Keduanya bersama-sama bertindak, merapikan rumah hingga tertata rapi, jendela bersih berkilau, sinar matahari menyusup masuk. Duduk di sofa menyeruput teh sambil memegang buku, benar-benar nyaman sampai tak tertahankan.
Unit kerja mereka seperti ini sangat stabil. Meskipun nanti dia ditugaskan ke tempat lain, rumah tetap bisa dihuni terus. Kedepannya ketika reformasi perumahan dilaksanakan, akan menjadi milik pribadi.
Dalam hatinya terasa tenang, menyadari bahwa tempat ini memang mampu menumbuhkan perasaan "rumah".
10 tahun kemudian, dengan pasti dia akan punya banyak uang untuk membeli rumah impian. Tapi itu masih lama lagi.
Kini, di momen ini, di usia 20-an yang masih muda, dia bisa menikmati keadaan nyaman dan stabil, dipersembahkan perhatian penuh. Perasaan ini membuatnya puas.
Lu Shouyan: "Lapar? Sudah waktunya makan, aki ke kantin."
Chu Wan: "Baik."
Saat ini Lu Shouyan menemani Chu Wan keluar. Begitu melangkah, terlihat di lorong apartemen masing-masing keluarga sudah mulai memasak. Bunyi panci dan peralatan dapur berdentang, aroma berbagai masakan yang digoreng dan ditumis bercampur menjadi satu.
Sepanjang perjalanan, Lu Shouyan menyapa setiap orang yang ditemui.
Meski bukan tipe yang periang, caranya berbicara tenang dan matang, level kepangkatan di unit kerjanya tinggi, ditambah sikapnya yang selalu tepat dalam bertindak membuatnya memiliki hubungan baik dengan semua rekan di lantai itu.
Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan istri Direktur Niu, Huo Cuifeng yang sedang membawa mangkuk enamel berisi lobak dan ubi jalar yang sudah dicuci.
Melihat mereka, Huo Cuifeng langsung tersenyum ramah. Rupanya dia sangat menyukai daging asap pemberian Chu Wan sehingga semua kecanggungan sebelumnya tidak disebutkan lagi.
Saat turun melewati ruang penerima tamu, petugas administrasi menghampiri Lu Shouyan memintanya membayar tagihan yang langsung dia lunasi.
Chu Wan: "Uang untuk apa?"
Lu Shouyan: "Uang susu."
Chu Wan: "Apa?"
Lu Shouyan: "Susu di kantin belum tentu ada stok, botol kemarin itu juga dapat karena ada orang yang mengalahkan jatahnya. Unit kerja kami punya layanan susu, dikirim setiap hari, satu keluarga bisa pesan satu. Nanti pagi-pagi, kamu minum satu botol susu untuk nutrisi tambahan."
Chu Wan: "Tak perlu lah..."
Dalam ingatannya, baru beberapa tahun lagi pasokan susu akan melimpah. Saat ini mungkin masih harus pakai akta kelahiran untuk pesan susu. Diri yang sudah dewasa ini tak perlu dipermasalahkan dengan kemewahan seperti itu.
Lu Shouyan mengabaikan protesnya, langsung mengajaknya ke kantin.
Konon koki kantin unit mereka dilatih di Beijing Hotel, ahli dalam pembuatan roti dan masakan daging. Saat tiba, terlihat tumpukan panekuk harum di atas anyaman batang sorghum. Lauknya ada tiga jenis daging: kentang kecap, bakso kecap, dan daging pedas. Sayurannya pun delapan macam, sangat beragam.
Keduanya memesan roti pipih, dipadukan dengan kentang merah dan bakso merah, serta tiga piring kecil acar dan satu piring asinan. Hidangan kali ini terbilang sangat mewah.
Chu Wan memuji tak henti: "Kantin sini jauh lebih enak daripada kantin Universitas Jing!"
Beda kelas.
