Menemani Lu Shouyan menemui teman kecilnya, Chu Wan menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh.
Pertama, menghargai status Lu Shouyan sebagai tunangannya. Kedua, menghormati persahabatan erat mereka.
Apapun yang terjadi nanti, punya satu teman tambahan takkan merugikan.
Dengan putus asa, Chu Wan memilih jas hujan yang sebelumnya dipesan Lao Ye untuknya. Belakangan cuaca semakin hangat, jas ini pas untuknya.
Dia mengikatkan ikat pinggang lalu menatap cermin.
Jas hujan berkualitas tinggi yang kaku itu membungkus postur tubuh gadis kecil di cermin yang agak kurus, membuatnya tampak lebih lemah gemulai dengan kulit seputih salju, bagai bunga mungil yang terbungkus kulit kayu dan dedaunan.
Bila diamati, rambutnya berkilau, wajahnya sedikit lebih berisi, aura manusianya sangat baik, matanya bersinar terang - persis penampilan gadis seusianya.
Pikirannya melayang ke Lu Shouyan yang seolah memiliki aura alami untuk menghancurkan musuh dengan tenang dalam situasi genting.
Dia jelas tidak lebih tua banyak dari keponakan, tapi aura otoritas sebagai orang yang lebih tua itu melekat padanya, membuat orang tunduk. Bahkan ini bukanlah penindasan hierarki generasi dari aturan keluarga Lu, juga bukan karena pengalaman militernya. Sejak kecil, dia sudah menjadi raja anak-anak yang diakui semua.
Dia membayangkan penampilannya saat berdiri di sampingnya. Dia terlalu bijaksana dan matang, sementara dirinya jelas terlihat lebih muda dari usianya. Ini membuat perbedaan usia mereka terlihat lebih besar dari sebenarnya.
Apakah dia menyukai yang lebih muda atau sebaya? Tidak tahu. Tapi setidaknya dia sudah cukup baik padaku.
Dia terus melindungi, melindungi, menyayangi, dan menyayangi lagi,
Begitu katanya, tentu saja dia percaya.
Chu Wan menatap bayangannya di cermin, menghela nafas. Sebenarnya, sebagai yang terlahir kembali, seharusnya dia tidak perlu membayangkan apakah dirinya pantas dengan seorang pria. Mengapa harus mempedulikan ini?
Di dunia ini ada banyak hal indah yang menunggu untuk dia nikmati, dan dia cukup percaya diri pada dirinya sendiri, tidak perlu mengandalkan penampilan untuk mengikat hati seorang pria.
Tapi dia juga merasa, pria sebaik ini memang harus dia beri lebih banyak pengorbanan. Di dunia mana ada keindahan yang tidak memerlukan pengorbanan? Bahkan saat membeli kucing, selain memberi makan, harus selalu ingat untuk mengelus-elusnya.
Kalau sudah peduli, harus lebih banyak menggunakan pikiran.
Akhirnya dia mengganti sepatu kulit, agar lebih cocok dengan mantel tebal.
Sepatu kulit ini tidak nyaman dipakainya, tapi terpaksa diakui – ini sedikit harga yang dia bayar demi kecantikan.
Mungkin dia terlalu lama bersiap-siap, ketika akhirnya keluar dari kamar, Lu Shouyan sudah berdiri di dekat pohon delima tak jauh dari sana.
Jarang-jarang dia memakai setelan jas, postur tubuhnya tegak, rapi dan pantas, benar-benar terlihat berbeda.
Seolah semakin tenang dan matang, menyimpan kedalaman yang tak terucap dan keluhuran.
Dia mendorong pintu keluar, lalu melihat arah pandangannya tertuju padanya, berhenti sebentar di wajahnya sebelum berkata: "Bisa berangkat sekarang?"
Dia mengangguk, lalu menjawab: "Bukannya berangkat jam sepuluh? Apa aku terlambat?"
Dia memeriksa waktu.
Lu Shouyan: "Tidak terlambat, ayo pergi."
Saat melewati gerbang utama, dia berkata padanya: "Lain kali, kalau mau berangkat lebih awal, sampaikan padaku."
