Untuk sementara Lu Shouyan keluar lebih dulu membawa barang-barang. Chu Wan juga bersiap-siap hendak pergi. Baru saat ini dia menyadari di luar sudah turun salju, lapisan lembut itu. Pantas saja tadi di dalam kamar terasa langit sangat terang.
Saat keluar, mereka juga bertemu dengan keluarga personel militer lain. Ada yang rambutnya masih acak-acakan, wajah mengantuk. Ada juga yang sudah membawa sapu siap menyapu salju. Melihat Chu Wan, mereka semua buru-buru menyapa.
Tapi dalam semalam saja, seluruh kompleks keluarga kabupaten sudah tahu bahwa "menantu kecil modis dan muda lulusan pascasarjana Beijing" Rekan Lu telah datang mengunjunginya dari ibukota.
Konon pagi-pagi buta, Rekan Lu sendiri lari membeli doufunao dan shaomai, ngiler memberikan ke menantu kecil untuk dilayani makannya.
Orang-orang tak henti mengelus dada, membayangkan sikap serius Rekan Lu sehari-hari, tak menyangka ternyata begitu menyayangi istrinya!
Ada yang berkomentar: "Tentu saja, kan dari Beijing, lulusan pascasarjana lho, lebih hebat dari mahasiswa biasa, cantik dan muda pula. Pasti Rekan Lu harus menghibur terus menantu spesial seperti ini."
Chu Wan sempat mendengar satu dua kalimat itu. Ia merasa lucu, tak menyangka dirinya justru jadi legenda seperti ini di mata orang.
Tak lama mobil tiba di gerbang kompleks kantor. Lu Shouyan menggenggam tangannya langsung naik. Kabin mobil ternyata cukup hangat.
Lu Shouyan mengajaknya duduk di kursi belakang, menghangatkan tangannya. Mobil perlahan mulai bergerak. Di luar, salju masih berjatuhan. Di balik taburan kristal es, terlihat tembok kota kuno dan bayang-bayang pagoda Buddha di kejauhan.
Lu Shouyan menjelaskan: "Di kabupaten ini ada beberapa gerbang peringatan tua dan banyak kuil. Daerah ini terkenal dengan 38 jalan gerbang peringatan, 30 kuil, serta 9 pagoda Buddha. Beberapa diantaranya sudah dihancurkan beberapa tahun lalu, tapi sebagian masih bertahan."
Sambil berbincang, mereka tiba di sebuah gerbang peringatan. Tertarik, Chu Wan pun turun ditemani Lu Shouyan berjalan-jalan.
Di bawah selimut salju, gerbang batu tua itu menampilkan ukiran rumit nan indah. Gaya artistiknya memperlihatkan ciri khas era Dinasti Song.
Setelah mengamati sebentar, Lu Shouyan mengajaknya ke kuil terdekat. Bangunan tua yang lapuk itu masih menyisakan sisa-sisa kemegahan masa kejayaannya dulu.
Lu Shouyan membawanya sambil berjalan dan melihat, setelah berputar perlahan, Chu Wan berhenti di samping sebuah kuil. Di sana berdiri patung batu besar dari pualam putih Dinasti Han, setinggi satu tingkat. Terlihat jelas patung itu tidak terurus, di bawah lapisan tipis salju tersembunyi lumut bertahun-tahun.
Dia mengelilingi patung batu itu perlahan, akhirnya mengangkat pandangan ke arah Lu Shouyan yang berdiri di samping.
Lu Shouyan: "Ya?"
Chu Wan tersenyum: "Tidak apa-apa, ayo pergi."
Lu Shouyan menatap kembali patung itu: "Patung apa ini sebenarnya?"
Chu Wan: "Kenapa kamu tertarik?"
Lu Shouyan mengangkat alis, tanpa sepatah kata.
Chu Wan: "Kamu menyetir mobil dinas dengan sopir, mengantarkan saya berkeliling, sebenarnya mau minta bantuan apa?"
Lu Shouyan mengernyitkan alis dan mata berbinar, memencet ujung jarinya: "Kenapa jadi licik seperti peri?"
Chu Wan: "Soalnya aku sudah cukup paham cara kerjamu!"
