Malam itu Chu Wan berbaring di ranjang, tak disangka malah berguling-guling tidak bisa tidur.
Ini ranjang double yang besar, karena luasnya justru terasa kosong, membuatnya merasa seharusnya ada orang lain di sebelahnya.
Dia bukan tipe yang tidak tahan kesepian. Faktanya di kehidupan sebelumnya dengan Lu Jianshi, pertemuan mereka semakin jarang. Tidak banyak kerinduan, dan dia selalu bisa menangani berbagai hal secara mandiri.
Jadi tak perlu dibuat seolah-olah tidak bisa hidup tanpanya.
Sambil membalikkan badan, teringat ciuman di dahi sebelum perpisahan. Pria ini benar-benar jago, ngomong panjang lebar tapi cuma kasih ciuman di dahi.
Dengan berbagai pikiran kacau ini, akhirnya Chu Wan tertidur.
Keesokan paginya, saat masih setengah tidur, terdengar suara ketukan di pintu. Dengan suara mengantuk dia menjawab, lalu terdengar bunyi gembok dibuka, dan dia masuk.
Dia membawa tas jaring yang penuh berisi makanan. Aroma sedap langsung tercium oleh Chu Wan.
Lu Shouyan meletakkan tas jaring di atas meja: "Kamu bangun dulu, makan sedikit, baru kita berangkat."
Chu Wan buru-buru bangun, cepat-cepat berganti pakaian, lalu keluar ke ruang tamu: "Bawa apa saja?"
Lu Shouyan: "Sikat gigi dulu."
Chu Wan bergumam: "Aku juga tidak bilang tidak mau sikat gigi, cuma bertanya saja."
Dengan putus asa ia segera mengambil sikat dan pasta gigi, pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Di perjalanan tak terhindarkan bertemu beberapa tetangga, rekan kerja atau keluarga Lu Shouyan yang penasaran padanya. Ia pun memberikan perkenalan diri singkat.
Mereka terkagum-kagum: "Ternyata istri Kepala Lu masih muda begini, cantik sekali!"
Chu Wan tersenyum ramah menyapa mereka.
Di kamar mandi, ia juga bertemu istri Kepala Niu, Huo Cuifeng. Melihat Chu Wan, Huo Cuifeng terlihat agak malu, tersenyum terlalu manis, dan bicaranya mengandung nada ujicoba.
Chu Wan paham ini terkait urusan guci besar itu, tapi pura-pura tidak tahu. Ia balas tersenyum ramah, barulah Huo Cuifeng tampak lega.
Setelah selesai membersihkan diri, dia masuk ke dalam kamar dan melihat ranjang sudah dilipat sempurna seperti kotak tahu, ruangan juga telah dirapikan dengan cepat, bahkan lantainya sudah disapu.
Dalam hatinya, dia menghela napas pelan.
Dalam hati berpikir, sekarang belum menikah dia masih bisa bersikap santai, setelah menikah nanti pasti harus menyesuaikan diri dengan standarnya.
Lu Shouyan menyodorkan sumpit padanya: "Makan dulu."
Chu Wan menerimanya. Sarapan dibungkus kertas cokelat, berisi telur rebus, susu kedelai, dan kue lapis wijen.
Dia menggigit satu suapan. Kue lapis wijen itu sungguh harum, remah-remah berhamburan saat digigit.
"Ini enak sekali."
"Dibeli dari kantin. Nanti aku beli lagi untuk dibawa ke Yongling."
"Ya, baik."
Sambil makan, Chu Wan teringat: "Kamu mengantarku ke Yongling, pulanglah sebelum siang agar bisa masuk kerja sore. Jangan sampai mengganggu waktu kerjamu."
Lu Shouyan: "Kalau begitu kita kembali sebelum sore."
Setelah makan, Lu Shouyan membawa Chu Wan bergegas ke kantin. Sarapan di kantin masih tersedia. Karena satu unit kerja, Lu Shouyan bertemu beberapa kenalan, menyapa, dan memperkenalkan: "Ini istri saya."
Setelah bersosialisasi sebentar, mereka membeli kue lapis wijen dalam jumlah besar menggunakan tas jaring.
Saat hendak keluar sambil membawa barang, mereka tak sengaja mendengar beberapa keluarga pegawai sedang bergosip tentang urusan keluarga Kepala Niu.