Lu Shouyan: "Kalau begitu, siang hari bisa kembali ke sini makan. Naik sepeda ke kampus, pulangnya cuma butuh belasan menit."
Chu Wan: "Tidak usah, demi sesuap makanan, tidak perlu segitunya. Lagipula kupon makan dari kampus lebih hemat."
Lu Shouyan tersenyum: "Tidak perlu menghemat sampai urusan perut."
Dia melanjutkan: "Tabunganku selama di Pasukan terkumpul banyak. Ada juga tunjangan pindah tugas. Kita belum rencanakan punya anak, tidak perlu kirim uang ke Lao Ye. Keuangan kita aman."
Chu Wan: "Ya, aku mengerti."
Setelah makan, mereka kembali ke kamar. Saat Lu Shouyan mengurus barang-barang, dia menyodorkan buku tabungan: "Ini, simpanlah."
Chu Wan melihat buku tabungan itu, lalu memandangnya: "Tidak perlu."
Lu Shouyan mengangkat alis.
Chu Wan menjelaskan: "Kalau aku butuh uang, aku bisa minta langsung padamu."
Lu Shouyan memandangnya dalam diam.
Chu Wan mulai merasa sedikit tertekan. Dia tahu pikiran Lu Shouyan: "Kamu pasti tahu hobiku. Jika uangnya kupegang, bisa saja kuhabiskan sembarangan suatu hari nanti. Jadi aku tidak cocok mengatur keuangan rumah tangga."
Lu Shouyan: "Tidak apa-apa. Kamu bisa membeli apapun yang kamu suka."
Chu Wan berkata: "Aku ingin memisahkan dengan jelas. Uang untuk membeli barang antik hitung terpisah, jangan dicampur dengan keuangan rumah tangga agar tidak membingungkan nanti. Uangmu simpan saja untuk biaya hidup sehari-hari atau masa depan anak kita."
Lu Shouyan akhirnya mengerti maksudnya: "Setuju."
Chu Wan merasa sikapnya agak menjaga jarak, lalu tersenyum: "Uangmu untuk kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk membiarkan aku! Sekarang aku sekolah hanya mendapat sedikit subsidi, uang pasti tidak cukup. Kamu harus mengucurkan dana bulanan untukku!"
Lu Shouyan: "Ya."
Chu Wan masih khawatir dia overthinking. Dia mendekat, merangkul lehernya, berjinjit.
Ingin mencium, tapi pria itu terlalu tinggi. Tangannya tak sampai.
Dengan sedikit kegagalan dia menggigit bibir: "Apa yang harus suami lakukan saat istrinya ingin mencium?"
Lu Shouyan menunduk.
Chu Wan segera menyambar, mencium rahang pria. Mungkin karena sibuk beberapa hari terakhir, di situ sudah tumbuh janggut kehijauan. Ujung lidahnya menyentuh permukaan kasar seperti duri halus.
Dengan manja Chu Wan mengusap wajah kaku pria itu: "Beri aku uang saku bulanan, atau aku akan mengadu ke Kakek Lu!"
Lu Shouyan menatapnya dengan ekspresi tak tergapai: "Kakek Lu?"
Chu Wan tiba-tiba tertawa: "Hampir lupa, seharusnya kusebut Ayah!"
Sorot mata Lu Shouyan menggelap saat melihat senyum kuncup bunga di wajahnya. Tangan besar beruas tegas menyangga tengkuknya sebelum ia menunduk mencium bibirnya.
Ciuman itu mulai tak terkendali.
Ia menghentikan kontak bibir mereka, jelas tak ingin melanjutkan.
Chu Wan mendongak, tatapannya penuh tanya.
Lu Shouyan mengelus rambutnya: "Istirahatlah baik-baik. Setelah kondisimu membaik--"
Nafas hangatnya menyapu telinganya: "Nanti kita coba kondom impor ukuran besar yang kudapatkan lewat koneksi. Kali ini takkan sobek lagi."
