Setelah mengantar Lu Shouyan pergi, Chu Wan merasa hampa selama satu dua hari.
Sebenarnya dia awalnya tak membutuhkan kehadiran seseorang, setidaknya sebelum pernikahan, dia pernah merasa tugas luar kotanya justru baik agar bisa menikmati ketenangan dan kebebasan.
Tapi kini, setelah terbiasa dengan kehadirannya, tiba-tiba ditinggalkan terasa menyisakan kekosongan.
Dia hanya bisa memfokuskan pikiran pada studi di kampus, menyelami jadwal kuliah.
Saat itulah Profesor Yue menyarankannya: "Dengan bekal sejarah dan budaya yang cukup, mungkin kamu bisa meneliti periode kosong tiga dinasti Ming, lalu menulis artikel."
Setelah dipikir-pikir, dia merasa ide itu feasible. Kebetulan pengetahuannya cukup mendalam, lalu mulai mencoba menulis.
Setelah seminggu mengerjakan, hasilnya cukup memuaskan. Naskah itu dibawa ke Profesor Yue yang memberikan masukan, lalu menyuruhnya merevisi sebelum mengirimkan ke jurnal.
Chu Wan pun melanjutkan perbaikan, setelah susah payah menyelesaikannya, langsung dikirim untuk publikasi.
Pada titik ini, ia menyadari bahwa beberapa tindakannya—walau tak berani mengatakan mengubah sejarah—tapi beberapa hal diperkirakan akan terjadi lebih awal dibanding kehidupan sebelumnya.
Sebuah guci bertutup dari periode kosong tiga dinasti ini, di matanya hanyalah uang, tapi bagi para ahli arkeologi terkemuka, itu adalah pengetahuan akademis. Karya penelitian yang diterbitkan akan mempengaruhi persepsi pasar melalui kesimpulan akhirnya.
Chu Wan menjadi lebih giat dari biasanya, berharap bisa mengumpulkan lebih banyak porselen biru-putih.
Akhirnya ia pun tak berani bermalas-malasan, bangun pagi-pagi untuk berkeliaran di pasar hantu, Pasar Pagi Yuyuantan, Pasar Liangmaqiao, Pasar Jembatan Batu Putih, hingga Panjiayuan—hampir semua lokasi yang memungkinkan dikunjunginya.
Setelah dikocok-kocok seperti ini, akhirnya berhasil mengumpulkan beberapa porselen biru-putih Dinasti Ming dan dua porselen biru-putih periode kekosongan. Salah satunya bahkan kualitas premium, jauh lebih baik dari guci kecil itu. Ini membuat perasaannya sangat senang.
Selagi masih ada kesempatan baik dimana banyak harta karun belum muncul ke permukaan, harus giat mencari harta tak terduga dan menimbun sebanyak mungkin. Habiskan semua harta untuk ini, kumpulkan semaksimal mungkin.
Suatu hari nanti ketika harga melambung tinggi, nilainya pasti sudah berbeda jauh.
Kebetulan sekarang tidak ada urusan lain, tugas kuliah juga mudah. Dia sering jalan-jalian di pasar barang antik, membeli beberapa benda yang disukai. Berhasil mengumpulkan guci Taiping giok bunga Dinasti Tang, gelang giok Zaman Zhou Barat, dan dua lukisan enamel Kangxi.
Kecuali beberapa barang kecil ini, dia berpikir toh sudah punya rumah, lalu sibuk membeli sebuah meja gambar cendana yang ditempatkan di dekat jendela, sebuah lemari pakaian kayu Huanghuali untuk menyimpan pakaian, bahkan hingga meja rias di rumah pun diganti dengan kayu Huanghuali, di atasnya diletakkan sebuah kotak rias cendana kecil berhias tembaga.
Rumah menjadi penuh sesak, barang-barang lama mau tak mau harus dirapikan. Miliknya sendiri tidak masalah, bisa diatur semaunya, tapi barang-barang Lu Shouyan, dia tidak berani sembarangan mengacak-acak.
Awalnya ingin menelepon untuk berdiskusi, menanyakan rencananya. Tapi ketika menghubungi unit kerjanya hari itu, kebetulan dia sedang dinas luar.
Tidak ada cara lain, terpaksa dia mengemas semua barang pribadinya ke dalam dua kotak kayu merah, berencana membereskannya setelah sang suami pulang.
Sebenarnya barang pribadinya tidak banyak, hanya beberapa pakaian sederhana dan buku-buku. Diduga barang-barang lama lainnya disimpan di rumah tradisional di lingkungan kompleks sana.