Lu Shouyan: "Menunggumu sebentar juga tidak apa-apa."
Chu Wan: "Bukannya itu agak membuang waktu..."
Sebenarnya dia agak kesal pada dirinya sendiri yang tanpa alasan terlalu lama bercermin tadi.
Lu Shouyan tiba-tiba berkata: "Aku suka."
Chu Wan terkejut, meliriknya.
Tampaknya dia baru bercukur, garis rahangnya semakin tegas. Setelan jas yang membungkus tubuh tegapnya memancarkan pesan elegan yang sangat terkendali.
Di usia 27 tahun, dia sudah matang sempurna seperti buah ranum yang memancarkan aroma menggoda, membuat imajinasinya melayang-layang.
Dia menghela napas: "Hari ini pakaianmu cukup bagus."
Lu Shouyan menoleh, sedikit menundukkan pandangan padanya: "Ya? Itu tidak kamu sukai?"
Chu Wan: "Cukup suka. Lalu menurutmu, apakah hari ini aku lebih cantik daripada kemarin?"
Sorot mata Lu Shouyan berbinar. Dia selalu bisa sejujur ini, terang-terangan sampai agak kekanak-kanakan.
Tapi ketika sikap kekanak-kanakan ini dikaitkan dengan hubungan pria wanita, selalu terasa dia tidak benar-benar serius.
Bahkan saat dia berbisik di telinganya dengan kata-kata rayuan antara pria wanita, tetap terasa seperti anak kecil bermain lumpur.
Setelah berpikir sejenak, dia menjawab: "Lumayan."
Chu Wan kurang puas: "Kalau kamu melihatku di jalan, apakah akan menoleh untuk melihatku?"
Lu Shouyan: "Jika melihatmu di jalan, tidak mungkin hanya melirik. Pasti akan kuhampiri."
Chu Wan: "Ini hanya asumsi. Jika kamu tidak mengenalku, lalu melihatku, apakah kamu akan menoleh untuk melihatku?"
Lu Shouyan: "Mengapa harus berandai-andai seperti ini? Aku sudah mengenalmu sejak kamu masih kecil."
Chu Wan bersikeras: "Ini hanya permisalan. Anggap saja aku orang asing yang tidak kamu kenal. Jika melihatku, apakah kamu akan menoleh?"
Lu Shouyan berpikir sejenak: "Tidak."
Chu Wan memandangnya dengan putus asa.
Haruskah berbicara langsung seperti ini?
Lu Shouyan: "Jika berjalan di jalanan, aku tidak akan sembarangan melihat orang lain, apalagi perempuan."
Chu Wan mencoba bertanya dengan hati-hati: "Kalau yang cantik?"
Lu Shouyan meliriknya, berkata dengan sikap tegas: "Wan-wan, dulu pernah kuberitahu - penampilan fisik itu yang paling tidak penting. Di jalanan, jika seorang pria melirik ke sana-sini melihat perempuan, berarti orang itu berpikiran tidak baik. Jangan sekali-kali bergaul dengannya."
Chu Wan terdiam lama sebelum akhirnya berkata: "Ada benarnya."
Lu Shouyan berkata lembut: \"Wan-wan, banyak hal menurutku tidak perlu dipaksakan. Misalnya sepatu kulit, kalau tidak suka jangan dipakai. Pakailah sepatu olahraga, lebih nyaman. Penampilanmu seperti itu sudah cukup bagus.\"
Dia menambahkan: \"Lihat, hari itu aku sengaja membelikanmu sepatu olahraga karena berpikir kamu akan merasa lebih bebas memakainya.\"
Chu Wan: \"Baiklah...\"
Lu Shouyan mengajaknya keluar dari hutong. Melihatnya diam seribu bahasa, dia termenung sejenak lalu akhirnya berkata: \"Meski penampilan fisik tidak penting, tapi--\"
Chu Wan: \"?\"
Lu Shouyan berbisik: \"Tapi Wan-wan hari ini berdiri dengan anggun, sangat cantik.\"
Chu Wan mengedipkan mata, tetap diam.