Lu Shouyan menyembunyikan senyumnya dan berkata dengan serius: "Wan-wan, setelah datang ke sini, aku telah mempelajari catatan kabupaten setempat. Konon belasan tahun yang lalu, beberapa guci keramik pecah pernah digali di sini. Saat itu mereka memanggil petugas Biro Purbakala, tapi mereka hanya datang sebentar lalu pergi, bilang tidak ada dana dan tenaga. Kemudian, ada kabar di pasar loak sekitar juga pernah ditemukan guci dan keramik. Kurasa mungkin ada sesuatu di bawah sini, bisa jadi para pencuri makam sudah menggali sebelumnya. Daripada membiarkan mereka merusak, lebih baik kita sendiri yang menggali. Jadi aku berencana mengalokasikan dana untuk meneliti area ini. Jika berhasil digali, ini bisa jadi daya tarik tersendiri."
Chu Wan: "Kamu mau apa?"
Lu Shouyan: "Kini dengan reformasi dan keterbukaan, semua daerah sedang mengembangkan ekonomi. Tapi seperti yang kamu lihat, Kabupaten Shiyuan ini meski memiliki gunung, tapi gunungnya gersang, tidak dekat dengan sumber air, tidak memiliki keunggulan sumber daya alam maupun geografis. Untuk sementara aku belum menemukan proyek pengembangan yang bisa dilakukan. Aku sudah meneliti, dua tahun terakhir perkembangan wisata masuk cukup baik, wisata domestik juga akan bangkit. Beberapa hari lalu dapat kabar, pemerintah provinsi berencana menggali beberapa proyek wisata prioritas di wilayah ini. Jadi kupikir, kita perlu memperjuangkan ini untuk Kabupaten Shiyuan. Jika berhasil, kedepannya bisa menjadi proyek pengembangan ekonomi."
Chu Wan mendengar agak terkejut: "Menurutmu prospek industri pariwisata di masa depan cukup baik?"
Lu Shouyan mengangguk: "Beberapa tahun terakhir perkembangan ekonomi domestik cukup baik, taraf hidup masyarakat meningkat. Setelah kenyang, orang akan memikirkan □□. Sebagian orang yang sudah masalah sandang pangan pasti ingin jalan-jalan dan berwisata. Selain itu, setelah meneliti data wisata domestik, jumlah wisatawan domestik dua tahun terakhir memang meningkat, pendapatan pariwisata juga menambah. Potensi di masa depan seharusnya sangat besar."
Chu Wan memandang salju di kejauhan, tanpa sepatah kata.
Saat pertama kali datang ke sini, dia merasa tempat ini cukup layak. Tapi pikirnya, itu urusan masa depan. Bagaimanapun, tahun ini masih 1985. Pola pikir masyarakat umum belum sampai ke tahap itu.
Tak disangka Lu Shouyan sudah mulai merencanakan hal semacam ini.
Di kehidupan sebelumnya, dia ditempatkan di daerah lain. Katanya setelah tiba di sana, dia mengembangkan hutan setempat. Kini di kehidupan ini, dia mulai memikirkan pengembangan pariwisata.
Chu Wan mengerutkan bibir, menatap serpihan salju di depan mata. Tiba-tiba teringat ucapan Kakek Buyut dulu.
Lu Shouyan adalah seekor naga. Makhluk seperti ini, di mana pun ditempatkan, pasti ditakdirkan untuk membuka tudung badai kehidupan.
Lu Shouyan juga diam, menemani dengan setia di sampingnya, memandangi kuil kuno yang diselimuti tarian kristal es.
Chu Wan kembali mendekati patung batu itu, bertanya: "Apa rencana pemerintah provinsi di situ?"
Lu Shouyan berkata: "Saat ini rencananya adalah menggali daerah-daerah yang memiliki sumber daya pariwisata. Katanya sudah membentuk tim ekspedisi multidisiplin yang melibatkan ahli dari bidang lansekap, lingkungan, geologi, dan arkeologi. Untuk saat ini Kabupaten Shiyuan belum masuk dalam daftar lokasi investigasi mereka. Jadi akhir-akhir ini saya sedang menyusun laporan permohonan agar bisa dimasukkan dalam daftar."
Chu Wan mengerti. Jika masuk daftar, kemungkinan akan dilakukan investigasi. Setelah investigasi, jika tim menilai Kabupaten Shiyuan memiliki potensi pengembangan pariwisata, maka akan ada kebijakan khusus dan alokasi sumber daya. Dengan begitu prospek Kabupaten Shiyuan akan cerah.
