Bab 384 Jika Dia Ingin Jadi Pahlawan, Akan Kutemani Sampai Akhir
“Bibi Chen, kenapa matamu bengkak seperti ini?”
Sejak mengetahui kebenaran, air mata Bibi Chen tak berhenti mengalir hingga matanya bengkak bak bakpao. Kini mendengar perkataan Lan Xin, dia berusaha menekan kesedihan dan berpura tenang.
“Nyonya muda, aku baik-baik saja. Sebenarnya ingin kutanya... Apa kau membenci Tuan muda?”
Meski Lei Tingyu berulang kali memperingatkan semua orang untuk tidak memberitahu kebenaran pada Lan Xin, Bibi Chen tetap tak kuasa menahan diri.
“Benci? Benci apa?”
"Lan Xin sekarang, wajahnya tenang tanpa gejolak, tak ada yang bisa menebak apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya."
"Bibi Chen, tahukah kau betapa aku mencintainya?"
“...”
"Karena itulah, aku tak boleh membiarkannya melakukan hal yang akan disesalinya seumur hidup."
Lan Xin menundukkan matanya, menyembunyikan strategi di kedalaman pandangannya.
"Nyonya muda, jika kau sedih, menangislah."
Kondisi mental Lan Xin saat ini membuat Bibi Chen merasa sangat gelisah.
Reaksi ini benar-benar terasa aneh.
Jika Lan Xin menangis atau membuat keributan, itu masih terbilang wajar.
Tapi Lan Xin justru dengan tenang bercerita tentang perasaannya pada Lei Tingyu, ini membuat Bibi Chen merasa sangat tidak biasa.
Tapi di mana letak keanehannya, dia sendiri tak bisa menjelaskan.
"Lei Tingyu ini pria yang terlalu hebat. Dia memiliki otak pemberian langit yang hampir bisa menghitung segalanya, tapi pasti dia tak akan bisa menebak apa yang akan kulakukan selanjutnya."
"Nyonya muda, sebenarnya apa yang ingin Anda lakukan?" Bibi Chen menatap ekspresi Lan Xin dengan gemetar ketakutan.
Mengapa ada firasat bahwa Nyonya muda akan membuat kejadian besar?
"Aku Jin Lan Xin selalu menjadi perempuan yang membalas budi dan tak pernah melewatkan balas dendam. Apa pun yang Lei Tingyu lakukan padaku, secara alamiah harus kubalas setimpal. Dia yang begitu suka menghitung orang lain, sudah saatnya merasakan bagaimana rasanya dipermainkan."
"Nyonya muda, sebenarnya Tuan muda tidak--" Bibi Chen takut Lan Xin tak mau memaafkan Lei Tingyu, hampir saja membocorkan kebenaran kejadian itu tanpa sadar.
"Tapi menatap mata Lan Xin, dia diam seribu bahasa."
"Sorot mata Lan Xin ini terlalu mengerikan."
"Bagaimana bisa persis sama dengan Lei Tingyu?"
"Sepertinya meski tak mengucapkan apa-apa, di matanya sudah terlihat rencana mengatur strategi."
"'Bukan apa? Mau ungkapkan kebenaran? Dia tak berani memberitahuku, lalu, apakah kamu akan memberitahuku?'"
"Lan Xin berbalik dalam diam, tersenyum menatap Bibi Chen."
"Bibi Chen ketakutan mengalihkan pandangannya."
"Nyonya muda memang terlalu pintar."
"'Sebenarnya, Lei Tingyu semuanya bagus, hanya saja dia terlalu meremehkan IQ-ku, dan juga meremehkan perasaanku padanya...'"
"Cinta."
"Lan Xin meraba perutnya dengan ekspresi tenang."
"'Nyonya muda, apakah kamu...tahu sesuatu?'"
"'Mungkin tahu, mungkin tidak. Tapi aku percaya pada diriku sendiri, juga pada kemampuanku menilai pria. Hanya Lei Tingyu yang ingin jadi pahlawan, ingin membuat drama berlebihan, aku akan temani sampai akhir.'"
"Seorang perawat masuk berkata dengan hormat:"
"'Nyonya Lei, semuanya sudah siap. Silakan naik troli, kami akan mengantar Ibu ke ruang operasi.'"
"'Tidak perlu. Hanya menggugurkan anak, tak perlu dibuat seperti aku tidak bisa jalan. Aku akan berjalan sendiri.'"
"Lan Xin merapikan rambutnya lalu melangkah besar ke luar."
"Tiba-tiba Bibi Chen meneriakinya:"
"'Nyonya muda!'"
"'Um?'"
“Tuan muda, sebenarnya aku selalu mencintaimu.” Meski Tuan muda melarang untuk mengatakannya, tapi Bibi Chen benar-benar tidak tega melihat dua orang yang saling mencintai harus saling membenci seperti ini.
“Um, aku tahu. Kembalilah dan katakan padanya bahwa aku... juga mencintainya.”
Setelah menyelesaikan ucapannya, Lan Xin pergi mengikuti perawat.