Lu Shouyan: \"Ya?\"
Chu Wan memalingkan wajah: \"Tidak ada. Ayo pergi.\"
Lu Shouyan terdengar agak kesulitan, berbisik: \"Sungguh memang cantik.\"
Nada suaranya penuh upaya menghibur, tapi Chu Wan merasa ini pujian yang harus direnggut dengan rengekan, bagai hadiah yang diperoleh karena ulah kekanakannya.
Chu Wan meliriknya pelan-pelan.
Lu Shouyan pun melihat, kepuasan dan ketidakpuasan semuanya tergambar di sorot mata gadis kecil itu, seperti mata air yang hampir meluap.
Tiba-tiba leher Lu Shouyan terasa kering, bekas luka di samping jakun yang sudah lama sembuh itu mulai gatal kembali.
Lu Shouyan berkata pelan: "Wan-wan——"
Nada suaranya mengandung nuansa permohonan maaf.
Chu Wan berpikir sejenak, lalu tersenyum.
Hari ini benar-benar menyulitkannya, sepertinya dia tidak punya bakat memuji wanita.
Dengan sorot mata pasrah, Lu Shouyan menjelaskan: "Menurutku kamu hari ini memang cantik, tapi bagiku sama saja, penampilanmu yang dulu juga sudah baik."
Chu Wan mengalihkan topik: "Acara gunting pita hari ini pasti ramai ya?"
Sebagai kompensasi atas kekurangan kecil tadi, Lu Shouyan menjelaskan dengan sangat detail: "Acaranya cukup besar, berbagai media akan hadir. Wakil walikota juga datang membantu memotong pita. Dia mantan bawahan Lao Ye dulu. Nanti aku harus menyapanya sebentar. Tapi cuma sekadar sapa, tidak ada urusan lain. Kita cuma numpang meramaikan saja."
Chu Wan: "Baik. Pokoknya aku tidak perlu mikir banyak, cukup ikut kamu dan patuh pada perintahmu, kan?"
Dalam hal pergaulan sosial, dia jelas ahli. Ikut orang seperti ini tidak perlu pakai otak, cukup berlaku seperti gadis kecil yang polos.
Lu Shouyan tersenyum: "Setuju."
Sambil mengobrol, mereka tiba di halte trem. Lu Shouyan yang jarang naik trem pun tampak bingung memeriksa papan rute. Chu Wan yang malas mikir hanya berdiri santai di sampingnya.
Tiba-tiba, tanpa sengaja ia merasakan sorotan mata mengamat-amatinya.
Dengan refleks ia menoleh, dan melihat sesosok bayangan bersembunyi di balik pohon pagoda - wajahnya terasa familiar.
Saat hendak melihat lebih detail, sebuah trem lewat menghalangi arah pandangan. Ketika dia melihat lagi, sosok itu sudah menghilang.
Sebenarnya perasaan ada yang mengawasinya tadi tak terlalu dipikirkan. Di halte trem yang ramai orang lalu-lalang, sensasi bawah sadar seperti ini belum tentu benar. Namun ketika melihat siluet orang itu terasa familiar dan agak mengelak, terasa seperti bukan kebetulan belaka.
Kunci utamanya, siluet itu samar-samar mengingatkannya pada seseorang - Sun Xueye, istri Lu Shouyan di kehidupan sebelumnya.
Seketika keraguan bermunculan. Jika benar itu Sun Xueye, untuk apa dia datang ke sini? Apa maksudnya?
Secara logika, saat ini mereka baru bertemu tiga kali - dua di antaranya dengan kehadiran orang tua. Surat-menyurat pun hanya sesekali. Mustahil ada perasaan cinta di antara mereka. Lagipula mereka sudah jelas putus, itu pun permintaan Sun Xueye sendiri.
Mengapa tiba-tiba dia mencari Lu Shouyan dengan cara diam-diam seperti penjahat?
Lu Shouyan sedang mempelajari rute halte trem, melihat ekspresinya, ikut memandang ke arah yang sama sambil bertanya: "Wan-wan, ada apa?"