Buku-bukunya sebagian besar adalah karya Sang Pemimpin, ada juga beberapa buku lain. Chu Wan tidak melihat detail, semuanya disimpan di dalam kotak itu.
Saat membereskan ini, tanpa sengaja melihat selembar daun ginkgo jatuh dari salah satu buku.
Daun ginkgo itu mungkin digunakan sebagai penanda halaman, lalu dia berniat mengembalikannya ke tempat semula.
Saat menunduk melihat, ternyata itu adalah kumpulan novel asing. Ini membuatnya terkejut, merasa dia tidak mungkin membaca buku jenis ini yang bahkan terasa tak selaras.
Manusia memang memiliki kompleksitasnya sendiri. Pengetahuannya lebih luas dari yang dia duga, pemahamannya tentang dia hanya sebagian sisi saja.
Pejabat baik tak membaca novel Inggris dan hanya fokus mempelajari pola pikir Sang Pemimpin? Itu semua stereotip.
Dia membalik-balik halaman. Daun ginkgo yang tertekan lama di dalamnya meninggalkan jejak, dengan cepat dia menemukan halaman yang tepat dan menaruhnya kembali.
Saat memasukkan, tanpa sengaja melihat coretan tinta biru pulpen di bagian itu.
Tulisan itu berbunyi "love is a touch and yet not a touch".
Chu Wan merasakan keterkejutan.
Buku ini miliknya, ya? Jejak yang digambar dengan tinta pulpen biru ini, apakah itu coretannya?
Atau jangan-jangan dia hanya tidak sengaja mengoleksi buku bekas orang lain?
Chu Wan tak kuasa membalik-balik halaman, akhirnya dengan hati-hati mengembalikan daun ginkgo ke tempatnya, lalu merapikan barang-barang untuknya.
Setelah mengacak-acak rumahnya sendiri, simpanan Chu Wan nyaris habis. Untung masih ada uang saku dari Lu Shouyan yang menjamin kebutuhan makan-minumnya.
Hanya saja, jika ingin membeli barang tertentu, dia tak enak menggunakan uang itu. Akhirnya dia merencanakan untuk menjual salah satu koleksinya demi mendapatkan uang tunai sementara. Jangan-jangan kalau ada kesempatan bagus tapi tangan kosong, bisa mati dibuatnya.
Pada suatu hari, saat berbelanja di Pasar Jembatan Batu Putih, tak disangka dia bertemu Nie Nangui.
Begitu melihat Nie Nangui, hatinya langsung berbunga-bunga. Dengan jurus khasnya, dia menyunggingkan senyum lebar.
Nie Nangui mengenakan mantel gaya Hong Kong yang sangat longgar, kedua tangan malas terselip di saku. Melihatnya seperti ini, ia mengangkat alis: "Ada apa ini, senang sekali bertemu saya?"
Chu Wan menjawab jujur: "Belakangan ini agak kekurangan di tangan, butuh uang. Ingin cari jalannya jual sesuatu."
Nie Nangui mengamatinya dari atas ke bawah lalu tertawa: "Dengar-dengar kamu baru koleksi banyak barang bagus, cuma masuk ga keluar-keluar. Ga kekurangan uang baru aneh!"
Chu Wan berkedip: "Oh? Ini juga kamu dengar?"
Nie Nangui: "Pasar barang antik Sijiu Cheng cuma segini besar, siapa bisa sembunyi dari siapa."
Chu Wan: "Coba tebak, aku koleksi apa aja?"
Nie Nangui: "Apa yang dikoleksi Putri Chu, saya ga tau. Tapi keliatan kamu belakangan lebih sejahtera, ketemu rejeki nomplok ya?"
Chu Wan: "Betul juga. Orang dapat kabar baik semangat langsung mekar, belakangan kebanyakan rejeki."
Nie Nangui: "Hmm? Rejeki apa? Cerita dong biar saya ikut senang."
Chu Wan tersenyum: "Bantu saya cari pelanggan baik dulu. Di sini saya punya botol tembakau hidung glasir merah dalam biru, dan mangkuk tembikar Dinasti Tang. Ingin saya lepaskan keduanya."
Dengan menjual dua barang ini dengan harga bagus, simpanannya akan cukup sambil bisa menambah stok barang.
Barang terlalu mahal tak berani dibeli, hanya berusaha mencari harta karun dengan harga murah.
Nie Nangui: "Botol tembakau hidung glasir merah dalam biru?"
