Chu Wan mendengarkan, kembali merasa seperti kehilangan sesuatu.
Begitulah manusia, mundur di saat genting, tapi saat benar-benar melepaskan, tetap ada sedikit penyesalan.
Lu Shouyan merasakannya, menunduk dan mengecup bibirnya dengan lembut sambil menenangkan emosinya, suaranya terdengar parau: "Wan-wan, sebenarnya aku juga ingin... Tapi tidak apa-apa kalau belum, kita punya banyak waktu, nanti bisa perlahan-lahan mencoba."
Dia memeluknya penuh kasih: "Wan-wan masih kecil."
Mendengar ini, tubuh Chu Wan langsung lemas.
Begitulah dia, selalu menganggapnya masih kecil.
Dia teringat kehidupan sebelumnya, bahkan ketika usianya sudah 30 tahun, kariernya sangat sukses, kekayaannya cukup untuk membeli satu dua perusahaan publik sekalipun. Suatu kali saat makan keluarga, mereka membahas tentang... sepertinya masalah anak.
Awalnya hanya beberapa bibi-bibi generasi yang menggerutu, tapi begitu mendengar, dia mendekat sambil berkata santai: "Bukannya masih kecil? Buat apa buru-buru?"
Usai berkata, dia langsung pergi.
Saat itu, para orang yang lebih tua hanya bisa tertegun saling pandang.
Kini terlahir kembali, mendengar ucapannya yang sama ini, teringat masa lalu, hatinya dipenuhi rasa manis - manisnya dimanjakan sepenuh telapak tangannya.
Bahkan raut wajah dingin dan acuhnya pun menyimpan kemanjaan dan toleransi yang memiliki makna tersembunyi.
Saat pikirannya melayang, dia tiba-tiba membungkuk, jari-jari panjangnya menahan kepala sang gadis, membuka bibirnya, lidahnya merangkulnya dengan lembut, suara basah mesra memenuhi kamar mandi, membuat detak jantung berdesir.
Chu Wan tak kuasa menahan, tubuhnya semakin lemas.
Lu Shouyan melihat ini, memeluk erat dan mendudukkannya di pangkuannya, sambil telapak tangan besarnya mengelus-elus punggung sang gadis dengan ritme tak beraturan, membantu menenangkannya.
Chu Wan menempel di bahunya, menarik napas pelan-pelan, tiba-tiba melihat jakunnya yang tajam bergaris jelas.
Hatinya berdesir, jemarinya menyentuh lembut bekas luka di sana. Karena efek mandi, kulit kemerahan membuat bekas samar itu terlihat.
Ia menyandar di dadanya, bertanya lembut: "Ini kenapa?"
Lu Shouyan: "Dulu di luar negeri, kena serangan."
Chu Wan: "Benarkah? Kalau ceritakan detail kejadian saat itu, aku akan——"
Lu Shouyan mengedipkan bulu mata, mengangkat tatapannya yang mengunci tajam: "Akan apa?"
Chu Wan tersenyum: "Aku bisa melayanimu dengan baik. Apa pun keinginanmu."
Suaranya lembut, penuh dengan bujukan manis yang menggoda.
Dalam pertautan pandang, jempol Lu Shouyan mengusap lembut bibirnya: "Wan-wan bandel sekali. Sudah kubebaskan, masih memancingku."
Chu Wan dengan sorot mata berani, tersenyum: "Kenapa, kamu tidak mau?"
Dia sudah berbicara sampai sejauh ini, mana mungkin dia mundur. Dia pun sedikit menunduk.
Bibir tipisnya menggesek daun telinganya, berbisik: "Wan-wan, katakan, apakah kamu kurang—"
Suara berdesir itu bagai bulu menggelitik. Chu Wan malu dan marah, membuka bibir lalu menggigitnya.
Lu Shouyan merangkul pinggangnya untuk menenangkan: "Baik, apa yang ingin kau dengar, akan kuceritakan."
Chu Wan: "Tentang kejadian di luar negeri tadi."
Lu Shouyan: "Sebenarnya tak ada yang istimewa. Takut kau ketakutan."
Chu Wan menekan sudut bibirnya yang kaku: "Aku mau, ceritakan!"
Lu Shouyan menggenggam jarinya, mulai bercerita tentang kondisi berbahaya saat itu, bagaimana seorang wanita menggendong anak menyergapnya, dengan tekad murni ingin bunuh diri bersama.