"Guci keluarga Kepala Niu itu minggu lalu masih tanya-tanya ke kami. Siapa yang paham barang begitu? Akhirnya dijual 2 keping ke pemulung Lao Peng!"
"Dua keping? Hebat juga! Guci rongsokan bisa laku 2 keping? Nanti aku coba jual tong bekas mengawetkan sayuran di rumah, lihat bisa dapat berapa keping?"
Para ibu-ibu ramai berkomentar, memuji kemampuan Huo Cuifeng yang berhasil menjual barang rongsokan seharga 2 keping.
Siapa sangka orang itu malah berkata: "Kalian tidak tahu... Dia menjual dua keping, merasa dirinya punya kemampuan, menyembunyikan dan tidak memberitahu. Alhasil, Lao Peng membawa guci itu langsung ke Liulichang. Coba tebak, berapa akhirnya terjual?"
Semua terkejut: "Terjual berapa?"
Ada juga yang bilang: "Cuma guci buat mengawetkan sayuran, bisa berharga berapa lagi!"
Orang itu lalu tersenyum sombong, mengacungkan jarinya: "Lihat, terjual segini banyak!"
Orang-orang kaget: "Delapan keping? Guci bekas terjual delapan yuan?"
Semua ramai berdiskusi, bahkan pegawai lain juga ikut mendekat untuk mendengarkan.
Perlu diketahui bahwa kompleks ini dihuni unit-unit kerja pemerintah, benar-benar instansi bagus dengan tunjangan memadai. Makan di kantin, tinggal di asrama, beras, tepung, minyak - semua jatah dikeluarkan. Pokoknya tidak kekurangan apa-apa.
Tapi soal uang tunai, gaji bulanan cuma puluhan yuan. Makanya dengar guci bisa laku delapan yuan, mereka semua terperangah.
Siapa sangka orang itu malah tertawa pendek: "Delapan keping? Ah, kalau cuma delapan keping, mana layak kita bicarakan di sini, mereka jual sampai 80 yuan!"
Delapan puluh yuan?
Seketika itu, bukan cuma para pendengar, bahkan penjual sayur di kantin sebelah ikut menoleh.
Delapan puluh yuan, bahkan di unit kerja Lu Shouyan sekalipun, bagi yang baru mulai bekerja, ini setara gaji lebih dari sebulan.
Cuma guci tua, dijual seharga gaji bulanan?
Orang itu tersenyum: "Jangan sampai tidak percaya, hari ini istri Lao Peng datang ambil botol selai, aku dengar jelas-jelas, terjual 80 yuan!"
"Rejeki sebesar ini, tapi keluarga Kepala Niu tak beruntung, karena ini suami istri bertengkar hebat, ribut sekali!"
Para pendengar berkomentar: "Tentu saja, aku juga bisa mati kesal!"
Sambil mengobrol, mereka juga penasaran, ramai bersuara menanyakan bentuk guci itu, ingin pulang memeriksa guci masing-masing.
Lu Shouyan dan Chu Wan mendengar sekilas, saat keluar dari kantin sudah melihat ada orang yang ingin pulang mencari guci.
Lu Shouyan tertawa: "Mungkin masih ada lagi yang kamu suka."
Chu Wan menghela nafas: "Mana semudah itu."
Guci itu adalah hadiah dari orang yang ingin mengatur pekerjaan, ada alasan di baliknya. Keluarga mekanik ini logatnya bermacam-macam dari seluruh penjuru, kebanyakan pendatang dari luar daerah, kecil kemungkinan mereka membawa barang antik semacam itu dari rumah.
Botol-botol dan wadah yang tidak dianggap serius, siapa yang mau repot-repot membawanya dari jauh?
Tiba-tiba teringat pada Huo Cuifeng, ia menghela nafas: "Mungkin akan kesal cukup lama."
Orang dalam industri yang mengalami barang terjual murah seperti ini biasanya butuh waktu lama untuk pulih. Seperti dirinya yang sudah banyak mengalami, mentalnya sudah terasap stabil. Tapi orang biasa yang mungkin seumur hidup tidak pernah mendapat kesempatan seperti ini, ketika akhirnya dapat tapi malah terjual murah, bisa mati karena kejengkelan.
Jalan kembali ke Yongling tidak mudah dilalui karena hujan lebat kemarin yang telah membasuh banyak area. Lu Shouyan sengaja memutar melalui jalan kecil kampung untuk menghindari bahaya jalan pegunungan, sehingga menghabiskan banyak waktu.