Chu Wan: "Barang berharga dari kiln resmi. Ada retakan kecil, tapi meski rusak tetap bernilai."
Nie Nangui malas-malasan menyapu pandangannya: "Karena kamu sudah bilang, nanti bawa ke sini. Aku akan suruh orang jualkan, komisi harga teman—hanya ambil 10%, setuju?"
Chu Wan: "Baik, deal!"
Tiba-tiba teringat Kakek Nie, tambahnya: "Ayahmu di sana—"
Nie Nangui menghela napas: "Taruh hati di perut. Urusan ini jangan sampai ayah tahu."
Chu Wan mengangkat alis: "Ya?"
Nie Nangui mengaitkan bibir, menyimpan tangan di saku, berkata santai: "Setiap kali Ayahku menyebut keluargamu Chu, dia langsung menggeretakkan gigi. Kalau dia tahu aku kerja sama dengan anak perempuan keluarga musuh, pasti aku dipotong-potong."
Chu Wan: "Maksudmu? Ayahmu menggeretakkan gigi saat menyebut keluarga kami? Karena teko terakhir itu?"
Tapi seharusnya masalah ini rahasia, Kakek Nie tidak sampai mencurigainya.
Nie Nangui menghela nafas: "Lupakan, ini sejarah lama, siapa yang tahu!"
Chu Wan: "Lupakan gimana? Ayo kita bicara terbuka. Kejahatan apa yang keluarga kami lakukan sampai Ayahmu begitu marah?"
Nie Nangui meliriknya dengan tatapan ambigu: "Rekan Xiao Chu, jangan pura-pura tidak mengerti, ya?"
Chu Wan pun menghentikan pertanyaan. Utang lama seperti ini memang hanya akan memancing emosi.
Nie Nangui mengangkat alis: "Masih mau jual barangnya?"
Chu Wan menggeleng: "Tidak usah. Takut Ayahmu langsung mati kaget. Aku cari cara lain saja."
Dia berpikir, bisa pergi ke Hu Ruirui di toko budaya.
Nie Nangui memanggilnya: "Kulihat semangatmu masih tinggi ya?"
Chu Wan: "Ini kan karena mempertimbangkan ayahmu?"
Nie Nangui tersenyum geli, langsung mendekatinya: "Kalau aku selalu memikirkan ayahku, aku takkan bisa bicara dengan siapa pun. Ah, besok, bawa barangmu ke sini."
Chu Wan melihat situasi ini, lalu berkata: "Baik, terima kasih sebelumnya."
Chu Wan menyerahkan kedua barang itu langsung kepada Nie Nangui, sama sekali tidak merasa khawatir.
Di bidang ini, kami bekerja berdasarkan kemampuan observasi. Kalau dapat barang bagus, itu kemampuanmu. Kalau keliru beli, terima nasib sendiri. Biasanya kami tidak mengungkit-ungkit kesalahan lama.
Bahkan kalau ketemu kolektor baru yang mau mengembalikan barang karena keliru beli, silakan. Ikuti aturan, kami akan kembalikan uang dengan potongan harga. Ini konsekuensi dari kesalahan beli.
Tiap bidang punya aturannya sendiri. Selama semua orang mematuhi aturan kuno di dunia antik ini, bisnis bisa terus berjalan.
Mengenai penyerahan barang kepada Nie Nangui, karena dia yang mengajukan pertama kali, Chu Wan tidak khawatir akan kecurangan. Di kalangan mereka, semua berorientasi jangka panjang. Bermain strategi ya tetap bermain strategi, uji pengamatan ya tetap uji pengamatan. Tapi dalam hal integritas dan reputasi, takkan ada yang mau mencemari nama sendiri.
Nie Nangui tak mengecewakan. Dengan cepat dia menemukan pembeli untuk barang-barang itu. Botol tembakau hidung terjual langsung 820 yuan, sementara mangkuk keramik Dinasti Tang laku 380 yuan.
Untuk mangkuk keramik Tang, harganya sudah sesuai ekspektasi. Tapi harga botol tembakau hidung itu justru melampaui perkiraan Chu Wan.
Bagaimanapun juga, di era ini harga memang sulit melambung tinggi.
Mendengar itu, raut bangga terpancar di wajah Nie Nangui. Bibirnya merekah saat berkata: "Botol tembakau hidung kiln resmi langka. Semakin sedikit stok, semakin berharga nilainya. Harta seribu keping emas takkan bisa membeli kesukaan hati. Apalagi ini menggunakan teknik glasir merah dalam biru."
