Racun Mematikan ke-305
"Lepaskan!"
"Tidak! Tak mau!" Nada penolakan An Ruoqin penuh keteguhan. "Lin Ci, aku mencintaimu. Bisakah kau memberi kita kesempatan? Asal kau mau mencintaiku, seberat apapun rintangan selanjutnya akan kujalani."
Inilah cinta An Ruoqin pada Lin Ci, meski ia sangat sadar hubungan mereka sebagai paman dan menantu bertentangan dengan etika, namun ia tetap nekat mencintai. Dalam gejolak cinta ini, ia tak pernah berpikir mundur. Hanya dengan tatapan mantap darinya, meski jalan penuh rongga berduri, ia tak takut. Ia sanggup meretas segala duri menuju akhir yang memiliki dirinya.
Hati An Ruoqin liat bagai benang, sayang tekad Lin Ci bukanlah batu karang yang ia dambakan. Jarinya menyentak keras, melengkungkan jari-jarinya hingga nyeri memaksanya melepaskan genggaman. Kesempatan ini digunakan Lin Ci untuk melepaskan diri dari dekapannya. Kaki panjangnya melangkah pergi, namun ia kembali merangkul. "Lin Ci, kumohon jangan pergi, mohon..."
Cintanya hina bagai lumpur, terbenam dalam debu.
Sudut mata An Ruoqin berkilat air mata. "Lin Ci, tahukah kau semalam saat bercinta kau menyebut nama Wu Yuxuan? Tahukah betapa sakitnya hatiku? Aku tahu kau mengira aku adalah dia, tapi tetap rela menjadi pengganti demi secercah cintamu. Ya, mungkin kaanggap perbuatanku hina, tapi andai yang kau rindukan adalah aku... Aku ingin kau peluk dan cium, kau simpan di hati, kau cintai. Aku akan sangat bahagia."
An Ruoqin mencurahkan segala isi hatinya dengan penuh perasaan, namun ekspresi dingin Lin Ci tetap tak berubah, membuat hatinya tersiksa oleh penolakan kejam itu.
Dia tak mengerti, Lin Ci bukanlah pria berhati baja, mengapa khusus menolak dirinya? Apakah benar karena statusnya sebagai kakak ipar? Tapi hubungan intim berkali-kali mereka, masih pantaskah disebut hubungan kakak ipar?
Sebenarnya Lin Ci bukanlah pria tak berperasaan. Sebagai lelaki, melihat An Ruoqin mengabaikan gengsi perempuan dan norma sosial untuk mengungkap cinta, bahkan merendahkan diri demi balasan cinta - sungguh ia merasakan kepedihan wanita ini.
Namun—tetap saja ia tak bisa menerima cinta An Ruoqin. Penolakan ini bukan karena hubungan terlarang, melainkan ketiadaan cinta.
Malam pertama mereka dulu hanyalah kecelakaan di luar kendalinya, skenario licik kakaknya. Segala yang terjadi setelahnya...
Masa lalu sudah berlalu. Sekalipun wanita itu merengek minta dikasihani, belas kasihan bukanlah cinta sejati. Itu hanya rasa iba semata.
——Hatinya terlalu sempit. Hanya muat untuk satu sosok. Meski Wu Yuxuan tak pernah mengakui keberadaannya, ia tetap tak sanggup melenyapkan gadis yang pernah menyinari dunianya itu dalam semalam.
Selama itu orang yang dia cintai, tak peduli apakah bertentangan dengan dunia atau tidak, dia akan berjuang dengan teguh.
Mungkin, di suatu hari di masa depan, setelah dia benar-benar melupakan Wu Yuxuan, dia akan mempertimbangkan untuk menerima An Ruoqin. Tapi bukan sekarang.
Menolak cinta An Ruoqin juga bukan berarti Lin Ci kejam. Di hatinya sama sekali tidak ada tempat baginya, untuk apa dia harus mempertimbangkan perasaannya atau menghargai air matanya.
An Ruoqin tersedu-sedu, "Aku tahu, kau menolakku karena Wu Yuxuan. Tapi tak apa, aku bisa menungguimu. Beri aku kesempatan, boleh tidak? Bahkan jika harus mengikutimu tanpa status, sekalipun... sekalipun kau mau menjadikanku pengganti Wu Yuxuan, aku rela! Apa yang tak bisa dia berikan padamu, bisa kuberikan, aku sanggup!!"
