Setelah cuaca mulai hangat, kondisi kesehatan Kakek buyut semakin membaik. Chu Wan belakangan ini lebih lancar mengerjakan soal ujian bahasa Inggris dibanding sebelumnya, yang kini lebih dikhawatirkannya adalah mata pelajaran politik.
Katanya ujian ini mengikuti pola tertentu, dan lembaga bimbingan belajar biasa menebak soal. Setelah berdiskusi dengan Lu Shouyan via telepon, dia menawarkan untuk mendaftarkannya di kelas bimbingan serikat pekerja kota. Setelah Festival Duanwu, Chu Wan bisa langsung ikut kelas asalkan kondisi Kakek buyut memungkinkan.
Mendengar ini, Kakek buyut berkata: "Sekarang kamu sudah bertunangan dengan Shouyan. Memang dia pilihan yang baik, tapi di dalam hati saya masih agak was-was. Hidup berumah tangga itu perlu penyesuaian. Dengan kamu ikut bimbingan belajar di kota, kamu bisa lebih sering berinteraksi dengannya. Begini saya jadi lebih tenang."
Sebenarnya Chu Wan masih berat meninggalkan Kakek buyut, khawatir kalau-kalau beliau sakit tanpa ada yang merawat. Setelah dikonfirmasi, program bimbingan itu hanya berlangsung tujuh hari. Rencananya dia akan meminta bantuan warga kampung untuk menjaganya selama itu, setelah selesai kelas bisa segera pulang.
Dengan putus asa, Chu Wan membalas surat Lu Shouyan. Lu Shouyan telah mendaftarkannya di bimbingan belajar, dan mereka sepakat datang pada hari Festival Duanwu.
Hari itu hujan turun. Chu Wan duduk di depan jendela sambil membaca buku, sesekali melirik ke luar dengan kurang fokus.
Dia berpikir di hari hujan begini, sebaiknya Lu Shouyan tidak usah datang. Hari ini dia harus bekerja, baru bisa datang setelah jam kantor. Lagipula jalan sulit dilalui.
Kakek buyut duduk di kamar dalam sambil menghisap pipa tembakau yang lembap: "Siang tadi kakak Sanxi datang, katanya ada surat untuk kita yang terjepit di retakan laci beberapa hari lalu, baru ditemukan dan dikirimkan."
Chu Wan heran: "Siapa yang mengirim surat tanpa alasan jelas?"
Mereka tinggal di daerah terpencil ini. Biasanya tak ada yang mengirim surat - tak ada keluarga maupun teman.
Kalau keluarga Lu atau Yi mau datang, cukup telepon ke rumah sekretaris partai desa, atau langsung datang saja. Biasanya tidak pakai surat.
Tiba-tiba terdengar suara roda berderak di luar gerbang. Chu Wan langsung berseru: "Paman Tujuh datang! Aku akan melihat!"
Kakek buyut menghisap rokoknya, menatap rintikan hujan yang miring di luar jendela, menggelengkan kepala: "Kini masih tak bisa diubah, terus memanggil Paman Tujuh, didengar orang seperti apa nanti."
Chu Wan tak mendengar ini. Dengan payung terbuka ia keluar. Terlihat jeep yang basah berkilauan cahaya air terparkir di lereng dekat rumah, seorang pria sedang mendorong pintu turun.
Akhir-akhir ini dia sibuk, seharusnya datang Minggu, tapi sebenarnya tak ada waktu. Sekarang sudah lama tak bertemu, tiba-tiba melihatnya di malam hujan ini, dalam hati terasa hangat, muncul perasaan curiga.
Lu Shouyan melihatnya, tak buru-buru turun. Masih duduk di mobil, menatapnya yang sedang mengangkat payung.
Dalam rintik hujan samar, ia mengangkat payung kain minyak hitam besar. Mengenakan kemeja lilac pucat dengan kerah pipih bergaris bordir kecil, kombinasi lehernya yang ramping terlihat sangat unik, bagai bunga lili berembun di antara pepohonan tua yang kokoh.
Chu Wan merasakan pandangannya, ada sesuatu yang khusus di dalamnya.
