Sesampainya di bioskop, Lu Shouyan melihat daftar film: "Mau nonton yang mana?"
Chu Wan masih merasa situasi ini sulit dipercaya. Beberapa waktu lalu ia masih diajak ke teater oleh keponakan Lu Jianshi, tak disangka kurang dari dua minggu, kini ia sudah diajak nonton oleh paman Lu Shouyan.
Yang penting lokasinya sama persis.
Chu Wan: "Ada film apa yang bisa ditonton?"
Dia berpikir sejenak, lalu segera menambahkan: "Aku ingin menonton yang romantis, ada unsur cinta, indah, pemeran wanitanya harus cantik, pemeran prianya juga harus tampan dan berwajah proporsional!"
Baru terasa berkesan.
Ekspresi Lu Shouyan sedikit tertegun: "Baik, akan kulihat."
Setelah mempelajari jadwal pemutaran, ternyata hanya ada dua film yang tersedia: "Kacang Merah Utara" dan "Petualangan di Jianghu".
Dia mengusulkan: "Bagaimana dengan 'Kacang Merah Utara' ini?"
Jelas film "Petualangan di Jianghu" tidak sesuai dengan selera Chu Wan.
Chu Wan mengangguk setuju, "Kacang merah" pasti berkaitan dengan kerinduan dan cinta, apalagi dibintangi Liu Xiaoqing: "Baik, yang ini saja."
Lu Shouyan membeli tiket lalu menuju ke konter popcorn, sambil mengajaknya ikut.
Chu Wan: "Untuk apa... Aku tunggu di sini saja."
Tapi Lu Shouyan bersikeras: "Ayo kita bersama-sama."
Akhirnya Chu Wan terpaksa menemani-nya membeli popcorn.
Dia penasaran: "Jangan-jangan kau takut aku menghilang?"
Lu Shouyan: "Bisa saja tiba-tiba hilang."
Chu Wan tersenyum: "Kalau hilang pun tak masalah, aku malah bisa beradu ilmu dengan penjual manusia!"
Sorot mata Lu Shouyan frustrasi: "Jangan menyimpan dendam lagi."
Chu Wan segera menanggapi dengan senyum: "Baik, tak kusampaikan lagi!"
Setelah membeli popcorn, Lu Shouyan juga membeli teh kurma panas, baru mereka berdua masuk.
Setelah duduk, film belum mulai. Chu Wan mulai makan popcorn. Di tengah makan, Lu Shouyan mengoper teh kurma ke sini sambil mengingatkan: "Ini, minum lebih banyak air."
Kebetulan kerongkongan Chu Wan kering. Ia menerima dan meneguk beberapa kali. Teh ini manis, aroma kurmanya sangat kuat.
Ia berbisik: "Cukup enak."
Lu Shouyan: "Kalau begitu punyaku kau minum saja."
Chu Wan: "Tak perlu, aku tak bisa minum banyak."
Film pun dimulai, Chu Wan diam seribu bahasa, fokus menonton.
Awalnya mengira kisah biji kacang azuki ini seharusnya romantis, tapi ternyata sama sekali tidak ada unsur cinta.
Cerita ini menceritakan seorang wanita desa yang pergi ke Daxing'anling sebagai penebang kayu, jatuh cinta dengan sesama penebang kayu meski menghadapi tekanan kekuasaan. Pernikahan mereka menghadapi berbagai hambatan, si penebang kayu bersikap pengecut, hingga akhirnya wanita desa yang kecewa bangkit kembali. Berkat bimbingan Sekretaris Pemuda Partai Biro Kehutanan Jiang Youlin, ia akhirnya melewati semua rintangan. Meski sudah sangat kecewa dengan penebang kayu itu, ia memutuskan tetap menikahinya.
Usai menonton film, Chu Wan menggerutu: "Mau apa menikahi penebang kayu itu? Begitu pentingkah? Kalau sudah tahu sifat aslinya, harusnya dienyahkan saja! Cari yang lebih baik! Sudah jelas kecewa, kok malah tetap mau menikah? Ini namanya cari masalah sendiri!"