Chu Wan mendengarkan: "Sebenarnya kamu bisa mundur dengan selamat, tapi hatimu melembut."
Lu Shouyan menyembunyikan wajahnya di leher Chu Wan, suaranya agak tertahan: "Mungkin. Secara rasional aku tahu, seharusnya tidak ada wanita menggendong anak muncul di situ, itu sudah sangat tidak wajar. Tapi saat itu, refleks manusiawi muncul. Mungkin saat itu aku ragu sebentar, memang hatiku melembut."
Hati yang melembut sejenak itu hampir merenggut nyawanya sendiri.
Chu Wan: "Lalu?"
Lu Shouyan: "Tidak ada kelanjutan. Aku memanjat gunung itu terus, sampai lama sekali, sampai rekan seperjuangan menemukanku. Aku selamat."
Chu Wan mendengar ini, tiba-tiba teringat batu safir biru yang pernah dia berikan padanya.
Hadiah ulang tahun ketujuh belas, batu safir biru yang entah bagaimana menghilang itu.
Bagaimana dia menemukannya? Apakah saat berjuang merangkak ke depan di pegunungan, tidak sengaja terambil?
Dia ingin bertanya, tapi akhirnya tidak membuka mulut.
Dia kehilangan keping batu safir biru itu, sempat mencari tapi tak ditemukan. Kini rumah pun sudah dibakar, mustahil bisa melihatnya lagi di kehidupan ini.
Karena itu, akhirnya dia tidak bisa menanyakan hal ini dengan alasan yang sah.
Lu Shouyan membelai pipinya: "Masih ada yang ingin kau tanyakan?"
Chu Wan: "Sebenarnya... tidak ada lagi yang perlu ditanyakan..."
Lu Shouyan menatapnya: "Hm? Lalu?"
Arah pandangan Chu Wan terangkat, menyadari sang pria tetap tenang tanpa ekspresi. Namun beberapa kata sederhana ini menyimpan makna tersembunyi.
Dia takkan mengungkapkan permintaan secara terang-terangan, memaksanya untuk mengatakannya sendiri.
Setelah melalui proses penyesuaian yang panjang, dia paham sifat pria ini. Jika tak diucapkan, dia tak akan melepaskannya dengan mudah.
Sesuai harapannya, dia mengangkat tangan. Ujung jarinya menyentuh lembut garis dagu kaku pria itu: "Kini, katakanlah. Apa yang kau inginkan dariku?"
Lu Shouyan menundukkan kepala. Saat pandangan mereka berkutat, dia bertanya perlahan: "Kau benar-benar sanggup?"
Chu Wan: "Ya."
Pandangan Lu Shouyan mendarat di bibirnya yang lembap, bagai kelopak merah yang basah oleh hujan, mengatup dengan lembut.
Bibir inilah yang pernah menghisap jarinya, getaran saat itu masih melekat dalam ingatannya.
Mungkin pernah ada kerinduan gelap yang terselip dalam hatinya - hasrat tak terduga yang bahkan tak ia sadari. Kini, hasrat itu perlahan mengkristal, muncul ke permukaan, bahkan bisa diungkapkan di hadapan istri kecilnya.
Telinga Lu Shouyan pelan-pelan memerah.
Matanya yang hitam memancarkan perasaan yang dalam, namun suaranya yang serak masih terdengar santai: "Coba saja. Kalau tidak suka, jangan dipaksakan."
Dengan ekspresi datar, Lu Shouyan menunduk mengawasi istri kecilnya, seolah tak ingin melewatkan secuil pun detail.
Melihatnya seperti ini, Lu Shouyan teringat banyak kejadian masa lalu. Misalnya hari ketika mereka saling meleset bertemu, saat ia bergegas ke stasiun namun menyaksikan sosoknya yang kurus dan mungil terhimpit kerumunan. Atau saat di tepi sumur Desa Yongling, tatapan matanya yang berapi-api ketika melepas jaket kapas sambil menantangnya.
Secara alam bawah sadar, sebenarnya ia adalah pribadi yang sangat dominan. Dalam berbagai gambaran itu, pikiran jahat yang tak terbendung selalu merambat di relung hatinya - gelap dan penuh keinginan posesif.
Terkadang ia bahkan merasa dirinya adalah pribadi yang terbelah. Wajahnya yang munafik di hadapan orang dunia, bertolak belakang dengan alam bawah sadar yang dipenuhi pikiran jahat yang tertindas.