Dulunya mungkin dia tidak terlalu mengerti, tapi kini sudah paham. Saat dia memandanginya seperti ini, meski tetap tenang, sebenarnya pikirannya tak tentu sedang merenungkan apa.
Pikiran pria tersembunyi namun terang-terangan, bagaikan serigala kelaparan melihat daging.
Dia memalingkan wajah: "Mau apa?"
Lu Shouyan: "Bajumu ini cukup cantik."
Chu Wan berbisik pelan: "Ini kamu yang membelikan."
Lu Shouyan tersenyum samar di matanya: "Menyesal, mengapa dulu saya membelikanmu ini."
Memang cantik, tapi terlalu menarik perhatian. Dari jauh ini, tak bisa mengawasi, tidak sempat datang, pada akhirnya tetap merasa khawatir.
Chu Wan tertawa agak bangga: "Kamu sendiri yang nekat membelikan! Menurutku bagus, lain kali harus beli lagi!"
Lu Shouyan menatapnya dengan bola mata hitam, berbisik: "Wan-wan naik ke sini?"
Chu Wan tentu paham maksudnya. Sambil tetap mengangkat payung, menatapnya melalui kabut hujan yang rapat, akhirnya berkata: "Jangan macam-macam."
Melihat ini, Lu Shouyan pun turun dari mobil.
Dia membuka bagasi, mengangkat barang-barang di dalamnya dengan satu tangan. Banyak yang dibawanya - materi pemikiran politik terbaru, sayur dan buah segar, beras ketan Jiangmi premium dengan kurma emas, serta belut, telur teh, dan kue kacang hijau.
Chu Wan hendak membantu mengangkat, tapi Lu Shouyan berkata: "Aku bisa bawa."
Chu Wan lalu mengangkat payungnya lebih tinggi, memayunginya.
Tinggi badannya membuatnya harus berjinjit.
Tiba-tiba ia melihat lengan baju Lu yang digulung hingga menampakkan setengah lengan bawah yang kekar, bertanya: "Hujan begini, kenapa tidak pakai baju lebih tebal?"
Lu Shouyan menjelaskan: "Langsung berangkat setelah kerja, tidak sempat ganti baju."
Chu Wan: "Kalau buru-buru ya besok saja datang. Malam-malam hujan begini, jalannya licin."
Langkah Lu Shouyan melambat, suaranya rendah berbisik: "Ingin cepat bertemu. Lagipula besok ada tugas dinas penting, pagi harus langsung berangkat."
Chu Wan mendengar, sedikit kecewa. Asalnya malam ini datang besok pagi sudah harus pergi, hampir tidak sempat berbicara. Pantas tadi dia duduk di mobil tidak turun, sebenarnya ingin menyuruhnya naik ke mobil agar bisa bicara beberapa kata rahasia, atau mungkin berpelukan dan berciuman seperti saat perpisahan terakhir.
Sambil memikirkan hal itu, payung di tangannya tidak diangkat tinggi, hampir menutupi kepala Lu Shouyan. Dia menoleh sedikit, membungkuk, dan berbisik di telinganya: "Akhir-akhir ini sibuk. Malam ini bisa menyempatkan menginap di rumahmu saja sudah bagus."
Chu Wan terkejut. Memandangnya, merasa ucapan itu mengandung makna tersembunyi.
Lu Shouyan menyadari kesalahpahamannya: "Apa yang kau pikirkan? Saat hujan begini, seandainya rumahmu bocor, aku bisa memeriksanya."
Chu Wan termenung, mengangguk. Memang mungkin dirinya yang berpikir terlalu jauh.
Apalagi dia pasti tidak akan berani melakukan hal seperti itu, terlebih Kakek Buyut ada di sini. Diberi seratus nyali pun tidak akan berani.
Dia sangat ketakutan terhadap Kakek Buyut, mungkin juga sadar bahwa jika terlalu nekat, Kakek Buyut pasti akan marah. Sang kakek buyut takkan menyukai pria nekat yang berharap lebih pada cicit perempuannya.
Sambil berbincang, mereka masuk ke dalam rumah. Lu Shouyan menyapa Kakek Buyut terlebih dahulu, lalu sibuk mengurus barang-barang. Sang kakek menyuruh Chu Wan mengambilkan sehelai selimut untuk Lu Shouyan dan menyiapkan tempat tidur di lantai kamar barat.