Kalau kesempatan ini tidak didapat, kita harus berjuang sendiri tanpa dukungan sama sekali.
Lu Shouyan menambahkan: "Kabupaten Shiyuan juga punya Museum Peringatan Perlawanan terhadap Jepang. Saya sudah minta personel untuk menganalisis semua sumber daya di kabupaten ini. Tapi menurut saya bobotnya masih kurang. Coba lihat apa lagi yang bisa digali untuk menambah token taruhan kita."
Chu Wan lalu berjalan mendekat, menginjak salju, dan berputar mengelilingi ukiran batu itu. Setelah itu dia berkata, "Mari kita bersihkan salju di atasnya dan periksa lebih detail."
Lu Shouyan mendengar itu, segera mencari daun kering di sekitarnya. Dengan menggunakan daun kering, dia mengelap salju dan lumut yang menempel di permukaan.
Saat ukiran batu mulai terlihat bentuknya, Chu Wan mengamati dengan saksama baru berkata, "Apa kamu tidak merasa benda ini familiar?"
Lu Shouyan melihatnya sebentar: "Agak familiar. Sepertinya mirip dengan hiasan di pilar hiasan plaza, bentuknya kurang lebih seperti ini?"
Chu Wan tersenyum: "Benar. Wang Tianhou adalah makhluk mitologi zaman kuno, konon putra ketiga Raja Naga, nama aslinya Pulao. Karena suaranya bisa menggema ke langit, biasanya berjongkok di puncak pilar hiasan, menengadah ke langit sambil mengaum, menyampaikan kehendak langit dan aspirasi rakyat."
Dia menunjuk kaligrafi gaya Kai yang terukir di atas: "Wang Tianhou ini terbuat dari pualam putih Dinasti Han. Ditambah dengan pasangan bait ini, seharusnya ini adalah makam kuno dengan tingkat kerumitan pemakaman yang sangat tinggi, kemungkinan milik pangeran daerah tingkat tinggi di era Dinasti Han."
Ia menunjuk ke arah yang tidak jauh: "Area hutan di sana terlihat berantak, tapi seharusnya itu adalah Batu Prasasti Houtu, Meja Persembahan Batu, dan Rumah Emas-Perak dari zaman dulu."
Lu Shouyan berkata: "Bagus. Jika benar ada Pangeran Daerah yang terkubur di sini selama ribuan tahun, bahkan pencuri makam sudah bolak-balik melintas, cukup menyedihkan. Kini saatnya kita 'mengganggu' dia untuk keluar berjalan-jalan, memberikan berkah bagi rakyat di sini. Nanti ketika Kabupaten Shiyuan sudah makmur, pasti kami bangun kembali patung emasnya agar bisa menikmati kelanjutan keturunan."
Chu Wan nyaris tak bisa menahan tawa: "Jangan terlalu optimis. Semua ini sudah tidak berbentuk asli. Kita bisa menyuruh orang mencari Batu Prasasti Jalan Suci atau ukiran batu lainnya. Nanti undang tim arkeologi untuk meneliti dan merestorasi area ini. Bukankah ini akan menjadi situs warisan sejarah yang bisa dikunjungi?"
Lu Shouyan: "Setuju."
Chu Wan: "Besok jika salju berhenti, suruh orang datang untuk memotret. Sekarang antar saya melihat area lain lagi."
Lu Shouyan membawa Chu Wan melangkah dalam salju yang dalam, berputar sejauh belasan kilometer di area ini selama waktu yang lama. Akhirnya Chu Wan menyimpulkan: Di sini memang terdapat makam Pangeran Daerah dari Dinasti Han, dari tampaknya sudah ada kerusakan akibat pencuri makam di tahun-tahun sebelumnya.
Namun karena sudah terlalu lama, jejak pencurian makam itu tertutupi. Untuk menemukan posisi pasti, mereka masih perlu penelitian lebih lanjut. Kondisi spesifik harus diteliti melalui catatan sejarah atau merujuk pada catatan daerah setempat untuk mencari petunjuk.
Mendengar kesimpulan ini, Lu Shouyan tampak puas: "Pulang dulu ganti sepatu, kamu istirahat sebentar. Siang nanti aku traktir makan enak, sore kita naik gunung berendam air panas."
Chu Wan: "Baik..."
Kini ia menikmati perawatan Lu Shouyan dengan sangat tenang tanpa merasa sungkan.