Pipi Chu Wan memerah sampai ke telinga: "Baik."
Tinggal di kompleks kantor memang nyaman. Esok paginya, Chu Wan sudah bisa menikmati susu segar.
Tukang susu menggoyang lonceng tembaga, mengantarkan ke mulut tangga lantai, masing-masing keluarga mengambil sendiri.
Saat Chu Wan mengambil, dia melihat tetangga yang mengambil susu adalah anak-anak, beberapa anak memandangnya dengan sorot mata penasaran dan bertanya apakah di rumahnya ada bayi kecil.
Susu pada masa ini masih tergolong mewah, biasanya hanya disediakan untuk anak-anak.
Chu Wan tidak enak menjelaskan lebih lanjut, mengambil susu lalu cepat kembali, meminumnya dengan roti pipih dan youtiao dari kantin.
Susu itu kental dan harum, setelah habis masih tersisa bekas kental menempel di botol kaca.
Chu Wan menyeruput susu sambil menghela napas: "Enak sekali."
Lu Shouyan: "Tadi anak-anak bertanya apakah di rumah kita ada bayi kecil?"
Chu Wan: "Ya."
Lu Shouyan: "Lain kali katakan pada keluarga itu, di rumah kita tidak ada bayi kecil, tapi ada satu bayi besar."
Chu Wan bingung.
Lu Shouyan berkata dengan nada bercanda: "Pokoknya beberapa tahun ini kita tidak akan punya anak. Jadi tugas terpenting keluarga kita adalah merawatmu dengan baik."
Chu Wan langsung meliriknya: "Kamu cari-cari alasan untuk mengejekku!"
Lu Shouyan berdiri dengan sorot mata berbinar: "Sudah-sudah, tidak usah bercanda. Aku mau berangkat kerja. Bukankah tadi malam kamu bilang mau ke perpustakaan?"
Chu Wan juga segera bangkit: "Iya, aku mau ke perpustakaan. Siang nanti pulang, lalu ikut Bibi Zhao melihat lukisan di rumah adik perempuannya."
Lu Shouyan menyambar tas kerja dan mengajaknya keluar. Saat turun tangga memberikan kunci rumah: "Simpan di saku, jangan sampai hilang. Ada kunci cadangan di kamar baratku. Kalau hilang, telepon saja."
Chu Wan: "Mengerti."
Dalam hati dia merasa mustahil kehilangan kunci. Apa dia sebodoh itu? Masih dianggap anak tiga tahun?
Lu Shouyan: "Nomor telepon kantorku kamu hafal?"
Chu Wan menarik suara panjang: "Haaaafal..."
Lu Shouyan: "Aku juga khawatir padamu. Setelah kamu gemuk sedikit, aku tidak akan terlalu mengaturmu, Setuju?"
Chu Wan sebenarnya tahu pikiran pria itu - dia tidak yakin pada dirinya sendiri, ingin merawatnya dengan baik.
Sebenarnya dalam hatinya dia menyukainya, dengan putus asa berbisik lembut: "Bukankah aku selalu mendengarkanmu!"
Saat sampai di lantai bawah, Tante Zeng dari ruang penerima tamu menyambut mereka ramah: "Xiao Lu dan Xiao Chu, kalian harus mendaftar. Aku akan menjadwalkan giliran tugas kalian."
Chu Wan bingung: "Giliran tugas?"
Tante Zeng tertawa: "Benar! Setiap lapisan gedung dibersihkan sendiri oleh penghuni. Satu rumah bertugas sehari!"
Lu Shouyan jelas juga tidak menyangka. Dia mengangkat alis, bertanya detail, baru tahu Tante Zeng punya papan kayu kecil bertuliskan 'tugas harian' yang digantung di depan rumah warga setiap malam. Penghuni tersebut harus membersihkan dua kali sehari, pagi dan sore - termasuk koridor dan ruang cuci. Malam harinya, papan tugas dipindahkan ke rumah sebelah.