Chu Wan membalas lalu pergi mencari selimut.
Setelah mengobrak-abrik beberapa saat, dia menemukan selimut yang agak tebal. Dipukul-pukulkannya debunya baru digendong ke kamar timur - ruang penyimpanan barang dimana sebelumnya beberapa saudara laki-laki pernah tidur di sana.
Melihat keadaan ruangan yang berantakan tak karuan, dia membereskan sedikit.
Setelah merapikan, dia kembali ke ruang utama. Baru melangkah ke serambi, terdengar suara Kakek Buyut sedang berbicara dengan Lu Shouyan di ruang dalam. Nada dan suasana terasa tidak nyaman.
Dia agak terkejut, berhenti melangkah dan mendengarkan seksama, tapi keduanya tidak mengatakan apa-apa lagi.
Dengan putus asa dia masuk. Di luar hujan basah kuyup, dalam ruangan tercium bau lembap. Kakek buyut sedang merokok, asap pipa bercampur udara lembap yang pekat memenuhi ruangan.
Di sampingnya, Lu Shouyan duduk di kursi bawah dengan sikap hormat sambil berbicara.
Kakek buyut tidak menatapnya, menunduk sambil menghentakkan pipa rokok: "Shouyan besok masih ada perjalanan dinas untuk unit kerja, harus buru-buru pulang pagi. Makan sedikit lalu tidurlah. Besok pagi Wan-wan bangun masak bakcang, biarkan Shouyan berangkat lebih awal."
Lu Shouyan: "Saya sudah makan di perjalanan, tidak lapar lagi."
Kakek buyut lalu berkata pada Chu Wan: "Selimut sudah diambil ya?"
Chu Wan: "Ya, ditaruh di kamar timur."
Kakek buyut: "Baik, kamu juga kembali tidur, hari sudah larut."
Dengan putus asa, mereka berdua keluar. Saat keluar, Lu Shouyan berkata: "Wan-wan, belut yang kubawa harus dibiarkan di air. Ambilkan bak kayu."
Sambil berkata demikian, ia melirik Chu Wan.
Chu Wan sedikit ragu-ragu.
Kakek Buyut tadi sudah memberi instruksi jelas agar ia tidur cepat. Ia mengerti maksud tersiratnya.
Selalu terasa ada sesuatu yang tak beres dalam sikap Kakek Buyut, seolah melarangnya berinteraksi dengan Lu Shouyan.
Ini bahkan mengingatkannya pada hari ketika Lu Shouyan melayani Kakek Buyut merokok, sang kakek pernah menegurnya untuk menjaga 'seni' dan mengingatkan bahwa Lu Shouyan adalah orang yang lebih tua.
Perasaan tak tergambarkan menggelora dalam hati Chu Wan.
Lu Shouyan: "Kalau begitu, saya sendiri yang akan mengambil air."
Chu Wan pun menjawab: "Aku ikut denganmu."
Maka mereka pun pergi ke dapur bersama, mengambil bak kayu, mengisinya dengan air, dan meletakkan belut di dalamnya untuk sementara.
Lu Shouyan menatapnya, berbisik: "Aku sibuk belakangan ini, tak ada waktu datang. Apa Kakek Buyut bilang sesuatu?"
Chu Wan menggeleng, lalu bertanya pelan pada Lu Shouyan: "Tadi Kakek Buyut ngomong apa sama kamu? Jangan-jangan kamu menyinggung perasaan beliau?"
Lu Shouyan: "Bagaimana mungkin? Di hadapannya, aku tak berani mengucapkan sepatah kata pun."
Sambil berkata demikian, ia menatapnya dan berbisik: "Bukankah aku selalu berusaha menyenangkan Kakek Buyut?"
Chu Wan mendengarkan lalu berkata: "Tidak usah dipikirkan lagi. Kamu tidur lebih awal saja. Besok pagi harus menyetir, jalan pegunungan mungkin licin. Istirahat yang cukup."
Usai ucapannya, Lu Shouyan justru diam membisu.
Ia menatap ke arahnya. Cahaya lampu minyang yang temaram memantul di matanya, memperlihatkan ketidakrelaan yang terang-terangan.