Duduk di mobil hampir seharian, sampai di rumah langsung didudukkan di situ olehnya, total tiga kali, tengah malam pun tak ada henti dengan gerakan-gerakan kecil. Tadinya kira hari ini bisa istirahat, siapa tahu kembali dimanfaatkan, sampai titik terakhir nilai terkuras habis.
Dia harus meraup kembali, menikmati sampai puas.
Dengan putus asa, Chu Wan diantar kembali untuk ganti sepatu, sekalian membasuh muka. Sementara Lu Shouyan langsung bergegas ke unit kerja, mengumpulkan personel terkait dari arsip nasional dan Museum Perlawanan terhadap Jepang, memerintahkan mereka segera menyelidiki data kabupaten, mencari petunjuk terkait makam Dinasti Han. Bersamaan itu membentuk tim survei untuk melakukan pencarian menyeluruh di sekitar area.
Lu Shouyan bertindak cepat dan tegas, menyelesaikan semua persiapan dalam sekali napas. Sekretaris di sampingnya sampai terkejut, tapi tak berani berkomentar, hanya bisa mendengarkan.
Lu Shouyan meneguk seteguk teh, lalu bergegas kembali ke asrama.
Saat kembali ke asrama, Chu Wan sudah perlahan mengganti sepatu dan merapikan barang. Lu Shouyan membawanya pergi makan.
Makan siang di restoran negeri terbaik kabupaten, menu masakannya cukup bagus. Salah satu hidangan bernama mie rebus ikan golok, rasanya benar-benar luar biasa. Dibuat menggunakan panci besi besar dan tutup kayu yang dipasang di atasnya, dikukus perlahan dengan api kecil. Daging ikan yang terkena uap panas akhirnya terlepas ke dalam kuah, tulang ikan terpisah dan menjadi renyah, langsung lumer di mulut.
Chu Wan puas: "Benar enak."
Lu Shouyan: "Nanti saat kita ke gunung berendam air panas, akan kusuruh mereka menyiapkan babi rebus untukmu."
Chu Wan: "Babi rebus? Enaknya apa?"
Lu Shouyan menjelaskan: "Menggunakan babi yang baru dipelihara setahun, direbus dalam pot tanah liat. Dasarnya diberi kecambah kacang polong, kentang, rebung musim dingin. Tutupinya dengan handuk basah lalu direbus perlahan dengan api kecil, direbus sepenuhnya selama beberapa jam, terakhir ditaburi serpihan gula batu..."
Chu Wan mendengar ucapannya, air liur hampir menetes: "Baik, aku mau makan!"
Lu Shouyan menggenggam tangannya: "Ayo, kita naik gunung."
Chu Wan berpikir sejenak, penasaran: "Kok kamu bisa menjelaskan masakan ini sangat detail? Orang yang tidak tahu pasti mengira kamu pindah profesi jadi koki?"
Lu Shouyan mengangkat alis, menatapnya sejenak baru berkata: "Setiap hari aku menulis laporan. Semua masakan khas daerah ini sudah kupelajari mendalam, tinggal pindah profesi jadi koki saja."
Chu Wan tersadar, lalu tertawa: "Kerja tugas keluar kota di sini, kamu benar-benar kerja keras!"
Setelah makan, Lu Shouyan mengajaknya naik mobil menuju Kota Pemandian Air Panas.
Daerah ini sebenarnya merupakan aliran sungai yang mengikuti jalan tua, berkelok-kelok melewati desa. Desa-desa di sini dibagi menjadi Desa Shanghe, Desa Zhonghe, dan Desa Xiahe berdasarkan aliran sungai.
Lu Shouyan: "Saya pernah membaca catatan kabupaten, pemandian air panas di sini sudah ada sejak tahun Wanli Dinasti Ming. Generasi penduduk di sini selalu berendam di air panas, juga mencuci baju di sumber air. Ada titik keluaran air panas sekitar 40 derajat Celsius."
Chu Wan mendengarkan penjelasan Lu Shouyan sambil mengamati rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Sepanjang jalan, rumah pekarangan berjejer rapi. Meski bangunannya penuh lika-liku sejarah, terlihat jelas bahwa konstruksi awalnya sangat diperhatikan - pintu dan jendelanya diukir dengan motif megah seperti peony, bangau di antara pinus, serta rusa plum.