Chu Wan menggeleng: "Tidak apa-apa. Barusan melihat seseorang yang terlihat familiar, mungkin salah lihat."
Lu Shouyan kembali menoleh ke arah itu, tak melihat siapapun. Saat itu trem datang, mereka pun naik bersama.
Duduk di dalam trem, Chu Wan masih teringat siluet yang tadi. Menurutnya ini tak mungkin, tapi terasa terlalu kebetulan.
Lu Shouyan menyadari ketidakhadiran pikirannya: "Tidak nyaman? Atau jadi tidak ingin pergi?"
Chu Wan menggeleng: "Bukan. Aku sedang memikirkan hal lain."
Lu Shouyan: "Orang yang kau lihat di halte tadi?"
Chu Wan menoleh memandangnya. Sosok mudanya yang bijaksana, sorot mata penuh perhatian terlihat jelas.
Ia menggeleng: "Iya, tapi memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya agak penasaran."
Lu Shouyan: "Kalau begitu jangan dipikirkan dulu."
Chu Wan: "Ya."
Dia berpikir, dirinya juga tidak punya hati yang baik untuk merasa bersalah, bahkan jika kebetulan itu Sun Xueye, tidak ada yang besar, tidak ada yang berhutang pada siapa pun.
Dialah yang ingin putus dengan Lu Shouyan, ketika dia masih bersama Lu Shouyan, bukankah mereka sudah berpisah bersih? Hal kehidupan sebelumnya mana yang dia tahu.
Lagipula, mungkin saja ini salah lihat dari dirinya sendiri.
Restoran Western Yili terletak di Hutong Rongxian. Hari ini adalah upacara pembukaan, benar-benar bahkan wakil wali kota datang untuk gunting pita. Di lokasi ada beberapa media berita, juga wartawan berambut pirang bermata biru yang mewawancarai, bagaimanapun ini adalah restoran cepat saji bergaya Barat pertama di Beijing.
Lu Shouyan membawa Chu Wan, pertama-tama menghadap ke pimpinan kota. Pemimpin itu melihat Lu Shouyan juga senang, meraih tangannya berkata: "Aku dengar dari Kakek Lu kamu mau bertunangan?"
Lu Shouyan tersenyum mengiyakan, lalu memperkenalkan Chu Wan. Pemimpin itu dengan antusias meraih tangan Chu Wan: "Pasangan yang serasi, Selamat, selamat!"
Saat itu datang wartawan untuk mewawancarai, Lu Shouyan segera mengajak Chu Wan masuk ke restoran. Dekorasi bergaya Barat ini memang berbeda dari restoran tradisional Tiongkok. Begitu masuk, terdengar alunan indah piano. AC menyala di dalam, pencahayaan dan kursi sangat artistik. Cahaya lampu yang hangat menyinari ubin terrazzo, menciptakan kesan elegan dan mewah.
Tata letak restoran di sini menggunakan sistem self-service. Pelanggan membawa nampan seperti konsep McDonald's dan KFC di masa depan. Bahkan pelayan menggunakan kalkulator elektronik.
Lu Shouyan memperkenalkan menu-menu kepada Chu Wan. Dari pandangan sekilas, ada nasi liwet merah, sandwich ham, steak goreng, sayap ayam goreng. Singkatnya, konsep yang nanti akan dipakai McDonald's dan KFC, mungkin lebih beragam di sini.
Ini kalau dilihat belasan tahun lagi ya biasa saja, bahkan disebut makanan sampah. Tapi di era ini masih jadi hal yang sangat baru. Makanya sampai wakil walikota sendiri yang datang motong pita.
Mereka baru mau pesan, beberapa teman kecil Lu Shouyan datang: "Kalian baru datang sekarang? Sudah lama nunggu! Tempat duduknya udah kami siapin, sini duduk!"
Sun Qingyi mengamati Chu Wan sambil bersuara "tsk-tsk": "Ini Wan-wan ya? Lama nggak ketemu, udah gede banget sekarang?"
Yang lain ikut memandanginya: "Aku ingatnya Wan-wan masih segini kecil, kayak boneka. Waktu berlalu begitu cepat. Kalau ketemu di jalan pasti nggak berani nyapa!"
