Bagian 125 Sayang, Cium Aku
"Anak baik, kemarahanmu tergantung padamu. Jangan kecewakan aku, tunjukkan yang terbaik!" Saat Wu Yuxuan hilang kontak, Su Nanfeng memang murka. Namun ketika benar-benar memeluknya, seluruh amarahnya lenyap. Kepuasan menemukan kembali sang kekasih mengusir murkanya. Tapi tak disangka, demi mengira ia masih marah, sang kekasih malah memilih cara ini untuk menyenangkannya. Soal hak istimewa, tentu ia harus pura-pura melanjutkan sandiwara ini. (Penulis: Oscar harusnya kasih kamu piala kecil... benar-benar...)
Su Nanfeng menutup mata, mendekatkan bibirnya ke mulut sang kekasih. "Sayang, cium aku."
Tidak mau! Wu Yuxuan hampir meneriakkan penolakan, tapi ingat sang kekasih masih marah, ia menelan kembali kata-kata itu.
Sudah begini, terjun saja... Anggap saja mencium babi!
“Wu Yuxuan menempelkan bibir cerinya ke bibir Su Nanfeng. Saat keempat bibir mereka bersentuhan, bibirnya terasa terbakar.”
“Setelah bibir mereka bersentuhan, Su Nanfeng menunggu lama namun tak kunjung melihat gerakan lanjutan dari Wu Yuxuan. Ia membuka mata dan melihat wajahnya yang seperti siap mati, lalu tersenyum, 'Sayang, ini bukan ciuman.'”
“Hah? Mmm...”
“Begitu mulut Wu Yuxuan terbuka, lidah lincah Su Nanfeng langsung menyusup melalui celah giginya. Dengan garang ia menghisap madu dalam mulutnya. Dalam ciuman dominannya, Wu Yuxuan terus terdesak seolah kehilangan semua napas.”
“Saat Wu Yuxuan hampir kehabisan napas, Su Nanfeng akhirnya melepaskannya. Lidahnya sengaja menjilat bibirnya beberapa kali sambil berbisik, 'Sayang, baru ini namanya ciuman.'”
“Wu Yuxuan terengah-engah: 'Adek lo!'”
“Hmm?”
“Adikku... Maksudku adikku...” Wu Yuxuan langsung menyerah, “Sekarang kamu tidak marah lagi, kan?”
“Dasar bodoh...” Su Nanfeng terus-menerus mengecup bibirnya. Penampilannya saat ini bisa membuat pria mana pun ingin menyobeknya. Ia semakin tak bisa mengendalikan diri, “Tutup matamu.”
“Wu Yuxuan menutup kedua matanya.”
“Seketika, bibir panas Su Nanfeng menempel pada bibirnya, menggulung lidah mungilnya dengan erat. Tangan besarnya meraih payudara putihnya yang bulat, mulai memijat dengan lembut.”
“Mmm...” Wu Yuxuan tak kuasa mengerang, namun karena mulutnya disumbatnya, erangan kecilnya terpecah-pecah.
Tangan Su Nanfeng meremas bulat lembut nan subur di dadanya, membentuknya menjadi berbagai bentuk menggoda di bawah jemari. Bibirnya meninggalkan bibirnya, menyusuri leher putih salju hingga berhenti di payudara, lidahnya menggoda puncak merah muda yang tenggelam dalam bola salju. Di bawah permainan lidahnya, puncak merah muda itu mengeras dan tersangkut di lubang jaring lingerie, memancarkan aura menggoda.
Wu Yuxuan bukanlah tandingan Su Nanfeng. Di bawah usapan bertubi-tubinya, tubuhnya mulai lemas, punggung kaki menegang. Dia benar-benar kewalahan, perasaan tak nyaman namun nikmat ini membuatnya ingin menjerit.
Su Nanfeng memanjakan kedua bola salju dengan setara, tak ada yang terabaikan hingga puncak merah muda itu basah oleh air liurnya dan berkilauan. Ia menarik tubuhnya untuk berlutut di ranjang.
Satu tangan Su Nanfeng mencubit dua gumpalan lembut yang bergantung, tangan lain mengelus puncak pantat bulat. Jarinya menyusuri celah belakang hingga menekan lubang intimnya, membuat tubuh mungilnya bergoyang.