Akibatnya, sudah hampir pukul sebelas namun belum sampai di Desa Yongling.
Chu Wan: "Apa ini tidak akan mengganggu waktumu siang nanti?"
Lu Shouyan: "Saya tidak masalah. Unit kerja sudah tahu rencana pernikahan saya yang sedang sibuk akhir-akhir ini. Tapi sudah hampir siang, kalau lapar ambillah kue lapis bumbu dari tas."
Mendengar ini, Chu Wan benar-benar merasa lapar. Ia memiringkan badan dan meraih ke arah kursi depan.
Lu Shouyan memperlambat kecepatan mobil: "Ada di tas kanvas hijau tentara saya."
Chu Wan membuka tas yang berisi berbagai barang: "Tidak ketemu..."
Lu Shouyan mengingatkan: "Harusnya di sebelah botol air, dibungkus kemasan minyak. Coba cari lagi."
Saat mengatakan ini, matanya melirik sekilas.
Dia sedang membungkuk ke belakang sambil meraih sesuatu, pose ini membuat tubuhnya terpelintir. Baju putih dengan kerah boneka yang awalnya longgar di tubuhnya tidak terlihat jelas, namun saat diregangkan seperti ini, pinggangnya tampak sangat ramping dan terpelintir.
Pinggang rampingnya sedikit melengkung ke bawah, sementara pantat di belakang justru terangkat.
Meski terlihat kurus, bagian belakang tubuh gadis ini justru sangat bulat dan berisi.
Sorot mata Lu Shouyan terasa sedikit panas, dia menarik kembali pandangannya: "Masih belum ketemu?"
Chu Wan: "Ketemu!"
Lu Shouyan mengangguk: "Ya, bagus. Bawa juga botol airnya, ada air di dalam."
Dengan susah payah, Chu Wan menarik bungkusan kue lapis itu, lalu menarik tali hijau untuk menggeser botol air tentara ke depan.
Seolah mendapatkan harta karun, dia membuka kemasan minyak. Meski sudah dingin, aroma wangi tepung tercampur renyahnya lada garam dan wijen masih menggugah selera.
Sarapan pagi terlalu awal, dikocok selama setengah hari ini, memang sudah agak lapar. Lagipula kue lapis wijen ini memang harum.
Chu Wan mengambil satu, menatap Lu Shouyan: "Kamu mau makan?"
Lu Shouyan: "Saya belum lapar, kamu saja yang makan dulu."
Chu Wan langsung menggigit kue itu. Renyahnya terasa nyata, remah-remah berhamburan. Dengan tangan ia menampung remahan wijen, melahap dengan lahap. Remahan di telapak tangan disapukan ke mulut, bahkan lidahnya menjilat sisa wijen di jari.
Setelah menghabiskan satu kue lapis, ia puas. Mengusap tangan sekadarnya, lalu mengambil botol air di samping dan meminum beberapa teguk.
Kenyang dan dahaga terlampiaskan, matanya beralih ke Lu Shouyan di sebelah.
Lu Shouyan menahan mulut rapat-rapat, tatapannya serius tertuju ke depan.
Seluruh penampilannya terlihat terlalu kaku.
Teringat kejadian semalam, tiba-tiba ia mendapat pencerahan.
Meski belum pernah makan daging babi, setidaknya pernah melihat babi berlari. Di kemudian hari, apa lagi yang belum pernah dia alami.
Dia mencoba bertanya, "Kamu juga lapar? Mau kuberi makan?"
Lu Shouyan mengangguk, berkata datar, "Baik."
Chu Wan mengambil sebuah kue lapis, memiringkan badan, mengangkatnya untuk menyuapi Lu Shouyan.
Lu Shouyan menggigit dari tangannya. Dengan sengaja dia menggerakkan jari, membuat giginya menyentuh ujung jarinya.
Chu Wan mengeluh, "Kamu menggigitku!"
Lu Shouyan segera mengerutkan dahi, "Sakit sekali?"
Chu Wan menunduk, melihat remahan wijen di jarinya, "Sebenarnya tidak apa-apa."
Sambil berkata demikian, dia memasukkan jarinya ke mulut, menjilat bersih remahan wijen.
Saat melakukan ini, dengan sengaja menatap ke arah Lu Shouyan. Dari samping, garis rahangnya sedikit menegang.