Lu Shouyan diam seribu bahasa, mendampinginya pulang dengan setia.
Chu Wan: "Ah... Sebenarnya menurutku Jiang Youlin itu bagus, kan dia selalu membantu Xuezhi? Tampan, sifatnya baik, pemikiran di segala aspek sudah matang. Bukankah dia juga menyukai Xuezhi? Kenapa tidak langsung menikahi Xuezhi saja?"
Lu Shouyan: "Dia sekretaris komite liga pemuda, dan sepertinya usianya sudah tidak muda. Mungkin dia mengira Xuezhi menyukai Fang Genzhu."
Chu Wan: "Sekretaris komite liga pemuda kenapa? Usia sudah tua kenapa? Kalau suka, kenapa tidak mengatakannya!"
Lu Shouyan menoleh, memandangnya yang terlihat kesal.
Chu Wan: "Lalu maksud adegan terakhir itu apa? Apakah mereka akhirnya bersatu?"
Lu Shouyan: "Tidak tahu. Mungkin dianggap ending terbuka."
Chu Wan: "Ini sangat tidak memuaskan! Nanti kalau aku sudah punya uang—"
Tiba-tiba dia berhenti bicara.
Lu Shouyan: "Ya?"
Chu Wan akhirnya berkata: "Nanti kalau aku sudah kaya, aku akan biayai pembuatan ulang endingnya! Aku ingin Xuezhi dan Jiang Youlin bersatu!"
Lu Shouyan tersenyum samar: "Setuju, nanti kalau kamu sudah kaya."
Setelah mengobrol panjang lebar, rasa kesal di hati Chu Wan perlahan menghilang.
Tatapannya kembali tertuju pada Lu Shouyan, tiba-tiba ia tertegun—bukankah hubungannya dengan Lu Jianshi di kehidupan sebelumnya mirip dengan tokoh utama Xue Zhi? Apakah Lu Shouyan adalah Jiang Youlin versi mereka?
Tentu saja, mustahil Lu Shouyan di kehidupan lalu punya perasaan padanya. Bukan karakter pria seperti itu, apalagi dia sudah menikah dan bercerai lebih dulu, sama sekali tak ada hubungan dengannya.
Dia adalah paman suaminya. Pikiran seperti itu benar-benar terlarang, melanggar etika dan tabu...
Namun anehnya, saat memikirkan ini, dadanya tiba-tiba terasa geli. Seperti bulu halus menggelitik ujung hatinya, memicu imajinasi liar dan rasa penasaran akan sosok Lu Shouyan di kehidupan sebelumnya.
Dia bahkan teringat pada satu hal sepele yang remeh.
Saat itu dia perlu ke sebuah negara kecil mendesak, tapi karena situasi perang di situ, rute sulit dilalui. Dia mencari Lu Shouyan, telepon tidak tersambung. Kebetulan lewat sekitar unit kerjanya, langsung saja dia datangi.
Waktu itu dia sedang rapat, sekretaris bilang sebentar lagi selesai. Akhirnya dia memutuskan menunggu.
Saat menunggu, sepertinya dia dengar orang-orang berbisik-bisik, menduga-duga dia adalah perempuan Lu Shouyan.
Waktu itu dia tidak merasa canggung, toh status saya sudah jelas di situ. Kesalahpahaman langsung hilang, tak ada yang meragukan.
Tapi kini, ketika pria ini menemani nonton bioskop dengan status sebagai pacar, tiba-tiba dari hal remeh kehidupan sebelumnya ini, dia mulai membayangkan hal-hal yang tak pantas.
Kemudian meski usia sudah sangat lanjut, penampilannya tetap terlihat baik. Seorang pria yang menduduki posisi tinggi, belum lagi perawatannya masih cukup bagus, sebenarnya meski ada kerutan halus di sudut mata, tetap bisa sangat memikat. Kematangan dari sosok yang duduk di atas kekuasaan dengan ketenangan dan ketegasan, cukup untuk membuat wanita berduyun-duyun mendekat.
Jika dia bisa kembali ke masa itu, mungkin juga bisa mempertimbangkan...