Tante Zeng bersemangat berkata: "Xiao Chu sekarang masih sekolah kan? Kalian yang sekolah tidak tegang, saya lihat Rekan Lu kerja sibuk sekali, Xiao Chu bisa bertugas menyapu. Kita perempuan harus rela berkorban, yang mampu lebih banyak bekerja."
Sebagai "Xiao Chu", Chu Wan mengangguk: "Baik, saya akan menyapu."
Lu Shouyan: "Terima kasih Tante Zeng, kami akan menyelesaikan tugas piket tepat waktu."
Kemudian menambahkan: "Kami baru pindah ke sini, kalau ada masalah, harus merepotkan Tante Zeng untuk memberi petunjuk."
Tante Zeng langsung berjanji sambil menepuk dada: "Nanti saat cuaca dingin, harus beli sawi putih simpan musim dingin dan batu bara sarang lebah. Kalian anak muda harus lebih perhatian. Tapi tidak perlu selalu diingat-ingat, nanti saya akan teriak pakai pengeras suara, pasti kalian dengar."
Keduanya langsung mengangguk terus-menerus.
Setelah keluar dari kompleks kantor, mereka saling memandang.
Chu Wan tersenyum: "Sejak kecil di rumah, gaya tuan muda kamu sangat kentara."
Berdasarkan jasa Kakek Lu, rumah mereka selalu memiliki halaman besar dengan penjaga keamanan dan pembantu. Sebagai anak terakhir yang lahir saat orang tuanya sudah tua, di atasnya ada kakak kandung dewasa beserta istri mereka, di bawahnya ada keponakan laki-laki dan perempuan yang seumuran. Jadi tidak ada pekerjaan rumah yang sampai menjadi tanggung jawabnya.
Kalau bukan karena pengalaman di Pasukan yang membentuknya, mungkin dia sampai tidak bisa membedakan jenis-jenis padi-padian.
Kini, hidup mandiri di luar sudah mulai diatur-atur oleh Tante dari ruang penerima tamu untuk berbagai urusan.
Lu Shouyan: "Ini biasa saja, di Pasukan pun saya harus mengerjakan semuanya. Hanya saja——"
Ia mengerutkan bibir dengan pandangan tak percaya: "Pertama kali dipanggil 'Xiao Lu', rasanya agak aneh."
Chu Wan hampir tak bisa menahan tawa mendengarnya.
Siang hari, Chu Wan buru-buru kembali dari perpustakaan ke kompleks kantor. Kebetulan Lu Shouyan juga baru pulang. Ding Caili segera mengajak mereka ke rumah adik perempuannya.
Rumah adik perempuannya terletak di sebuah hutong terpencil dekat Jembatan Batu Putih. Setelah berjalan sampai ujung gang, mereka tiba di sebuah halaman yang teduh. Tiang listrik di samping rumah dipenuhi kabel berjubel, sementara rak kayu untuk menjemur pakaian berdiri di sisi bangunan.
Begitu masuk ke dalam rumah, terlihat seorang perempuan berbaju celana kain biru longgar sedang menjemur pakaian. Melihat kedatangan mereka, ia segera mempersilakan masuk: "Kakak, akhirnya kamu datang juga."
Perempuan itu bernama Ding Caihong, adik kandung Ding Caili.
Ding Caili berbisik-bisik penuh kewaspadaan: "Mereka tidak ada di rumah kan?"
Ding Caihong mengusap tangannya: "Tidak ada."
Ding Caili buru-buru memperkenalkan mereka. Tampak jelas kehidupan Ding Caihong jauh lebih sulit dibanding kakaknya. Cara bicara dan gerak-geriknya terlihat kikuk, hanya bisa terus mempersilakan tamu masuk: "Aku akan membuatkan air untuk kalian."
Ding Caili: "Cepat keluarkan itu untuk diperlihatkan. Air tidak usah, tidak perlu dibuatkan."