Semakin membuat semangatnya berkobar-kobar.
Kondisi jalan di depan sangat baik, tidak ada domba gembalaan, bisa menyetir santai. Dia benar-benar ingin menyiksanya perlahan-lahan.
Kemudian dia mengangkat botol air, berkata manis: "Aku yang menyuapimu minum, ya?"
Lu Shouyan: "Tidak perlu."
Chu Wan memiringkan kepala penasaran: "Kamu tidak haus?"
Lu Shouyan menggenggam erat setir, menatap Chu Wan.
Chu Wan memeluk botol air dengan wajah polos penuh perhatian.
Lu Shouyan menghela napas perlahan, mencari tempat yang pas untuk menepikan jeep.
Chu Wan heran: "Ada apa?"
Lu Shouyan tidak menjawab, menjemput botol air lalu menengadahkan lebar-lebar sambil meneguk besar.
Chu Wan menoleh mengamatinya, melihat garis tegas lehernya yang maskulin, serta tonjolan jakun yang bergerak saat dia menelan.
Dengan dramatis dia mengeluh panjang: "Sudah kubilang mau menyuapimu!"
Lu Shouyan setelah minum, mengelap bibirnya, memasang tutup botol air militer, lalu memandangnya dengan penuh makna.
Ekspresi Chu Wan tetap tenang, sorot matanya polos tak berdosa.
Lu Shouyan menghidupkan jeep dan mulai berkendara. Saat mesin menyala, barulah dia memperingatkan dengan suara berat: "Wan-wan, sudah kukatakan, jangan macam-macam."
Ujian masuk pascasarjana sudah selesai. Bagaimana hasilnya Chu Wan pun tak tahu, tinggal menunggu kabar saja.
Dia merenung, toh pertunangannya sudah ditetapkan, hati Kakek Buyut juga sudah tenang tanpa beban. Kalau gagal ujian pun tak masalah, bisa perlahan berburu barang di pasar sambil menabung, belajar di sela waktu, lalu mencoba lagi tahun depan.
Jadi di hari-hari ini, dia dengan tenang menemani Kakek Buyut di rumah: mengelap tubuhnya, mencuci kakinya, memijat kaki, serta menemani main catur.
Saat main catur, Kakek Buyut tiba-tiba menghela nafas: "Teknik caturnya Wan-wan masih jauh kalah dibanding Shouyan."
Chu Wan tertawa: "Aku memang tidak punya hasil latihan khusus di bidang ini, lagipula dia lebih tua dariku!"
Kakek Buyut: "Shouyan sudah jago main catur sejak remaja."
Chu Wan mengernyit: "Asalnya dia pernah menemani Kakek Buyut main catur?"
Kakek Buyut: "Setiap Kakek Lu datang, dia selalu ikut."
Chu Wan menggaruk dagu penasaran: "Kakek, kenapa akhirnya dia masuk militer? Apa Kakek yang menyuruh?"
Kakek Buyut meliriknya dengan santai: "Kenapa tidak tanya langsung ke dia, malah tanya aku?"
Chu Wan: "Dia tidak mau memberitahuku."
Kakek Buyut geleng-geleng kepala: "Kalau dia tidak mau bicara, buatlah dia bicara dengan caramu sendiri."
Chu Wan menghentikan pertanyaannya, tapi dalam hati yakin Kakek Buyut memegang peran penting dalam hidup Lu Shouyan.
Pengetahuan Lu Shouyan tentang Kakek Buyut ternyata jauh lebih dalam dari yang disangkanya.
Memasuki musim panas, hasil panen di ladang sudah waktunya dipanen. Di akhir pekan, Lu Shouyan datang bersama beberapa mantan bawahannya. Dengan cepat mereka menyelesaikan panen. Siang hari Chu Wan menjamu mereka makan, saat mereka pulang di malam hari, gandum sudah dijemur di halaman pengeringan.
Warga kampung yang melihatnya jelas-jelas iri. Di masa kini, pekerja pabrik dan tentara adalah profesi yang didambakan. Lu Shouyan dulunya tentara, sekarang masuk kota jadi pejabat. Ternyata Chu Wan bisa mendapat keluarga seperti ini.
Untuk sementara waktu, siapa yang tidak memuji-muji Chu Wan.