Chu Wan langsung paham, ini bertemu dengan kolektor yang memang penyuka khusus.
Teknik glasir merah dalam biru dimulai dari Dinasti Yuan, populer di awal Ming. Tapi karena kesulitan teknik shao, menghilang di pertengahan Dinasti Ming. Baru pada era Yongzheng dan Kaisar Qianlong, teknik glasir merah dalam biru dengan dekorasi Qinghua muncul kembali.
Karya dari dua era ini memiliki garis sempurna, warna cerah dengan nuansa merah menyala. Koleksi Chu Wan itu produk kiln resmi, sayangnya ada cacat. Kalau tidak ada cacat, harganya pasti jauh lebih tinggi.
Total penjualan dua barang 1.200 keping. Chu Wan langsung menghapus 200 keping, memberikan semuanya ke Nie Nangui: "Seribu keping saja untukku."
Nie Nangui mengangkat alis sambil tertawa: "Wah, dapat komisi plus tip?"
Chu Wan: "Tidak boleh membuatmu bersusah payah tanpa hasil."
Nie Nangui penasaran: "Dapat uang seribu sekaligus, ada rencana apa dengan uang itu?"
Chu Wan: "Akhir-akhir ini sering berkeliling di pasar, sudah beli beberapa barang. Sementara belum ada pikiran lain, lihat perkembangan dulu."
Nie Nangui: "Apa kamu ingin mengumpulkan jenis tembikar tertentu?"
Chu Wan menatapnya dalam-dalam sambil berpikir dalam hati, Nie Nangui ini memang cerdas.
Dia menjawab: "Belakangan tidak ada hobi lain, cuma suka porselen biru-putih Dinasti Ming. Ingin mengumpulkan beberapa koleksi lagi."
Nie Nangui mengusulkan: "Kalau mau cari yang begini, bisa ke pos pengumpulan Xiong County. Jaringan mereka lebih luas di sana, lebih mudah menemukan barang bagus dibanding pasar Beijing. Di sini, belum tentu kita dapat barang bagus karena para pedagang profesional mengawasi terus siang-malam."
Chu Wan mengangguk setuju: "Xiong County memang layak dikunjungi."
Nie Nangui santai mengajak: "Aku berencana pergi akhir pekan ini. Mau ikut?"
Chu Wan: "Nanti lihat dulu."
Nie Nangui: "Pikirkan baik-baik. Kalau pergi bersama, kita bisa beradu siapa yang dapat rejeki nomplok besar."
Chu Wan meliriknya sejenak: "Baiklah. Tapi mungkin aku akan bawa seorang teman."
Nie Nangui: "Teman seperti apa?"
Chu Wan: "Tentu saja teman baik."
Nie Nangui tersenyum: "Setuju, ayo, kita pergi bersama."
Setelah menyelesaikan kelas hari itu, Chu Wan pergi ke kantor pos dan telekomunikasi di dekat kampus untuk menelepon Lu Shouyan. Kebetulan dia tidak ada di kantor, orang lain yang mengangkat.
Dia menunggu sebentar di situ, lalu menelepon lagi beberapa saat kemudian. Kali ini Lu Shouyan yang mengangkat.
Chu Wan menjelaskan secara garis besar: "Aku ingin pergi ke Kabupaten Xiong bersama teman. Di sana ada pos pengumpulan, mau melek-melek melihat."
Lu Shouyan terdengar kaget: "Teman apa?"
Chu Wan: "Teman yang kukenal di pasar barang antik."
Lu Shouyan berkata: "Kalau itu temanmu, pasti bisa dipercaya. Silakan pergi kalau mau."
Chu Wan: "Dia laki-laki. Aku pikir, situasi laki-laki dan perempuan sendirian seperti ini... Apakah pantas aku ikut dia?"
Sebenarnya sebelumnya Chu Wan tidak pernah mempermasalahkan hal seperti ini. Dulu dia sengaja berpenampilan kampungan, kurus dan kuning. Orang-orang tidak menganggapnya sebagai perempuan, dan dia merasa aman dengan kondisi itu.
Kini situasinya berbeda, dia mulai memiliki kesadaran akan hal-hal seperti ini.
Apalagi sudah menikah, dia harus mempertimbangkan persepsi Lu Shouyan.
Di ujung telepon, Lu Shouyan diam-diam cukup lama sebelum akhirnya berkata: "Tidak masalah. Kalau kamu yakin dengan integritas orang itu, silakan pergi."
Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan: "Urusan di sini terlalu banyak, aku benar-benar tidak bisa meninggalkan posisi untuk sementara. Bagaimana kalau Jianzhao atau Jianhui yang mengantarmu?"
Chu Wan tersenyum: "Sebenarnya aku ingin meminta Kakak Tiesheng yang menemani. Bagaimana pendapatmu? Kalau tidak masalah, aku akan meneleponnya."
Lu Shouyan: "Yang pendiam dari Keluarga Yi itu?"
Chu Wan: "Benar..."
Saat mengucapkan ini, Chu Wan teringat bahwa di kehidupan sebelumnya, dia sepertinya tidak menyukai Yi Tiesheng.
Dengan putus asa dia menjelaskan: "Kami sudah kenal sejak kecil, tingkat kepercayaannya lebih tinggi. Lagipula dia sangat kompeten, bekerja dengan mantap langkahnya."
Lu Shouyan berpikir sejenak, lalu berkata: "Baik, biarkan dia yang menemanimu pergi."
Lalu bertanya lagi: "Kalau di perjalanan, bawa uang lebih. Kalau kurang, ambil buku tabungan saya."
Chu Wan: "Tak perlu, tanganku masih ada uang. Tenang saja."
Lu Shouyan: "Baik. Tapi kamu janji, tiap sampai suatu tempat, cari telepon umum dan hubungi saya. Saya khawatir kalau tidak."
Chu Wan: "Tak perlu dipermasalahkan! Aku bukan anak ini lagi, lagipada ada Kakak Tiesheng yang menemani!"
Lu Shouyan bersikeras: "Kepatuhan, usahakan telepon saya."
Chu Wan enggan, tapi akhirnya mengangguk: "Baiklah."
Mendengar persetujuannya, Lu Shouyan tersenyum. Ia menghiburnya dengan cerita sekolah, baru menutup telepon setelah lama mengobrol.
Setelah menutup telepon, perasaan Chu Wan sedang baik.
Ia tak tahu apakah akan tetap pergi jika Lu Shouyan tak setuju. Mungkin iya, tapi pasti ada rasa tak membahagiakan, seolah ia bertindak semena-mena.
Sikapnya yang adil membuat Chu Wan merasa lebih nyaman.
Dengan putus asa, Chu Wan menelepon ke kampung Yi Tiesheng, meminta Kepala desa menyampaikan pesan. Setelah menunggu sebentar, terdengar suara Yi Tiesheng yang terengah-engah, jelas-jelas dia berlari terburu-buru ke rumah Kepala desa.
Chu Wan menjelaskan rencananya ke Kabupaten Xiong: "Kamu mau mengantarkan aku?"
Yi Tiesheng langsung menjawab: "Baik, kapan kita berangkat?"
Chu Wan: "Sabtu ini saja. Sabtu aku tidak ada kuliah. Begitu kita berangkat Sabtu, pulang Minggu malam atau Senin pagi. Tidak akan mengganggu waktu."
Yi Tiesheng: "Kalau gitu Sabtu pagi aku ke tempatmu?"
Chu Wan berpikir sejenak: "Aku ingin berangkat pagi-pagi Sabtu. Kamu datang Jumat saja. Aku carikan tempat tinggal, ajak kamu jalan-jalan. Sudah lama kan kamu tidak ke kota?"
Yi Tiesheng: "Baik."
Gaya Yi Tiesheng memang selalu begitu, tidak banyak tanya, langsung setuju.
Hari Jumat itu, saat Chu Wan meninggalkan kampus, Yi Tiesheng sudah menunggu di gerbang kampus.
Dia mengenakan baju kapas tipus hijau tentara yang sudah ketinggalan zaman, rambut dipotong pendek rapi, berdiri di depan pintu dengan ekspresi datar.
Chu Wan keluar, melihatnya, dan menyapanya. Baru saat itu ekspresinya sedikit berubah. Ia mendekat dan kalimat pertama yang diucapkannya adalah: "Sekolah ini benar-benar ramai."
Chu Wan tersenyum: "Ya memang seperti ini sekolah. Bagaimana kalau hari ini kita makan di kantin sekolahku? Makanan kantin kami cukup enak."
Yi Tiesheng menggelengkan kepala: "Tidak perlu, kita makan di luar saja."
Melihat ini, Chu Wan pun mengajaknya ke warung kecil di sebelah, makan mi zhajiang, lalu mencari penginapan untuknya setelah makan.
Yi Tiesheng mengerutkan alis: "Tidak usah, aku bisa cari daerah sembarangan dan berjongkok semalaman saja."