Tentu saja ia takkan menampilkan diri yang tersembunyi rapat itu di hadapan orang luar.
Kini, di kamar mandi pribadi ini, ia menunduk memandangi istri kecilnya. Diajari hal-hal tak pantas, setengah terjatuh di pemandian air panas, mendongak dengan wajah memerah akibat usaha yang sulit.
Dia membuatnya begitu jatuh cinta hingga hatinya terasa menyempit, sekaligus melepaskan diri yang telah lama terpendam.
Maka tangannya mengelus lembut rambutnya: "Wan-wan anak baik, biar Ayah yang urus."
Saat Lu Shouyan menggendong tubuh lembutnya ke ranjang ruang istirahat dan membungkusnya dengan handuk, pikiran justru melayang ke masa lalu.
Sejak kecil dia memang atletis. Di akademi militer, keringat yang tumpah di lapangan latihan tak pernah membuatnya lelah, seolah energi tak terbatas bisa dihabiskan. Kini tersadar, mungkin dalam energi yang terlampiaskan itu terselip kerinduan masa remaja yang tak disadarinya sendiri.
Hanya karena tak ada tujuan khusus maupun sosok yang dirindukan, hasrat samar itu pun terbuang percuma di lapangan latihan dengan polosnya.
Lu Shouyan tersadar dari lamunannya, memandang tubuh rampingnya yang basah melekat di sprei putih, helai-helai rambut acak-acakan berhamburan di bahu kurusnya. Kerinduan yang membara itu kembali menyala dalam dirinya.
Namun akhirnya berhasil terkekang, ia mengeringkan tubuhnya perlahan sambil berbisik pelan: "Istirahat sebentar sebelum pergi, mau makan sesuatu?"
Wajah Chu Wan memerah bagai persik yang tersengat asap, kepalanya pusing-pusing sekujur tubuh lemas. Ia menjawab lemah: "Aku agak haus..."
Lu Shouyan penuh belas kasih merapikan rambutnya yang kusut sambil berkata: "Ada anggur hawthorn lokal hasil fermentasi sendiri, mau minum?"
Chu Wan: "Baik."
Setelah berpikir sejenak: "Aku lapar, ingin makan sesuatu."
Lu Shouyan: "Ya, kalau begitu kita makan lagi."
Karena ini ruang privat khusus, layanan memang lebih baik. Lu Shouyan membalut handuk mandi dan mengenakan mantel tebal keluar sebentar. Tak lama, pelayan segera mengantarkan minuman anggur hawthorn serta jajanan khas lokal seperti Shaomai ketan, kerupuk nasi, dan bakso bihun.
Lu Shouyan menariknya ke pangkuan, menyuapi beberapa teguk anggur hawthorn. Cairan merah pekat itu meninggalkan bekas kental menempel di gelas. Rasa manis asam yang pekat memenuhi mulut, membuat Chu Wan tak kuasa menahan diri menghabiskan setengah gelas kecil.
Melihatnya menikmati, Lu Shouyan menunduk mencium bibirnya, menghisap sari hawthorn yang tersisa di rongga mulut.
Chu Wan menghindar setelah dicium beberapa kali, mengeluh lemah: "Minum dari gelasmu sendiri."
Lu Shouyan: "Hanya ingin minum yang ada di mulutmu."
Chu Wan: "Tidak tahu malu..."
Lu Shouyan memeluknya: "Sudah berbulan-bulan tak bertemu, tidak tahu malu sedikit tak apa."
Shaomai itu harum, Lu Shouyan menyuapinya beberapa biji, sendiri juga makan sedikit, kemudian meneguk beberapa kali anggur hawthorn.
Chu Wan: "Saat pulang nanti, bawa sedikit anggur hawthorn ya. Ini bisa netralkan rasa berminyak, sepertinya Ayah juga suka."
Lu Shouyan: "Ya, nanti akan kutugaskan mobil mengantarmu pulang. Bawa dua tong kayu - satu untuk Ayah di rumah, satu lagi ke kampus untuk dibagikan ke guru dan teman sekelasmu."
Ia menunduk mengecup pipinya, melanjutkan: "Bawa juga oleh-oleh khas untuk dibagi ke tetangga. Satu dua tahun ke depan aku tak ada di rumah, tinggal kau sendiri di sini."
Tak berharap ada yang membantu, yang penting bisa rukun dan tak membuat masalah saja sudah cukup.