Sun Qingyi menghela: "Putri kami akhirnya dewasa. Lao Qi akhirnya jasa-jasanya sudah sempurna!"
Mendengar ini, Lu Shouyam mengarahkan pandangannya: "Hm?"
Sun Qingyi dan yang lain langsung tertawa, mereka saling pandang lalu berkata: "Tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa. Kalian cepat pesan makanan. Makanan cepat saji ala Barat ini harus dipesan sendiri, makan sendiri-sendiri! Setelah pesan, segera gabung di kursi yang sudah kami siapkan."
Saat beberapa orang ini pindah ke area tempat duduk, Lu Shouyan menunduk bertanya pada Chu Wan: "Mau makan apa? Aku yang pesankan."
Karena kerumunan orang, jarak antara mereka menjadi sangat dekat. Napasnya terasa hangat di dekat telinganya.
Chu Wan menjawab: "Steak goreng, lalu sandwich, dan sup kental."
Meski tidak terlalu menyukai makanan ini, tapi di era 80-an, rasanya tetap terasa segar dan baru.
Lu Shouyan memesan nasi campur sosis merah, sandwich ham, steak goreng, ayam goreng, dan sup kental ala Amerika.
Kemudian dia berbisik: "Di sini ada kopi, jus, dan teh susu. Mau minum apa?"
Matanya menatap Chu Wan sambil menjelaskan: "Kopi mungkin agak pahit, teh susu manis rasanya."
Chu Wan: "Aku pilih jus saja."
Lu Shouyan memesan jus untuk Chu Wan dan kopi untuk dirinya sendiri.
Antrian agak panjang, kedua orang itu menunggu di situ. Saat menunggu, Chu Wan melihat ke arah kursi dekat jendela, di mana beberapa teman kecil Lu Shouyan sudah duduk di posisi yang dipesan sebelumnya, sedang memandang ke arah mereka dengan penasaran. Ketika melihat Chu Wan menengok, mereka tersenyum ramah padanya, terlihat sangat akrab.
Lu Shouyan juga melihatnya, berkata: "Jangan hiraukan mereka. Makan saja sepuasnya. Semua sudah akrab, tidak ada orang luar."
Chu Wan tersenyum memandang ke arah sana, mengenang: "Yang kulitnya putih kurus dengan rambut cepak itu, namanya Huo Jingyun kan? Aku ingat waktu kecil, kita pernah ke Yuanmingyuan mendayung perahu. Dia mau mancing ikan, tapi tidak sengaja jatuh ke air. Waktu itu kan Paman Tujuh yang menyelamatkannya, ya?"
Dia hanya memiliki kesan samar-samar, mengingat waktu itu masih sangat kecil, belum mengerti tentang hidup dan mati, juga tidak melihat proses penyelamatannya. Hingga dalam pikiran kekanakannya, terbentuk kesan kabur: Kakak Huo Jingyun jatuh ke air dan sudah tiada, tapi kini ada kakak Huo Jingyun baru, ini adalah kakak Huo Jingyun yang baru.
Mengapa ada kakak Huo Jingyun baru, apa perbedaan di antara mereka, dia juga tidak paham. Pola pikir anak kecil memang tidak logis.
Lu Shouyan menatapnya dengan terkejut mendengar ini: "Kau masih ingat hal ini?"
Chu Wan: "Hanya kesan samar-samar, sangat kabur. Ada masalah?"
Lu Shouyan menunduk memandangnya dengan lembut: "Wan-wan, saat itu usiamu tiga setengah tahun."
Chu Wan tersenyum: "Rupanya aku mulai mengingat sejak dini!"
Konon sebagian besar memori anak-anak sebelum lima tahun adalah memori sementara, tapi tampaknya beberapa kesan mendalam mungkin tetap tersimpan di otak, menjadi fragmen kabur.
Lu Shouyan: "Itu Wan-wan masih ingat yang lain?"
Suaranya tenang, seolah hanya bertanya biasa, tapi dia merasakan harapan tersembunyi di balik ketenangan itu.
