Chapter 307 Cium Aku
Su Nanjie yang murka menendang kursi di sampingnya hingga terjungkal, "Sial! Tunggu gua nemuin dia, gua bakal bikin hidupnya lebih baik mati daripada hidup!"
Su Nanjie yang masih berjiwa muda cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Dia berteriak menelepon orang-orang dan mengerahkan semua koneksi untuk menemukan Guo Chen!
Temperamen meledak Su Nanjie tak bisa dihentikan oleh Wu Yuxuan maupun Su Nanjing, akhirnya mereka membiarkannya.
Wu Yuxuan menemani Su Nanjing dengan tenang di kamar hotel sepanjang pagi, mendekati siang hari dia pergi mengurus prosedur check-out.
Su Nanjing tidak kembali ke kampus, melainkan pergi ke apartemennya dekat kampus. Dia mengunci diri di kamar dan menolak membuka pintu meski Wu Yuxuan terus mengetuk.
Khawatir terjadi sesuatu pada Su Nanjing, Wu Yuxuan terus duduk menemaninya di ruang tamu. Beberapa kali Su Nanfeng menelepon, dijawabnya dengan alasan sedang jalan-jalan dengan teman.
Untung Su Nanfeng tidak banyak bertanya, kalau tidak dia benar-benar khawatir tidak bisa menutupi keadaan.
"Hingga larut malam, pintu kamar yang terkunci rapat akhirnya terbuka. Su Nanjing dengan mata merah merona akibat tangisan keluar sambil menundukkan pandangan, berusaha menyembunyikan emosinya dari Wu Yuxuan. Suaranya parau: "Kakak ipar, pulanglah dulu. Kakakku pasti khawatir.""
"Nanjing~~"
Su Nanjing menggeleng, "Aku tidak akan nekat bunuh diri."
Meski begitu, Wu Yuxuan masih khawatir. Kebetulan ponselnya berdering lagi - panggilan dari Su Nanfeng yang kesekian kali.
Akhirnya Wu Yuxuan terpaksa kembali ke vila...
Setelah Wu Yuxuan meninggalkan apartemen, Su Nanjing tenggelam dalam kesepian. Dalam heningnya malam, kenangan bersama Guo Chen menghantuinya bagai pisau menusuk jantung. Tak ada secercah harapan di kegelapan ini.
Tidak!
Su Nanjing tak boleh terus larut dalam kesedihan. Ia berganti baju dan mengoleskan riasan tebal untuk menutupi lingkaran hitam di matanya.
"Manbu Shiguang", nama puitis untuk sebuah bar. Tapi seindah apapun namanya, tetap tak bisa menyembunyikan hakikatnya sebagai tempat hiburan malam. Su Nanjing tidak ingin mencari one night stand. Ia hanya ingin duduk di sudut bar yang ramai ini, menyaksikan pasangan-pasangan menari gila-gilaan, sekedar agar tak merasa sendiri.
"Moodnya sangat buruk, butuh alkohol untuk melumpuhkan diri sendiri. Ia menuangkan gelas demi gelas dan meneguknya habis."
Su Nanjing tidak mengganggu siapa pun, tapi seorang pria mendekatinya. Matanya bernafsu menyapu wajahnya — gadis yang memesona sekilas pandang.
"Cantik, sendirian?"
Su Nanjing mengangkat pandangan agak mabuknya, mengejek. "Pergi."
Pria itu tak goyah oleh usirannya. "Kakak temani minum, gimana?"
Tangannya sudah menempel di bahu Su Nanjing.
Saat tangannya hendak merayap turun, rasa sakit menusuk!
Pria itu gemetar seperti sekam melihat orang yang mencengkeram pergelangannya. "Lin... Lin..."
Lin Ci melemparkan tangan pria itu dengan kasar. "Pergi!"
"Ya, ya... Lin Er Shao."
Bar ini milik pribadi Lin Ci. Tak ada yang berani melawannya. Pria itu segera kabur.
Su Nanjing melirik Lin Ci. "Mau temani aku minum?"
Lin Ci tak bergerak. "Nanjing, kau tak pantas di tempat ini."