Atas nama cinta, melakukan hal yang menyakiti orang lain? Lei Tingyu bisa melakukannya, Jin Lanxin pun juga mampu.
Ruang operasi berada di lantai atas, perlu naik elevator.
Saat ini, Lei Tingyu mengenakan serba hitam dengan ekspresi datar di wajahnya.
Aura kesedihan yang pekat menyelimuti tubuhnya.
Sebentar lagi, dia akan mengantar pergi anak pertama dalam hidupnya.
Bahkan belum sempat memeluk bayi itu.
Juga belum sempat melihat apakah itu anak laki-laki atau perempuan.
Tapi demi wanita yang paling dicintainya seumur hidup, dengan tegas dia mengorbankan bayi tersebut.
Pakaian hitamnya ini dianggap sebagai bentuk perpisahan dengan sang bayi, sekaligus ekspresi kesedihan terdalih seorang ayah.
Pintu elevator terbuka, di luar sudah menunggu sejumlah dokter yang akan menyambut Lan Xin masuk ke ruang operasi.
Meski operasi kecil, Lei Tingyu telah mengumpulkan ahli-ahli top dunia untuk memastikan prosedur ini berjalan sempurna.
Namun saat pintu elevator terbuka, semua dokter terkejut melihat perawat-perawat yang pingsan bergeletakan di dalam.
“Ke mana Nyonya Lei pergi?”
“Cepat! Beri tahu CEO Lei!”
Mendapat kabar ini, Lei Tingyu langsung berubah pucat marah.
"Sekumpulan sampah! Begitu banyak orang, bahkan seorang perempuan saja tidak bisa dijaga? Cari, segera carikan, jaring laba-laba sekalipun, jangan biarkan dia kabur!"
Hanya berjarak satu lantai, rencananya sudah begitu matang, sebenarnya bagaimana dia bisa melarikan diri?
Lei Tingyu murka hingga kepanikan memenuhi hatinya. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu, buru-buru mengeluarkan ponsel dan menekan beberapa tombol secara acak.
Lan Xin sebelumnya pernah diculik.
Untuk mencegah terulangnya kejadian seperti ini, ia memasang perangkat pelacakan pada tubuh Lan Xin yang mustahil terdeteksi.
Sistem pelacakan ini bisa dipantau langsung melalui ponselnya.
Tak lama, di layar terlihat titik yang bergerak cepat, jelas merupakan kecepatan kendaraan bermotor.
Mungkinkah ada yang membantu pelariannya?
"Siapkan mobil!"
Sekarang juga ia akan mengejar "kucing pelarian"-nya!
Lan Xin duduk di dalam mobil, menatap pemandangan yang melesat cepat di luar jendela.
Saat ini, Lei Tingyu pasti sudah menyadari kepergiannya.
"Sedihkah hatimu?" Pria yang menyetir menoleh bertanya pada Lan Xin.
Ia menolak duduk di kursi depan, memilih tetap di kursi belakang.
Bukan kursi depan Lei Tingyu, duduk di sana pun tak berarti.
"Masih lumayan." Jawab Lan Xin datar.
"Mau dengar musik?" Kalimat yang terdengar seperti tanya, tapi tangannya sudah lebih dulu membuka sistem audio mobil.
Mengetahui kehamilannya, musik lembut pun diputar. Namun begitu mendengarnya, hati Lan Xin yang tenang tadi seketika banjir air mata.
“Tidak enak didengar?” tanya Xiao Mingge, lagu piano Kanon yang dipilihnya sebenarnya sangat cocok untuk didengar ibu hamil, tapi kenapa Lan Xin terlihat emosinya hampir tak terkendali setelah mendengarnya?
“Sangat indah, hanya saja...”
Lagu itu sendiri tidak bermasalah, hanya saja ini memicu kenangannya.
Lei Tingyu dan dirinya berdamai justru karena lagu Kanon ini.
Dalam benaknya muncul gambaran mereka berdua di hotel Negara E, memainkan duet piano.
“Teringat keindahan masa lalu? Apa ada perasaan 'Seandainya kehidupan seperti pertemuan pertama'? Haha, aku benar-benar jenius, dalam waktu singkat sudah menguasai bahasa Mandarin sampai bisa menggunakan puisi seperti ini.”
Pernyataan Xiao Mingge tidak mendapat resonansi dari Lan Xin.
“Menurutku 'kehidupan seperti pertemuan pertama' bukanlah hal yang layak disedihkan.”
“Oh, mengapa?”
“Hanya orang yang tidak punya pegangan akan masa depan dan pasrah pada keadaan sekarang yang akan berkeluh kesah seperti itu. Sedangkan aku...”
Tidak hanya ingin 'kehidupan seperti pertemuan pertama', tapi juga ingin menggapai masa depan yang abadi. Dia tak hanya ingin pernah memiliki, tapi juga menginginkan keabadian.
Jadi...
Lan Xin menoleh ke belakang, tersenyum tipis ke arah jalan-jalan di belakangnya.
Lei Tingyu, aku pasti akan kembali!