Tapi berhubungan gelap dengan paman suaminya sendiri, sepertinya terlalu tidak pantas. Dia pasti tidak mau.
Chu Wan lalu membayangkan wajah jijiknya, tiba-tiba merasa cukup lucu. Dia pasti akan marah sekali, mungkin akan memarahinya habis-habisan seperti Tang Sanzang bertemu dengan laba-laba siluman——
Saat pikirannya melayang-layang, tiba-tiba terdengar suara Lu Shouyan di telinganya: "Kok tiba-tiba diam?"
Chu Wan menoleh, memandangnya.
Saat ini, kecuali terlihat sedikit lebih muda, tidak ada perbedaan besar dengan masa depan. Waktu seolah sangat bermurah hati padanya, kematangan sampai tingkat tertentu seperti sudah tercetak, terus bertahan dalam satu kondisi.
Dia tersenyum: "Paman Tujuh... tanya sesuatu dong."
Lu Shouyan melihat senyumnya, seolah bisa melihat akal liciknya: "Apa lagi yang kau pikirkan di kepalamu ini?"
Di bawah sinar bulan samar, Chu Wan tersenyum dengan mata berbinar: "Cuma iseng tanya saja."
Lu Shouyan: "Katakanlah."
Chu Wan: "Tundukkan kepala, aku mau berbisik."
Lu Shouyan menatap wajah bersinarnya, terhenti sebentar, akhirnya membungkukkan badan.
Meski sudah menunduk, Chu Wan tetap berjinjit, sengaja meniupkan napas ke telinganya.
Seketika terlihat jelas, warna kemerahan merambat cepat di sekitar telinganya.
Akal licik Chu Wan mulai bergelora: "Sebenarnya, aku ingin bertanya—"
Suara Lu Shouyan berat: "Ya?"
Chu Wan merendahkan suara, berbisik lembut di telinganya: "Paman Tujuh, waktu kecil dulu, kau suka menggendongku sambil memanggil 'sayang', kan?"
Begitu kata-katanya meluncur, dia bisa merasakan dengan jelas garis rahang pria di depan matanya mengencang secara tiba-tiba, postur tubuhnya mendadak kaku, bahkan napasnya pun terasa terkekang yang tertahan.
Chu Wan hanya merasakan segala sesuatu menjadi senyap, seolah bintang-bintang di langit ikut membisu.
Dia menurunkan suaranya hingga nyaris berbisik, bergumam lembut di dekat telinganya: "Kejadian masa kecil, aku sudah lupa, bagaimana? Maukah kamu menceritakannya padaku, atau... memperagakan ulang?"
Namun setelah ucapannya, Lu Shouyan perlahan-lahan berdiri tegak, lalu dengan kaku mundur selangkah.
Sosoknya yang mundur selangkah itu terlihat agak menjauh.
Dalam cahaya senja, ia menunduk memandangi Chu Wan.
Entah khayalan atau bukan, Chu Wan merasa sorot mata pria itu tampak samar, seolah memandanginya melalui delapan belas lapisan kabut.
Dia menggigit bibirnya, menampilkan wajah polos nan lugu.
Segalanya tegang hingga puncaknya, Chu Wan bisa merasakan setiap detak jantungnya dengan jelas.
Dalam kesunyian yang hampir membuat sesak, Chu Wan melihat sorot mata Lu Shouyan yang begitu dalam hingga tak terbaca.
Perlahan ia mulai menyadari ada yang tak beres.
Lu Shouyan: "Wan-wan, kau boleh mempermainkanku, terserah, asal kau senang. Tapi—"
Suaranya berat membawa hawa dingin: "Jangan gunakan ini untuk bercanda!"
Usai berkata, ia berbalik dan melangkah pergi tanpa sekalipun menoleh ke Chu Wan.
Chu Wan tetap berdiri membeku di tempat dengan wajah kebingungan.
Langkahnya tegas meninggalkan sosok yang menjauh, hanya menyisakan bayangan dingin tak tertgejar.
Ia merasa telah melewati batas, permainan ini mungkin benar-benar hancur.
Kepala tertunduk, ia mulai melakukan introspeksi.