Wanita itu buru-buru masuk ke kamar dalam, tak lama kemudian keluar membawa sebuah lukisan.
Ia menjelaskan: " ini masih di tangan saya, tapi saya tidak berani sembarangan membawanya keluar. Mereka mendesak saya, bilang kalau tidak dikeluarkan, akan ."
Ding Caili: "Kalau , tentu tidak diberikan! Ini dulu mu yang berikan!"
membuka lukisan itu, mengamati dengan cermat. Ini adalah Bambu, Batu, Anggrek, dan Cymbidium karya Zheng Banqiao - mahakarya puncak sang maestro dengan goresan kuasanya kuat dan bertenaga menembus kertas.
Setelah memeriksa, ia mulai menanyakan peristiwa yang dialami lukisan ini dalam beberapa tahun terakhir secara .
Ding Caihong , tapi tetap menceritakan apa adanya.
Ding Caili melihat ekspresi serius , penuh tanya tapi tak berani bertanya. Ding Caihong semakin gugup, nya erat .
Setelah mengamati ulang lukisan itu dengan seksama, akhirnya : " ini , tapi ."
Ding Caili dengan keterkejutan: "Apa maksudnya?"
Ding Caihong semakin panik: "Apakah saya tidak menyimpannya dengan baik? Saya, saya selalu menyimpannya dengan baik, tidak berani menyentuhnya! Saya menyembunyikannya dengan rapi, bahkan saat Jinpeng ingin mengambilnya untuk diperlihatkan ke orang, saya tidak mengizinkannya ikut campur!"
Chu Wan menjelaskan: "Bukan masalahmu. Lukisan ini sudah dimanipulasi sebelum sampai di tanganmu."
Ding Caili: "Lalu sebenarnya apa yang terjadi?"
Chu Wan memaparkan secara detail: "Dilihat dari warna dasar kertas Xuan dan gaya lukisannya, ini memang karya asli Zheng Banqiao, setidaknya pernah menjadi asli. Dibingkai pada era Dinasti Qing, lalu pemiliknya di era Republik Tiongkok membingkai ulang. Di situlah terjadi manipulasi."
Ding Caihong terkejut: "Manipulasi?"
Chu Wan: "Setiap era punya gaya pembingkaian berbeda. Pembingkaian terakhir menggunakan tekstur tirai berwarna krem muda, ciri khas era Republik. Tapi saat itu lukisan ini dilepas dari bingkai aslinya, hanya menyisakan sebuah dasar, lalu digambar ulang di atas dasar tersebut."
Kalimat ini membuat tidak hanya saudari Ding, tapi juga Lu Shouyan yang berdiri di samping terheran-heran.
Chu Wan menjelaskan secara detail: "Ini adalah lukisan Dinasti Qing. Kertas Xuan yang digunakan untuk melukis saat itu cukup tebal, minimal dua hingga tiga lapisan, maksimal empat sampai lima lapisan. Tinta mudah meresap di kertas Xuan, gaya lukisan Zheng Banqiao menembus hingga ke belakang kertas, sehingga setiap lapisan terbasahi tinta. Saat lukisan ini dibawa ke toko pembingkaian, seseorang mengetahui ini adalah karya asli Zheng Banqiao, lalu mengelupas lapisan atasnya. Orang ini sangat serakah, dari bekas yang terlihat, kemungkinan langsung mengelupas tiga lapisan sekaligus. Setelah tiga lapisan tersebut terkelupas, masing-masing lapisan bisa menjadi lukisan asli Zheng Banqiao, hanya menyisakan dasar untuk pemilik lukisan asli. Jejak tinta di dasar ini sebenarnya sudah sangat pudar. Mereka takut pemilik mengetahui kecurangan ini, lalu meminta ahli di bidangnya untuk meniru berdasarkan sisa jejak tinta. Lukisan jenis ini disebut 'Lukisan Jiwa'."