Ia menggigit bibir, menembus jendela memandang ke luar. Hujan deras sedang turun lebat di luar.
Sejujurnya ia juga berat hati. Sudah sebulan tak bertemu, kini hanya sempat berbincang sebentar. Besok pagi dia harus pergi lagi.
Mengikuti perintahnya, dia masuk kota mengikuti bimbingan belajar sementara dia perjalanan dinas mungkin tidak bisa pulang.
Tapi dia masih berbisik: "Paman Tujuh, aku kembali tidur."
Ini jelas penolakan.
Lu Shouyan mengangguk: "Ya, kembalilah."
Saat mengucapkan ini, arah pandangannya terkunci pada wajahnya dari awal hingga akhir tanpa sedikitpun beranjak.
Chu Wan bisa merasakan dia masih tidak rela melepaskan, tapi dirinya tidak mungkin melangkah lebih jauh.
Bagaimanapun ini rumahnya sendiri, Kakek buyut ada di dalam kamar yang baru saja beristirahat, mungkin belum tertidur.
Dia tidak bisa menerima melakukan sesuatu dengan pria di rumahnya sendiri.
Meski di kemudian hari dia hidup belasan tahun dan melihat kebiasaan terbuka di luar negeri yang tidak dianggapnya buruk, bahkan merasa sesekali bisa melepas kontrol...
Tapi saat ini, di rumah tua Desa Yongling ini, Kakek buyut masih mengawasi dari dekat.
Di bawah pandangan Kakek buyut, dia selamanya harus menjadi anak yang tak mengecewakan, Wan-wan yang sederhana dan teguh terus melaju ke depan.
Sampai saat ini, barulah ia menyadari bahwa Lu Shouyan benar. Katanya di depan orang tua harus berpura-pura dingin.
Saat itu tak terpikir, kini saat mereka sudah menjauh, baru ia paham ini alasan yang serius.
Chu Wan mendorong pintu. Begitu terbuka, berbagai rintangan di luar langsung menyergap, dingin menusuk dan lembap.
Tiba-tiba payung dengan rapi melindunginya, diserahkan ke tangannya.
Tangannya erat menggenggam miliknya.
Wajah Chu Wan memanas, menatapnya.
Matanya yang hitam pekat bergejolak, tapi suaranya terkendali: "Wan-wan, pegang payungnya, jalan cepat, jangan sampai kehujanan."
Chu Wan mengangguk: "Ya."
Lu Shouyan: "Botol air panas yang kuberi tadi, isi dengan air hangat untuk menghangatkan lenganmu."
Chu Wan sebenarnya ingin bertanya bagaimana dia tahu, tapi situasi saat ini terlalu mudah memicu pikiran lain, jadi dia tidak bertanya dan berkata pelan, "Setuju."
Lu Shouyan baru melepaskannya, bersuara parau: "Kembalilah."
Chu Wan mengangkat payung dan hanya tahu menerobos, sebenarnya hanya beberapa langkah, menginjak-injak halaman yang basah, lalu cepat masuk ke kamarnya.
Saat masuk ke dalam, Kakek buyut di kamar barat mengeluarkan suara gerakan, seakan membalikkan badan.
Tidak tahu apakah tertidur, tapi ini membuatnya menghitung Waktu dengan hati-hati saat dia bersama Lu Shouyan di kamar barat tadi, khawatir Kakek buyut berpikir macam-macam.
Kedatangan Lu Shouyan kali ini, sikap Kakek buyut jelas-jelas tidak biasa, tidak tahu sebenarnya ada masalah apa.
Chu Wan memikirkan hal yang mengganjal di pikiran, tidak ada keinginan untuk memberi dengan paksa botol air panas ke dirinya sendiri.
Kakek Buyut sudah menyetujui pertunanganku dengan Lu Shouyan, terlihat dia juga sangat mengagumi Shouyan. Tidak mungkin sekarang tiba-tiba membuat masalah. Meski kami sudah melampaui batas, seharusnya tidak sampai membuat Kakek Buyut marah karena hal ini.
Chu Wan terbaring di tempat tidur, bolak-balik tak bisa tidur. Tiba-tiba merasa selimut di tubuhnya terasa sinis, seolah tak mampu menghangatkan. Dia merasa butuh kehangatan yang lebih menyeluruh, ingin dipeluk erat dalam dekapan, diperhatikan dengan saksama.