"Wu Yuxuan terengah-engah, wajah mungilnya memerah. Yang lebih menyiksanya adalah gerbang rahasianya sudah basah oleh cairan madu, mengeluarkan bunyi cipratan mesum di bawah jemari pria itu."
"Su Nanfeng, jangan... jangan begini, kumohon..."
"Jangan bagaimana? Katakan padaku."
"Tanganmu, jangan..." Wu Yuxuan hampir gila. Lelaki brengsek ini jelas paham maksudnya, tapi pura-pura bodoh dengan ekspresi "sama sekali tak mengerti"."
"Kumohon, lepaskan tanganmu... Aku tidak tahan... Mmph..."
"Sayang, hari ini kau yang datang sendiri."
"Kau sengaja menggangguku, aku... Ah!"
Untuk menghukum ketidakpatuhannya, Su Nanfeng mencubit mutiara giok di selangkangannya. Seperti katanya, memang sengaja ia menyiksa. Tapi sial, ia justru ketagihan - ingin menyiksanya seumur hidup...
Mendengar kata-kata provokatif Su Nanfeng, merasakan jarinya mengacak-acak lubang intimnya, Wu Yuxuan gemetar antara malu dan panik. Matanya yang berkaca-kaca dipenuhi gelora hasrat.
"Kau... kau benar-benar bajingan..."
Ucapan Wu Yuxuan yang tersendat-sendat terdengar seperti rayuan malu. Su Nanfeng tersenyum gemas: "Ya, aku bajingan. Bajingan yang hanya mau mengganggumu."
"Setelah berkata demikian, Su Nanfeng menggenggam kaki mulusnya dan menarik ke arahnya, membuat tubuhnya terjatuh di atas ranjang."
"Dia langsung membuka kedua kakinya, melengkungkan pergelangan tangannya. Dalam sekejap, tubuhnya membentuk huruf M di hadapannya, area sensitifnya terbuka di udara."
"Ah! Su Nanfeng, apa lagi yang mau kau lakukan?" Wu Yuxuan berusaha melawan tapi tak berdaya menghadapi kekuatan Su Nanfeng. Dengan senyum, pria itu mengambil bantal dan mengganjal pinggangnya, membuat posisinya lebih terbuka untuk dinikmati.
"Dengan gesit, Su Nanfeng merobek kain segitiga penutup malu. Gerbang rahasia yang indah itu langsung terbuka di depan matanya, liang madu yang basah oleh madu kristal seakan menunggu untuk dipetik."
"Su Nanfeng memandangi lubang intim yang menggoda itu. Jarinya mengoleskan madu licin yang mengalir, lalu menyelusup masuk di antara bibir kemaluannya yang terbuka."
"Ah! Su Nanfeng, jangan... Singkirkan tanganmu! Aku janji tidak akan kabur lagi, tidak akan membuatmu marah..." Wu Yuxuan merintih ketakutan. Kakinya yang ingin mengatup dihalangi tangan pria itu, membuatnya seperti anak domba kecil yang tak berdaya."
"Su Nanfeng mendengar rayuannya, tertawa sambil berkata, 'Sayang, jangan buru-buru! Jari tengah panjangnya dengan mudah meluncur masuk ke celah yang dalam dibantu cairan madu yang licin, rasa asam dan kebas yang tajam tiba-tiba menyerangnya, membuatnya tak kuasa berteriak 'Ah!'"
"Melihat reaksinya, Su Nanfeng merasa senang, jarinya dengan nakal menggaruk-garuk dinding Giok, bermain-main sesuka hati. Dia merasa malu dan marah, sangat tersakiti, gelombang kenikmatan itu justru membuatnya semakin terjepit."
"'Ah! Su Nanfeng, jangan seperti ini, aku mohon!'"
"Jari-jari Su Nanfeng memainkan daging lembut di Giok, masuk-keluar dari liang madunya. Kesadarannya menjadi kacau, cairan madu bening mulai membasahi jari-jarinya dan menetes perlahan."
"'Ah...' Rasa kebas yang tak tertahankan cepat menyebar dari jarinya ke seluruh tubuhnya, menyebabkan tubuhnya kejang sesaat."