Setelah merenung, ia mengakui ketidakmampuan dalam merayu pria - tak ada bakat alami, seperti harimau lukisan yang malah jadi anjing.
Pria bukanlah barang antik, cinta juga bukan pasar mal. Meski menghamburkan harta, belum tentu bisa mewujudkan keinginan lama. Hati manusia apalagi tak bisa dibeli dengan taktik atau uang.
Apalagi dia pria yang sangat dalam pemikirannya, tersembunyi maksudnya. Bukan tipe yang mudah dikendalikan.
Berurusan dengan pria seperti ini, baik di medan asmara maupun bisnis, sedikit saja ceroboh, mungkin sudah ditakdirkan untuk kalah telak.
Chu Wan menundukkan kepala, berpikir mungkin dia bukan pilihan yang baik. Jika tak bisa mengontrol dengan baik, akhirnya bisa lebih buruk daripada memilih Lu Jianshi.
Lu Jianshi hanya serakah akan uang. Meski Cawan Sembilan Naga sangat berharga dan membuatnya sakit, tapi tak sampai mengancam nyawanya.
Ditiup angin malam, seluruh tubuhnya menjadi tenang. Setelah tenang, baru merasakan dingin menggelagar di punggung.
Ini seperti seseorang berkendara di jalan raya tak berujung pada malam tanpa bulan. Sekejap lelah, berhenti beristirahat. Saat fajar tiba, baru sadar langkah berikutnya sudah di tepi tebing.
Merinding membayangkannya, keringat dingin mengucur deras.
Chu Wan menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepala, terus berjalan ke depan.
Setelah berjalan cukup jauh, sepatu bot tentara muncul di permukaan beton di depannya.
Chu Wan mengangkat kepala, bertemu dengan sorot mata hitam legam.
Pandangannya dalam dan tenang, tak terlihat kemarahan maupun emosi lain.
Chu Wan pun diam-diam menatapnya tanpa bicara.
Lu Shouyan: "Ayo, pulang."
Chu Wan menunduk, berpikir sejenak, lalu mengangkat muka: "Bagaimana dengan baju-baju itu?"
Lu Shouyan: "Ambil baju dulu, baru pulang."
Chu Wan: "Ya."
Dengan putus asa, Chu Wan mengikuti diam-diam di belakangnya.
Lu Shouyan menggantungkan berbagai tas di stang sepeda, menyerahkan sebuah tas dan kotak sepatu: "Duduk di belakang sambil memeluk ini."
Chu Wan: "Baik."
Sambil memegang stang sepeda, Lu Shouyan menatapnya.
Dia ragu sejenak, lalu berkata: "Wan-wan, jangan terlalu banyak berpikir."
Chu Wan: "Aku tidak."
Lu Shouyan: "Naiklah."
Chu Wan: "Ya..."
Lu Shouyan mulai mengayuh sepeda sementara Chu Wan duduk di belakang, dalam dekapannya memeluk baju dan sepatu yang baru dibeli.
Angin malam berdesir di telinga, Chu Wan diam-diam menatap papan iklan lampu di pinggir jalan.
Saat akan belok, Lu Shouyan tiba-tiba menoleh ke arahnya: "Peluk erat, jangan sampai barang-barang terjatuh."
Chu Wan: "Tidak akan."
Dia tak berkata lagi, sementara Chu Wan tetap duduk sunyi di jok belakang, membiarkan pikirannya melayang tanpa arah.
Dalam kondisi pikiran melayang itu, teringatlah olehnya sebuah karya "Guyuexuan" dari kehidupan sebelumnya - keramik famille-rose era Yongzheng dengan bodi keramik presisi, glasir putih merata, kilauan lembut bagai ditaburi air pemerah pipi tipis yang membuat hati berdebar.
Tiada warna yang lebih mempesona daripada rona pemerah pipi...
Setiap pagi saat itu, Chu Wan selalu meluangkan waktu untuk melihatnya. Setiap kali melihatnya, hatinya langsung dipenuhi kebahagiaan.
Dia memeluk kotak sepatu olahraga dalam dekapan, mulai mengingat-ingat dari mana koleksi porselen berpigmen Yongzheng ini didapat, berapa harganya waktu itu?