Dia teringat kehidupan sebelumnya, pernikahan belasan tahun dengan Lu Jianshi. Apakah dia pernah mendapatkannya? Tidak. Dirinya adalah sandaran bagi diri sendiri. Kecuali dirinya, tak ada yang memberinya kehangatan. Sepertinya dia memang tak membutuhkannya.
Tapi setelah hidup kembali, dia sadar bukan tidak butuh, melainkan tak ada yang memberi.
Karena tak ada yang memberi, akhirnya mengira diri tak membutuhkan, lalu mengubah diri menjadi tak terkalahkan.
Sejatinya dia merindukan gejolak, merindukan kehangatan, merindukan segala yang akan diberikan Lu Shouyan padanya.
Chu Wan menyadari wajahnya memanas, dia akhirnya berusaha menenangkan diri dan mencoba tertidur.
Entah berapa lama kemudian, derai hujan di luar sepertinya mereda. Dia mendengar suara samar, seolah memanggil namanya.
Awalnya dikiranya mimpi, tapi ketika menyimak lebih saksama, di sela rintik hujan yang berdesir, suara itu benar-benar datang dari luar.
Chu Wan merangkul selimut lalu mendekati jendela. Dia mengenali suara itu - Lu Shouyan yang sedang berdiri di luar.
Seluruh tubuh Chu Wan mendadak kaku. Kamarnya hanya terpisah satu ruang tengah dan dua pintu dari kamar Kakek Buyut, namun ini tak menjamin sang tua itu tak bisa mendengar.
Bagaimana jika beliau benar-benar mendengar?
Ini benar-benar keterlaluan!
Dari balik pintu, suara Lu Shouyan terdengar parau, tertekan namun berusaha ditahan: "Wan-wan, aku tak bisa tidur."
Hati Chu Wan bergejolak. Dengan suara bergetar dia membisikkan peringatan: "Kau mau apa? Pulang sekarang!"
Lu Shouyan: "Wan-wan, kamu kedinginan? Lenganmu sakit?"
Chu Wan: "Kamu gila!"
Lu Shouyan: "Di kamar timur ada sebuah pintu."
Chu Wan langsung merasa kepalanya seperti meledak mendengar ini.
Rumah ini sebenarnya memiliki lima kamar utara. Dua kamar di sisi timur sudah runtuh dan terbengkalai, tapi sebenarnya ada pintu penghubung antara dua kamar runtuh itu dengan kamarnya. Pintu itu bisa dibuka, hanya biasanya selalu digembok.
Jika Lu Shouyan masuk melalui pintu itu, dia tidak perlu melewati ruang tengah dan tidak akan membangunkan Kakek buyut.
Dia pernah memperbaiki rumah keluarga ini. Dia paham tata letaknya.
Dia datang dengan persiapan matang.
Tapi ini terlalu luar biasa.
Chu Wan berbisik: "Jangan! Aku takkan membiarkanmu masuk. Kamu gila? Bagaimana bisa kamu melakukan ini!"
Lu Shouyan pun diam.
Chu Wan menggenggam erat tangannya yang gemetar, bahkan seluruh tubuhnya bergetar tak terkendali.
Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri agar rasionalnya mengalahkan kerinduan.
Setelah beberapa saat, dia akhirnya mulai pulih dan menyandarkan telinga ke jendela - namun tak ada suara Lu Shouyan di luar.
Tertegun sejenak, dia bangkit dan merapatkan wajah ke kaca jendela untuk mengintip keluar.
Melalui tirai gerimis dan cahaya senja yang pekat, pandangannya tak menembus kegelapan.
Sepi. Tak terlihat bayangan orang. Pasti dia sudah kembali ke kamar.
Hati tiba-tiba terasa hampa. Dia sudah pergi.
Pasti karena penolakan tegas tadi. Dia menyadari ketidakmungkinannya, atau mungkin juga mengerti bahwa permintaannya terlalu menyimpang dari norma.
Chu Wan memeluk selimut, meringkuk di ambang jendela.
Tiba-tiba kenangan masa kecilnya muncul.