Dia berhenti sejenak, lalu akhirnya menggeleng: "Sebagian besar sudah samar-samar, tidak ingat. Aku hanya tahu waktu itu Paman Tujuh seperti melompat ke bawah, aku sangat khawatir. Aku berteriak ingin mengejarmu, melarangmu turun. Kejadian selanjutnya tidak ingat, mungkin aku dipeluk orang lain ke samping."
Lu Shouyan tersenyum: "Benar. Waktu itu kau menangis histeris, air mata bercucuran. Akhirnya aku menyerahkanmu pada Sun Qingyi untuk memelukmu ke samping."
Saat mengatakannya, Chu Wan teringat sesuatu: "Tapi kenapa dalam ingatanku, aku memanggilnya Kakak Huo Jingyun?"
Selama ini dia tak pernah mengingat masa kecilnya, baru sadar bahwa dalam fragmen samar masa kecilnya, ternyata Huo Jingyun bukan paman tapi kakak?
Lu Shouyan terdiam sejenak, menunduk memandangnya, berkata: "Waktu itu kamu masih kecil, keras kepala. Sekalipun dijelaskan, belum tentu mau dengar."
Sambil berbincang, mereka mengambil nampan dan menuju tempat duduk. Beberapa teman kecil sengaja menyisakan dua kursi dekat jendela untuk Lu Shouyan, sehingga mereka bisa duduk berhadapan.
Di sebelah Chu Wan duduk Sun Qingyi yang antusias menyapanya, "Wan-wan" panjang "Wan-wan" pendek. Ia memuji, "Dulu kecilnya Wan-wan seperti gumpalan kecil, sekarang sudah besar. Lihat, cantik sekali! Melirik sekilas saja sudah terlihat putih bersih, modis dan menawan. Aku jadi iri sama Lao Qi, bisa memiliki Wan-wan secantik ini!"
Huo Jingyun di samping langsung menepuk bahunya, memperingatkan: "Jaga mulutmu! Berani-beraninya bicara seperti itu ke Wan-wan? Hati-hati Lao Qi menghajarmu!"
Begitu dia bilang, semua orang tertawa. Sambil tertawa, mereka minum soda dan makan kentang goreng, obrolan panas menggelegar berpusat pada Lu Shouyan dan Chu Wan.
Chu Wan menyimak dengan fokus, sesekali melirik ke arah Lu Shouyan yang tetap tenang.
Menangkap pandangannya, arah mata mereka bertemu. Bibirnya mengerut halus: "Ya?"
Chu Wan menggeleng, menarik kembali pandangannya lalu melanjutkan makan.
Huo Jingyun di seberang menghela napas: "Wan-wan, sejak kecil kau memang cerdik dan mampu menguasai Kakak Ketujuh. Sekarang dewasa, tetap bisa menggenggamnya di telapak tangan! Orang seperti dia hanya tunduk padamu—"
Sorot mata Lu Shouyan langsung menyapu ke arahnya: "Jingyun, kenapa tidak makan? Babi gorengmu kebanyakan, perlu kubantu habiskan?"
Sambil berkata, langsung mengulurkan tangan hendak mengambil dari piring makannya.
Huo Jingyun buru-buru melindungi katsu babi miliknya: "Kakak Ketujuh, ini punyaku! Kalau beli lagi harus antri! Tolong jangan ganggu aku lagi, aku sudah mengakui kesalahan, setuju?"
Chu Wan mendengar ini, tersenyum: "Kakak Jingyun, aku ingat waktu kecil dulu, kau pernah membelikanku minuman soda, benar kan?"
Huo Jingyun terkejut mendengar: "Coba lihat, Wan-wan kita memang punya hati nurani! Minuman soda tiga sen diingat selama 16 tahun! Benar, Kakak Jingyun yang membelikanmu soda!"
Beberapa orang di sampingnya tak menyangka, dengan putus asa buru-buru mendekat dan bertanya: "Wan-wan, masih ingat apa yang pernah kubelikan untukmu waktu kecil?"