Karena Lu Shouyan ada urusan esok hari dan harus bekerja, dia pulang saat senja. Tapi beberapa temannya itu sudah berjanji, dalam dua hari saat gandum selesai dijemur, mereka akan datang membantu merontokkan bulir.
Sebenarnya menurut Chu Wan tak perlu repot-repot. Lagi pula gandum sudah dijemur, tinggal proses sederhana. Dia bisa pelan-pelan mengerjakannya. Tapi beberapa rekan seperjuangan lamanya itu bersikeras mau membantu, akhirnya Chu Wan pun mengalah.
Dia menyadari, ikatan persahabatan yang pernah menghadapi hidup mati bersama ini memang luar biasa. Setelah Lu Shouyan mundur, para bawahannya itu bahkan rela memberikan apa pun untuk membalas budinya. Sekarang mereka bisa datang membantu menuai gandum, ini hal sepele bagi mereka.
Tapi Chu Wan juga tidak mau memperlakukan mereka dengan sembarangan. Hari ini, setelah berdiskusi dengan Kakek Buyut, dia membawa keranjang pergi ke pasar desa. Rencananya mau membeli beberapa potong samcan, ditambah bahan makanan lain yang jarang ada di kampung. Supaya saat mereka datang membantu, bisa dijamu dengan makanan enak.
Pasar tradisional di era ini sudah ramai. Ikan segar dari Waduk Makam Tiga Belas Kaisar, ayam betina yang disembelih langsung, keranjang-keranjang apel emas Shuo, kacang panjang, kentang, sayuran hijau, dan cabai merah menyala. Teriakan pedagang bersahut-sahutan.
Chu Wan membeli beberapa ekor ikan, dua ekor ayam, sepotong besar samcan, lalu mengangkat sayuran hijau sampai keranjangnya penuh. Di tangan masih tergantung seikat sayuran yang diikat tali jerami.
Dia pulang dengan membawa banyak barang, hendak kembali. Tak disangka saat berjalan di jalan, terlihat seorang nenek tua dari desa sedang berjongkok di pinggir jalan.
Nenek itu usianya sudah sangat lanjut, tidak sembilan puluh pasti delapan puluh, seperti pohon tua yang kering kerontang, tubuhnya yang keriput tertekuk seperti kungkungan.
Saat pertama melihat, bayangan punggung nenek itu mengingatkan Chu Wan pada sosok Kakek Buyutnya.
Mungkin saat manusia sudah berusia lanjut, tubuhnya akan mengecil dan mengering, seperti bunga yang akhirnya layu.
Saat mendekat, dilihatnya nenek itu sedang memunguti anggur busuk dan memasukkannya ke mulut.
Anggur itu sudah hampir seluruhnya membusuk, sama sekali tidak layak dimakan, tapi si nenek terus memunguti satu per satu dan menyuapkannya ke mulutnya.
Dengan tangan keriputnya, dia menjumput butiran anggur lalu menyuapkannya, kotoran di sela-sela kukunya terlihat jelas.
Chu Wan mengerutkan dahi. Sebenarnya wajar jika ada orang miskin yang makan dedak dan sayuran, di dunia ini selalu ada orang miskin, tapi anggur busuk seperti ini dikhawatirkan bisa membuat sakit perut.
Lagipula, dia tidak tega melihat seorang nenek tua memakan makanan seperti ini.
Di dunia ini selalu ada orang-orang malang, dia bukan orang suci yang bisa selalu memperhatikan semua orang sengsara.
Tapi khusus dua jenis orang: orang tua renta dan anak-anak lemah, membuat orang tidak tega memandangnya.
Anak-anak lemah yang bahkan belum sempat menikmati keindahan dunia ini, sudah dihancurkan oleh kenyataan yang kejam, akhirnya membuat hati manusia tidak tega.
Sedangkan orang tua yang telah melewati angin dan embun pagi selama setengah abad lebih, nyawanya hampir mencapai titik akhir, dia sudah tidak punya harapan untuk membalikkan keadaan lagi.
Anggur busuk yang terakhir dimasukkannya ke mulut itu, seolah menjadi frame terakhir dalam film kehidupannya.
Chu Wan berdiri memperhatikan sebentar, lalu kembali ke warung buah di sebelah. Ia memesan satu kati anggur dan satu kati kue lapis. Kemudian mendekati nenek tua itu: "Nenek, ini kebanyakan kubeli. Silakan dimakan."