Tahun itu, Lu Shouyan datang bersama Kakek Lu.
Detil kejadian sebelumnya sudah kabur, yang teringat hanya dirinya yang membisu - menolak merespons siapapun yang bertanya.
Mungkin dia juga merasa bosan dan kecewa, jadi tidak lagi berbicara dengannya, bahkan tidak meliriknya sekali pun.
Belakangan, saat mereka naik jeep dan mesinnya dinyalakan, dia menatap ekor mobil yang perlahan menjauh tiba-tiba menangis, lalu berlari mencoba mengejar.
Tentu saja tidak bisa menyusul, dia terjatuh telungkup di tanah yang dipenuhi batu kecil dan cang'er, terasa sangat sakit sampai tangannya lecet.
Mengingat ini semua, dadanya tiba-tiba sesak ingin menangis, ada perasaan sedih yang mengganjal.
Sebenarnya ini bukan kesalahannya, harusnya yang disalahkan diri sendiri. Bahkan jika dia masih ada, tentu tidak akan diizinkan masuk. Tapi tetap saja perasaan ini menyiksanya.
Di saat itu, terdengar helaan napas pelan dari luar.
Sangat lembut, tapi tertangkap oleh pendengarannya.
Dengan tubuh kaku dia bangkit, membenamkan hidungnya di kaca jendela yang dingin menyegarkan, berbisik lirih: "Paman Tujuh?"
Lu Shouyan: "Wan-wan."
Suaranya lembut, terdengar seperti sedang menghibur.
Chu Wan: "Kembalilah ke kamar, di luar sedang hujan."
Lu Shouyan: "Wan-wan, besok pagi pasti tidak ada kesempatan untuk berbicara berdua denganmu."
Chu Wan tidak berkata-kata.
Lu Shouyan melanjutkan: "Awalnya aku ingin pulang kerja lebih awal, tapi tiba-tiba ada urusan penting. Setelah kerja ingin segera ke sini, tapi hujan membuat jalan sulit dilalui. Besok aku harus perjalanan dinas lagi. Jadi aku tidak bisa menjemputmu ke kota untuk bimbingan belajar. Kalau kamu masuk kota pun tidak akan melihatku, kesempatan ini sia-sia belaka."
Chu Wan juga merasa kecewa. Semula dia mengira dengan masuk kota mengikuti bimbingan belajar, bisa melihatnya setiap hari. Bayangannya saja sudah membuatnya begitu bahagia, sangat tidak sabar menunggu. Tapi ternyata hasilnya seperti ini.
Dengan suara lemah dia berkata: "Tunggu saja kalau ada waktu nanti. Lagipula tinggal dua bulan lagi kita akan menikah."
Lu Shouyan: "Setuju."
Hujan di luar masih turun. Dia tidak berbicara lagi.
Chu Wan memeluk selimutnya, juga diam. Setelah lama sekali, mungkin dua puluh menit.
Chu Wan bertanya hati-hati: "Paman Tujuh?"
Lu Shouyan: "Ya?"
Chu Wan tak bisa menjelaskan perasaan dalam hatinya, ternyata dia masih ada di sana, belum pergi.
Dia berbisik, "Kau ke sebelah timur."
Suaranya sangat pelan, tak dijelaskan secara gamblang, tetapi jelas ia memahami makna tersirat di baliknya.
Chu Wan bangkit, menyeret sepatunya menuju pintu yang mengarah ke kamar samping timur yang runtuh.
Ia berhenti sejenak di depan pintu, akhirnya membuka palang kayu.
Begitu palang terbuka, terlihat pria berteduh payung berdiri di luar.
Aroma lembap menusuk hidung, kegelapan menyelubungi sekitar. Wajahnya samar dalam kelam malam, namun mata Chu Wan langsung menangkap sorot matanya - dingin nan tegas yang berpendar, meski bulu mata telah basah oleh hujan malam, namun kerinduannya tetap membara.
Chu Wan merasa seperti ditunjuk dewa, napasnya mulai tersengal.
Ia menatapnya dengan bengong, gelisah, takut, dan kerinduan dalam hati berbaur menjadi emosi kompleks yang membungkam mulutnya meski telah terbuka.