Chu Wan tersenyum: "Tidak terlalu ingat. Waktu itu aku masih sangat kecil, yang teringat hanya hal-hal kecil yang samar-samar. Tapi para kakak bisa ceritakan, siapa tahu aku jadi ingat?"
Seketika, mereka ramai bersuara mulai bercerita tentang kenangan masa kecil.
“Wan-wan adalah harta karun Kakak Ketujuh, setiap hari dia pamer ke kami! Kami ingin memelukmu, tapi dia melarang. Aku sampai iri, pulang ke rumah minta ibu melahirkanku adik, malah dimarahi habis-habisan! Wan-wan masih ingat? Waktu itu Kakak Jingyun sampai menangis sedih!”
“Wah, dulu waktu kami memancing, dapat ikan mas merah kecil. Kami coba sentuh sedikit saja dilarang, dia mau bawa pulang untuk bayinya, takut kami merusaknya!”
“Dulu saat kami main bola dengan geng Qi Xiao, ada anak nakal yang menarik pita kupu-kupmu Wan-wan. Wan-wan langsung sedih sekali, matanya merah sambil memeluk kepangan rambutnya. Kakak Ketujuh tahu, langsung menghajarnya! Wan-wan masih ingat pita kupu-kupmu? Kakak Tiefeng sangat suka pita itu!”
“Setuju, aku ingat kejadian itu! Saat itu langsung menunjuk ke arah mereka dan bilang 'Siapa yang berani tarik? Ayo maju!'. Mereka semua ketakutan, akhirnya memaksa si anak itu maju sendiri!”
mendengarkan dengan . Beberapa kenangan samar-samar muncul, tapi sebagian sama sekali tak bisa diingatnya.
dia pun tak menyia-nyiakan kesempatan bertanya tentang masa kecil - bagaimana dia menemani bermain, cara menggendongnya, hingga hadiah-hadiah yang pernah diberikan.
Para pun semangat bercerita. Burger sudah habis, mereka menyeruput kopi saku mengobrol seru seolah yang lama terpisah.
diam-diam mengamati dari samping. Setiap panggilan "" dan "" yang awalnya ditanggapi biasa, perlahan membuat -nya menggelap tak berkedip.
Akhirnya, ketika Huo Jingyun menggulung lengan bajunya untuk memperagakan bekas luka di lengannya pada Chu Wan, Lu Shouyan akhirnya berkata: "Hari ini adalah hari pertama pembukaan restoran, kami mengundang kalian untuk menambah jumlah pengunjung, bukan untuk berakting atau menggelar Pintu Naga di sini. Tertawa-tawa kalian seperti ini sangat mengganggu suasana restoran."
Ia bangkit dari kursi: "Sekarang, mari kita bubar."
Setelah meninggalkan restoran cepat saji Yili, mereka tidak langsung pulang. Lu Shouyan mengajaknya berbelanja di Xidan, membeli beberapa camilan dan buah murbei hitam - Festival Duanwu semakin dekat, buah murbei hitam terlihat di mana-mana.
Saat kembali, hari sudah mulai gelap. Berjalan di jalanan sepi, Chu Wan tersenyum sambil menatapnya: "Wajah seseorang sepertinya lebih hitam dari murbei hitam. Ada apa ini?"
Lu Shouyan meliriknya dingin: "Tadi obrolanmu lancar ya? Sebelumnya tidak tahu kamu pandai mengobrol seperti ini."
Chu Wan: "Mood sedang bagus, wajar kalau obrolan lancar. Lagipula semua Kakak-kakak di sini sangat antusias dan baik hati."
Lu Shouyan mengangkat alis: "Ya? Memanggil begitu mesra?"
Chu Wan tersenyum: "Ada masalah? Kalau tidak panggil Kakak harus panggil apa?"
Lu Shouyan: "Cukup sampai di sini, setidaknya ada batasan keakraban."
Chu Wan: "Mana ada aku tidak membedakan keakraban?"
Lu Shouyan: "Memanggil mereka Kakak, lalu memanggilku apa?"
Chu Wan menatap dinginnya yang tanpa ekspresi dengan senyum nakal: "Tentu saja memanggilmu Paman Tujuh..."