Saat kembali ke rumah hari itu sudah larut. Lu Shouyan mengurus Chu Wan beristirahat, tapi sendiri malah berpakaian rapi hendak ke kamar barat kantornya.
Chu Wan tak kuasa menghela napas: Pejabat kecil kelas tujuh ini benar-benar sulit didapat.
Malam itu Chu Wan terpaksa membersihkan abu tungku sendiri, menambahkan batu bara sarang lebah, lalu mandi dan tidur sendiri.
Tertidur sampai tak tahu jam berapa, setengah sadar, merasakan sesuatu yang dingin menyentuhnya. Dia protes, tapi suara protesnya segera dibungkus ciuman. Aroma terbaik yang familiar tercium, dia langsung tahu Shouyan sudah pulang. Tanpa sadar dia meringkuk dalam dekapannya, menariknya masuk dan melanjutkan tidur.
Keesokan harinya saat terbangun, Shouyan sudah mandi dengan wajah segar, bahkan sarapan pun sudah disiapkan.
Dia terkejut: "Jam berapa? Kok bisa bangun pagi begini?"
Lu Shouyan tersenyum: "Hari ini aku harus ke unit kerja. Mau ikut atau tinggal di rumah saja?"
Chu Wan menggerai dalam selimut, menggigit ujung selimut: "Malas gerak. Diluar dingin."
Lu Shouyan menunduk mendekat: "Bangunlah."
Setelah berhenti sejenak, dia berbisik pelan di telinganya: "Sekalian perlihatkan wajahmu di kantorku, biar rekan kerjaku mengenalmu."
Chu Wan tiba-tiba tersadar akan sesuatu, menatapnya.
Sorot mata Lu Shouyan yang berbinar memancarkan kekecewaan: "Ini bisa menghemat masalah untukku."
Chu Wan tersadar, lalu menggoda: "Kamu cukup populer, ya?"
Lu Shouyan: "Tentu saja."
Chu Wan penasaran: "Bukannya sudah kau katakan kalau sudah menikah?"
Lu Shouyan berkata halus: "Sudah, tapi masih ada yang bertanya. Kemarin aku bicara tentangmu dengan rekan kerja, mereka penasaran."
Chu Wan langsung duduk: "Baik, aku ingin lihat unit kerjamu."
Lu Shouyan: "Setuju."
Kini Chu Wan tak merasa dingin lagi. Dia berganti pakaian dan mengikuti Lu Shouyan ke unit kerja.
Sebelum berangkat, dia merasa perlu menampilkan citra "menantu kecil yang cantik milik Rekan Lu", bahkan memakai lipstik dan bercermin. Hasilnya cukup memuaskan.
Dengan senyum manis dia bertanya: "Apa cantik?"
Sambil berkata demikian, bibirnya sedikit mengernyit.
Sorot mata Lu Shouyan menggelap, berbisik: "Cantik."
Ia menambahkan: "Aku ingin berciuman, tapi tak berani lagi."
Lipstik sudah dipakai, takut merusak warnanya.
Chu Wan segera teringat: "Apa ini tidak merusak citra hidup sederhanamu?"
Lu Shouyan: "Dengan kehadiranmu, untuk apa lagi hidup sederhana? Ayo pergi."
Chu Wan tersenyum lebar, mengikuti Lu Shouyan keluar.
Di luar cukup dingin, tapi jaket bulu angsanya sangat hangat, sama sekali tidak kedinginan.
Sambil menoleh memandang penampilan Lu Shouyan: "Sejujurnya, dulu jika kau memakai setelan seperti ini, pasti tidak akan kuperhatikan."
Lu Shouyan mengangkat alis: "Oh? Lalu memperhatikan siapa?"
Chu Wan: "Lagi pula kau punya beberapa keponakan, Jianhui pasti lebih baik dari ini? Jianchen juga tidak buruk!"
Lu Shouyan memencet ujung jarinya: "Kebiasaan manjamu!"
Chu Wan tertawa: "Pokoknya di Beijing jangan pakai ini!"
Lu Shouyan juga tersenyum: "Setuju."
Saat kedua orang itu tertawa-tawa, sesekali orang di jalan melirik penasaran. Sungguh penampilan Chu Wan yang mencolok, ditambah kemesraan pasangan muda itu. Sorot mata mereka penuh hasrat, jelas terlihat sebagai pasangan pengantin baru yang sedang dimabuk asmara.