Lu Shouyan tidak berbicara, ia langsung melangkahi ambang pintu, lalu menutup pintu, mengurung tiupan angin dan hujan di luar.
Setelah pintu tertutup, rasa gelisah yang tak terucap menggelayut di dada Chu Wan.
Tindakannya membuka pintu tadi memang impulsif sesaat, tapi kini ia sungguh menyesal.
Di luar, gerimis lebat tak henti seakan memisahkan mereka dari dunia lain, namun hanya terpisah balai pertemuan dan dua daun pintu - di situlah Kakek buyut yang selalu ia hormati dan dekati berada. Mana mungkin ia berani melakukan perbuatan tidak senonoh yang merusak moral di bawah pengawasan sang kakek?
Di tempat ini, Kakek buyut bagai sang waktu yang tak pernah lapuk, membekukannya dalam era spesifik sekaligus membentuknya menjadi sosok yang diharapkan.
Bagaimana reaksi Kakek buyut jika tahu cicit kesayangan yang selalu dibimbingnya ternyata diam-diam bertemu pria sendirian di malam berbadai ini?
Dia teringat waktu kecil, desahan berat Kakek buyut yang penuh kekecewaan.
Desahan itu bagai batu, menembus lorong waktu empat belas tahun dan menghantam hatinya.
Lu Shouyan menunduk, memandangi sorot mata bingungnya dalam cahaya senja yang remang-remang, berbisik: "Wan-wan, aku hanya ingin berbicara. Sudah sebulan tak bertemu, aku sangat merindukanmu. Takkan ku lakukan hal lain. Jika kau takut, bahkan takkan kusentuh helai rambutmu."
Namun Chu Wan mana percaya. Dia tahu perkataan pria manapun di saat seperti ini tak bisa diandalkan. Dengan suara pelan dia berkata: "Paman Tujuh, aku menyesal. Pergilah."
Lu Shouyan bersandar di pintu: "Wan-wan, aku hanya akan berdiri di sini. Takkan melangkah maju. Mari berbicara begini saja."
Chu Wan menatapnya, perlahan mengangkat jam tangannya.
Suaranya lirih: "Kita bicara sepuluh menit saja. Setelah itu, kau pergi. Setuju?"
Lu Shouyan: "Ya."
Setelah mengiyakan, dia terus berdiam diri, hanya berdiri di sana dalam kesunyian, menatapnya.
Ruangan gelap tanpa lampu, hujan mengguyur di luar. Dalam remang-remang yang lembab ini, mustahil melihat wajah. Chu Wan hanya bisa menangkap desahan terkekang Lu Shouyan yang tertahan.
Dada Chu Wan sesak. Dengan suara lirih dia berkata: "Paman Tujuh, bicaralah."
Lu Shouyan: "Wan-wan, kubawakan ketan untukmu. Ketan berkualitas, ada kurma dan manisan kurma. Kau bisa membuat bakcang sendiri. Ada juga isian lain - khas Selatan, daging segar. Makanlah yang kau suka."
Chu Wan: "Ya, aku tahu."
Lu Shouyan: "Kau suka?"
Chu Wan: "Suka."
Lu Shouyan: "Wan-wan, setelah kita menikah, akan kusuapi kamu."
Pipi Chu Wan memerah: "Aku bukan anak kecil."
Lu Shouyan: "Setuju. Tapi aku ingin menyuapi Wan-wan-ku."
Chu Wan menggigit bibir malu-malu: "Terserah kau."
Setelah itu, Lu Shouyan diam seribu bahasa. Napasnya mengalir pelan-pelan ke telinga Chu Wan.
Udara dipenuhi kerinduan yang membara. Meski terpisah satu meter, Chu Wan merasa seolah sudah dipeluk erat olehnya.
Hatinya juga mulai bergejolak aneh, tapi dia menggigit bibirnya kuat-kuat menahan.
Dalam hati dia sangat paham: malam sunyi, hujan turun, pertemuan rahasia di ruang gelap. Begitu dia sedikit lengah, kontrol diri pria itu mungkin akan hancur berantakan.
Hanya terpisah beberapa ruangan dari Kakek buyut, mustahil baginya tenggelam dalam nafsu mesra dengan seorang pria diam-diam.