Lu Shouyan meliriknya dengan nada peringatan: "Wan-wan, pantaskah menggodaiku seperti ini?"
Chu Wan: "Tidak pantas ya? Kalau begitu aku berhenti menggodamu——"
Ia memiringkan kepala dengan wajah polos: "Aku cari orang lain untuk digoda?"
Lu Shouyan menunduk, sorot matanya mengunci tajam: "Mau ganti siapa?"
Chu Wan: "Bantu pilihkan satu?"
Lu Shouyan tiba-tiba meraih tangannya dengan gerakan hukuman yang presisi.
Sensasi geli menyebar dari ujung jari, hati Chu Wan langsung kalut. Ia menoleh mengangkat wajahnya memandangnya.
Senja kabur, hutong sepi yang sunyi tanpa orang. Jari-jari pria itu membawa kulit kasar akibat gesekan, tersembunyi di balik lengan jas yang dijahit rapi. Setelah menjepit ringan jarinya lalu melepas, menangkap lagi, kemudian melepas kembali. Dalam lilitan jari-jari, sentuhan tipis ini mengambang tak jelas.
Ia berada tepat di sampingnya, bahunya hampir menyentuh helai rambutnya.
Dari sudut pandang Chu Wan, lampu-lampu menampakkan kelopak mata tipis, rahang yang tegas, dan tulang hidung yang tegak. Semua ini melukiskan garis-garis tabu yang berjarak darinya.
Semua ini tak bisa disatukan dengan jari-jari yang samar-samar menyentuhnya.
Padahal, bahkan kancing kerah pun diikatnya dengan rapi tak bercela, seluruh penampilannya tertata begitu sempurna. Dulu yang berdiri di tepi sumur dengan sikap angkuh layaknya orang tua dan menasehatinya dengan kata-kata tegas - siapa sangka, suatu hari di balik kelam malam dan lipatan lengan baju, ia akan menggenggam jari gadis itu dengan gemas, mengusiknya penuh kerinduan. Ujung jarinya yang agak kasar menggesek kulit jemarinya, memicu sensasi geli yang samar.
Langkah kedua insan telah terhenti, senja yang sunyi membuat helaan napas mereka terdengar jelas.
Lu Shouyan menatap lentera di kejauhan, sementara Chu Wan mengarahkan pandangannya ke wajah pria itu.
Ia selalu mampu membungkus emosi dengan sempurna di momen krusial, hanya bibir tipis yang sedikit terkatup dan jakun yang bergerak halus di balik kerah kaku yang bisa menyiratkan secuil perasaannya.
Dalam kesunyian yang terasa seperti membentang beberapa abad, akhirnya suara baritonya pecah: "Wan-wan?"
Chu Wan tersentak dari keterhanyutan pikiran.
Ujung lengan bergerak halus, jari-jarinya hendak ditarik namun dikejar, hingga tangan itu menggenggam erat miliknya.
Empat jarinya terkurung di antara ruas jemarinya, tampak tak berdaya meski tak ada upaya untuk melepaskan.
Chu Wan menggigit bibir, menatap jalan di depan.
Siluet sepeda seorang pria berbaju setelan Zhongshan biru melintas perlahan di persimpangan, bayangannya memanjang di bawah lampu-lampu.
Lu Shouyan menoleh, menurunkan pandangan ke arahnya.
Pada bola mata hitam itu, Chu Wan melihat semacam dunia lain yang dalam dan tak terjangkau.
Seluruh tenaganya seolah terkuras, bahkan desahan napasnya sendiri tak terdengar.
Lu Shouyan: "Ayo pergi."
Suaranya parau dan terendap saat mengucapkan itu.
Sikapnya jelas menunjukkan keengganan melepas genggaman.
Jari-jari Chu Wan bergetar halus sebelum ia menatapnya.
Lu Shouyan memahami maksudnya: "Sudahlah."
Dia tidak melepaskan, sambil menunduk, suara rendah dan paruhnya berbisik di dekat telinganya: "Aku hanya ingin terus menggenggam tangan Wan-wan seperti ini."