"An Ruoqin! Kau tahu apa yang kau ucapkan?!"
An Ruoqin mengusap air mata di sudut matanya, "Aku sadar betul. Aku tahu apa yang kuucapkan, dan aku bertanggung jawab atas kata-kataku. Lin Ci, bukankah kita sangat cocok dan bahagia semalam? Aku tak keberatan jika kita ranjang..."
"Diam!"
Teriakan Lin Ci memotong kata "teman" yang hendak diucapkan An Ruoqin. Dia memandang dengan hina pada wanita bermata basah di hadapannya: "An Ruoqin, jangan lakukan hal hina. Aku akan merendahkanmu."
An Ruoqin membalas teriak, "Aku memberikan tubuhku pada pria yang kucintai, mana mungkin itu hina!"
"Tidak bisa diajak nalar!"
Lin Ci enggan berbicara dengan si gila, ia mendorong An Ruoqin yang menghalanginya dengan kasar. Dorongannya begitu kuat hingga tubuhnya menghantam meja samping dan terjatuh di lantai. Tangannya terasa sakit menusuk saat menahan badan. Dengan kepala sedikit terangkat, air mata memilukan menggenang di sudut matanya: "Lin Ci..."
Tanpa memberikan sekilas pandang pun pada An Ruoqin, Lin Ci melangkah pergi. Pintu kamar ditutupnya dengan keras, meninggalkan sang gadis sendirian menghadapi kesepian.
Ruangan tanpa Lin Ci terasa sunyi membeku. An Ruoqin melipat kakinya dan menyembunyikan kepala di antara lutut. Air matanya mengalir deras bagai mata air yang tak pernah kering.
Dingin!
Sangat dingin!
Setelah lama menangis, An Ruoqin perlahan sadar. Dengan susah payah ia bangkit dan merebahkan diri di ranjang. Ia berbaring di sisi tempat Lin Ci tidur, tangannya mengelus lembaran sprei seolah masih menyimpan sisa kehangatan tubuh pria itu. Aromanya membuatnya mabuk, mengobarkan gairah, mengingatkannya pada kemarin malam saat ia menjerit-jerit di bawah tubuhnya. Segalanya masih terasa segar dalam ingatan: kekuatan dorongannya, kedalaman penetrasinya.
Cintanya pada Lin Ci telah menjadi racun mematikan. Tak ada obat yang bisa menyembuhkan kegilaan ini.
Menangis hingga lelah, tertidur lalu terbangun lagi, An Ruoqin cepat-cepat mengambil ponsel yang terletak di meja samping tempat tidur, menelepon Lin Dong. Dia bertekad bulat, dalam hidup ini harus mendapatkan Lin Ci.
Pasti!!
Sambungan telepon tersambung, suara An Ruoqin penuh keyakinan: "Lin Dong, aku setuju bekerja sama denganmu. Aku tak mau apa-apa, hanya ingin bercerai, dan bersama Lin Ci!"
Lin Dong menyetujui, baik.
Sebelumnya An Ruoqin selalu ragu-ragu tentang kerja sama dengan Lin Dong. Tapi setelah kejadian semalam, akhirnya dia memantapkan hati. Tak peduli keluarga An atau Lin, dia hanya ingin kehangatan dari Lin Ci. Asal bisa selalu di sisinya, dia rela berhadapan dengan seluruh dunia...
**
Setiap malam, Su Nanfeng akan menyeret Wu Yuxuan ke ranjang atau lokasi manapun untuk menyiksa secara mendalam, tak berhenti sampai energi dan semangatnya habis. Tapi pria terkutuk itu malah mengeluh dialah yang dihabisi!
Hampir mati kesal.
Untung hari ini akhir pekan, Wu Yuxuan bisa tidur lebih lama. Pinggangnya sakit, matanya perih. Saat tidurnya gelisah, dering ponsel yang tak henti-hentinya mengganggu mimpinya. Tanpa membuka mata, tangannya meraba-raba meja samping tempat tidur, memicingkan mata melihat nomor yang menelepon.
Ternyata Su Nanjing.