Nenek itu awalnya tidak mendengar. Chu Wan mengulangi perkataannya. Barulah si nenek mengangkat wajah dengan kaku, mata keruhnya menatap bingung ke arah Chu Wan.
Chu Wan mengulangi lagi, menyodorkan barang-barang itu padanya, lalu mengundurkan diri untuk pergi.
Sang nenek buru-buru menarik ujung jubahnya, bersikeras menolak. Chu Wan menaruh kembali barang itu dan bergegas pergi.
Tak disangka, seorang wanita di samping tiba-tiba berteriak: "Ribut apa lagi? Kau tak bisakah berhenti mengganggu sepanjang hari!"
Chu Wan menoleh dan melihat pedagang yang tadi ia beli anggur. Wanita bermuka lebar dengan apron itu terlihat berusia lima puluhan tahun.
Sang nenek hendak mengembalikan barang ke Chu Wan, tapi si wanita menyambar dengan gerakan membelah tangan.
Chu Wan mendekat: "Boleh tahu, Ibu sedang apa? Barang-barang ini saya berikan untuk nenek ini."
Pedagang itu tertawa: "Wah, siapa kamu ini? Masih mau berbuat baik seperti Lei Feng ya?"
Chu Wan: "Kalau Ibu sendiri jual anggur, kenapa memberi nenek tua makan anggur busuk? Kalau sampai sakit perut nanti bagaimana?"
Pedagang langsung terkekeh: "Ini urusan keluarga kami juga ikut dicampuri! Mau mengakui nenek sendiri? Silakan! Kalau bisa bawa dia pergi, kalau tidak bisa jangan sok jago ikut campur!"
Melihat ini, air mata nenek tua itu langsung mengalir. Ia buru-buru menyerahkan barang-barang ke tangan Chu Wan: "Ini menantu perempuanku. Urusan keluarga kami, jangan ikut campur."
Chu Wan kini akhirnya mengerti.
Sebenarnya kasus seperti ini lumrah terjadi. Orang tua di kampung tanpa uang pensiun, saat masih bisa bekerja mungkin masih berguna. Tapi ketika sudah renta dan tak sanggup bekerja, dianggap sebagai orang tua tak berguna yang membuat para menantu dan calon cucu mantu jijik melihatnya.
Jadi bagi orang tua di pedesaan tanpa pensiun seperti ini, umur panjang malah jadi siksaan.
Diam-diam ia berdiri cukup lama menyaksikan pedagang itu dengan kesal menyuruh-nyuruh si nenek mengerjakan berbagai hal. Nenek itu berlari-lari terhuyung dengan kaki kecilnya yang dibebat.
Pasar kembali ramai dengan kerumunan orang yang tak putus-putusnya, teriakan pedagang bersahutan. Sesekali sorot mata orang-orang menyapu nenek itu, tapi tak ada yang berhenti.
Ini bukan hal aneh lagi, orang sudah terbiasa melihatnya.
Chu Wan berbalik badan, bersiap pergi.
Perkataan menantu perempuan itu ada benarnya juga. Ia memang tak mungkin membawa nenek itu ke rumahnya untuk dirawat. Kebaikan hati spontan di jalan seperti menyiram air ini takkan bisa benar-benar membantu, bahkan mungkin malah merepotkan.
Di saat itulah, sudut matanya tiba-tiba menangkap sebuah barang.
Tiba-tiba ia menyadari, lalu menatap kembali. Itu adalah sebuah aksesori kecil yang tergantung di sanggul nenek tua itu, memancarkan kilau lembut.
Ia mengamati lebih seksama - itu adalah aksesori giok putih Hetian. Tidak jelas motifnya, hanya terlihat sosok manusia kecil sepanjang sekitar 3-4 sentimeter. Kualitas gioknya ternyata masih bisa diterima.
Umumnya giok kuno tidak seharga giok baru karena kolektor lebih memperhatikan warna dan pengerjaan. Untuk giok kuno tanpa makna budaya seperti ini, harganya mungkin hanya sekitar 10-8 yuan.
Tapi hari ini Chu Wan ingin melakukan sesuatu.
Maka ia langsung menghampiri dan sengaja bertanya, "Nenek, aksesori di sanggulmu ini, apakah ini giok?"
Pertanyaan itu langsung membuat penjaga stan itu curiga, "Mau apa kamu? Ini cuma batu biasa, maksudmu apa?"