Tiba-tiba Lu Shouyan membuka suara: "Wan-wan, tebak apa yang kuingat?"
Chu Wan berbisik pelan: "Apa?"
Lu Shouyan: "Tahun itu, saat Festival Duanwu juga, aku dan Lao Ye datang menemuimu."
Mendengar ini, napas Chu Wan tiba-tiba tersengal-sengal.
Suara Lu Shouyan terdengar jauh: "Kami membawa bakcang, tapi setelah tiba, melihatmu berlutut di atas batu, memegang buku tebal sambil membaca."
Chu Wan: "Aku tak ingin dengar cerita ini lagi. Kisahnya sama sekali tidak baik, dan aku tidak terlalu ingat kejadian seperti itu."
Lu Shouyan: "Wan-wan, tapi aku selalu teringat. Setiap Festival Duanwu selalu teringat, memikirkan apakah wan-wanku punya bakcang untuk dimakan, apakah masih harus berlutut menghafal, memikirkan saat kuberi bakcang yang sudah dikupas untukmu, tapi kau tak berani makan, matamu melirik ke Kakek buyut."
Chu Wan memalingkan wajah ke jendela. Di luar hujan rintik-rintik turun tanpa henti.
Lu Shouyan berkata: "Selama ini aku terus memikirkannya. Setiap melihat bakcang pasti teringat."
Chu Wan: "Paman Tujuh, bagiku, aku adalah satu-satunya keturunan keluarga Chu. Karena aku tak berniat melepas nama margaku, maka kewajibanku harus kulakukan. Jangan katakan aku sudah lupa, sekalipun masih ingat, ini bukan hal berarti."
Lu Shouyan: "Wan-wan, aku mengerti maksudmu. Justru karena aku mengerti, aku tak pernah mengatakannya. Aku hanya menghormatinya."
Ia menundukkan pandangan: "Tapi apakah kamu masih ingat janjiku? Aku pernah berjanji akan menjemputmu pergi dari sini."
Chu Wan: "Ingat."
Suara Lu Shouyan terdengar berat: "Dua bulan lagi kita akan menikah. Saat itu, aku akan datang mengantarmu pergi dari sini, memenuhi janjiku."
Chu Wan terdiam lama sebelum akhirnya berucap: "Baik."
Cahaya senja menggelora, namun sorot mata Lu Shouyan yang terbakar kerinduan dan ketersesakan menyala-nyala. Suaranya parau: "Nanti, Wan-wan akan menjadi milikku."
Pipi Chu Wan memerah. Ia tetap membisu.
Lu Shouyan: "Sudah waktunya?"
Chu Wan: "Tak tahu..."
Keheningan panjang menggelayut dalam kamar remang-remang, sebelum akhirnya Lu Shouyan berkata: "Wan-wan, aku kembali ke kamar. Kau istirahatlah lebih awal."
Perasaan Chu Wan campur aduk antara kecewa dan lega: "Ya."
Lu Shouyan perlahan membuka pintu dengan lembut, lalu memandangnya untuk terakhir kalinya dalam kegelapan sebelum melangkah keluar.
Chu Wan tiba-tiba mendekat, mengulurkan tangan, dan meraih tangan miliknya.
Dengan memanfaatkan cahaya redup dari luar, ia menatapnya sambil menyampaikan isi hatinya lewat sorot mata yang bisu.
Napas Lu Shouyan yang lembap seperti udara hujan menyapu wajah Chu Wan saat ia berbisik parau, "Wan-wan, jangan begini... aku bisa tidak tahan."
Chu Wan berbisik pelan, "Cium sekali saja."
Usai berkata, ia berjinjit dan menempelkan bibirnya.
Karena tubuhnya terlalu tinggi tanpa membungkuk, ciuman itu hanya mendarat ringan di lehernya, bagai riak air di permukaan.
Setelah itu, ia buru-buru mundur dan membanting pintu.
Saat pintu terkunci, seluruh indera di wajahnya terasa mati rasa. Entah Lu Shouyan sudah pergi atau masih bicara, sama sekali tak ia sadari.
Dia membekap erat di pintu, tubuhnya terbenam dalam ketegangan ekstrem akibat campuran kerinduan dan kecemasan, bahkan membuat badannya gemetar tak terkendali.