Dinding batu biru yang samar dan usang itu menyimpan sisa-sisa zaman: slogan merah "Ganyang Tentara Jepang" masih tersisa, pohon kurma tua di dalamnya hanya menyisakan ranting kering yang ditutupi salju tipis, menjulur dari atas tembok.
Lu Shouyan mengajaknya ke lokasi pemandian. Di sini tidak disebut hot spring, melainkan pemandian negeri yang terbagi beberapa kelas. Tarif termurah untuk sekali mandi hanya 6 uang.
Lu Shouyan membawa Chu Wan, secara alami tidak membiarkannya bergaul dengan orang lain. Dia menunjukkan surat pengantar, pelayan langsung bersikap sopan dan mengajaknya ke halaman belakang. Di sana terdapat kamar mandi pribadi dengan kolam kecil.
Sepanjang jalan, sesekali orang-orang melirik mereka penasaran. Pakaian Lu Shouyan biasa saja tapi kharismanya luar biasa, sementara penampilan Chu Wan terlalu mewah dibandingkan warga kabupaten.
Untungnya mereka segera masuk ke halaman belakang. Tembok abu-abu yang samar-samar itu dihiasi beberapa rumpun bambu, menampilkan kesederhanaan klasik namun tetap memancarkan kehijauan yang subur.
Area ini merupakan tempat terapi khusus untuk tamu istimewa, tapi kini sepi hanya ada mereka berdua saja.
Lu Shouyan mengantar Chu Wan ke ruang ganti. Ia meliriknya sebentar: "Aku hanya menyewa satu kolam kecil."
Chu Wan langsung paham maksudnya. Raut wajahnya berhenti sejenak, bibirnya terkunci rapat berbisik: "Apa kau tidak merasa malu?"
Lu Shouyan meraih jari-jari tangannya, arah pandangan tertuju pada pohon pinus di depan, berkata pelan: "Tidak, aku cuma khawatir kamu yang malu."
Suasana seketika terasa menggoda, napas pun jadi sesak. Pipi Chu Wan memerah, tapi tetap berkata: "Sebenarnya nggak ada apa-apa..."
Lu Shouyan paham maksudnya, menatapnya dalam-dalam: "Kalau begitu kamu ganti baju dulu, masuk ke air, aku menyusul."
Chu Wan: "Baik."
Chu Wan masuk ke ruang ganti wanita, kemudian menceburkan diri. Airnya hangat, sepertinya diberi ramuan obat, sangat nyaman.
Baru saja dia masuk, Lu Shouyan sudah datang. Mendengar suara langkahnya, Chu Wan pura-pura tidak sengaja melihat ke arah lain.
Begitu dia turun, air di kolam pun bergolak. Tak lama, tubuhnya sudah berada di sampingnya.
Chu Wan tiba-tiba curiga. Meski dalam urusan ranjang dia cukup terbuka, tak terlalu kikuk, tapi situasi tanpa lampu begini...
Untungnya Lu Shouyan terlihat santai, dia mulai bercerita tentang sejarah mata air panas dan ramuan herbal di dalamnya: "Katanya ini jenis rumput lokal yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit."
Chu Wan: "Menyembuhkan segala penyakit? Omong kosong, cuma promosi doang."
Lu Shouyan: "Yang jelas warga lokal yang berendam di sini memang merasa lebih bugar dan memulihkan tenaga."
Chu Wan: "Ya."
Lu Shouyan: "Saya berencana menjadikan mata air panas ini sebagai fokus utama. Bisa dipertimbangkan untuk membangun rumah perawatan spa. Dengan begitu, para pejabat bisa rutin berlibur ke sini untuk terapi. Kunjungan mereka tentu menguntungkan daerah ini."
Chu Wan tertawa: "Mendingan kamu cari koneksi, ajak semua temanmu yang berpengaruh. Biarkan mereka mencoba dulu, baru minta mereka menyediakan dukungan sumber daya."
Teman kecilnya sejak kecil umumnya berasal dari kalangan elite. Hampir setiap orang yang dikenalnya menjabat posisi penting di berbagai daerah.
Lu Shouyan juga tersenyum: "Benar, itu rencanaku. Pokoknya semua jalur harus dicoba. Yang ada jangan sampai tak digunakan percuma."
Saat itu, kedua orang sudah terendam lama. Chu Wan mulai santai. Lu Shouyan menyangganya: "Kemarilah, aku akan menggendongmu."
Chu Wan: "Jangan, aku mau berendam sendiri..."