Ia menatap Ding Caihong: "Ini terjadi di era Republik Tiongkok, jadi lukisan ini sudah lama dimanipulasi."
Ding Caili terkejut: "Itu, itu lukisan ini tidak bernilai?"
Chu Wan berkata dengan penuh penyesalan: "Benar, kalau Lapisan 2 atau 3 mungkin masih ada nilainya. Tapi ini sudah Lapisan 4, pernah diambil lapisannya, pada dasarnya sudah tidak ada bedanya dengan lukisan palsu."
Ding Caihong mengawasi lukisan itu, air mata terus menetes: “Itu, itu bagaimana caranya? Di tanganku tidak ada apa-apa, uang semua di tangannya, aku cuma punya lukisan ini. Kalau lukisan ini tidak bernilai, nanti dia akan mengusirku keluar, benar-benar aku sudah kehilangan semuanya!”
Ding Caili mendengar ini, langsung sangat memalukan: "Aku sudah bilang dari dulu, komposisi keluarga mereka tidak baik, kau tetap memaksa menikahi keluarga mereka! Bertahun-tahun kau menopang keluarga mereka, ikut menderita dan mengalami neraka bersama mereka, kira-kira apa yang kau dapat? Sebelum ibu mertuamu berpulang, bilangnya ingin berbuat baik dengan memberimu lukisan, hasilnya malah lukisan itu dikupas beberapa lapisan kulit, tinggal sebuah dasar!"
Ia menghela napas penuh kekecewaan: "Kini keluarga mereka sudah punya segalanya, mereka bisa mengusirmu kapan saja! Kau tak akan dapat sepeser pun! Sungguh membuatku kesal! Sudah setengah umur hidup, apa yang kau raih?"
Ding Caihong menggigil bibirnya, air mata tak terbendung, tangan menutupi mulut sambil terisak.
Chu Wan yang menyaksikan ini pun menghela napas. Kebenaran memang sering menyakitkan.
Masalahnya, lukisan ini jelas sudah diambil beberapa lapisannya. Terlalu nyata, orang dalam industri pasti langsung tahu. Lukisan ini mustahil laku.
Lu Shouyan tiba-tiba bertanya: "Lukisan ini sekarang juga ingin direbut suamimu, bukan?"
Chu Wan menatapnya mendengar pertanyaan itu.
Dalam tatapan bertaut, sorot mata Lu Shouyan menyiratkan permintaan persetujuan. Chu Wan segera paham maksudnya.
Chu Wan berkata: "Setuju."
Lu Shouyan mengangguk.
Percakapan dua orang ini membuat kedua saudari itu bingung: "Apa maksudnya?"
Chu Wan: "Silakan jelaskan."
Lu Shouyan akhirnya berkata: "Mengingat lukisanmu sudah tidak bernilai lagi, sementara suamimu bersikeras ingin bercerai, yang kau inginkan sekarang hanyalah mendapatkan sedikit harta agar kehidupanmu terjamin. Mengapa tidak memanfaatkan lukisan ini?"
Kedua saudari itu terdiam membeku: "Tapi lukisan ini palsu!"
Lu Shouyan: "Suamimu tidak mengetahuinya."
Ding Caili tiba-tiba tersadar akan sesuatu, matanya berbinar.
Lu Shouyan menjelaskan: "Karena lukisan ini adalah warisan turun-temurun keluarga, aku yakin suamimu sangat menginginkannya. Dia pasti tak menyangka lukisan ini sudah kehilangan beberapa lapisan. Nona bisa berpura-pura mempertahankan lukisan ini mati-matian, mengklaim tidak menginginkan harta lain kecuali lukisan ini. Semakin kau pertahankan, semakin dia ingin merebutnya. Lakukan kebuntuan, lalu pura-pura terpaksa menyerahkan lukisan dengan imbalan sejumlah uang."
Ding Caihong sama sekali kehilangan kata-kata.