Di kehidupan ini harus berhasil mendapatkannya, jika tidak pasti akan menyesal selamanya.
Sambil mengingat harta karun yang pernah dikumpulkannya di kehidupan sebelumnya, dada terasa sesak oleh kerinduan akan benda-benda yang entah masih ada jodoh untuk bertemu lagi.
Antara manusia dengan manusia, tak lepas dari takdir perjodohan. Begitu pula hubungan manusia dengan benda.
Tapi di kehidupan keduanya ini, siapa atau apa yang masih memiliki ikatan takdir dengannya?
Dari semua yang diperjuangkannya, berapa banyak yang benar-benar bisa dipertahankan di genggamannya?
Akhirnya hanya bisa menghela napas: Rezeki jika dapat, nasib jika lepas.
Pikiran melayang-layangnya tiba-tiba terhenti saat menyadari sepeda yang ditumpanginya berhenti bergerak.
Tertegun sebentar, ia menengadah bingung dan mendapati Lu Shouyan sedang menoleh memandanginya.
Di bawah lampu-lampu, dia melihatnya sedang menatapnya tanpa suara.
Chu Wan membuka bibir: "Ada apa, Paman Tujuh, bukannya kita mau pulang?"
Lu Shouyan bertanya pelan: "Marah?"
Chu Wan menggeleng: "Tidak..."
Lu Shouyan menjelaskan: "Tadi bukan maksudku mengkritikmu. Aku hanya merasa hal-hal masa kecil itu kekanak-kanakan, tidak ingin membahasnya."
Chu Wan mengangguk: "Aku mengerti."
Setelah berpikir sebentar, dia menambahkan: "Sebenarnya salahku. Kau pasti tahu, aku sengaja menggodamu. Tidak seharusnya begitu, maafkan aku."
Lu Shouyan: "Wan-wan, aku tidak bilang permainanmu tidak baik. Kau bebas berbuat apa saja. Tapi ini urusan masa kecil, bagiku itu kekanak-kanakan."
Dia mengerutkan bibir, berbisik: "Tapi ini juga penting. Kenapa tiba-tiba kau angkat masalah itu--"
Chu Wan langsung memotongnya: "Paman Tujuh, tak perlu dijelaskan. Sudah kukatakan ini salahku. Kalau sudah salah, aku takkan menyalahkanmu atau mengharapkan penghiburanmu."
Dia berkata datar: "Aku bukan anak kecil, tidak akan merajuk karena ini. Kalau kamu tidak ingin membahasnya, aku bisa mengerti. Sekarang aku juga tidak ingin membahas, harap kamu pun bisa memahami."
Lu Shouyan memandang Chu Wan di hadapannya. Kedalaman matanya yang jernih kini hanya menyisakan rasa dingin yang hambar, seolah semua yang terjadi sebelumnya hanyalah fatamorgana.
Jadi, apakah semangatnya tiba-tiba padam begitu saja?
Saat kembali ke hutong, asap dapur mulai mengepul dari rumah-rumah. Di dalam hutong, aroma masakan menggantung di udara.
Ini memberikan perasaan hangat yang sarat dengan aura kemanusiaan.
Chu Wan berjalan dengan kepala tertunduk. Dalam hatinya, ia teringat bahwa di suatu momen hidupnya, ia pun pernah memiliki kenangan seperti ini: senja tiba, perut keroncongan, berlari pulang ke rumah, lalu merasakan kehangatan burung lelah yang kembali ke sarang saat mencium aroma masakan.
Tapi itu semua sudah sangat lama berlalu, setelah bertahun-tahun, dia sudah lama melupakannya, hanya tersisa beberapa kenangan samar seperti lukisan tinta.
Lu Shouyan memarkir sepeda di bawah gerbang, Chu Wan masuk terlebih dahulu.
Begitu masuk ke halaman, kebetulan melihat Feng Luxi keluar dari ruang tamu. Melihat Chu Wan kembali, dia tersenyum dan bertanya: "Sudah pulang? Kalau pulang sekarang, habis menonton film ya?"