Chu Wan: "Buat apa menahan sedih seperti itu? Sekarang aku punya uang."
Tapi ternyata mencari penginapan tidak mudah. Katanya sejak reformasi dan keterbukaan, turis asing datang berombongan. Semua jenis penginapan penuh sesak. Tanpa hubungan atau jalur khusus yang dipesan sebelumnya, sangat sulit mendapatkannya.
Chu Wan tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya menemukan penginapan pribadi di kompleks perumahan kumuh, sangat murah cuma lima mao semalam, tentu saja syarat-syaratnya sangat buruk.
Yi Tiesheng tidak peduli: "Aku ini pria, punya daerah untuk tinggal saja sudah cukup baik."
Hari itu Chu Wan pulang beristirahat, memasang alarm, keesokan paginya langsung bergegas pergi, membawa Yi Tiesheng untuk bertemu Nie Nangui.
Kabut hari ini cukup tebal, Nie Nangui yang tiba-tiba melihat Yi Tiesheng agak terkejut, tapi tetap sopan menyapa.
Yi Tiesheng memandang Nie Nangui, tampak dingin, mengangguk kaku.
Nie Nangui "batuk" kecil, tertawa: "Chu Wan, temanmu ini benar-benar kekar."
Seperti gunung kecil.
Chu Wan tertawa: "Tentu saja, seandainya bertemu yang berniat jahat, suruh dia maju, pasti bisa jamin keselamatan kita."
Mereka menumpang bus seragam hijau yang berangkat dari Beijing. Setelah keluar dari Beijing, jalanan mulai bergelombang dan berlubang, terkadang membuat bus terguncang. Beberapa penumpang duduk di dalamnya. Awalnya, Nie Nangui masih mencoba berbicara dengan Yi Tiesheng, tapi melihat Yi Tiesheng benar-benar seperti labu yang membisu - delapan kalimat dikeluarkan tak bisa mengeluarkan satu jawaban darinya - akhirnya Nie Nangui mengobrol dengan Chu Wan.
Sebenarnya Chu Wan sudah cukup mengantuk sejak pagi. Kini diguncang-guncang bus, semakin ngantuk. Ia hanya menjawab sekenanya.
Nie Nangui tampak bersemangat, membahas berbagai topik dari yang ini sampai yang itu, mengobrol tentang langit dan bumi.
Tiba-tiba Yi Tiesheng berbicara: "Apa kau tidak lihat Wan-wan sudah ngantuk?"
Nie Nangui terkejut memandangnya.
Yi Tiesheng berkata dengan wajah kaku: "Wan-wan ngantuk, mau tidur. Masih saja kau bicara?"
Nie Nangui memandangnya dengan ekspresi tak terdefinisi, akhirnya memilih diam.
Chu Wan memanfaatkan kesempatan ini untuk memejamkan mata dan tidur sebentar.
Yi Tiesheng melepas jaketnya sendiri, membantu Chu Wan mengenakannya, lalu menyapu pandangan peringatan ke arah Nie Nangui.
Nie Nangui batuk kecil, tak lagi berbicara.
Hingga kemudian, saat mereka turun dari bus dan pindah ke gerobak sapi, kebetulan Yi Tiesheng pergi ke pinggir untuk buang air kecil. Nie Nangui berbisik pada Chu Wan: "Dia, pacarmu? Masih seekecil ini sudah tahu pacaran?"
Chu Wan terkejut mendengar: "Bagaimana bisa?"
Nie Nangui: "Benarkah?"
Chu Wan meliriknya: "Jangan berpikir macam-macam. Otakmu ini bagaimana? Apa setiap lihat pria-wanita hubungan baik, langsung mikir hubungan spesial?"
Nie Nangui: "Benar juga. Aku bilang juga, kamu masih kecil, tak perlu buru-buru pacaran!"
Chu Wan berkata datar: "Belum kukabarkan? Aku sudah menikah."
Nie Nangui terdiam seketika, menatapnya dengan terkejut.
Chu Wan: "Lupa memberimu beberapa keping permen pernikahan, ini kelalaianku dalam basa-basi. Nanti akan kukejar ketinggalan."
Nie Nangui terdiam sejenak, akhirnya mengerutkan alis memandang Chu Wan: "Berapa usiamu? Sudah menikah begini cepat?"
Chu Wan berkata dengan lambat: "Nie Nangui, jangan sembarangan menanyakan usia perempuan, mengerti tidak?"