Ding Caili bersorak gembira: "Wah, ide ini bagus! Mari kita buat dia merampas lukisan sialan itu, lalu meminta kompensasi uang. Masalah selesai!"
Lu Shouyan membaca ketidaktegasan Ding Caihong. Ia menjelaskan strateginya secara rinci kepada Ding Caili yang cerdik itu. Ding Caili langsung menangkap maksudnya.
Ding Caihong yang plinpan menurut saja. Ding Caili mulai melatih adiknya. Lu Shouyan dan Chu Wan memilih mundur dari urusan ini.
Siang harinya, Lu Shouyan memberikan instruksi pada Chu Wan.
Chu Wan mendengarkan sambil menahan senyum. Suaminya itu ingin terus mengurungnya di kamar, khawatir angin luar akan membahayakannya. Akhirnya ia menyuruh suaminya segera berangkat kerja.
Setelah suaminya pergi, ia pergi ke bank yang terletak di kompleks kantor. Sungguh praktis.
Lima ratus yuan itu disimpannya di bank.
Karena kebiasaan dari kehidupan sebelumnya, dia suka memisahkan uang, setiap kategori dikelola terpisah.
Misalnya uang tabungan Lu Shouyan adalah untuk kebutuhan rumah tangga, bisa disimpan untuk kehidupan masa depan. Uang dari Lao Ye adalah bentuk kasih sayang orang tua, ingin disimpan sebagai kebahagiaan, mau dipakai atau tidak terserah.
Sedangkan uang dari perdagangan barang antik adalah modal bisnisnya di masa depan.
Ketiga jenis uang ini tidak ingin dicampurkan.
Dia membuka buku tabungan khusus untuk lima ratus keping itu, baru kemudian keluar dari bank.
Lu Shouyan pergi bekerja, sendirian di rumah juga tidak ada kegiatan. Perpustakaan tidak ingin dikunjungi, akhirnya memutuskan pergi ke pasar barang antik.
Tapi saat ini, pasar pagi Yuyuantan pasti sudah tutup. Setelah berpikir sejenak, teringat ada pasar barang antik di daerah Liangmaqiao.
Di masa depan tempat itu akan menjadi pasar antik besar. Sekarang masih bentuk awal, hanya sederet rumah petak di dalam kompleks yang berjualan diam-diam.
Dalam kehidupan ini dia belum sempat melihatnya.
Saat itu juga dia langsung bersemangat, naik trem menuju ke sana.
Setelah sampai di sekitar Liangmaqiao, bertanya beberapa kali baru menemukan lokasinya. Di perumahan besar berpagar itu ada segala macam - keramik dari berbagai dinasti, yang ada cap tahun maupun tidak. Keramik Dinasti Ming jelas lebih bernilai, sementara keramik Dinasti Qing kurang diminati.
Sebenarnya keramik lima kiln terkenal Dinasti Qing nanti juga akan sangat mahal, tapi sekarang orang masih menganggap barang dari tahun-tahun terakhir seperti guci besar berglasir merah dalam biru era Kaisar Qianlong dengan lukisan sempurna itu cuma bernilai 80-100 yuan, tidak lebih.
Kalau main keramik harus koleksi yang besar. Keramik biru-putih Dinasti Ming asli berjejer rapi, baru itu namanya koleksi kelas atas.
Chu Wan berjalan santai tanpa target khusus. Area ini memang didominasi pedagang keramik tua yang matanya tajam bagai elang. Susah menemukan barang bagus di sini.
Dia sudah berbalik badan untuk pergi, tapi tepat saat akan meninggalkan tempat, melihat seseorang mendorong gerobak masuk. Di gerobak itu terikat beberapa guci. Tatapan Chu Wan menyapu sekilas, lalu tubuhnya berhenti seketika.
Di gerobak itu, ternyata ada sebuah benda yang terasa sangat familiar baginya——Guci Besar Yuan Qinghua.
Tepat, guci Yuan Qinghua yang hampir terlewat sebelumnya!