Lu Shouyan meraih lengannya: "Biarkan aku memijat lenganmu."
Chu Wan: "Baiklah."
Lu Shouyan lalu memeluknya dari belakang, memijat lembut lengan gadis itu: "Berendam seperti ini akan lebih efektif."
Chu Wan lunglai bersandar padanya, teringat masa lalu: "Bagaimana kamu tahu lenganku bermasalah dulu?"
Lu Shouyan menunduk, mengecup lembut pipi kemerahan yang berkabut air mata. Bibir tipisnya menempel di telinganya: "Aku memang tahu."
Kamar mandi dipenuhi aroma herbal wangi. Cahaya lentera kuning keemasan menyinari uap panas yang berkabut, menciptakan pemandangan mistis bagaikan negeri dongeng.
Tulang jari-jari kuatnya menggosok dan memijat setiap bagian tubuh Chu Wan dengan lembut, pelan-pelan Chu Wan mulai merasa nyaman, seluruh tubuhnya rileks sepenuhnya.
Pandangannya merambat naik menyusuri lengan kokohnya, hinggap pada jakunnya, lalu berhenti di rahang bawah.
Garis wajah pria itu tegas berkesan tajam, bibir tipis yang sedikit mengerucut terlihat sangar, membuat orang luar merasa ada jarak.
Hanya pasangan suami-istri terdekatnya yang tahu betapa manisnya saat bibir itu mencium.
Memandangnya seperti ini, pikiran berkeliaran mengingat kehidupan sebelumnya.
Seandainya bisa kembali ke masa lalu, pasti tanpa ragu akan mengejar untuk menciumnya.
"Sorot mata apa ini?" Suara rendah bergerusan Lu Shouyan menggema dari atas kepala.
Chu Wan mengangkat pandangan, menemukan matanya juga sedang menatap diri sendiri.
Arah pandangannya bagai sumbu kembang api, di balik pupil gelapnya tersingkap kerinduan yang tak lagi tersamar.
Namun napasnya tetap tenang, jika tidak menatap matanya, dia sama sekali tidak akan menyadarinya.
Pria ini terbiasa mengontrol emosinya, bisa menyembunyikan segalanya seolah tak ada celah.
Kelopak mata Chu Wan bergetar halus, perlahan memalingkan pandangan.
Lu Shouyan merasakannya, menunduk dalam kabut yang mengepul, mengangkat dagunya yang diraihnya, mencegahnya kabur, mendekatkan wajah hingga menatap langsung ke matanya yang basah.
Jarak sedekat ini, bibirnya nyaris menyentuh batang hidungnya, sementara bulu matanya yang berkedip-kedip sesekali menyapu cuping hidungnya.
Napas saling membelit, pandangan terjerat dalam keheningan, Chu Wan merasakan sesuatu.
Perubahan sekecil apapun cukup untuk mengungkap semua hal yang mengganjal, apalagi di antara mereka yang tak bisa lagi menyembunyikan apapun, sentuhan erat membuat setiap reaksi halus tertangkap jelas.
Di udara mengalir diam-diam keintiman yang merajalela, kegembiraan tak terucapkan antara pria dan wanita tengah mengendap.
Chu Wan menatap matanya, memecah kesunyian: "Kamu——"
Lu Shouyan: "Ya?"
Chu Wan menjilat bibirnya: "Maukah aku membantumu mendudukkan?"
Lu Shouyan memandangnya sambil mengangkat alis, suaranya serak berat: "Wan-wan, kau bisa?"
Chu Wan: "Kurasa sekitar itu."
Bola mata hitamnya menyala dalam, mengandung arti tersembunyi: "Wan-wan yakin?"
Dalam hati Chu Wan bergolak rasa malu. Dia mengerti maksudnya, sebenarnya juga merindukan, namun pertanyaan ini membuatnya tak berhadapan.
Beberapa hal membutuhkan keberanian untuk meraih terobosan.
Lu Shouyan menundukkan pandangan melihatnya seperti ini, senyum tipis mengembang di bibir. Kemudian mengusap rambutnya: "Tak usah jika merasa malu."
Kesopanannya yang berani, sesekali kecemasan yang terpancar membuatnya semakin mengasihani.
Meski mungkin ada beberapa pikiran nekat dan samar dalam benaknya, tapi dia tidak tega memberikannya padanya.
Dia selalu merasa dia masih kecil, bisa perlahan-lahan.