Usai berkata, ia melototi nenek tua itu dengan wajah kesal.
Chu Wan mengerti, kesadaran penduduk pedesaan dalam hal ini lebih tertinggal dibanding warga kota. Mereka masih terjebak dalam pola pikir beberapa tahun lalu, takut barang-barang tua di rumah akan dihancurkan dalam gerakan "Po Si Jiu", sehingga segala sesuatu harus disembunyikan dan dirahasiakan.
Chu Wan kemudian berkata: "Kepingan giok ini ingin kubeli. Aku bersedia membayar, Nek. Tolong sebutkan harganya, berapa yang Nenek mau jual?"
Begitu ucapannya meluncur, semua orang di pasar tradisional menoleh. Mereka memandang Chu Wan dengan heran, beberapa lainnya mengamati aksesori di sanggul nenek itu.
Ukurannya tidak besar, tampak biasa saja.
Nenek tua itu mengelus sanggulnya dengan ekspresi bingung.
Tapi mata pedagang tiba-tiba berbinar: "Kau mau bayar berapa?"
Chu Wan tersenyum: "Aku bersedia membayar seratus keping untuk aksesori giok ini."
Seratus keping?
Semua orang terkejut, perlu diketahui ini adalah Pinggiran Changping, bukan wilayah kota. Di kota mungkin bisa mengumpulkan seratus yuan dari gaji dua tiga bulan, tapi bagi petani, meski di pasar ini ingin membeli sayur, banyak yang menukar dengan hasil panen dari rumah. Barter masih umum, banyak orang seumur hidup belum pernah melihat uang sepuluh yuan.
Namun di pasar tradisional ini, tiba-tiba ada orang yang mau menghabiskan seratus keping untuk membeli aksesori giok ini!
Pedagang itu gemetar bibirnya, matanya melotot: "B-beneran?"
Nenek tua itu juga tidak percaya: "Gadis, gadis, tak perlu dipermasalahkan, ini tidak bernilai, cuma liontin. Kalau mau, ibu kasih grat—"
Namun si pedagang memandang sinis ke arah nenek itu.
Chu Wan jelas melihat keserakahan pedagang itu, juga keterkejutan orang-orang sekitar.
Sebenarnya sebagai ahli berpengalaman, dia tak pernah menawar secara terang-terangan seperti ini. Begitu harga disebut, orang pasti mengira harga aslinya lebih rendah, lalu mulai bersikap sok berwibawa.
Seorang pembeli barang antik, meski menghadapi harta karun tak terduga yang sangat besar, harus tetap tidak mengalah sedikit pun, dengan tekun melakukan tawar-menawar di situ, berusaha mendapatkan harta karun tersebut dengan harga terendah.
Tapi sekarang, Chu Wan bukan ingin mendapatkan harta karun - dia justru ingin memberikan uang.
Dengan tersenyum dia berkata: "Seratus keping, saya beli aksesori ini. Kalau mau jual, mari kita duduk dan berbicara baik-baik tentang syarat-syaratnya."
Si pedagang menggosok-gosokkan tangan, matanya berbinar penuh semangat: "Boleh boleh boleh, mari kita bicara!"
Chu Wan bertanya: "Seratus keping bukan jumlah kecil. Seandainya kalian setelah menjual lalu menyesal bagaimana?"
Pedagang langsung buru-buru menjawab: "Masa mungkin, tidak akan menyesal! Kami tidak menyesal! Kalau mau, kami langsung jual ke kamu!"
Chu Wan bertanya: "Kalian dari kampung mana?"
Si pedagang buru-buru menyebutkan nama kampungnya. Chu Wan mengusulkan: "Aku sekarang tidak membawa uang. Begitu saja, Houtian aku akan datang ke kampungmu, cari sekretaris komite desa, undang orang-orang tua di kampung untuk jadi saksi. Aku akan beli aksesori ini, saat itu juga langsung bayar tunai, bagaimana?"
Pedagang langsung berseru: "Apa kamu mau menipu kami? Jangan sampai nanti kamu kabur!"
Chu Wan: "Terserah kamu. Kalau tidak setuju, tidak usah."
Mana mungkin dibatalkan? Seratus keping itu! Banyak orang di sekitar sudah melihat dengan mata berkilau.
Pedagang akhirnya mengalah: "Baik, baik, ikut keinginanmu. Kamu harus benar-benar datang ya!"