Unit kerja Lu Shouyan tidak jauh dari asrama, hanya beberapa langkah. Kompleks kantor itu sama seperti kebanyakan kantor kabupaten - pintu besi besar dengan kutipan tokoh besar berlatarkan merah dan huruf kuning di kedua sisinya.
Lu Shouyan memberi salam ke penjaga pintu, lalu langsung mengajaknya masuk.
Begitu masuk, beberapa rekan kerja mulai menyapa. Melihat Lu Shouyan membawa seseorang, mereka terkejut dan bersemangat: "Sekretaris Lu, ini istri Anda? Dari Beijing? Wah memang berbeda, sangat modis!"
Sepanjang perjalanan, mereka dikerumuni banyak orang. Beberapa wanita setengah baya di kompleks kantor itu mengamatinya penasaran: "Lihat istri Sekretaris Lu, cantik sekali. Pantas saja sudah menikah muda!"
“Tentu saja, Sekretaris Lu seperti ini pasti mencari yang cantik. Kudengar dia juga lulusan pascasarjana Universitas Jing!”
Di tengah keramaian itu, Chu Wan akhirnya dibawa Lu Shouyan ke kantornya.
Lu Shouyan mengambil teko dan menuangkan air untuknya: "Duduklah dulu di sini. Ada buku di lemari ini, ambil sembarang yang kau suka. Aku harus rapat dulu, sebentar lagi kembali."
Chu Wan: "Baik."
Lu Shouyan pergi rapat sambil menjepit map. Chu Wan penasaran mengamati kantor yang sangat sederhana ini: Di dekat ambang jendela tersusun meja-kursi berlapis vernis, tumpukan dokumen rapi di atasnya. Di meja terdapat termos, peralatan teh, dan tempat pulpen berisi beberapa pena.
Dia berdiri dan mendekati lemari buku yang tersusun rapi dalam kategori terpisah. Matanya tertarik pada buku "Legenda Kabupaten Shiyuan", lalu diambilnya untuk dibaca-baca.
Sedang asyik membaca, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Seorang perempuan berambut pendek sejajar telinga berdiri di sana, matanya berbinar dengan senyum mengembang, terlihat sangat luwes.
Melihat Chu Wan, dia terkejut sejenak: "Kamu...?"
Chu Wan tersenyum sopan: "Saya pasangan suami-istri Sekretaris Lu."
Perempuan itu terperangah: "Oh, begitu! Hari ini sempat kudengar kabarnya. Halo——"
Sambil berkata demikian, dia menjulurkan tangan untuk berjabat. Memperkenalkan diri sebagai Kepala Bagian Penelitian Wang Huijuan yang baru kembali dari inspeksi desa, sedang mencari Sekretaris Lu untuk melapor.
Wang Huijuan ini sangat pandai mengobrol. Duduk di kursi, dia mengajak Chu Wan ngobrol kesana kemari, bahkan menanyakan soal rencana kuliah Chu Wan.
Sebenarnya Chu Wan kurang mahir mengobrol santai dengan orang asing. Dia lebih suka pembicaraan terstruktur, atau tawar-menawar langsung dengan formasi jelas. Ngobrol ngalor-ngidul begini sungguh membosankan.
Maka ketika Wang Huijuan mulai berbicara tentang arkeologi, Chu Wan akhirnya menghentikan topik: "Jika ada pertanyaan spesifik, kita bisa diskusikan detail. Jika tidak, tidak ada yang perlu dikonsultasikan."
Dia melanjutkan bertanya pada Wang Huijuan: "Kamu paham arkeologi ya? Kalau begitu saya tanya: tahun berapa Dinasti Tang dimulai? Berapa total kaisar di Dinasti Tang?"
Wang Huijuan terkejut, lalu tertawa: "Masa saya tahu? Saya hanya ngobrol santai. Kalau begitu saya keluar dulu, nanti bicara lagi setelah Sekretaris Lu datang."
Setelah wanita itu pergi, Chu Wan merasa kebingungan tanpa alasan jelas, lalu menunduk melanjutkan baca bukunya.
Buku ini cukup menarik, memuat banyak kisah lokal tentang telapak tangan (teknik bela diri kuno).
Dia membalik beberapa halaman cerita ketika Lu Shouyan kembali dari rapat. Pertama-tama ia minum seteguk air, lalu berkata: "Sebentar lagi saya akan berdiskusi dengan tim ekspedisi. Setelah selesai, mungkin sudah siang, kita bisa makan bersama."