Chu Wan mengangguk sambil tersenyum: "Benar, habis belanja dan menonton film."
Feng Luxi tampak lega: "Kakek Lu baru saja menelepon Kakek Buyut hari ini, sedang membicarakanmu. Beliau bilang, setelah pulang langsung temui beliau di ruang baca. Kamu mandi dulu, saya perkirakan beliau sedang membaca buku, setelah mandi langsung temui beliau pas waktunya."
Yang dimaksud "Kakek Buyut" tentu adalah kakek Chu Wan.
Alasan Kakek Lu menelepon kakek buyutnya saat ini sudah jelas.
Chu Wan pun tersenyum menjawab: "Baik, Tante Besar, saya mengerti."
Sambil berbicara, Lu Shouyan yang baru saja menaruh sepeda, menyambar bungkusan besar kecil masuk ke dalam. Melihat Feng Luxi, dia juga menyapa: "Nona Istri."
Feng Luxi tersenyum melihat tumpukan barang yang dibawanya: "Ini untuk Wan-wan? Beli sebanyak ini? Letakkan dulu, istirahat sebentar, sebentar lagi waktu makan."
Lu Shouyan mengangguk, lalu menoleh ke Chu Wan: "Aku taruh di kamarmu ya."
Chu Wan: "Ya, terima kasih Paman Tujuh."
Sikap sopannya membuat Lu Shouyan tertegun sejenak.
Lu Shouyan mengantarkan barangnya sampai depan pintu kamar, tapi tidak masuk, hanya menyerahkannya.
Setelah menyerahkan barang, dia menatapnya seolah ingin mengatakan sesuatu.
Chu Wan heran: "Hmm?"
Lu Shouyan menundukkan pandangan, berbisik: "Nanti kamu ke ruang baca?"
Chu Wan langsung paham. Tentu dia tahu bahwa pertemuan dengan Kakek Lu di ruang baca nanti, percakapan mereka akan sangat menentukan.
Kini nampaknya hari yang ajaib ini bagai masa percobaan. Setelah masa percobaan berakhir, segalanya menjadi sangat subtile.
Chu Wan pura-pura tidak tahu: "Ya, ada apa?"
Lu Shouyan terdiam sejenak, baru berkata: "Wan-wan, aku takkan menggunakan kata-kata untuk mempengaruhi keputusanmu. Seperti yang selalu kukatakan, kuharap kau tetap tenang jangan terburu nafsu. Tentang hubungan kita, kau bisa mengubah pilihan kapan saja."
Chu Wan: "Ya, aku paham. Ini semua kau lakukan demi kebaikanku."
Lu Shouyan: "Tapi untuk kejadian tadi, aku minta maaf. Saat itu memang aku terlalu emosional, seharusnya tidak meninggalkanmu sendirian di situ."
Mendengar ini, Chu Wan tersenyum tipis.
Lu Shouyan melihat senyumannya yang tipis dan tenang.
Kemudian, dia mendengar wanita itu berkata: "Paman Tujuh, Anda terlalu banyak berpikir. Pertama, seharusnya bukan Anda yang minta maaf. Anda tidak perlu selalu mengalah padaku. Barusan aku berpikir, jika kita ingin terus berhubungan, pertama-tama aku harus menyesuaikan sikapku. Tidak boleh berpikir karena Anda lebih tua usianya, pantaslah Anda selalu memberikanku kelonggaran. Kedua, meskipun kejadian ini memang membuatku tidak nyaman, tapi tidak apa-apa, ini hal kecil, biarlah berlalu."
Dengan jujur dia melanjutkan: "Dalam urusan penting hidupku sendiri, aku percaya diri cukup rasional. Tidak mungkin sampai terpengaruh oleh hal ini dalam mengambil keputusan. Aku akan tenang dan membuat keputusan dengan serius, tidak asal bertindak karena emosi."
Lu Shouyan memandangi Chu Wan di hadapannya, mencerna setiap kata yang baru diucapkannya.
Di balik pandangan tenang dan rasionalnya yang berlebihan, dia mendengar dirinya sendiri berkata: "Bagus kalau begitu."
