresi Shishi sangat tenang, tapi Mu Feng terlihat panik. Tiba-tiba, Shishi berdiri dan berjalan menjauh ke arah berlawanan dari Mu Feng. Mu Feng mengulurkan tangan untuk menarik Shishi.
Shishi menoleh dan berkata sesuatu padanya, lalu mendorongnya. Keduanya bersimpangan.
Lan Xin secara tak sadar menekan tombol rana. Adegan ini terlihat sangat memilukan nan agung.
Dua orang yang bersimpangan, Shishi dengan wajah tenang seolah telah melepaskan segalanya, sementara Mu Feng di belakangnya terlihat menyesal.
"Hidup adalah rangkaian kesempatan yang terlewat dan kehilangan yang terus-menerus..."
Lan Xin bergumam sendiri, seolah baru saja mengalami sebuah perpisahan.
"Perasaan sentimental hanya bertahan dua detik," suara percakapan samar-samar terdengar dari ruang belajar.
Orang-orang itu berbicara ramai, tak satu pun suara boss terdengar.
Saat masuk ke ruang belajar, Lan Xin langsung terkejut melihat pemandangan di dalam.
Boss yang duduk di kursi utama tetap muram seperti biasa, hanya saja kegelapan di wajahnya cukup membuat langit cerah ikut berduka.
Yang membuat boss memancarkan hawa dingin lebih kuat dari biasanya adalah beberapa orang yang mengerumuni mejanya.
Meski dari posisi dan aura-nya boss sudah menguasai situasi, Lan Xin merasa boss yang dikepung oleh sekelompok orang istimewa ini terlihat kesepian hingga membuatnya tersayat hati.
"Ting Yu, kamu dan Xiao Nan sama-sama punya latar belakang studi luar negeri, pasti cocok berdiskusi." Ibu Lei tak kenal lelah mempromosikan Bai Xiao Nan.
Melihat Lan Xin masuk, Ibu Lei segera mengubah ekspresinya.
"Boleh tahu Nona Lan lulus dari universitas mana?"
"Perguruan tinggi tier dua dalam negeri, bukan 985 atau 211, jurusan yang sudah terlalu umum. Jujur saja, bahkan saya sendiri merasa jurusan itu tidak cocok untuk saya. Tapi, lalu kenapa?"