Chu Wan mengangkat topik Wang Huijuan tadi: "Dia memaksa ngobrol dengan saya, entah kenapa bisa sebanyak itu omongannya."
Lu Shouyan: "Dia mencarimu?"
Chu Wan: "Benar."
Lu Shouyan mengerutkan dahi, tapi tidak berkata apa-apa.
Chu Wan menunduk melanjutkan membaca buku itu. Dia sedang membaca kisah tentang seseorang yang menanam labu musim dingin. Salah satu labunya tumbuh sangat besar. Suatu hari, seorang tukang ramal lewat di sini, melihat labu itu, dan menyuruhnya untuk tetap menyimpannya, jangan dipetik. Katanya saat musim dingin tiba, dia akan datang membeli labu itu dengan harga tinggi.
Ketika musim gugur tiba, tangkai labu sudah layu tapi si tukang ramal belum juga datang. Akhirnya si penanam labu memetik dan menyimpannya.
Di musim dingin, si tukang ramal datang dan terkejut melihat labu itu sudah tiada. Setelah didesak, si penanam labu yang curiga mengaku sudah memakannya. Si tukang ramal marah sekali. Si penanam labu memanfaatkan kesempatan untuk bertanya, barulah si tukang ramal mengungkapkan rahasia: labu itu bisa menjadi jalan masuk ke kediaman seorang Pangeran, tempat banyak harta berharga bisa diperoleh.
Orang itu menunggu tukang ramal pergi, lalu segera mengikuti petunjuknya. Pada malam hari, dia membuka labu dan memasukkan kepalanya. Ajaib, tubuhnya benar-benar masuk! Setelah masuk, dia tiba di sebuah istana megah berlapis emas.
Dayang istana menawarinya kacang goreng, tapi dia menolak. Orang-orang di dalam malah memaksakan kacang itu ke mulutnya.
Tiba-tiba terdengar kokok ayam. Dayang istana langsung panik, orang itupun buru-buru kabur keluar.
Saat keluar dari labu, dia terkejut melihat tangannya menggenggam segenggam kacang emas!
Chu Wan merenungkan cerita ini, lalu mulai membalik-balik bahan referensi lain tentang evolusi sejarah nama desa.
Lu Shouyan merapikan mejanya. Sekretaris datang memberikan notulen rapat. Saat mengangkat kepala setelah membaca, matanya menangkap Chu Wan yang asyik menganalisis cerita tadi.
Memandang profil wajahnya yang fokus, dia tiba-tiba menghela nafas: "Kau benar-benar tidak punya hati."
Chu Wan: "Ada apa?"
Lu Shouyan menyatukan kedua tangannya, sorot matanya penuh kepasrahan: "Orang yang kamu sebutkan tadi, mana mungkin dia tidak tahu kamu datang?"
Chu Wan: "Terus?"
Lu Shouyan berkata seolah tak sengaja: "Entahlah, pikiran orang-orang seperti apa, siapa yang tahu."
Chu Wan akhirnya paham, menutup buku itu sambil tersenyum menatapnya: "Ada yang naksir kamu ya?"
Suara datar Lu Shouyan: "Wan-wan, aku cuma mengingatkan. Kalau ada yang punya niat jahat padamu, kau harus waspada."
Chu Wan tertawa ringan: "Ah, urus sendiri saja! Cepat-cepat selesaikan, atau aku akan mengadu!"
Lu Shouyan mengerutkan bibir menatapnya lama, akhirnya menggeleng: "Benar-benar tidak punya hati!"
Chu Wan: "Lalu? Masalahmu masa harus kuselesaikan? Aku datang untuk menikmati hidup sambil bantu-bantu, bukan untuk urusi anak buahmu!"
Melihat sikapnya yang penuh alasan itu, Lu Shouyan tertawa terbahak: "Sudahlah, aku terima nasib punya istri seperti kamu."
Chu Wan bertanya, "Bagaimana perkembangan penyelidikan makam yang kamu tugaskan?"
Lu Shouyan: "Semua departemen terkait - arsip, tim penyelidik, divisi riset - sudah dikerahkan."
Chu Wan: "Ada temuan baru?"
Lu Shouyan: "Belum untuk sementara."
Chu Wan tersenyum menatapnya: "Sewa saja aku. Beri gaji, aku akan bawa tim untuk mencari."
Lu Shouyan mengangkat alis, terkekeh: "Tak disangka akhirnya harus mengandalkan pasangan untuk menyelesaikan masalah."