Su Nanjing tertawa sinis. "Tak pantas? Karena aku Nona kedua Keluarga Su?"
Justru karena identitas ini, sejak kecil dia tidak banyak bergaul dengan lawan jenis lain, apalagi mengalami cobaan hidup. Keluarga Su memperlakukannya seperti bunga di rumah kaca, mengabaikan hakikat buruk manusia. Dengan naif mereka mengira ketulusan hatinya akan dibalas setimpal. Dia memberikan tubuh berharganya dan hati yang panas membara tanpa syarat kepada Guo Chen, tapi yang didapat malah pengkhianatan yang menghancurkannya.
Dulu Nona kedua Keluarga Su yang terhormat kini jadi mainan di bawah tubuh pria akibat kebohongan. Mungkinkah statusnya melindunginya?
Tidak, mustahil!
Akar kejahatan di dunia tetap ada, tak peduli status siapa pun.
Su Nanjing jatuh terhempas keras, sampai tak punya keberanian bangkit. Matanya berkaca-kaca, pandangan mengabur. Tangannya meraih botol minuman di meja.
Hanya Du Kang yang bisa menghilangkan duka.
Saat ini Su Nanjing hanya ingin mabuk, melupakan semua luka.
Begitu botol menyentuh bibirnya, Lin Ci cepat-cepat menggenggam pergelangan tangannya. "Nanjing, situasinya tidak separah yang kau bayangkan."
Su Nanjing menatapnya panik. "Kau tahu?"
Lin Ci menghindari jawaban langsung. "Aku sudah memblokir informasinya. Kakakmu mungkin belum tahu."
“Lin Ci bisa mengetahui seluk-beluk masalah ini, Su Nanjing tidak merasa heran. Dengan adiknya yang bertindak sembrono seperti itu, mungkinkah bisa ditutupi?”
Namun, Lin Ci bisa membantunya memblokir masalah tepat waktu sehingga kakakku tidak mengetahuinya. Ia merasa bersyukur.
Ini adalah aib, dia tidak bisa membiarkan keluarga tahu.
Lin Ci merebut botol minuman dari tangan Su Nanjing, "Ayo, aku mengantarmu pulang."
"Tidak mau pulang."
Lin Ci bersikap keras: "Berapa lama urusanmu bisa disembunyikan dari kakakmu, tergantung pada sikapmu..."
Ucapannya belum selesai, Su Nanjing langsung berdiri, "Aku pulang."
Su Nanjing tidak takut apa pun, kecuali kakaknya...
Lin Ci memasukkan Su Nanjing ke dalam mobil, membawanya ke apartemennya sendiri.
Su Nanjing hampir tidak makan seharian, perutnya kosong. Dia malas bergerak, "Kak kedua, bisa bantu aku memasak mie?"
"Tunggu."
Setelah memberi persetujuan, Lin Ci berbalik menuju kulkas. Su Nanjing mengikuti, berdiri di samping kulkas. Setelah memeriksa, dia menemukan tidak ada mie, "Boleh ganti yang lain?"
"Tidak mau."
"Lalu apa yang kau inginkan?"
Su Nanjing menatap Lin Ci dengan mantap, "Aku ingin berhubungan intim."
Tangan Lin Ci yang sedang mengobrak-abrik berhenti. Dia mengumpulkan keberanian, "Nanjing, satu dua kegagalan tidak akan mempengaruhi hidupmu. Tak perlu seperti ini."
Su Nanjing menundukkan bulu matanya yang menghalangi perasaan hatinya. Tangannya melingkari leher Lin Ci, tubuh mungilnya mendekat, sedikit mendongak bertanya: "Apakah kalian pria mempermasalahkan keperawanan wanitamu?"
"Tidak."
"Bohong!" Su Nanjing bersikukuh, "Kalian pasti mempersoalkan itu, kan?"
"Benar-benar tidak."
Su Nanjing menutup kelopak matanya, menyodorkan bibir merahnya: "Kalau tak keberatan, cium aku."
Lin Ci melepaskan genggaman tangan mungilnya: "Nanjing, jangan macam-macam."
